• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Kehidupan masyarakat di Kepulauan Lease Kabupaten Maluku Tengah, tidak dapat dipisahkan dari sumberdaya pesisir dan laut dengan sejumlah nilai lokal (tradisi) yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi atau kebiasaan menangkap ikan sejak jaman nenek moyang masih dipertahankan oleh masyarakat setempat, terutama yang unik dan spesifik. Salah satu keunikan yang menarik untuk dikaji adalah nilia-nilai lokal yang diterapkan masyarakat Lease pada lokasi-lokasi spesifik yang disebut pasi. Pasi adalah daerah penangkapan ikan bae. Pasi berasal dari kata pas yang berarti tepat pada posisi ikan berada, sedangkan bae artinya baik atau istimewa, karena pada jaman dulu jenis ikan ini disajikan sebagai menu istimewa/khusus pada jamuan makan para tamu raja-raja di Lease dan hari-hari bae/baik/istimewa atau bahagia dari masyarakat di Kepulauan Lease (Matrutty 2011). Ikan bae adalah jenis-jenis ikan kakap merah laut dalam dari famili Lutjanidae. Jenis-jenis ikan ini merupakan salah satu komoditi ekspor dengan nilai cukup tinggi, karena sangat digemari oleh masyarakat, baik di tingkat lokal, regional maupun internasional (Andrade 2003).

Sejak dulu masyarakat di Kepulauan Lease menyadari pentingnya laut dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya, terutama pasi yang identik dengan ikan kakap merah (ikan bae) karena dianggap telah memberikan nilai dan manfaat tersendiri, yaitu: sebagai lambang persatuan dan solidaritas sejak jaman nenek moyang. Untuk itu dalam pemanfaatannya, pasi diperlakukan secara khusus dengan syarat maupun aturan-aturan yang mengandung nilai-nilai khusus pula. Walaupun disadari sebagian nilai sudah mulai hilang, atau dilupakan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sebagian masih ditemukan pada beberapa komunitas negeri adat di Lease. Hal ini dipertahankan/dijalankan sebagai wujud beretika dan bertanggungjawab serta penghormatan terhadap alam dan warisan para leluhurnya. Hal ini tercermin dari berbagai larangan tidak tertulis yang begitu dipertahankan oleh nelayan di kawasan ini. Nilai-nilai yang dibangun serta terpelihara di dalam masyarakat di Lease tentang pasi dan ikan bae diduga mengandung unsur-unsur pengelolaan sumberdaya perikanan. Nilai-nilai apa saja yang terkandung didalam aturan-aturan tidak tertulis dalam pemanfaatan pasi dan berapa besar nilai-nilai tersebut mengandung unsur-unsur pengelolaan penting untuk dikaji.

Gadgil et al. (1993) menyatakan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam, merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan. Menurut Marini (2000) yang dikutip oleh Macionis (2009) nilai adalah keyakinan evaluatif yang mensintesis elemen afektif dan kognitif manusia dan berorientasi terhadap dunia dimana dia hidup. Selanjutnya menurut Maio et al. (2003), nilai itu berasal dari dalam, tetapi juga pengaruh kelompok sosial masyarakat. Gadgil et al. (1993) menjelaskan bahwa bentuk dan pola pemanfaatan sumberdaya yang mengandung nilai tradisional dan sederhana merupakan potensi dalam upaya pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam

yang lestari atau berkelanjutan. Ruddle et al. (1992) menjelaskan bahwa Indonesia memiliki model pengelolaan berbasis masyarakat yang sangat kaya untuk pemanfaatan sumberdaya kelautan yang bersifat komunal dengan penerapan hak-hak ulayat dan sanksi dari masyarakat. Hal ini senada dengan amanat Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagai pengganti UU No. 09 Tahun 1985 pasal 6 ayat (2) yang menyatakan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran-serta masyarakat.

Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat berupaya untuk mencari jawaban terhadap masalah utama lewat partisipasi aktif dan bermakna dari masyarakat wilayah pesisir. Istilah berbasis masyarakat dapat diartikan bahwa pengguna utama sumberdaya yaitu masyarakat, haruslah menjadi pengelola yang baik terhadap sumberdaya mereka (Tulungan et al. 2002). Indikator pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat adalah mempertahankan biodiversitas, melindungi identitas sosial masyarakat, konsistensi dengan budaya lokal dan konsistensi dengan aspirasi lokal (Nikijuluw 2002).

Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang dilaksanakan oleh masyarakat Muluku yang keberadaannya sudah sejak dulu kala, dikenal dengan sebutan sasi. Sasi berasal dari kata sanksi (witnes) yang mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumberdaya alam tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey and Zemer 1992). Secara umum orang hanya mengenal sasi sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat di Maluku dan sudah menjadi objek berbagai penelitian kajian diantaranya (Bailey and Zemer 1992; Novaczek et al. 2001; Nikijuluw 2002; Pical 2007). Kekayaan sosial-budaya masyarakat Maluku terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan bukan hanya sasi, namun ada juga bentuk-bentuk lain yang sampai saat ini masih dijaga, dipraktekan dan mimiliki kekuatan di masyarakat. Satu diantaranya adalah sistem nilai perikanan pasi di Kepulauan Lease Kabupaten Maluku Tengah. Sistem ini diyakini memiliki nilai-nilai kelestarian terhadap sumberdaya perikanan yang dieksploitasi. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi nilai-nilai yang terkandung dalam sistem perikanan pasi dan menganalisis seberapa besar sistem tersebut mengandung unsur pengelolaan sumberdaya perikanan.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilakukan sejak Januari-Juni 2012 di Kepulauan Lease, Kabupaten Maluku Tengah. Kepulauan Lease terdiri dari 4 pulau, yakni: Pulau Haruku, Saparua, Nusalaut dan Molana. Pulau Molana tanpa penghuni, sedangkan ketiga pulau lainnya berpenghuni. Masyarakat dari ketiga pulau dikenal dengan sebutan masyarakat Lease. Aktivitas penangkapan ikan pada pasi sebagai lokasi spesifik dari jenis-jenis ikan kakap merah (ikan bae), serta nilai dan manfaat ikan bae dalam kehidupan masyarakat setempat yang menjadi fokus penelitian ini.

Pengambilan data dilakukan melalui dua pendekatan berikut: Pertama pendekatan kelompok diskusi terfokus (focus group discussions) yang diperuntukan bagi tokoh agama, tokoh adat, dan pemerintah desa. Data dan informasi yang ingin diperoleh dari kelompok diskusi ini adalah kepemilikan dan

pengusahaan pasi, serta tradisi/kebiasaan masyarakat memanfaatkan ikan bae di pasi. Kedua metode observasi dan wawancara tidak terstruktur, dengan hanya berpedoman pada topik yang diteliti sesuai lingkup penelitian. Berdasarkan pedoman ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti di lapangan. Wawancara langsung terhadap nelayan yang benar-benar memanfaatkan pasi (60 responden), istri nelayan (30 responden) dan anak-anak nelayan (20 responden). Observasi dilakukan terhadap metode penangkapan ikan, dimulai dari tahap persiapan di darat, menuju dan tiba di pasi, proses pemancingan sampai kembali. Observasi dan wawancara juga dilakukan terhadap alat penangkapan yang digunakan, jenis, ukuran dan kedalaman ikan tertangkap. Sampel ditentukan secara purposif dengan mengambil sampel dari populasi berdasarkan suatu pertimbangan tertentu (Sugiyono 2011:387).

Analisis data dilakukan secara deskriptif, yaitu menggambarkan secara menyeluruh dan utuh mengenai hakekat nilai-nilai yang hidup dan terpelihara di dalam masyarakat. Nilai-nilai dimaksud memiliki hubungan dengan pasi sebagai daerah penangkapan ikan (DPI) spesifik dari jenis ikan kakap merah (ikan bae). Identifikasi nilai-nilai dasar kemudian dikelompokan berdasarkan komponen nilai ekologi, sosial dan teknologi. Analisis keterkaitan hubungan dilakukan antara nilai-nilai dasar terhadap setiap kompositnya. Komponen nilai dan kompositnya ditentukan dengan berpedoman pada komponen nilai-nilai sosial yang dikemukakan Pranadji (2004). Sedangkan komponen nilai ekologi dan teknologi serta kompositnya dirumuskan sendiri oleh peneliti dengan membuat definisi tambahan sesuai objek penelitian. Keterkaitan hubungan antara nilai-nilai dasar dan komposit kelestarian dilakukan dengan cara memberikan tanda positif (+) satu sampai tiga. Satu tanda positif diberi bobot 1 (satu). Tanda positif tiga (+++) menjelaskan keterkaitan hubungan sangat kuat, positif dua (++) menjelaskan keterkaitan hubungan sedang, dan positif satu (+) menjelaskan keterkaitan hubungan rendah. Kriteria penentuan bobot/keterkaitan nilai-nilai dasar dengan kompositnya didefinisikan sebagai berikut:

