• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERBAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR

Dalam dokumen materi pembinaan dan pengembangan bahasa (Halaman 22-42)

Bahasa Indonesia sudah ditetapkan sebagai bahasa negara, seperti tercantum dalam pasal 36, Undang-unndang Dasar 1945. Oleh karena itu, semua warga negara Indonesia wajib menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar juga merupakan hasrat seluruh rakyat Indonesia. Hasrat itu tertuang dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1988 tentahg Garis-garis Besar Haluan negara Sektor kebudayaan butir f, yang menyatakan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia perlu terus ditingkatkan, serta penggunannya secara baik dan benar, dan penuh kebanggan perlu dimasyarakatkan sehingga bahasa Indonsia menjadi wahana komunikasi yang mampu memperkokoh persatuan dan kesatuan serta mendukung pembangunan bangsa.

Semua warga negara Indonesia wajib membina dirinya masing-masing dalam pemakaian bahasa Indonesia agar bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang sesuai dengan kaidah yang berlaku. Kita tidak sepatutnya mengatakan, “Ah, masa bodoh soal kaidah bahasa. Itu urusan ahli bahasa, atau “Ah, salah tentang ejaan tidak apa-apalah. Yang penting bagi kita, bahasa dapat dimenerti dan komunikatif.” Pemakai bahasa Indonesia tidak dibenarkan, misalnya, menggunakan lafal bahasa daerah atau lafal bahasa asing dalam berbahasa Indonesia. Demikian pula, kurang terpijilah orang yang menggunakan bahasa Indonesia yang kosa katanya bercampur dengan kata bahasa asing hanya karena ingin tampak “gagah” atau karena ingin memperlihatkan tingkat keintelektualannya.

Pertanyaan yang timbul sekarang adalah siapakah yang ditugasi membina pemakaian bahasa dan siapa pula yang harus menjadi anutan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar? Jawabnya, secara resmi yang ditugasi membina dan mengembangkan bahasa Indonesia adalah pemerintah, dalam hal ini Depatemen Pendidikan dan kebudayaan, yang mendelegasikan wewenangnya kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Akan tetapi tidak semata-mata Pusat Bahasa yang memikul beban tersebut. Semua warga negara Indonesia mempunyai kewajiban melaksanakan pembinaan bahasa. Usaha pembinaan bahasa yang dilancarkan dengan gigih oleh Pusat Bahasa akan gagal jika tidak diikuti oleh kesadaran kita untuk membina diri kita masing-masing dalam berbahasa. Kerja keras Pusat bahasa dalam membina masyarakat untuk

berbahasa dengan benar, baik dilakukannya melalui televisi, radio, maupun surat kabar, tidak ada artinya jika kaidah-kaidah kebahasaan tidak diindahkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Lebih tragis lagi, usaha Pusat Bahasa akan sia-sia jika mereka yang patut menjadi anutan dalam berbahasa tidak berusaha menerapkan kaidah-kaidah bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan masyarakat. Itulah sebabnya, salah satu putusan Kongres V Bahasa Indonesia tahun 1988 menyatakan bahwa dalam konteks budaya yang memberi penekanan pada prinsip anutan, kongres mengimbau agar para pejabat lebih berhati-hati dalam memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Putusan kongres itu beralasan sebab dalam masyarakat kita terdapat nilai budaya yang banyak berorientasi vertikal ke arah tokoh, pembesar, yang berpangkat tinggi, atasan senior (Koentjaraningrat, 1974:69). Pengaruh pemakaian bahasa para anutan itu sangat besar bagi masyarakat yang diajaknya berkomunikasi. Lalu, siapakah yang patut menjadi anutan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar? Jawabnya, yang patut menjadi anutan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, antara lain, sebagai berikut.

