• Tidak ada hasil yang ditemukan

b Hasil Pemeriksaan Saks

1. Berdasarkan Kajian Alat-Alat Bukt

Pada Pasal 183 KUHAP dikatakan bahwa “Hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”, penjelasan Pasal tersebut menunjukkan bahwasanya pada sistem pembuktian di Indonesia, khususnya pembuktian pada perkara pidana, menggunakan sistem pembuktian secara negatif dimana sistem pembuktian negatif ini merupakan perpaduan sistem teori pembuktian secara positif yaitu

teori pembuktian yang berpedoman pada alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan teori pembuktian conviction-in time dimana untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim. Sistem peradilan di Indonesia, dalam penilaian pembuktian, menggabungkan kedua teori pembuktian tersebut.

Alat-alat bukti sah yang diakui di dalam peradilan Indonesia diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Alat-alat bukti tersebut ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Pada pembuktian di peradilan Indonesia, dibutuhkan setidaknya minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang diatur di Pasal 184 KUHAP, yang menunjukkan dan membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana. Apabila alat bukti yang ditemukan kurang dari minimal dua alat bukti, maka majelis hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Dalam peradilan perkara pidana, alat bukti keterangan saksi ialah merupakan alat bukti utama karena pada pembuktian di pengadilan, pemeriksaan pertama yang dilakukan oleh majelis hakim ialah pemeriksaan keterangan saksi.

Pada ketiga putusan yang menjadi objek penelitian penulis, majelis hakim dalam pertimbangannya menggunakan teori pendekatan

ratio decidendi dimana hakim dalam pertimbangan pembuktiannya memeriksa segala aspek yang berkaitan dengan perkara dan berdasarkan undang-undang yaitu sekurang-kurangnya 2 alat bukti

yang sah dan juga berdasarkan apakah alat bukti yang dihadirkan tersebut dapat meyakinkan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana. Selain menggunakan teori pendekatan ratio decidendi,

majelis hakim dalam pertimbangannya juga menggunakan teori pendekatan keilmuan dan teori keseimbangan. Hal ini terlihat dalam membuat putusannya majelis hakim tidak hanya berdasarkan pemikirannya saja, tetapi majelis hakim juga menggunakan pendapat ahli dalam pertimbangan putusannya, serta turut memperhatikan kepentingan terdakwa. Penggunaan teori keseimbangan dalam pertimbangan hakim tersebut terlihat dalam pertimbangan putusan pada tingkat banding dan tingkat kasasi dimana majelis hakim banding dan majelis hakim kasasi menjatuhkan vonis bebas terhadap para terdakwa karena para terdakwa tidak terbukti telah melakukan tindak pidana.

Dalam putusannya, majelis hakim tingkat pertama menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa telah memenuhi unsur-unsur Pasal 338 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP sehingga perbuatan para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama. Penulis tidak sependapat dengan majelis hakim tingkat pertama bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama- sama apabila dikaitkan dengan aturan pembuktian yang terdapat dalam KUHAP. Analisis tidak terpenuhinya alat bukti dalam putusan

majelis hakim tingkat pertama sesuai dengan aturan yang terdapat dalam KUHAP ialah sebagai berikut:

a) Keterangan Saksi

Pada pemeriksaan persidangan di tingkat pertama, penuntut umum menghadirkan 11 orang saksi yang terdiri dari 4 orang polisi, ayah kandung korban, 4 orang saksi mahkota81, dan 2 orang saksi verbalisan. Akan tetapi, seluruh saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum tidak ada satupun yang mendengar, melihat, dan atau mengalami langsung bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan, termasuk polisi yang memeriksa terdakwa dalam BAP dan mengatakan bahwa terdakwa telah mengakui sendiri perbuatannya pun tidak melihat ataupun mengalami langsung pada saat para terdakwa melakukan tindak pidana terhadap korban. Maka dapat kita katakan bahwa saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum seluruhnya adalah saksi testimonium deauditu82.

Dalam praktek peradilan di Indonesia, sejak dikeluarkannya Putusan MK 65/PUU-VIII/2010, penggunaan saksi testimonium deauditu mulai diberlakukan. Melalui Putusan MK 65/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tujuan dari diberlakukannya saksi

testimonium deauditu adalah untuk tidak membatasi atau bahkan

81 Supra: hlm. 36

menghilangkan kesempatan bagi terdakwa untuk mengajukan saksi yang meringankan. Menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK 65/PUU-VIII/2010, pengertian saksi menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit hanya dengan mengacu pada Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP. Pengertian saksi dalam pasal tersebut membatasi bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya karena frase “ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia

alami sendiri” mensyaratkan bahwa hanya saksi yang

mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri suatu perbuatan yang dapat diajukan sebagai saksi menguntungkan bagi tersangka/terdakwa.

