• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecenderungan global pengelolaan perikanan makin menuju pada pemahaman bahwa sumberdaya ikan harus memberikan manfaat baik untuk generasi saat ini maupun generasi mendatang (Myers et al. 1969; Cook et al. 1997). Hal ini terkait erat dengan karakteristik sumberdaya ikan yang mempunyai keterbatasan kemampuan untuk pulih kembali (renewable) sehingga berpotensi akan musnah apabila tidak dikelola secara benar (Pauly 1979; Badington and May 1982; Phasuk 1987).

Sumberdaya ikan kakap merah sub family Etelinae merupakan salah satu komoditi ekspor dengan nilai komersil yang tinggi karena kualitas daging serta cita rasa yang enak sehingga sangat digemari oleh masyarakat di tingkat lokal, regional maupun internasional. Jenis komoditas ini dikenal juga sebagai objek wisata pancing karena sering menjadi sasaran penangkapan oleh nelayan-nelayan rekreasional. Apabila aktivitas penangkapan jenis-jenis ikan ini tidak diatur atau dikelola dengan baik maka dikuatirkan dapat mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan tersebut. Kondisi ini lebih diperburuk lagi karena jenis-jenis ikan ini dari sisi biologi walaupun memiliki rentang umur yang panjang tetapi tergolong jenis-jenis ikan yang dewasa pada umur yang relatif tinggi dan pertumbuhannya lambat sehingga sangat rentan terhadap penangkapan yang berlebihan (Manooc 1987; Ralston and William 1989; Sudekun el al. 1991; Haight et al. 1993a; Mees 1993; Oslow et al. 2000; Pilling et al. 2000; Williams et al. 2013).

Perairan Kepulauan Lease adalah salah satu perairan yang potensial dan memiliki kekayaan sumberdaya perikanan cukup tinggi baik pelagis maupun demersal. Perairan ini memiliki topografi dasar perairan yang bervariasi dari landai, berbukit hingga lembah yang curam dan dalam. Keunikan wilayah ini dicirikan dengan ditemukannya lokasi-lokasi spesifik yang disebut pasi dan sejak dulu dijadikan daerah penangkapan ikan (DPI) ikan kakap merah oleh masyarakat setempat. Berdasarkan hasil survei dengan menggunakan echosounder maupun hasil observasi dan wawancara dengan nelayan menunjukkan bahwa lokasi yang disebut pasi adalah perairan dengan kedalaman 90-140 m terletak pada daerah yang cukup terjal (continental slope) dan pada puncak hingga tepi lereng bukit bawah laut dimana jenis-jenis ikan kakap merah tertangkap.

Kepulauan Lease berada di kawasan Kabupaten Maluku Tengah meliputi 4 pulau, yakni: Pulau Haruku, Saparua, Nusalaut dan Molana. Pulau Molana tanpa penghuni, sedangkan ke 3 pulau lainnya berpenghuni. Akses menuju kawasan ini dapat ditempuh dari Kota Ambon menggunakan berbagai moda transportasi laut seperti KM Cepat, kapal ferry dan speed boat dengan waktu tempuh antara 15 menit sampai 2,5 jam tergantung pulau/kecamatan yang dituju dan moda transportasi yang digunakan. Penduduk di tiga pulau terkonsentrasi pada wilayah pesisir yang mana ± 99% adalah penduduk asli. Mata pencaharian penduduk bersifat sub-sistem, yaitu sebagian waktu dikhususkan untuk mengolah kebun dan hasil-hasil hutan (cengkeh, pala dan sagu), dan sebagian waktu lagi untuk mengolah hasil-hasil laut. Aktivitas penduduk ini terjadi secara alamiah disebabkan oleh potensi sumberdaya yang dimiliki, kondisi iklim dan musim di wilayah setempat. Musim Timur berlangsung dari Juni-Agustus dengan curan hujan yang tinggi dan laut yang bergelombang. Musim peralihan dua dari

September-November, musim Barat dari Desember-Februari, yang dikenal sebagai musim kemarau, sedangkan musim Peralihan satu dari Maret-Mei.