1. Presiden dan Wakil Presiden

Di negara mana pun di dunia ini seorang kepala negara, baik presiden, perdana menteri, sultan, maupun raja, memiliki wibawa yang tinggi dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat di mata masyarakatnya. Setiap putusan dan petunjuknya selelu diperhatikan rakyatnya. Setiap wejangan dan arahannya selalu dijadikan landasan berpijak oleh aparat bawahannya, yang pada gilirannya dijadikan pedoman oleh seluruh warga negaranya. Demikian jua, pemakaian bahasa presiden atau wakil presiden akan berpengaruh bagi pemakai yang lain.

Kata dan ungkapan yang diucapkan presiden dan wakil presiden akan dijadikan pola dan ditiru oleh para pejabat yang lain dan oleh masyarakat luas. Tidaklah mengherankan jika setelah presiden atau wail presiden menggunakan suatu ungkapan tertentu ketika mencanangkan sesuatu, misalnya, dan ungkapan itu sangat berkesan di hati pendengarnya, akan muncullah di dalam masyarakat beberapa ungkapan lain dengan menggunakan pola yang sama seperti yang diucapkan presiden atau wakil presiden.

2. Menko dan Menteri

Para menko dan menteri memiliki kekuasaan yang besar dalam mengemudikan negara dan bangsa ini. Mereka, sebagai pembantu presiden mempunyai wewenang untuk menyusun

kebijakan dalam bidangnya masing-masing. Ketika menyampaikan kebijakannya itulah, seperti ketika memimpin rapat kerja departemen, ketika melangsungkan dengar pedapat di DPR, atau ketika memberikan keterangan melalui TVRI, para menko dan menteri sepatutnya menggunakan bahasa yang baik dan benar. Ucapan mereka akan berpengaruh bagi aparat bawahannya dan tidak mustahil dalam waktu singkat ucapan itu akan tersebar luas ke seluruh pelosok tanah air.

3. Pemimpin Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara

Ketua dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Gubernur Bank Indonesia, dan Jaksa Agung merupakan pejabat yang ucapan-ucapan mereka akan terasa membekas di hati pendengarnya. Demikian juga, pemimpin instansi nondepartemen, seperti Ketua LIPI, Kepala BP-7, Ketua LAN, dan Ketua BKKBN, adalah pejabat yang kata-katanya menjadi menjadi perhatian seluruh masyarakat. Para pendengar akan terkesan dengan contoh dan ilustrasi yang dikemukakan oleh para ketua lembaga tertinggi/tinggi negara dan pemimpin instansi nondepartemen tersebut, selanjutnya, pemakaian bahasa mereka turut mewarnai pemakaian bahasa para pejabat yang lain, baik di pusat maupun di daerah.

4. Pemimpin ABRI

Instruksi yang disampaikan oleh pemimpin ABRI, baik secara lisan maupun secara tertulis, hendaklah jelas dan lugas aga instruksi tersebut tidak menimbulkan salah paham bagi penerima instruksi. Kesalahpahaman akan menghasilkan salah arah dan salah langkah bagi kesatuan-kesatuan yang lebih kecil. Agar terasa jelas dan lugas, hendaklah instruksi itu disusun dalam kalimat yang efektif dengan penataan penalaran yang baik.

5. Guru dan Dosen

Prof. Dr. J.S. Badudu dalam suatu acara “Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI” mengatakan bahwa tulisan atau karangan siswa dan mahasiswa di sekolah-sekolah, baik di tingkat dasar, tingkat menengah, maupun tingkat perguruan tinggi rata-rata buruk. Mereka banyak membuat kesalahan dalam pemakaian ejaan, pemilihan kata, atau dalam penyusunan kalimat. Disarankan oleh guru besar Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran agar guru dan dosen bahasa Indonesia mau mengoreksi tulisan anak-anak dan memberikan bentuk yang betul. Dalam

hubungan itu, yang diinginkan oleh Badudu agar guru dan dosen bahasa Indonesia menguasai lebih dahulu kaidah-kaidah bahasa yang berlaku. Bahkan, agar para siswa dan mahasisiwa terbiasa berbahasa yang benar. Guru dan dosen bidang studi lain pun diharapkan dapat membantu tugas guru bahasa Indonesia. Dengan begitu. Para siswa dan mahasiswa tidak akan dipusingkan oleh anjuran yang berbeda, yaitu guru bahasa Indonesia menganjurkan “begini”, sedangkan guru bidang studi lain menganjurkan “begitu” dalam pemakaian bahasa.

