• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Berat Hepar

Setelah dilakukan pengamatan pada berat hepar diperoleh data yaitu rata-rata berat hepar yang paling tinggi pada kelompok P3 dan yang terendah pada kelompok K- (Lampiran A). Perbandingan rata-rata berat hepar dari masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.2. Notasi huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna yaitu pada kelompok K- (a), K+ dan P1 (ab) serta P2, P3, dan P4 sama-sama bernotasi (b). Sedangkan notasi huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna yaitu antara K- (a) dengan P2, P3, dan P4 (b).

Gambar 4.2 Rata-rata Berat Hepar (g) dari Setiap Kelompok. Huruf yang sama

pada perlakuan berbeda adalah tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p> 0,05)

Dari Gambar 4.2 dapat dilihat grafik hasil uji statistik (lampiran A), berat hepar pada kelompok kontrol K- dengan K+ dan perlakuan P1 tidak berbeda nyata.

a ab ab b b b 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 K- K+ P1 P2 P3 P4 Rat a -r at a B e r at H e p ar ( g) Kelompok

Sementara berat hepar pada kelompok K+ dan perlakuan (P1, P2, P3, dan P4) juga tidak berbeda nyata, akan tetapi perlakuan P2, P3, dan P4 berbeda nyata dengan kelompok K-. Rata-rata berat hepar yang paling tinggi terdapat pada perlakuan P3 2,22 g dan rata-rata berat hepar terendah yaitu pada kelompok kontrol K- 1,62 g (Lampiran A). Menurut Anggraini (2008), peningkatan berat organ hewan uji seiring dengan lamanya perlakuan dipengaruhi oleh adanya perubahan struktur histologis yaitu salah satunya degenerasi parenkimatosa. Adanya peningkatan substansi lemak dan air di dalam sel menyebabkan volume sel akan bertambah dan pada akhirnya mempengaruhi (meningkatkan) berat organ. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh pada perlakuan P3 yang memiliki rata-rata berat hepar paling tinggi (Lampiran A) dan paling banyak mengalami degenerasi parenkimatosa pada kelompok perlakuan (Lampiran B).

Menurut Lu (1994), pada umumnya berat organ adalah salah satu penunjuk yang sangat peka dari efek pada hepar. Meskipun suatu efek tidak selalu menunjukkan toksisitas, dalam kasus tertentu peningkatan berat hepar adalah penunjuk yang paling peka untuk toksisitas. Kehilangan jaringan hepar akibat kerja zat-zat toksik atau pembedahan memacu mekanisme pembelahan sel (Junqueira et al., 1997). Daya

regenerasi hepar setelah terpapar zat toksik sangat tinggi (Leeson et al.,1990 dalam

Sinuraya, 2011).

4.3 Struktur Histologis Hepar Mencit

Setelah dilakukan pengamatan histologis hepar mencit terhadap skor kerusakan hepatosit dari setiap kelompok diperoleh data yaitu kelompok kontrol (K- dan K+) dengan kelompok perlakuan (P1, P2, P3 dan P4) (Gambar 4.3) (Lampiran B). Notasi huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna dan sebaliknya. Kelompok K- dibandingkan dengan K+, P2, P3 dan P4 tidak berbeda nyata (sama-sama memiliki notasi a), akan tetapi berbeda nyata dengan P1 (notasi bd). Pada kelompok K+ dibandingkan dengan P3 dan P4 tidak berbeda nyata (sama-sama bernotasi a), dan berbeda nyata dengan P1 (notasi bd) dan P2 (notasi cd). Demikian juga dengan skor kerusakan hepatosit kelompok P1 berbeda nyata dengan semua

kelompok, kecuali dengan kelompok P2 tidak berbeda nyata. Skor kerusakan hepatosit pada kelompok P2 tidak berbeda nyata dengan P3 dan P4, akan tetapi berbeda nyata dengan kelompok K+. Skor kerusakan hepatosit pada P3 dibandingkan dengan P4 tidak berbeda nyata.

Gambar 4.3 Skor Kerusakan Hepatosit (degenerasi parenkimatosa, degenerasi

hidropik dan nekrosis) dari Setiap Kelompok. Huruf yang sama pada

perlakuan berbeda adalah tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p> 0,05)

Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa skor kerusakan hepatosit paling tinggi yaitu pada kelompok perlakuan P1. Hal ini dikarenakan P1 adalah kelompok perlakuan yang hanya diberi pemajanan MSG. Dalam hal ini MSG dianggap berpotensi sebagai senyawa yang bersifat toksik. Menurut Lu (1994), derajat kesehatan hepar dipersulit oleh berbagai kerusakan hepar dan berbagai mekanisme yang menyebabkan kerusakan tersebut. Hepar sering menjadi organ sasaran zat toksikan karena sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal dan setelah diserap toksikan dibawa vena porta ke hepar.