Keseharian penduduk yang menyatu dengan kondisi alam di darat maupun laut, dengan budaya dan teknologi pemanfaatan sumberdaya yang masih sederhana dan bersifat tradisional menjadikan lingkungan perairannya tampak unik dan alamiah. Masyarakat sangat mengenal bagian-bagian dari wilayahnya terutama yang unik pada kawasan pesisir dan laut. Salah satu diantaranya adalah pasi. Pasi berasal dari kata pas yang berarti pasti atau tepat pada posisi ikan. Pemberian nama pasi (pas) ini berawal dari kesulitan menduga (nanaku: istilah lokal) posisi daerah penangkapan ikan target yang tepat. Ikan target pada pasi adalah jenis-jenis ikan kakap merah yang disebut bae oleh masyarakat/nelayan setempat.

Ikan kakap merah atau ikan bae adalah empat spesies dari 18 spesies kakap merah yang tergolong dalam sub famili Etelinae. Ke empat spesies dimaksud adalah: Etelis carbunculus, E. coruscans, E. radiosus, dan Aphareus rutilans. Jenis-jenis ikan ini dianggap berkelas karena memiliki kwalitas daging dan cita rasa yang enak, sehingga jika dihidangkan pada jamuan makan, maka momen makan tersebut dianggap sangat istimewa. Jenis-jenis ikan tersebut sejak dulu dimaknai sebagai lambang solidaritas oleh para leluhur. Itulah sebabnya, pasi sebagai daerah penangkapan jenis-jenis ikan bae diperlakukan berbeda dengan bagian lain dari perairan yang bukan pasi.

Berbagai larangan atau pamali yang sangat dipatuhi oleh masyarakat jika berada di kawasan pasi antara lain: tidak boleh mencelupkan kaki ke dalam laut, membuang hajat, menangkap ikan dengan alat penangkapan destruktif atau yang bersifat merusak seperti bom dan racun, serta dilarang saling memperebut daerah penangkapan yang dapat menimbulkan konflik antar nelayan. Selain itu teknologi penangkapan khusus untuk ikan kakap merah (ikan bae) pada pasi adalah pancing ulur (handline). Penggunaan alat tangkap yang selektif ditunjang dengan pemberlakuan khusus terhadap pasi sebagai daerah penangkapan ikan kakap merah memungkinkan sumberdaya yang sudah dieksploitasi sejak dulu masih terjaga sampai saat ini.

Hasil analisis potensi jenis-jenis ikan bae pada seluruh kawasan pasi dengan total luas area pasi 167.603 m2 diperoleh densitas 9 individu/100 m2, standing stock (SS) 15425 individu dengan MSY 7712 individu/tahun (10,87 ton/tahun). Berdasarkan kawasan pulau, maka di kawasan perairan P. Haruku dengan SS 2940 individu dan MSY 1470 individu/tahun (3,80 ton/tahun); P. Saparua dengan SS 7997 individu dan MSY 3999 individu/tahun (2,60 ton/tahun); P. Nusalaut dengan SS 3655 individu dan MSY 1828 individu/tahun (1,78 ton/tahun). Apabila potensi tersebut dikategorikan berdasarkan kawasan geomorfologi maka pada kawaan perairan teluk dengan SS 1934 individu/tahun, MSY 967 individu/tahun (0,13 ton/tahun); perairan selat dengan SS 8500 individu dan MSY 4250 individu/tahun (5,62 ton/tahun); dan perairan terbuka dengan SS 4043 individu dan MSY 1763 individu/tahun (5,73 ton/tahun). Jenis-jenis ikan ini terdistribusi pada kedalaman antara 90-140 m pada daerah yang terjal (slope) dan pada puncak bukit bawah laut yang relatif curam.

Hasil analisis ukuran ikan hasil tangkapan nelayan menunjukkan bahwa persentase tertinggi adalah kisaran ukuran 38-45 cm TL (40,9 %), dan yang paling rendah 78-85 cm TL (1,5%). Kondisi ini menunjukkan bahwa ikan bae yang

tertangkap pada kawasan pasi umumnya berukuran kecil, atau di bawah ukuran optimum yang boleh ditangkap. Panjang maksimum (TL) untuk kakap merah jenis E coruscans 104 cm TL (William and Lowe 1977), E carbunculus 104 (Evertson 1984), Aphareus rutilans 110 cm TL (Froese and Pauly 2000) diacu dalam Andrade 2003. Sedangkan Dichmont and Blaber (2003), menyatakan ukuran legal optimum dari jenis-jenis ikan kakap merah yang boleh ditangkap adalah 56 cm, dan khusus jenis E. carbunculus 53 cm (Everson 1984). Artinya ukuran ini adalah ukuran layak tangkap secara biologis.

