• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. T EKNIK B ERBURU

5. Berburu memakai senjata api (nyerapang atau nyelapang)

“Nyerapang atau nyelapang” adalah cara berburu yang menggunakan peralatan yang agak modern yang akhir-akhir ini semakin banyak digunakan, khususnya di kalangan suku Kenyah, sedangkan pada suku Punan sangat jarang digunakan. Cara ini merupakan alternatif dari cara-cara berburu sebelumnya yang dianggap kurang efektif untuk membunuh binatang buruannya. Cara yang digunakan suku Kenyah dan Punan dengan alat ini boleh dikatakan sama, suku Punan hanya meniru cara-cara Kenyah yang sudah lebih berpengalaman dan lebih dulu menggunakan senjata api, sekitar 15–20 tahun lalu.

Cara ini bersifat serbaguna karena dapat membunuh binatang yang berada di atas pohon, burung yang terbang atau hinggap di atas dahan, dapat digunakan siang dan malam, tidak ada pantangannya dan juga tidak terlalu terpengaruh dengan cuaca. Semakin sulitnya memelihara anjing di lokasi yang baru karena banyak penyakit yang dapat membunuh anjing, menyebabkan cara ini lebih disukai. Dalam beberapa tahun lalu pelurunya

cukup mudah diperoleh dari para pedagang atau pelintas batas dari Malaysia.

Dari data pada Tabel 3 terlihat, bahwa terdapat 15 responden (71,43 %) dari suku Kenyah menggunakan cara ini yang dikombinasikan dengan anjing atau hanya senjata api saja, sementara suku Punan hanya 2 orang (8 %). Sebetulnya 5 tahun lalu ada juga suku Punan yang membeli senjata api yang dibeli dari hasil menjual gaharu, tetapi dengan semakin mahalnya harga peluru asli yang dibeli dari Malaysia (Rp25.000–30.000 per butir), maka banyak yang menjual senjata tersebut pada orang lain. Para bekas pemilik senjata api tersebut tidak lagi berprofesi sebagai pemburu setelah senjatanya dijual.

Dari angka-angka tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa kepemilikan senjata api di kalangan pemburu suku Punan sangat rendah, sementara sebagian besar pemburu suku Dayak Kenyah memiliki senjata api. Penggunaan senjata api ini dapat dikombinasikan bermacam-macam misalnya: hanya senjata api saja, senjata api dengan anjing atau senjata api dengan sumpit.

Seperti sudah disebutkan di atas bahwa alat ini bersifat serbaguna karena dapat digunakan dalam beberapa cara sebagai berikut:

a. Nyerapang biasa (nyerapang): istilah yang biasa digunakan oleh suku Kenyah dan Punan untuk seseorang yang pergi berburu memakai senjata api disebut “nyerapang”. Dengan cara ini seorang pemburu masuk ke hutan seperti yang dilakukan dalam cara ngusiq maupun menyumpit, berangkat pagi hari dan pulang pada sore hari. Pemburu menyelinap ke dalam hutan, mengintai dengan hati-hati untuk mencari buruannya. Pengetahuan tentang arah angin dan tempat-tempat yang biasanya digunakan babi untuk makan, istirahat yang dihubungkan dengan waktu (pagi, siang, sore, malam) mutlak harus diketahui seorang pemburu. Misalnya, pada pagi hari pemburu biasanya menyusuri sungai, kemudian pada siang hari menyusuri daerah-daerah yang berbukit dan bergunung tinggi, kemudian pada sore hari kembali lagi menyusuri anak-anak sungai atau dekat sumber air, karena itulah tempat-tempat yang sering didatangi oleh babi pada jam-jam tersebut. Keberadaan babi di dalam hutan dapat juga diketahui oleh seorang pemburu terlatih dari suara binatang lainnya, misalnya beruk atau sejenis burung yang hidup di atas tanah. Prinsipnya, setiap suara binatang di dalam hutan dianggap memiliki makna tertentu. Jika terdengar suara beruk dengan irama tertentu misalnya lebih cepat dari biasanya, berulang-ulang dan tidak berpindah-pindah diartikan bahwa di bawahnya terdapat babi yang menunggu jatuhan buah-buahan yang sedang dimakan oleh beruk atau kaliawat. Jika yang terdengar adalah suara sejenis burung (dalam bahasa lokal/Kenyah disebut upit tana’), diartikan juga bahwa ada babi di lokasi tersebut. Dari pengalaman pemburu, burung tersebut hidup secara simbiosis-mutualistis dengan seekor babi. Artinya, burung tersebut berdiri di atas punggung babi yang sedang berjalan sambil memakan kutu babi

tersebut. Pemburu yang berpengalaman akan secepatnya mendekati kedua tanda tersebut untuk melihat apakah ada buruannya.