6. Wartawan dan Penerbit

Para wartawan TVRI/RRI serta wartawan berbagai surat kabar dan majalah redaksi penerbit sangat besar peranannya dalam pembinaan bahasa Indonesia. Berita pada TVRI, RRI, surat kabar, dan majalah, serta tulisan dalam buku-buku yang merupakan produk wartawan dan redaksi penerbit sangat mewarnai pemakaian bahasa dalam masyarakat. Oleh karena itu, suatu hal yang sangat masuk akal jika para wartawan dan redaksi penerbit perlu meningkatkan kemahirannya dalam memperagakan bahasa yang baik dan benar dalam tulisan-tulisan mereka.

Berkenaan dengan pemakaian bahasa Indonesia khususnya di radio siaran, Menteri Penerangan, dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa masih banyak radio siaran yang mengabaikan ajakan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahkan tidak jarang pula yang ikut-ikutan menggunakan “bahasa rusak”. Untuk itu, diharapkan agar bahasa Indonesia yang digunakan di radio siaran dapat dijadikan anutan dalam penggunaan bahasa baku. Di samping iu, fasilitas ini harus bersifat mendidik memenuhi selera yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat pendengar.

Pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap acara resmi atau formal di TVRI, RRI, surat kabar, majalah, dan buku merupakan guru yang paling berpengaruh dan akan mempunyai dampak yang positif dalam pemakaian bahasa masyarakat. Sebaliknya, jika bahasa dalam media massa elektonika dan media massa cetak, atau bahasa dalam buku kacau, pengaruh yang ditimbulkannya akan segera meraja lela ke semua pemakai bahasa, terutama berpengaruh kepada mereka yang awam bahasa. Dalam kaitan ini, penulis berpendapat bahwa usaha guru dan dosen bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dalam membina anak didik untuk berbahasa yang benar akan hilang tanpa bekas jika bahasa yang digunakan para penyiar televisi dan radio, surat kabar, dan buku kurang menunjang karena anjuran guru di dalam kelas berbeda dengan pemakaian bahasa dalam media massa dan dalam buku, di luar kelas.

Karena bahasa dalam setiap acara televisi, radio, dan bahasa surat kabar, majalah, serta buku merupakan guru yang paling berpengaruh dan jangkauannya paling luas, hendaknya semua pihak yang menangani media massa elektronika/cetak tersebut menuangkan pikirannya dengan tertib dan cermat. Untuk itu, langkah-langkah yang berikut agaknya patut dipertimbangkan.

1) Pihak redaksi mengadakan kursus bahasa Indonesia seacara intensif dan terus menerus bagi karyawannya, dari pegawai yang satu ke pegawai yang lain, seperti pemimpin redaksi, wartawan, pengetik, penyunting, pemeriksa, penegeset (tukang set).

2) Pegawai baru yang akan bekerja di media massa elektronika/cetak hendaknya betul-betul memiliki kemahiran berbahasa yang memadai (dibuktikan dari hasil tes bahasa).

3) Pihak TVRI dan RRI hendaknya selalu mengingatkan setiap orang/pejabat yang akan tampil di TVRI atau RRI untuk berbahasa dengan cermat dan tertib.

4) Setiap penerbit buku selayaknya mempunyai tenaga penyunting bahasa yang betul-betul menguasai aturan bahasa.