Besarnya potensi yang ada menunjukkan bahwa pasi di kawasan perairan Kepulauan Lease adalah lokasi-lokasi potensial dari jenis-jenis ikan kakap merah dan berpotensi memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat maupun daerah apabila dikelola dengan baik dan benar. Akan tetapi dari sisi ukuran ikan yang tertangkap masih didominasi oleh ikan-ikan berukuran kecil (immature species). Untuk itu dibutuhkan suatu bentuk pengelolaan yang baik dan benar, salah satunya adalah zonasi. Hasil penelitian ini telah diperoleh zona lindung pasi, zona perikanan berkelanjutan sub-zona perikanan tangkap dan zona pemanfaatan sub-zona wisata pancing. Cochrane (2002) menyatakan bahwa, oleh karena sumberdaya ikan dapat habis jika dieksploitasi terus menerus tanpa kendali, maka pemanfaatan sumberdaya perikanan harus dilakukan secara teratur dan bertanggung jawab, sehingga peluang untuk mendapatkan keuntungan tidak hilang begitu saja.

Dalam hubungannya dengan efektivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan, daerah penangkapan adalah faktor penting yang harus diperhatikan, terutama di perairan yang lebih dalam karena keberhasilan penangkapan ditentukan dari kondisi fisik bawah laut. Informasi tentang topografi dasar serta kondisi fisiknya harus diketahui secara pasti, sehingga penggunaan teknologi tidak merusak sumberdaya (Husni 2009). Dalam penelitian ini tidak dilakukan rekayasa teknologi penangkapan, tetapi informasi topografi dan kedalaman perairan menjadi dasar guna pengembangan alat dan metode penangkapan agar pemanfaatan sumberdaya ikan dapat optimum. Aspek lingkungan di sekitar pasi terutama kondisi oseanografi yang mencirikan pasi sebagai DPI penting diketahui, akan tetapi kondisi fisik oseanografi pada penelitian ini terbatas waktu penelitiannya (Februari 2012), sehingga dibutuhkan data beberapa bulan sehingga profil kondisi oseanografi pasi lebih representatif, mengingat sebagian dari pasi ditemukan di kawasan teluk dan selat yang relatif dekat pemukiman sehingga sewaktu-waktu dapat terancam akibat pembangunan di wilayah pesisir.

Hasil pengukuran dan pemetaan parameter oseanografi menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan perairan Kepulauan Lease dipengaruhi oleh sirkulasi masa air Laut Banda yang terkenal subur karena adanya proses upwelling yang terjadi setiap tahun pada musim timur dan downwelling di musim barat. Kondisi ini memberikan pasokan nutrient yang memungkinkan fotosintesa berlangsung dengan baik. Hal ini ditandai dengan tingginya konsentrasi klorofil-a yaitu >0,16 mg/m3 hingga lapisan kedalaman dekat dasar pasi (90-110 m). Konsentrasi klorofil-a di sekitar kawasan pasi saat pengukuran pada bulan Februari 2012 berkisar antara 0,16-0,80 mg/m-3. Klorofil-a yang relatif tinggi berdampak pada terpenuhinya kebutuhan esensial dari mata rantai ekosistem biota di suatu perairan. Klorofil-a merupakan produktivitas primer dalam rantai makanan, dan selanjutnya menghasikan sumber makanan bagi ikan-ikan karnivor, termasuk ikan

kakap merah sub famili Etelinae pada lokasi-lokasi pasi. Parrish (1987) diacu dalam Andrade (2003) menyatakan bahwa plankton sangat penting bagi juvenil dan ikan-ikan muda dari ikan kakap merah, termasuk ikan kakap merah dari jenis Etelinae.

Selain klorofil-a, suhu sangat memegang peranan penting terhadap distribusi ikan di perairan. Suhu perairan dekat dasar pasi pada bulan Februari 25,11-26,94 0C. Krebs (1985), menyatakan bahwa distribusi satu jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu yang mempengaruhi organisme dalam memilih habitat hidupnya. Nybbaken (1988) menjelaskan bahwa apabila terjadi perubahan suhu perairan dari suhu sebelumnya maka akan menyebabkan ikan berpindah dan memilih habitat dengan suhu yang sesuai bagi kelangsungan hidupnya. Demikian juga salinitas, arus maupun turbiditas. Profil kondisi oseanografi dekat dasar pasi yang menggambarkan DPI kakap merah (ikan bae) pada setiap kawasan disajikan pada Tabel 37.