b. Nyerapang malam hari (nitiu mau): berburu malam hari ini ada dua macam, yang pertama dengan jalan kaki dan yang kedua naik perahu. Pada cara yang pertama, pemburu mendatangi tempat-tempat yang sering didatangi babi, landak atau payau pada malam hari misalnya kebun singkong, bekas ladang, kebun kacang, kebun jagung, sumber air asin (sungan) atau tanaman-tanaman lain yang sering dimakan, terlihat dari bekasnya.

Dengan cara ini pemburu harus mengetahui dengan pasti kebiasaan makan tiap-tiap jenis binatang yang makan di suatu tempat. Kalau mendatangi tempat tersebut pada jam yang tidak tepat, maka pemburu tidak pernah menemukan binatang buruannya yang biasanya makan dalam waktu relatif singkat yaitu 15–20 menit. Misalnya, babi biasanya datang pada jam 1 malam atau jam 4 subuh, payau pada jam 12 malam dan landak pada jam 2 subuh. Kebiasaan-kebiasan tersebut selalu dipelajari secara berulang-ulang agar dapat “bertemu” dengan binatang buruannya. Jika tidak, maka pemburu selalu selisih waktu dengan buruannya.

Jika sedang bernasib baik yaitu dapat menemukan binatang buruan yang sedang makan, pemburu menyiapkan senjata dengan menarik pelatuk kemudian mengarahkan pada buruan bersamaan dengan senter di tangan dinyalakan. Jika sasaran sudah terlihat, pelatuk siap ditarik. Untuk menghindari adanya peluru nyasar ke arah pemburu lain yang mungkin berada di daerah yang sama, maka seorang pemburu sewaktu-waktu harus menyalakan senter ke atas sebagai isyarat bahwa dia ada di lokasi tersebut sehingga pemburu lain dapat menghindar. Cara lain untuk menghindari korban akibat peluru nyasar adalah mempelajari situasi pada siang hari untuk mencari arah yang aman, bukan mengarah ke pondok penduduk.

Cara berburu kedua yang dilakukan pada malam hari adalah naik perahu dari arah hulu ke hilir sungai. Pada sore hari, seorang pemburu dengan satu atau beberapa orang pendayung perahu (dengan ketinting atau hanya memakai tangkar) menuju hulu sungai sampai pada satu tempat yang telah ditentukan. Pada saat malam tiba, perahu dengan para pemburu di atasnya bergerak secara perlahan-lahan (mesin ketinting dimatikan), hanya mengikuti gerakan perahu oleh arus sungai yang deras dan kalau arusnya pelan para pendayung dapat mengayuh perahu supaya lebih laju. Gerakan perahu yang terlalu lambat juga tidak baik karena dikhawatirkan aroma manusia tercium duluan sebelum buruan sempat ditembak. Pemburu atau yang memegang senjata mengambil posisi paling depan, mengarahkan nyala senter ke arah kiri dan kanan perahu mencari sasaran, khususnya babi yang sedang mencungkil cacing atau makan siput di tepi sungai, atau payau yang sedang makan rerumputan atau minum di tepi sungai.