7. Sekretaris dan Pengonsep Pidato

Bahwa peranan sekretaris dan para pengonsep pidato sangat besar dalam pembinaan bahasa Indonesia masyarakattidak dapat dimungkiri. Para sekretaris yang tugas sehari-harinya menulis ide dan gagasan pemimpin instansinya wajib menguasai kaidah-kaidah bahasa. Surat-surat yang ditulisnya seharusnya terhindar dari kesalahan penerapan ejaan, penyusunan kalimat, dan penataan penalaran agar surat yang dihasilkannya membawa pengaruh bahasa yang baik bagi pembacanya. Demikian juga, pengaruh pengonsep pidato. Tulisannya yang kemudian diucapkan oleh pemimpin instansinya akan didengarkan oleh ratusan atau ribuan karyawan. Lebih-lebih lagi jika pidato yang ditulis oleh sekretaris itu disampaikan oleh kepala negara. Pidato itu akan disimak oleh berjuta-juta orang di seluruh wilayah negara. Susunan kalimat yang baik dengan disertai nalar yang jernih dalam pidato juga akan melahirkan pengalaman berbahasa yang baik bagi berjuta-juta pendengarnya.

8. Pemuka Agama

Sudah kita ketahui bahwa para pemuka agama berfungsi sebagai penyebar kebajikan yang dibawa ajaran agamanya masing-masing. Mubalig akan berceramah di majelis taklim di masjid; pendeta akan berkotbah dan memimpin kebaktian di gereja, di tempat yang kudus,

Demikian juga, pemimpin agama yang lain akan berkhotbah di tempat ibadat bagi agamanya. Fatwa mereka akan menyentuh lubuk hati yang paling dalam bagi umatnya. Petuah dan nasihatnya selalu direnungkan oleh jemaatnya. Kemudian, para jemaat akan berusaha sedapat-dapatnya melaksanakan fatwa dan nasihat pemimpin agamanya. Dalam kaitan inilah, pemakaian bahasa yang tertib dan cermat oleh para pemuka agama akan menjadi teladan bagi umatnya.

Jika seorang pemuka agama, misalnya dalam suatu khotbahnya menggunakan ungkapan Tuhan Yang Kekasih, ungkapan tersebut akan digunakan pula oleh, sekurang-kurangnya, umat yang mendengarkan khotbah tersebut. Padahal, ungkapan itu tidak tepat karena kata Tuhan termasuk nomina atau kata benda yang diterangkan oleh yang kekasih yang juga nomina. Seharusnya kata Tuhan diterangkan oleh verba (kata kerja) atau kata sifat, seperti Tuhan Yang Maha Mengasihi atau Tuhan Yang Maha Pengasih, atau TuhanYang Mahakasih.

Selain pejabat dan tokoh yang sudah disebutkan, sebenarnya masih banyak atau pemimpin instansi, baik di kalangan pemerintaan, kalangan swasta, maupun di kalangan organisasi massa seperti gubernur, bupati, rektor, direktur utama, dan ketua umum suatu organisasi massa yang harus menjadi anutan bawahannya dalam berbahasa yang benar. Pada dasarnya, semua pemimpin yang membawahkan berjuta-juta rakyat, seperti pemimpin negara, maupun pemimpin yang membawahkan beberapa orang saja, seperti pemimpin kantor kelurahan.

7. BENTUK BAKU DAN TIDAK BAKU

1. Manakah pelafalan ABRI yang benar [abri] atau [a-be-er-i]?

Singkatan dan akronim dalam bahasa Indonesia dilafalkan dengan cara yang berbeda. Singkatan selain dilafalkan huruf demi huruf, juga dilafalkan sesuai dengan bentuk lengkapnya, seangkan akronim lazimnya dilafalkan sebagaimana kata biasa. Sejalan dengan itu, SMAN, misalnya seperti halnya BRI, BNI, dan DPR tergolong singkatanyang dilafalkan huruf demi huruf . Oleh karena itu singkatan tersebut dilafalkan dengan [es-em-a- en]. [be-er-i], [be-en-i], dan [de-pe-er].

Berbeda dengan singkatan itu ABRI dapat dilafalkan dengan dua cara berdasarkan dua pertimbangan yang berbeda. Jika dipandang sebagai singkatan, ABRI dilafalkan huruf demi huruf menjadi [a-be-er-i]. Akan tetapi, jika dipandang sebagai akronim, ABRI dilafalkan dengan [abri].