Kerusakan hepatosit karena pemberian MSG secara terus-menerus selama 30 hari akan menimbulkan stres oksidatif yang menghasilkan hidrogen peroksida.

ac a bd cd ac ac 0 50 100 150 200 250 300 350 K- K+ P1 P2 P3 P4 S k or K e r u sak an H e p at os it Kelompok

Menurut Trisnowati (2009), hidrogen peroksida dapat berekasi dengan senyawa dalam tubuh dan membentuk radikal hidroksil yang sangat reaktif. Radikal hidroksil tersebut menyebabkan peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid menyebabkan kerusakan membran sel dan kemudian mengakibatkan struktur sel menjadi tidak normal dan merusak fungsi sel. Menurut Lu (1994), hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hepar dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak di antara sinusoid yang terisi darah dan

saluran empedu. Menurut Pierce (1995) dalam Syahrizal (2008), apabila sel hepar

mengalami kerusakan yang disebabkan oleh berbagai faktor, maka akan menyebabkan serangkaian perubahan morfologi pada sel hepar. Perubahan tersebut dapat bersifat

subletal yaitu degeneratif dan perubahan letal berupa nekrotik.

Pada hasil pengamatan struktur histologis hepatosit diketahui bahwa pada semua kelompok ditemukan adanya perubahan sel berupa degenerasi parenkimatosa, degenerasi hidropik, dan nekrosis (Lampiran B). Menurut Pierce (1995) dalam Syahrizal (2008), perubahan histologis dapat berupa degeneratif atau bahkan nekrosis. Perubahan degeneratif adalah perubahan yang prosesnya bersifat reversibel yaitu dapat kembali seperti semula, artinya jika rangsangan yang menyebabkan kerusakan sel dihentikan, maka sel akan kembali sehat seperti saat sebelum diberi rangsangan. Sebaliknya, nekrosis adalah perubahan yang prosesnya bersifat irreversibel artinya tidak dapat lagi kembali seperti semula, dimana saat sel telah mencapai titik akhir kerusakan maka sel akan mengalami kematian.

Secara teoritis proses kerusakan sel hepar dimulai dari proses degenerasi. Sel yang mengalami degenerasi akan mengalami pembengkakan Ciri tersebut teramati pada perlakuan MSG (Gambar 4.4). Perlakuan MSG tampaknya menyebabkan masuknya cairan ekstrasel memasuki sitosol dalam jumlah besar. Keadaan ini dapat terjadi apabila membran sel yang merupakan salah satu komponen sel yang terpenting terganggu permeabilitasnya. Menurut Hariyatmi (2004), salah satu perubahan yang diinduksi oleh radikal bebas yaitu perubahan sifat-sifat membran dari unsur-unsur sel seperti mitokondria dan lisosom yang diakibatkan oleh lemak peroksida. Setelah merusak membran sel, efek toksikan dapat juga mencapai inti dan merusaknya, yang mengakibatkan struktur sel menjadi tidak normal dan lama kelamaan bermuara pada nekrosis.

Gambar 4.4 Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) dengan Pewarnaan HE dan Perbesaran 400X

Keterangan : a = vena sentralis

b = hepatosit normal

c = degenerasi parenkimatosa

d = degenerasi hidropik

e = nekrosis

Menurut Bhara (2009), degenerasi parenkimatosa merupakan tingkat kerusakan kategori degenerasi yang paling ringan. Pada sel yang mengalami

degenerasi parenkimatosa ditemukan adanya granula-granula dalam sitoplasma akibat adanya endapan protein yang menyebabkan sitoplasma menjadi keruh dan diikuti pembengkakan pada sel. Perubahan ini disebabkan oleh adanya gangguan oksidasi yang mengganggu mitokondria dan retikulum endoplasma.

Kerusakan sel hepatosit berupa degenerasi hidropik terjadi pada semua kelompok, baik kontrol maupun perlakuan. Jumlah sel yang mengalami degenerasi lebih banyak ditemukan pada kelompok perlakuan dengan jumlah terbanyak yaitu P1 dan yang paling sedikit yaitu kelompok kontrol (K+) (Lampiran B). Hal ini disebabkan oleh kerusakan membran sel sehingga menyebabkan adanya aliran masuk air. Menurut Syahrizal (2008), morfologi dari sel yang mengalami degenerasi sering dijumpai yaitu berupa penimbunan air sehingga terjadi pembengkakan sel. Menurut Bhara (2009), degenerasi hidropik merupakan derajat kerusakan yang lebih berat dibandingkan dengan degenerasi parenkimatosa. Pada degenerasi hidropik tampak vakuola yang berisi air dalam sitoplasma yang tidak mengandung lemak atau glikogen, sitoplasmanya menjadi pucat dan membengkak karena timbunan cairan. Rusaknya struktur dan fungsi sel lama kelamaan akan menyebabkan nekrosis. Menurut Atmodjo (1990), nekrosis ialah degradasi atau disorganisasi seluler yang irreversibel atau kematian sel jaringan tubuh sebagai akibat pengaruh jejas, dengan perubahan morfologi yang nyata pada inti sel sebagai piknosis, karyoreksis, dan karyolisis.