Jika sasaran sudah terlihat, umumnya terlihat dari pantulan sinar mata babi atau payau, pemburu memberi isyarat pada pendayung untuk

mengarahkan perahu mendekati sasaran. Seorang pemburu dengan mudah dapat membedakan jenis binatang dari warna pantulan mata yang diterangi cahaya senter walaupun badannya tidak kelihatan atau tersembunyi di semak-semak. Jika warna matanya terang dan agak hijau, berarti binatang tersebut adalah payau atau kijang, sedangkan jika warna matanya agak redup dan merah berarti babi. Pemburu dapat langsung menembak dari atas perahu atau kalau tidak memungkinkan, maka dapat turun dari perahu kemudian mendekati sasaran. Teknik mendekati dan mencari sasaran juga agak berbeda pada jenis binatang yang berbeda. Cara berburu seperti ini hanya dilakukan oleh suku Kenyah yang tinggal di desa Tanjung Nanga dan Loreh, sedangkan suku Punan tidak ada yang melakukan cara ini karena tidak memiliki perahu dan senjata api.

c. Mengepung (ngepung): merupakan metode berburu terbaru dan hanya dilakukan oleh suku Kenyah di desa Loreh. Cara berburu ini sebetulnya merupakan perpaduan antara cara berburu dengan anjing maupun senjata api dan dilakukan malam hari. Jika anjing pada umumnya hanya bisa mengejar babi pada siang hari, maka dengan cara ini anjing mengejar babi atau buruannya pada malam hari. Tentu saja anjing yang dibawa adalah anjing-anjing khusus yang sudah terlatih dan sudah terbiasa mengejar buruannya pada malam hari. Seperti sudah disebutkan di atas, bahwa cara berburu ini hanya di temui di satu desa yang dihuni oleh suku Kenyah yaitu desa Loreh, sedangkan desa Kenyah lainnya seperti Tanjung Nanga maupun desa-desa Punan belum mengenal cara ini.

Munculnya cara ini berawal dari semakin sulitnya para pemburu untuk mendapatkan babi, baik pada siang hari apalagi pada malam hari, sehingga timbullah ide untuk mengombinasikan anjing dengan senjata supaya lebih efektif. Para pemburu biasanya berangkat dari rumah pada malam hari antara jam 8.00–10.00 malam ke suatu tempat yang biasa didatangi oleh babi atau payau untuk makan pada malam hari. Jika sudah ada jejak kaki buruan memasuki daerah tersebut, para pemburu yang memegang senjata api kemudian menyebar mengambil posisi masing-masing yang dianggap strategis untuk menghadang pada jarak dan posisi yang aman. Setelah semua pemburu bersenjata dianggap sudah menempati posisi masing-masing, pemilik anjing kemudian melepaskan anjing memasuki semak-semak atau tempat buruan mencari makan. Jika anjing sudah menggonggong, binatang buruan akan lari, biasanya selalu mengikuti jalan yang sama pada saat masuk. Pada saat keluar inilah pemburu melepaskan tembakan jika buruannya sudah terlihat.

Cara tersebut lebih baik dilakukan pada saat terang bulan atau bulan purnama agar lebih mudah bagi pemburu untuk mengetahui sasaran dibandingkan kalau menggunakan lampu senter yang dapat membuat buruan takut. Tempat-tempat yang biasanya digunakan untuk meghadang buruan yang berlari adalah jalan besar (jalan perusahaan HPH atau logging) maupun sungai agar terdapat kesempatan lebih lama untuk melihat mangsa yang lewat.

Dari penjelasan tersebut di atas dapat diambil suatu ringkasan tentang kegiatan berburu suku Dayak Kenyah dan Punan dengan menggunakan senjata api sebagai berikut: i) suku Dayak Kenyah jauh lebih dominan daripada suku Punan dalam hal pemakaian senjata api untuk berburu, ii) suku Dayak Kenyah lebih banyak berimprovisasi dalam menyiasati semakin berkurangnya binatang buruan, khususnya babi dalam arti tidak hanya berburu pada siang hari saja atau hanya berburu di hutan primer saja. Ada juga yang berburu malam hari di hutan sekunder, iii) suku Kenyah lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang disebabkan oleh bencana alam maupun kegiatan manusia seperti HPH, tambang dan pembukaan hutan lainnya.

6. Nya’ut

Menurut Puri (1999), “nya’ut” adalah kegiatan menangkap buruan dengan memasang perangkap yang sifatnya statis dan pasif. Perangkap ini terdiri atas bermacam-macam jenis misalnya perangkap kaki menggunakan tali nilon atau kawat baja (biyu), ranjau bambu (belatik). Dari temuan di lapangan diketahui bahwa cara-cara berburu tersebut hanya dilakukan oleh suku Kenyah, sedangkan suku Punan tidak tertarik untuk mencoba cara-cara tersebut.

Dokumen terkait