Tabel 37 Suhu, salinitas, klorofil, turbiditas dan kecepatan arus dekat dasar pasi pada kedalaman 90-110 m (Februari 2012)

Kawasan perairan Parameter oseanografi Suhu (C) Salinitas (psu) klorofil mg/m-3 turbiditas (NTU) Kec. Arus (cm/det) Pulau Haruku 26,50 34,22 0,29 0,59 20,14 Pulau Saparua 26,27 34,19 0,35 0,59 17,13 Pulau Nusalaut 25,45 34.28 0,23 0,46 36,98 Teluk 25,11 34,27 0,26 0,54 17,46 Selat 25,95 34,23 0,30 0,64 22,73 Perairan Terbuka 26,94 34,20 0,31 0,63 17,65

Nilai parameter oseanografi tersebut penting diketahui sebagai informasi dasar dan sekaligus dapat dijadikan sebagai salah satu indikator dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang ikan kakap merah atau ikan bae secara optimal. Krebs (1972) menyatakan bahwa distribusi suatu jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah sifat fisik dan kimia air, hubungan organisme tersebut dengan organisme lainnya serta tingkah laku organisme dalam memilih habitat. Pengaruh yang diakibatkan oleh kondisi oseanografi perairan di atas mengakibatkan ikan akan meresponnya dengan cara menjauh ataupun berkumpul pada daerah dengan kondisi lingkungan yang optimal. Untuk itu kondisi alamiah pasi sebagai habitat ikan kakap merah harus terus dijaga dan dilindungi dari berbagai aktivitas yang dapat membawa dampak buruk terhadap lingkungan perairan maupun sumberdaya laut di sekitarnya.

Masyarakat di Kepulauan Lease sejak dulu telah menerapkan bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya berdasarkan nilai maupun tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satunya adalah: Sistem nilai pasi yang dianut masyarakat di Kepulauan Lease memiliki nilai positif yang perlu dipertahankan karena mengandung unsur pengelolaan sumberdaya perikanan. Sistem ini mengandung tiga komponen nilai dasar yakni komponen nilai dasar ekologi, sosial dan teknologi (Tabel 26, 27 dan 30). Masing-masing komponen nilai dasar tersebut mengandung 4 (empat) komposit kelestarian yang perlu dipertahankan dalam hubungannya dengan kelestarian sumberdaya perikanan kakap merah pada kawasan (Tabel 31, 32, 33). Bentuk pemanfaatan yang dilakukan memiliki

kekuatan yang mengikat masyarakat. Diharapkan sistem ini perlu dimasyarakatkan sehingga tidak hanya mengikat nelayan, tetapi mengikat dan mendapat dukungan dari semua pihak terutama masyarakat sekitar kawasan sehingga menjadi satu bentuk pengelolaan yang diterima semua kalangan. Satria (2009) menjelaskan bahwa selain pendekatan hukum dan teknis ekologis, bagaimanapun juga kekuatan pengetahuan lokal sudah sepatutnya diakomodasi dalam formulasi model pengelolaan sumberdaya perikanan secara teknis.