Dua sudaut pandang itu timbul karena di satu pihak ABRI dapat dipandang sebagai singkatan dan di pihak lain dapat dipandang sebagai akronim. ABRI dapat dipandang sebagai sangkatan karena terbentuk dari gabungan huruf awal suatu kata, seperti halnya BRI,BNI,dan DPR. Di pihak lain, ABRI dapat dipandang sebagai akronim karena dapat dilafalkan sebagai kata biasa, seperti halnya SIM, Akmil, dan tilang. Dengan demikian, perbedaan sudut pandang itu pun pada akhirnya dapat menyebabkan perbedaan dalam pelafalannya.

Walaupun dapat dilafalkan dengan dua cara , pelafalan yang lazim untuk ABRI ialah [abri]. Sangat jarang pemakai bahasa yang melafalkan dengan [a-be-er-i]. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ABRI lebih cenderung dipandang sebagai akronim.

2. Bagaimanakh melafalkan singkatan dan akronim asing?

Singkatan akronim asing pelafalannya diperlakukan agak berbeda dengan singkatan dan akronim bahasa Indonesia. Sebagai singkatan, huruf dari bahasa mana pun dilafalkan menurut

namanya dalam abjad bahasa kita. Oleh karena itu, singkatan asing pun dilafalkan seperti halnya bahasa kita.

Misalnya:

Singkatan Lafal baku Lafal Tidak baku

FAO [ef-a-o] [ef-ey-ow]

IGGI [i-ge-ge-i] [ay-ji-ji-ay]

BBC [be-be-ce] [bi-bi-si], [be-be-se]

AC [a-ce] [ei-si], [a-se]

WC [we-ce] [dabiyu-si], [we-se]

TV [te-ve] [ti-vi]

TVRI [te-ve-er-i] [ti-vi-er-i]

Ketika bahasa Indonesia masih menggunakan ejaan lama, pelafalan [be-be-se], [a-se], dan [we-se] untuk singkatan asing BBC,AC, dan WC dapat dibenarkan sebab pelafalan itu sesuai dengan nama huruf c dalam ejaan lama, yaitu se. Akan tetapi, sejak EYD diresmikan dan nama huruf c mengalami perubahan dalam abjad kita, pelafalan BBC, AC, dan WC pun berubah sesuai dengan nama huruf yang berlaku sekarang. Dengan demikian, pelafalan BBC, AC, dan WC dengan [be-be-se, [a-se], dan [we-se] sekarang dipandang tidak baku. Pelafalannya yang baku ialah [be-be-ce], [a-ce], dan [we-ce] karena disesuaikan dengan nama huruf c, yaitu [ce].

Dalam hubungan itu, singkatan asing tidak dilafalkan sesuai dengan lafal asingnya karena hal itu dapat menyulitkan para pemakai bahasa kita. Jika singkatan dari bahasa Inggris harus dilafalkan menurut nama huruf dalam bahasa Inggris, misalnya , bagaimana kalau kita dihadapkan pada singkatan dari bahasa asing yang lain, seperti Prancis, Rusia, Jerman, dan Jepang? Berapa banyak masyarakat kita yang mengenal nama huruf di dalam bahasa-bahasa itu? Bagaimana pula melafalkan huruf dalam bahasa-bahasa itu, tentu tidak banyak yang tahu.

Dengan pertimbangan bahwa orang Indonesia yang paham bahasa Indonesia dengan abjadnya lebih banyak daripada jumlah orang yang mengenal bahasa asing dengan abjadnya, sebaiknya singkatan dari bahasa mana pun, demi kejelasan informasi yang akan disampaikan kepada masyarakat luas, dilafalkan menurut nama huruf yang terdapat dalam abjad bahasa Indonesia. Jadi, singkatan asing yang terdapat dalam bahasa Indonesia tetap dilafalkan sesuai dengan lafal bahasa Indonesia.

Berbeda dengan singkatan, akronim lazimnya dipandang seperti halnya kata biasa. Dalam hal ini, akronim asing pun dipandang identik dengan kata asing. Kalau kata asing dilafalkan mengikuti lafal aslinya, akronim asing pun dilafalkan sesuai dengan lafal akronim itu dalam bahasa aslinya. Dengan demkian, akronim asing yang digunakan dalam bahasa Indonesia, terutama yang pemakaiannya sudah bersifat internasional, dilafalkan sesuai dengan lafal bahasa aslinya.