Jika hubungan nilai kuat, dan implementasi baik Jika hubungan lemah, implementasi baik Jika hubungan kuat, implementasi lemah

Jika hubungan lemah, implementasi lemah

= = = = +++ ++ ++ +

Keterkaitan nilai-nilai dasar dengan komponen kelestariannya dihitung dengan membandingkan jumlah skor yang dicapai setiap komponen dibagi total skor pada komponen dikali 100 % yang dirumuskan sebagai berikut:

X= (ni/Ni) x 100 % Keterangan:

X = Kekuatan hubungan/keterkaitan

n = Jumlah skor yang dicapai pada komponen ke-i N = Total skor komponen ke-i

Hasil dan Pembahasan

Indetifikasi Sistem Nilai Perikanan Pasi

Masyarakat di Kepulauan Lease memiliki kebiasaan khusus dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang berlangsung secara terus menerus. Hal ini membuat mereka lebih menghargai dan mencintai alam sekitarnya yang sendirinya membentuk perilaku dalam merawat dan memelihara dengan cara-cara atau kebiasaan mereka. Kebiasaan menangkap ikan kakap merah (ikan bae) pada lokasi-lokasi spesifik yang disebut pasi dilakukan dengan syarat-syarat khusus yang mengandung nilai- nilai khusus. Ikan bae dianggap memiliki nilai sosial yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat di kepulaun Lease. Nilai-nilai ini hidup dan terpelihara dalam kehidupan masyarakat dan membentuk satu sistem nilai yang pada penulisan disebut sistem nilai perikanan pasi.

Hasil identifikasi terhadap nilai-nilai lokal yang diwariskan secara turun temurun dalam hubungannya dengan pasi sebagai daerah penangkapan spesifik ikan bae diperoleh 23 nilai dasar (Lampiran 4). Dari 23 nilai dasar tersebut dikelompokan dalam 3 (tiga) komponen nilai, yaitu: komponen nilai-nilai dasar ekologi (NE), komponen nilai-nilai dasar sosial (NS) dan komponen nilai-nilai dasar teknologi (NT) (Tabel 26, 27 dan 30). Nilai-nilai ini merupakan suatu sistem yang sudah dijalani oleh masyarakat di Lease sejak jaman dahulu dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan kakap merah pada pasi. Ivancevich et al. (2005) menyatakan bahwa sistem nilai merupakan keinginan efektif, kesadaran yang membimbing perilaku, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan dikomunikasikan melalui pendidikan, agama, keluarga, komunitas dan organisasi. Sistem nilai adalah keseluruhan konsep yang saling berhubungan dan mempengaruhi, tentang baik buruk berdasarkan keyakinan tertentu. Selanjutnya, nilai-nilai perikanan pasi yang diperoleh dideskripsikan dan dianalisis lebih dalam untuk mengetahui sejauh mana nilai-nilai yang tersebut mengandung unsur pengelolaan sumberdaya perikanan. Deskripsi masing-masing komponen sebagai berikut.

Komponen Sistem Nilai Ekologi

Daerah penangkapan jenis-jenis ikan kakap merah atau ikan bae adalah daerah yang selama ini dikenal oleh masyarakat nelayan di Kepulauan Lease dengan nama pasi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pasi berasal dari kata pas atau tepat pada posisi ikan, karena jika tidak tepat atau sesuai dengan posisi, maka nelayan tidak dapat menangkap ikan sesuai jenis yang diharapkan. Untuk memastikan posisi pasi, nelayan biasanya menggunakan beberapa pendekatan ekologi seperti, letak geografis, jenis substrat dan kedalaman perairan. Pengetahuan mendeteksi lokasi pasi diperoleh dari pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun. Langkah-langkah yang dilakukan nelayan untuk memastikan posisi pasi sebagai berikut:

Pertama; penentuan letak pasi. Kemampuan nelayan untuk mendeteksi pasi dilakukan dengan cara membaring titik-titik tertentu seperti tanjung, gunung, pohon maupun benda lain yang ada di daratan. Pembaringan dilakukan terhadap dua sampai tiga titik pada arah yang berbeda, untuk mendapatkan posisi pasi yang tepat. Kemampuan ini tidak dimiliki oleh semua nelayan sehingga biasanya

nelayan yang belum berpengalaman selalu mengikuti nelayan yang berpengalaman.