Akan tetapi, tidak seluruh keterangan saksi testimonium deauditu dapat digunakan. Keterangan saksi testimonium deauditu yang dapat digunakan adalah keterangan saksi yang masih memiliki korelasi dengan kejadian atau keterangan tersebut dapat menunjukan bahwa pada saat terjadinya tindak pidana, terdakwa tidak berada di tempat kejadian atau tidak terlibat dalam tindak pidana tersebut, serta saksi tersebut adalah saksi alibi yang melalui keterangannya dapat membuktikan bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana. Dalam kasus ini yang menjadi saksi alibi adalah saksi Rere Septiani dan saksi Fransiska als Mak Parung yang dalam keterangannya di

pengadilan mengatakan bahwa pada saat kejadian para terdakwa tidak berada di lokasi kejadian melainkan berada di Parung bersama dengan saksi. Kedua saksi tersebut dapat membuktikan bahwa para terdakwa tidak bersalah karena meskipun saksi tidak melihat, mendengar, dan mengalami sendiri saat terjadinya tindak pidana terhadap korban secara langsung, tetapi mereka dapat membuktikan bahwa para terdakwa tidak berada di tempat kejadian perkara pada saat terjadinya tindak pidana terhadap korban.

Keterangan saksi yang diberikan oleh saksi-saksi dari penuntut umum dalam persidangan sebagai alat bukti, berbeda dengan saksi alibi yang dihadirkan oleh penasehat hukum para terdakwa, meskipun sama-sama menjadi saksi testimonium deauditu, karena keterangan saksi tersebut tidak berkaitan dengan saat terjadinya tindak pidana. Selain itu, saksi a charge

yang menyatakan bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana adalah saksi Rasma, saksi Dominggus Ie Manu, saksi Jaidi Pendi, dan saksi Dwi Kusmanto. Dari keempat saksi a charge yang merupakan anggota kepolisian tersebut tidak ada satupun saksi yang ikut langsung memeriksa terdakwa pada saat pemeriksaan di BAP, para saksi mengetahui terdakwa telah melakukan tindak pidana karena mendengar informasi dari sesama rekan polisi bahwa para terdakwa mengaku saat

pemeriksaan di BAP dan juga berdasarkan kecurigaan saksi (saksi Jaidi Pendi) terhadap terdakwa.

Keterangan keempat saksi tersebut diatas yang menyatakan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana hanyalah berupa pendapat dari hasil pemikiran saja karena tidak ada satupun saksi yang ikut memeriksa para terdakwa di BAP dan mendengar langsung bahwa terdakwa mengakui telah melakukan tindak pidana. Sesuai dengan aturan dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP yang menyatakan bahwa “Baik pendapat

maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi”, apabila kemudian dikaitkan dengan aturan tersebut, maka keterangan yang diberikan oleh para saksi a quo bukanlah termasuk dalam keterangan saksi, oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan oleh majelis dalam pembuktian kesalahan terdakwa. Dengan demikian, keterangan tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai alat bukti.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim tingkat pertama tidak objektif terhadap penilaian keterangan saksi a de charge. Majelis hakim tingkat pertama tidak mempertimbangkan dan mengesampingkan keterangan saksi a de charge yang dihadirkan dalam persidangan dengan alasan bahwa saksi a de

charge seluruhnya adalah teman terdakwa yang sudah pasti akan membela terdakwa.

Menurut Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.83 kekuatan pembuktian saksi yang diajukan oleh tersangka atau penasehat hukumnya memiliki nilai kekuatan pembuktian yang kuat dan sama dengan saksi-saksi lainnya asalkan memenuhi kualitas keterangan saksi yaitu bersifat netral dan objektif, keterangan yang diberikan berdasarkan apa yang ia alami dan/atau ia lihat dan/atau ia dengar sendiri yang diberikan di bawah/di atas sumpah. Perbedaannya terletak kepada sifat pembuktiannya, yaitu pembuktian yang bersifat negatif. Maksudnya, keterangan kesaksian atau alat bukti yang diajukan tersebut membuktikan sebaliknya, yakni membuktikan bahwa tidak dipenuhinya unsur- unsur tindak pidana yang disangkakan kepadanya.

Dari seluruh saksi a de charge yang dihadirkan dalam persidangan, dua diantaranya yaitu saksi Rere Septiani dan saksi Fransiska als Mak Parung dalam keterangannya di pengadilan mengatakan bahwa saksi bersama dengan para terdakwa di Parung pada malam waktu terjadinya tindak pidana pembunuhan terhadap korban. Keterangan kedua saksi tersebut secara negatif telah membuktikan bahwa para terdakwa tidak melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap korban, karena pada waktu terjadinya tindak pidana para terdakwa tidak berada di lokasi

kejadian (tempus delicti) yaitu di bawah jembatan Cipulir melainkan berada di Parung bersama dengan saksi. Dari keterangan kedua saksi tersebut kemudian diperoleh petunjuk bahwa yang melakukan tindak pidana pembunuhan bukanlah para terdakwa sehingga unsur kedua yaitu dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain menjadi tidak terpenuhi.