Misalnya:

Akronim Lafal baku lafal Tidak Baku

Unesco [yunesko] [unesko]

Unicef [yunisyef] [unicef]

3. Bagaimana melafalkan huruf c pada kata pasca dan civitas academica?

Kata pasca dan civitas academica berasal dari bahasa yang berbeda. Kata pasca berasal dari bahasa Sanskerta, sedangkan civitas academica dari bahasa Latin. Oleh karena asalnya berbeda, cara melafalkannya pun tidak sama.

Huruf c pada kata pasca, sesuai dengan bahasa aslnya, dilafalkan dengan [c], dan bukan [k]. Sejalan dengan itu, kata pasca pun dalam bahasa kita dilafalkan dengan [pasca], bukan [paska], misalnya pada pascapanen [pascapanen] dan pascasarjana [pascasarjana]. Di dalam kamus pun tidak ada keterangan yang memberi petunjuk bahwa pasca harus dilafalkan [paska]. Oleh karena itu, pascapanen dan pascasarjana tidak dilafalkan dengan [paskapanen] dan [paskasarjana], tetapi dilafalkan dengan [pascapanen] dan [pascasarjana]. Bandingkan pelafalan pasca dengan panca, yang juga merupakan unsur serapan dari bahasa yang sama, yaitu bahasa Sanskerta. Dalam hal ini panca pun dilafalkan dengan [panca], bukan [panka], misalnya pada kata Pancasila dan pancakrida.

Huruf c dari bahasa latin, seperti halnya dari bahasa Inggris, tidak dilafalkan dengan [c], tetapi di satu pihak huruf itu dapat dilafalkan dengan [s], dan di pihak lain huruf itu dapat

dilafalkan dengan [k]. Huruf c asing, sesuai dengan penyerapannya, dilafalkan dengan [s] jika huruf itu diikuti oleh huruf e, i, dan y.

Misalnya:

cent --- sen central --- sentral circulation --- sirkulasi cylinder --- silinder

Huruf c asing dilafalkan dengan [k] jika huruf itu diikuti oleh huruf a, u, o, dan konsonan. Misalnya: corelation --- korelasi calculation --- kalkulasi cubic --- kubik construction --- konstruksi classification --- kalsifikasi

Sejalan dengan keterangan itu, huruf c pada civitas pun dilafalkan dengan [s] karena terletak di muka i, tetapi pada academica, huruf c dilafalkan dengan [k] karena terletak di muka a. Dengan demikian, civitas academica dilafalkan dengan [sivitas akademika], bukan [sivitas academica].

4. Bagaimanakah melafalkan angka tahun 1989 yang benar dan melafalkan angka 0?

Sampai saat ini pelafalan angka tahun dan angka memang masih cukup bervariasi. Tahun 1989, misalnya, ada yang melafalkannya dengan [satu-sembilan-delapan sembilan] atau angka demi angka, tetapi ada pula yang melafalkannya dengan [sembilan belas delapan- sembilan]. Di samping itu, tidak sedikit juga yang melafalkannya dengan [seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan]. Dari berbagai variasi itu, pelafalan yang dipandang resmi adalah pelafalan yang terakhir, yaitu [seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan]. Pelafalan itu pulalah yang sebaiknya digunakan, sedangkan dua pelafalan yang lain dipadang tidak baku,

Angka 0 berarti ‘kosong’atau ‘tidak ada apa-apanya’. Dalam bahasa kita pelafalan angka itu, yang sebaiknya digunakan adalah [nol], bukan [kosong]. Misalnya, nomor telepon 306039

dilafalkan dengan [tiga-nol-enam-nol-tiga-sembilan], bukan [tiga-kosong-enam-kosong-tiga-sembilan].