Nilai-nilai perikanan pasi terpelihara dalam satu sistem yang kuat dan mempengaruhi perilaku nelayan dalam memanfaatkan dan memelihara sumberdaya alam di sekitar mereka. Rokeach (1973) dan Kamakura dan Novak (1992) menjelaskan bahwa nilai yang hidup dan mempengaruhi perilaku masyarakat itu bukan nilai tunggal, tetapi satu kesatuan atau ada dalam satu sistem yang mengendalikan keyakinan individu, sikap dan perilaku. Novaczek et al. (2001) menjelaskan bahwa suatu sistem dikatakan baik jika secara sosial sistem tersebut dapat mempertahankan tradisi, meningkatkan kesejahteraan dalam keluarga, menjaga kehormatan masyarakat serta memberi ruang untuk masalah- masalah lokal dipecahkan secara bersama. Sistem nilai yang terpelihara dan mempengaruhi nelayan untuk melakukan sesuatu yang khusus jika mereka berada di daerah penangkapan ikan kakap merah (ikan bae) atau pasi ini ditetapkan dalam penelitian ini sebagai Sistem Nilai Perikanan Pasi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa sistem nilai perikanan pasi mengandung unsur pengelolaan sumberdaya perikanan yang sangat tinggi. Dengan demikian terbukti bahwa sistem nilai perikanan pasi merupakan bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Sistem nilai perikanan pasi tidak hanya mengandung nilai sosial tetapi juga mengandung nilai biologi. Sistem ini sama dengan sistem sasi yang selama ini sudah dikenal sebagai satu bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di Maluku (Bailey ang Zemer 1992; Novaczek, et al. 2001; Nikijuluw 2002; Pical 2007). Sistem nilai perikanan pasi perlu dipertahankan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan dari eksploitasi berlebihan untuk kepentingan komersil maupun wisata. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab keinginan Pemerintah Daerah menjadikan pasi sebagai objek wisata pancing jenis-jenis ikan kakap merah (sub family etelinae) atau ikan bae.

Mengingat pentingnya sumberdaya perikanan dan ekosistem bagi masyarakat kawasan dari waktu ke waktu, maka sudah semestinya kawasan ini dilindungi keberadaannya. Selain sistem nilai perikanan pasi, salah satu bentuk perlindungan adalah dengan menetapkan kawasan sebagai daerah perlindungan, dengan batasan-batasan akses oleh masyarakat, sehingga nantinya tidak berdampak pada kerusakan ekosistem, maupun keberlanjutan pemanfaatan oleh masyarakat. Upaya mempertahankan kelestarian sumberdaya perikanan oleh masyarakat di Kepulauan Lease sudah dilakukan sejak jaman dulu. Hal ini terbukti dengan adanya bentuk-bentuk pengelolaan berbasis masyarakat di Maluku yang masih belum dikaji seluruhnya, selain sasi yang sudah dikenal dan diketahui melalui beberapa hasil kajian beberapa peneliti lain sebelumnya. Kondisi ini mempermudah pelaksanaan kegiatan konservasi, karena masyarakat sudah menyadari pentingnya mempertahankan/melestarikan sumberdaya. Walaupun demikian karena belum ada penataan yang benar mengakibatkan

mereka bebas mengeksploitasi berdasarkan nilai-nilai yang dimiliki atau diketahui secara turun-temurun tanpa petimbangan ilmiah.

Sistem nilai perikanan pasi merupakan bentuk pengelolaan berbasis masyarakat yang dikenal hanya oleh masyarakat di Kepulauan Lease. Dengan demikian penerapannya hanya mengikat masyarakat di wilayah tersebut, sedangkan pemanfaatan pasi juga oleh masyarakat dari tempat lain. Kondisi ini memungkinkan terjadinya konflik pemanfaatan akibat masyarakat di luar kawasan Kepulauan Lease tidak merasa terikat dan ikut menjaga nilai-nilai tersebut. Selain konflik pemanfaatan dapat juga terjadi pengurasan terhadap sumberdaya ikan kakap merah. Semakin tingginya permintaan ikan kakap merah di pasar memungkinkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya tersebut. Di sisi lain, nilai-nilai ini sendiripun sudah mulai terkikis seiring perubahan waktu dan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Dengan demikian dibutuhkan kekuatan hukum tetap terhadap pemberlakukan “sistem nilai perikanan pasi.

Hal ini dimungkinkan karena dijamin oleh berbagai ketentuan UU yang ada diantaranya UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolan Wilayah Pesisi dan Pulau- Pulau Kecil pasal 16 ayat (1) menyebutkan pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulaua Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Pasal 3 dan 10 UU No 22/1999 yang kemudian direvisi pada Pasal 18 UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (PEMDA), hak dan kewajiban PEMDA dalam menciptakan pengeloaan SD kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, maka seharusnya masing-masing PEMDA membuat model kebijakan pembanganan yang jelas untuk wilayah pesisir dan laut (Solihin et al. 2011). Aturan-aturan tidak tertulis dalam rangka perlindungan sumberdaya alam yang sudah diangkat menjadi aturan-aturan formal seperti halnya awing-awing di Lombok Barat dan Panglima Laot di Nangro Aceh.