Kedua; memastikan jenis substrat dasar perairan. Dilakukan dengan meletakan telinga ke permukaan air sambil memukul dayung ke permukaan air. Jika terdengar bunyi yang nyaring maka substrat dasarnya dominan batu atau terumbu karang, sebaliknya bunyi yang relatif kecil atau nyaris tidak terdengar maka susbtrat dasar pasi dominan pasir atau lumpur. Nelayan akan menggunakan alat tangkap pancing dengan konstruksi 1-2 mata pancing (hook) apabila memancing pada pasi dengan subtrat dasar berbatu atau karang. Sebaliknya menggunakan alat pancing dengan konstruksi >2 mata pancing apabila memancing pada pasi dengan substrat dasar pasir atau lumpur. Ini dimaksudkan agar mata pancing tidak terkait pada substrat dasar berbatu yang dapat mengakibatkan putusnya tali pancing.

Ketiga; Menentukan kedalaman perairan lapisan renang ikan, untuk memperhitungkan berapa panjang tali pancing (line) yang akan diturunkan ke dalam laut. Perkiraan kedalaman tiap pasi diketahui dengan cara menghitung berapa kali rentangan tangan (depa) saat menurunkan tali pancing. Saat mengulurkan tali pancing dan kedalaman yang didapat tidak sesuai dengan kedalaman pasi yang telah diketahui sebelumnya, maka dipastikan itu bukan posisi pasi. Lapisan renang ikan diduga dengan cara menurunkan mata pancing sampai ke dasar perairan kemudian ditarik perlahan-lahan dengan harapan mata pancing berada pada kisaran kedalaman yang diduga merupakan lapisan renang ikan.

Keempat; Menduga kecepatan arus. Keberhasilan penangkapan juga sangat ditentukan oleh kuat lemahnya arus pada saat pemancingan karena arus yang kuat dapat memindahkan mata pancing dari lokasi yang diinginkan. Jika arus relatif. Menduga kuat lemahnya arus dasar perairan dilakukan dengan cara yang sama seperti menduga kedalaman perairan. Pendeteksian dilakukan dengan memperkirakan bunyi air, dengan cara menempelkan telinga pada permukaan air untuk mendengar gemuruh arus bawah laut. Semakin kuat gemuruh air maka kecepatan arus dasar dipastikan kuat. Jika arus kuat, nelayan akan meninggalkan pasi tersebut dan mencari pasi lainnya yang kecepatan arus relatif lebih lemah untuk melakukan pemancingan.

Nelayan pada kawasan penelitian memandang daerah penangkapan ikan (DPI) kakap merah atau pasi sebagai tempat mencari nafkah, sehingga ada ketentuan yang harus ditaati semua nelayan jika berada di pasi. Beberapa hal yang tidak diperkenankan dilaksanakan di pasi diantaranya; (1) tidak boleh membuang sampah dan membuang hajat di pasi, (2) tidak diperkenankan membuat keributan di pasi, seperti saling merebut DPI, (3) tidak diperkenankan untuk mengeluarkan kata kotor atau cacian di wilayah pasi, (4) penanganan ikan yang sudah tertangkap harus hati-hati agar tidak terjatuh kembali ke laut. Jika ada ikan terjatuh maka nelayan akan menghentikan aktivitas penangkapan karena tidak akan mendapat tangkapan lagi dalam proses selanjutnya. Nelayan yang melakukan kesalahan, akan meminta maaf kepada semua nelayan yang memancing saat itu sebagai tanggung jawab moral atas kesalahannya, (5) tidak diperkenankan melakukan penangkapan dengan alat tangkap destruktif seperti pemboman dan pembiusan. Larangan-larangan ini menunjukkan bahwa ada nilai ekologi yang tetap dipertahankan oleh nelayan, yakni menjaga kelestarian ekosistem dengan tidak

membuang sampah sembarangan, tidak melakukan penangkapan yang merusak lingkungan (bom dan pembiusan ikan) yang dapat merusak ekosistem kawasan.

Kelestarian suatu daerah penangkapan ikan ditentukan oleh sejumlah nilai yang hidup dalam kehidupan masyarakat sehari-hari pada daerah tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas teridentifikasi 7 (tujuh) nilai dasar ekologi (NE) yang terkandung dalam sistem perikanan pasi. Nilai-nilai dasar ekologi dan penjelasannya disajikan pada Tabel 26.