Tabel 4.3 Rataan Skor Kerusakan Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.)

dengan Pemberian Vitamin C dan E setelah pemajanan Monosodium Glutamat (MSG) (X±SD) Kelompok Perlakuan Skor Kerusakan Histologis X±SD

Selisih Skor dengan Kontrol Efek Pemulihan (%)* K- 172.8 ±21.74 K+ 154.4 ±11.91 P1 246.8 ± 9.83 74 P2 217.8 ± 26.52 45 40 P3 181.8 ±22.31 27 64 P4 169 ± 20.35 15 80

*Efek pemulihan dihitung menggunakan data selisih skor dengan kontrol (kolom 4) :

Pada kelompok perlakuan yang diberikan vitamin C (P2) diperoleh data bahwa kerusakan struktur histologis menurun dibandingkan dengan P1 (Tabelr 4.3), namun secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna (Lampiran B). Hal ini mungkin disebabkan oleh dosis vitamin C yang diberikan belum efektif dalam memperbaiki hepar khususnya hepatosit dari pemajanan MSG. Menurut Hariyatmi (2004), vitamin C berfungsi sebagai antioksidan pemulung (scavenger) superoksida dan radikal bebas. Berdasarkan hasil yang diperoleh, tampaknya fungsi scavenger tersebut efektif memperbaiki kerusakan sel hepar akibat MSG dengan efek pemulihan 40% (Tabel 4.3). Menurut Sinuraya (2011), vitamin C sangat efektif sebagai antioksidan pada konsentrasi tinggi. Pemberian dosis tinggi akan mengurangi lipid peroksida.

Pada kelompok perlakuan yang diberikan vitamin E (P3) diperoleh data bahwa kerusakan struktur histologis menurun dibandingkan dengan P1. Efek pemulihan oleh vitamin E adalah 64% (Tabel 4.3). Pemberian vitamin E dapat memulihkan kerusakan sel hepar, ditunjukkan oleh skor P3 tidak berbeda jauh dengan kontrol (P>0,05).

Kondisi ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Onyema et al,.(2006) bahwa

pemberian vitamin E memperbaiki stres oksidatif dan hepatoksisitas pada tikus yang disebabkan oleh pemberian MSG. Menurut Sulistyowati (2006), vitamin E adalah baris pertama pertahanan terhadap proses peroksidasi asam lemak tak jenuh ganda yang terdapat dalam membran seluler dan subseluler, fosfolipid pada mitokondria, retikulum endoplasma serta membran plasma yang memiliki afinitas terhadap α -tokoferol dan vitamin E terkonsentrasi pada bagian-bagian tersebut.

Efek pemulihan terbesar diperoleh pada kelompok perlakuan yang diberikan kombinasi vitamin C dan E (P4). Meskipun secara statistik skor kerusakan hepatosit antara P3 dan P4 tidak berbeda nyata, efek pemulihan sel-sel hepatosit yang rusak akibat MSG mencapai 80% (Tabel 4.3). Secara statistik (Lampiran B), skor kerusakan hepatosit antara P3, P4 tidak berbeda dengan kontrol (K- dan K+) (P>0,05) menjadi petunjuk bahwa perlakuan vitamin E, baik secara tunggal maupun kombinasi dengan vitamin C, mampu memulihkan efek kerusakan hepatosit yang diakibatkan oleh MSG. Menurut Sulistyowati (2006), vitamin E merupakan penghenti reaksi penyebar radikal bebas yang efisien di membran lemak, karena bentuk radikal bebas distabilkan oleh resonansi. Oleh karena itu radikal vitamin E memiliki kecenderungan kecil untuk

mengekstraksi sebuah atom hidrogen dari senyawa lain dan menyebarkan reaksi. Bahkan radikal vitamin E berinteraksi secara langsung dengan radikal peroksi lemak sehingga atom hidrogen lainnya berkurang dan menjadi tokoferil quinon teroksidasi sempurna. Selanjutnya vitamin E mengalami regenerasi dengan adanya vitamin C.

BAB 5

Dokumen terkait