Awing-awing merupakan kearifan lokal dalam mengelolaan sumberdaya alam berupa aturan tidak tertulis tetapi sangat ditaati dan diwujudkan dalam kehidupan sesehari masyarakat setempat. Seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi dan tekanan politik bangsa Indonesia kemudian awing-awing hilang bahkan dilupakan sejak 1965, dan muncul kembali pada tahun 2000 (Solihin 2000). Di era otonomi dimana upaya revitalisasi aturan-aturan adat atau kearifan lokal yang ada di masyarakat pesisir terus berkembang, suasana politik yang kondusif dalam pelibatan masyarakat sebagai perencana hingga pelaksanan kebijakan maka dibentuklah awing-awing secara tertulis sebagai aturan main dalam pengelolaan perikanan dengan melibatkan Pemerintah Daerah setempat. Hal ini dilakukan karena masyarakat menyadari rusaknya lingkungan ekologi, bertambahnya penduduk, semakin sedikit lapangan pekerjaan (mata pencaharian), perubahan teknologi dan perubahan tingkat komersialisasi.

Panglima Laot pada awalnya diperuntukan untuk wilayah tertentu saja yaitu wilayah lhok atau kuala, dimana penggunaan alat tangkap dan pantangan- pantangan dalam kegiatan penangkapan ikan menjadi tujuan utama dalam mekanisme pengaturannya. Panglima laut cukup lama terbaikan, kembali mendapat porsi ketika diberlakukan Perda No. 2 Tahun 1990 tentang pembinaan dan pengembangan adat istiadat Aceh. Saat ini beberapa peraturan tingkat daerah (Qanun) diterbitkan untuk memperkuat aturan yang sudah ada diantaranya Qanun

Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang pembinaan keidupan adat istiadat dan Qanun No. 10 Thun 2008 tentang lembaga adat. Secara eksplisit dua aturan ini telah mengakui Lembaga Panglima Laut sebagi bagian dari adat yang diberi seperangkat wewenang untuk mengatur hukum adat di laut (Solihin 2011).

Mengacu pada dua contoh di atas memungkinkan sistem nilai perikanan pasi yang mengandung unsur pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai aturan tidak tertulis dapat ditetapkan menjadi aturan tertulis. Hal ini penting untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya perikanan di pasi akibat tingginya permintaan ikan kakap merah dan tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat saat ini maupun di waktu yang akan datang. Dengan aturan tertulis diharapkan menjadi pedoman bagi masyarakat dan generasi berikutnya dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan pada kawasan pasi.

Upaya pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat sudah teruji secara turun temurun, namun dalam prakteknya masih ada kelemahan antara lain hanya diwarisakan secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya dan berlaku bagi masyarakat sekitar, sebagaimana sistem nilai perikanan pasi. Untuk itu dibutuhkan berbagai bukti ilmiah untuk mendukung kebijakan pemerintah menetapkan aturan-aturan formal/tertulis dengan mengakomodir nilai-nilai (tradisi) yang selama ini terpelihara dalam masyarakat sebagai upaya perlindungan terhadap sumberdaya alam di sekitarnya. Jenis-jenis ikan kakap merah dengan nilai komersial tinggi dan sangat diminati sebagai ojek wisata bahari dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat di Kepulauan Lease membutuhkan sentuhan pengelolaan bagi pengembangan ke depan. Salah satu komponen kunci dari pengelolaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, yakni penyusunan rencana zonasi, kawasan konservasi atau kawasan lindung yang belum dilaksanakan di wilayah ini. Untuk itu penetapan zonasi pemanfaatan perikanan pasi di perairan Kepulauan Lease merupakan kebutuhan yang harus bisa diwujudkan.

Hasil penelitian ini telah diperoleh zonasi pasi yang meliputi zona lindung sebesar 13,13%, sedangkan sisanya layak untuk ditetapkan sebagai zona perikanan berkelanjutan sub-zona perikanan tangkap 86,86%. Dari luasan zona perikanan berberkelanjutan tersebut, kawasan yang cocok dikembangkan untuk zona pemanfaatan sub-zona wisata pancing sebesar 57,61% (Gambar 36). Penetapan zonasi kawasan ini diharapakan dapat memberikan manfaat baik terhadap pemulihan sumberdaya maupun pemenuhan kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan dengan memperhatikan arahan pemanfaatan dari tiap sub- zona saat ini maupun di waktu yang akan datang (Tabel 34,35 dan 36).

Dokumen terkait