Tabel 26 Nilai-nilai dasar Ekologi (NE) Pasi dan Penjelasannya No Nilai-nilai dasar ekologi Penjelasan nilai

1 Disiplin Patuh/taat pada aturan

2 Kerja keras/rajin Nelayan tidak menggunakan alat tangkap destruktif yang mudah mendapatkan hasil tangkapan tetapi merusak lingkungan

3 Harga diri Merasa malu, harga diri rendah dan dikucilkan masyarakat jika melanggar aturan di pasi (mengotori, menggunakan bom untuk menangkap ikan)

4 Menjaga Secara bersama mengawasi, melindungi terhadap tindakan yang merusak lingkungan pasi

5 Merawat Tidak menggunakan alat tangkap yang besifat merusak lingkungan pasi (bom dan bius ikan)

6 Berpikir masa depan (visi jangka panjang)

Apabila lingkungan pasi rusak, tidak menghasilkan lagi untuk generasi berikut (keberlanjutan sumberdaya perikanan di pasi)

7 Rasional/impersonal Tidak berpikir eksploitatif dalam memanfaatkan sumberdaya pasi

Dari 7 (tujuh) NE tersebut diperoleh 4 (empat) kemponen nilai (komposit) kelestarian yang menggambarkan bahwa nilai-nilai tersebut mengandung unsur pengelolaan sumberdaya perikanan. Komponen nilai (komposit) dimaksud adalah produktivitas, kebersihan, keindahan, dan keberlanjutan. Masing-masing nilai komposit didefinisikan sebagai berikut:

1) Produktivitas yaitu: komponen nilai (komposit) yang bisa dijadikan pembangkit semangat kolektif untuk mandiri di bidang produksi sumberdaya alam bagi kebutuhan dasar manusia.

2) Kebersihan yaitu: komponen nilai yang bisa mengarahkan dan membimbing individu dan masyarakat secara kolektif menjaga dan memelihara lingkungan dan sumberdaya alam.

3) Keindahan yaitu: kemponen nilai yang membangkitkan semangat dan jiwa masyarakat yang memandang alam sebagai seni (art).

4) Keberlanjutan yaitu: komponen nilai yang bisa dijadikan pedoman dalam rangka mewujudkan keadilan, penghormatan terhadap kemanusiaan dan hak hidup generasi mendatang.

Empat komposit ini merupakan sistem nilai yang menggambarkan keterkaitan antar nilai sebagai satu kesatuan yang kuat dan mengandung unsur kelestarian.

Komponen Sistem Nilai Sosial

Nilai sosial adalah hal yang menyangkut kesejahteraan bersama melalui konsensus yang efektif diantara mereka, sehingga nilai-nilai sosial dijunjung tinggi oleh banyak orang (Wiliams 1979). Berdasarakan pengelompokannya,

Notonagoro (1980) mengklasifikasi nilai sosial atas nilai material, nilai vital dan nilai rohani. Mengacu pada pengertian nilai sosial dan klasifikasi nilai tersebut maka komponen sistem nilai sosial kegiatan penangkapan ikan bae pada pasi dijelaskan seperti berikut:

1) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia atau benda-benda nyata yang dapat dimanfaatkan sebagai kebutuhan fisik manusia. Dengan disiplin, kerja keras, dan rajin menghasilkan produksi dan pendapatan untuk kesejahteraannya.

2) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia agar dapat melakukan aktivitas atau kegiatan dalam kehidupannya. Pemanfaatan tanda- tanda alam seperti selat, gunung, pohon, tanjung, perahu, dayung, alat pancing, dan sebagainya merupakan nilai vital karena menjadi sarana untuk menemukan pasi dengan tepat. Kemampuan membaca tanda-tanda alam memberikan kemudahan menemukan pasi dengan demikian akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha.