Pelafalan angka 0 dengan [kosong] kemungkinan dipengaruhi oleh bahasa Inggris zero , yang dalam bahasa kita memang sering diterjemahkan dengan kosong

5. Manakah pelafalan yang benar [energi], [enerkhi], atau [enerji]?

Kata energi dalam bahasa Indonesia diserap dari kata asing energy (Inggris). Sesusi dengan nama huruf di dalam abjad bahasa Indonesia, huruf g tetap dilafalkan dengan [g], bukan [kh] atau [j]. Oleh karena itu pelafalan yang baku untuk kata energi adalah [energi], bukan [enerkhi] atau [enerji].

Pelafalan g dengan [kh] diduga merupakan pengaruh dari lafal bahasa Belanda, sedangkan dengan [j] diduga pengaruh lafal bahasa Inggris. Dalam berbahasa Indonesia yang baik, pelafalan yang terpengaruh bahasa asing itu patut dihindari karena lafal bahasa Indonesia yang baik adalah lafal yang tidak menampakkan pengaruh dari bahasa lain, baik bahasa daerah maupun bahasa asing.

Beberapa contoh pelafalan kata yang serupa dapat dilihat di bawah ini. Kata Lafal Baku Lafal Tidak Baku biologi [biologi] [biolokhi], [bioloji] teknologi [teknologi] [teknolokhi], [teknoloji] filologi [filologi] [filolokhi], [filoloji] sosiologi [sosiologi] [sosiolokhi], [sosioloji]

fonologi [fonologi] [fonolokhi], [fonoloji] Seperti tampak pada contoh di atas, lafal yang baku adalah lafal yang sebaiknya digunakan, sedangkan yang tidak baku sebaiknya kita hindari.

6. Pusat Pendidikan dan Latihan atau Pusat Pendidikan dan Pelatihan?

Jika pendidikan itu diartikan ‘proses mendidik’ dan didikan diartikan’ hasil mendidik’, dengan taat asas ‘ proses melatih’ akan menjadi pelatihan, dan latihan akan diartikan ‘hasil

melatih, ‘yang dilatihkan’. Sejalan dengan itu, yang benar adalah Pusat Pendidikan dan Pelatihan, bukan Pusat pendidikan dan Latihan.

7. Bebas parkir atau parkir gratis?

Kata free parking berarti ’dibebaskan dari pembayaran parkir, parkir gratis atau parkir cuma-cuma. Kata no parking berarti ‘dilarang parkir’atau ‘bebas parkir’ atau ‘bebas dari parkir’. Kawasan bebas becak berarti ‘tempat yang bebas dari becak’, bebas banjir ‘bebas dari banjir’, bebas pajak ‘ bebas dari pajak.

Tidak tepat jika free parking dipadankan dengan bebas parkir. Yang benar untuk kata free parking adalah ‘parkir gratis’, ‘parkir tanpa bayar’.

8. Sudah benarkah penulisan (1) mengolahragakan masyarakat, (2) ulang tahun Korpri ke-14, (3) Digahayu HUT RI ke XXX?

(1) Untuk mengimbau masyarakat agar gemar berolahraga dipakai orang ungkapan mengolahragakan masyarakat.Ungkapan itu kurang tepat. Imbuhan me-....-kan pada bentuk mengolahragakan masyarakat, menurut kaidah bahasa Indonesia berarti ‘membuat ... jadi ....’ , yakni’ membuat masyarakat menjadi olah raga’. Untuk mengungkapkan arti ‘membuat masyarakat berolah raga’ hendaklah digunakan imbuhan memper- ... –kan. Jadi bentuk yang benar adalah memperolahragakan masyarakat, bukan mengolahragakan masyarakat.

(2) Bentuk Ulang Tahun Korpri ke-14 dianggap kurang cermat karena dapat ditafsirkan bahwa di negara kita sekurang-kurangnya ada 14 macam Korpri. Yang berulang tahun pada saat itu adalah Kopri ke -14. Dalam penyusunan kata yang cermat, sebaiknya ke -14 itu didekatkan

Dalam dokumen materi pembinaan dan pengembangan bahasa (Halaman 22-42)

Dokumen terkait