3) Nilai rohani, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi pemenuhan kebutuhan rohani (spiritual) manusia yang dapat bersifat universal. Nilai rohani mencakup:

a) Nilai kebenaran dan nilai empiris, yaitu nilai yang bersumber dari proses berpikir teratur menggunakan akal manusia dan ikut dengan fakta-fakta yang telah menjadi (logika, rasio). Penentuan DPI bae yang potensial oleh masyarakat terjadi melalui suatu proses berpikir yang teratur dengan fakta- fakta logik dan rasional dari nelayan dalam menentukan lokasi pasi potensial. Fakta-fakta tersebut masih tetap dianut nelayan hingga saat ini, dan diyakni kebenarannya.

b) Nilai keindahan, yaitu nilai-nilai yang bersumber dari unsur rasa manusia (perasaan dan estetika). Nelayan penangkap ikan bae menganut nilai keindahan, karena ada implementasi nilai-nilai sosial-ekologi. Nelayan dilarang mengotori atau merusak daerah pasi. Nelayan meyakini bahwa jika rumah tempat ikan dijaga dengan baik dan bersih, maka ikan tetap ada dan dengan mudah dapat ditangkap. Nilai rasa indah ini jika terus dipertahankan maka akan menjadikan pasi sebagai wilayah yang indah, bersih serta potensial bagi kegiatan wisata.

c) Nilai moral, yaitu nilai sosial yang berkenaan dengan kebaikan dan keburukan, bersumber dari kehendak atau kemauan (karsa dan etika). Ada satu kebiasaan dimana sebelum melaut nelayan tidak boleh menciptakan konflik misalnya dengan istri atau anak atau sanak saudara dan masyarakat. Jika ada perselisihan, maka nelayan tersebut harus menyelesaikan terlebih dahulu permasalahannya baru dapat ikut serta dalam penangkapan ikan bae. Nilai ini telah tertanam dan dituturkan dari satu generasi ke generasi berikut untuk tetap memperhatikan hal tersebut. Nelayan meyakini, apabila ada permasalahan yang belum terselesaikan di darat, maka pada saat melaut, nelayan tidak akan mendapatkan hasil. Nilai moral lain yang juga tetap ditaati oleh nelayan bae adalah tidak diperkenankan untuk membuat keributan di wilayah pasi, mencelupkan kaki ke dalam laut, buang hajad maupun berdiri di atas perahu saat memancing ikan bae. Nilai-nilai ini jika diabaikan akan mengakibatkan pasi tidak menghasilkan (ikan akan meninggalkan pasi). Sejak dulu laut bagi masyarakat di Kepulauan Lease

dianggap sebagai anugerah yang tak terhingga dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sumberdaya yang ada didalamnya bisa diambil kapan saja, tetapi tidak bebas mengeksploitasi karena terikat dengan aturan-aturan dan wajib ditaati. Walaupun tidak tertulis tetapi larangan-larangan tersebut benar- benar ditaati yang oleh masyarakat disebut pamali. Menurut Lokollo (1988) pamali adalah sistem larangan untuk selama-lamanya terhadap barang dan perbuatan. Masyarakat adat di Lease menyakini bahwa perbuatan-perbuatan yang dilarang berdasarkan “hukum pamali” jika tidak dipatuhi maka yang bersangkutan akan mendapat sanksi pembalasan dari suatu kekuatan gaib dan hukuman dari pihak berwajib.

d) Nilai religius, yaitu nilai ketuhanan yang berisi kenyakinan/kepercayaan manusia terhadap Tuhan Yang maha Esa. Suatu kewajiban bagi seorang (nelayan) penangkap ikan bae bahwa sebelum melakukan aktivitas melaut terlebih dahulu berdoa bersama keluarga (istri dan anak-anak).

Dalam kehidupan masyarakat di Kepulauan Lease, ikan bae adalah ikan dengan kualitas yang sangat tinggi, karena biasanya menjadi konsumsi masyarakat pada acara-acara hajatan, selamatan dan sejenisnya. Jika ada keluarga yang mengadakan acara selamatan atau syukuran, maka sumbangan warga lainnya dengan ikan bae dipandang sebagai bantuan yang berkelas dan memiliki nilai sosial tinggi. Bagi masyarakat Lease, suatu jamuan makan (pesta) dianggap “istimewa” jika menghidangkan menu ikan bae. Contoh kebersamaan dan solidaritas diantara sesaman warga yang dijumpai saat penelitian di negeri Noloth, kecamatan Saparua disajikan pada Gambar 26.

Gambar 26 Ikan bae yang disumbangkan untuk hajatan warga dan kesibukan para ibu mempersiapkan menu ikan bae

Peran lain dari nilai sosial pasi adalah mengarahkan masyarakat untuk berpikir dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut juga memotivasi dan memberi semangat pada generasi muda

Dokumen terkait