Dalam persidangan juga dihadirkan saksi a de charge

yang diajukan oleh penasehat hukum yaitu saksi Iyan Pribadi yang mengatakan bahwa yang melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap korban bukanlah para terdakwa melainkan orang lain. Penjelasan saksi tersebut kemudian memunculkan petunjuk baru bahwa yang melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap korban bukanlah para terdakwa melainkan orang lain yang bernama Brengos dan Jubay. Menurut Dr. Chairul Huda84, pelaksanaan asas praduga tak bersalah dalam pembuktian perkara pidana mengharuskan pembuktian telah terjadi tindak pidana dan seorang telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut, berdasarkan bukti- bukti yang tidak menimbulkan keraguan sedikitpun (beyond the reasonable doubt) yang diperoleh secara sah, prinsip ini dimulai sejak tahap penyidikan.

Keterangan dari saksi Iyan Pribadi telah menimbulkan keraguan tentang siapa yang sebenarnya telah membunuh

korban, namun sayangnya, saksi Iyan Pribadi dan juga saksi Fransiska als Mak Parung yang merupakan saksi alibi tidak dipanggil dan diperiksa oleh penyidik pada saat pemeriksaan di BAP. Tidak dilaksanakannya kewajiban hukum untuk memanggil dan memeriksa saksi guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi diri Tersangka/Terdakwa dimaksud, dapat dipandang sebagai pengingkaran terhadap Pasal 116 ayat (4) KUHAP.

Tidak terpenuhinya alat bukti sesuai dengan aturan yang terdapat pada KUHAP, dalam hal ini keterangan saksi, juga terlihat dari putusan majelis hakim tingkat pertama yang tidak mempertimbangkan keterangan yang diberikan oleh saksi dalam pemeriksaan di persidangan. Majelis hakim menjatuhkan putusannya berdasarkan pada keterangan saksi saat pemeriksaan di BAP.

BAP yang berisikan berita acara pemeriksaan saksi dapat dijadikan alat bukti surat apabila saksi yang bersangkutan tidak dapat dihadirkan di dalam persidangan, namun apabila saksi yang bersangkutan dapat menghadiri pemeriksaan di persidangan, maka kemudian keterangan saksi yang dapat dijadikan alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di dalam persidangan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP).

Pada saat pemeriksaan saksi di persidangan, seluruh saksi mahkota yang dihadirkan oleh penuntut umum mencabut keterangan yang mereka berikan di BAP dan menyatakan bahwa keterangan di BAP tersebut hanyalah karangan saja karena saksi pada saat diperiksa berada dalam kondisi dibawah tekanan dan disiksa. Pasal 185 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa

“keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”, hal tersebut dikarenakan pada saat pemeriksaan pembuktian di persidangan, seorang saksi, sebelum memberikan keterangannya haruslah disumpah terlebih dahulu dengan tujuan agar saksi tersebut memberikan keterangan yang tiada lain dari yang sebenar-benarnya. Alasan lain mengapa keterangan saksi yang menjadi alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan adalah agar hakim dapat menilai keterangan saksi itu, yaitu tentang kebenaran keterangan saksi apakah yang diterangkan tersebut sesuai yang ia lihat, ia dengar atau ia alami sendiri.85 Dari bunyi Pasal 185 ayat (1) KUHAP diterangkan bahwa keterangan saksi yang menjadi alat bukti ialah apa yang dinyatakan oleh saksi di sidang pengadilan, melihat dari penjelasan ini penulis berpendapat bahwa dengan demikian majelis hakim tingkat pertama tidak dapat menjadikan keterangan yang saksi nyatakan dalam BAP sebagai dasar pertimbangannya bahwa para

85

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana: Untuk Mahasiswa dan Praktisi, Bandung, Mandar Maju, Bandung, 2003, Hlm 91

terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan terhadap para terdakwa.

b) Pengakuan Terdakwa

Pada saat pemeriksaan di persidangan, penuntut umum juga menghadirkan dua orang saksi verbalisan yaitu saksi Jubirin Ginting , SH dan saksi Suhartono,SH yang merupakan anggota polisi yang memeriksa terdakwa pada saat di BAP. Para saksi menyatakan bahwa pada saat pemeriksaan BAP, para terdakwa (yang pada saat pemeriksaan BAP masih berstatus tersangka) mengaku telah melakukan tindak pidana sebagaimana telah didakwakan kepadanya tanpa ada tekanan, paksaan, ataupun kekerasan dari pihak manapun. Meskipun saksi mengatakan bahwa para terdakwa (yang pada saat pemeriksaan BAP masih berstatus tersangka) mengakui sendiri bahwa mereka telah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan, akan tetapi pengakuan tersebut hanya pada saat pemeriksaan di BAP bukan pada saat sidang di pengadilan dan para terdakwa telah mencabut keterangannya dalam BAP, sehingga pengakuan terdakwa (yang pada saat pemeriksaan BAP masih berstatus tersangka) di BAP tersebut tidak lagi menjadi alat bukti. Di sisi lain, pengakuan terdakwa sendiri tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah (Pasal 189 ayat (4) KUHAP). Penjelasan mengenai pengakuan

terdakwa diatas juga dikemukakan oleh Abdul Karim Nasution86 yaitu:

“a. Pengakuan tersebut harus diberikan oleh terdakwa sendiri sehingga suatu keterangan pengakuan yang diberikan oleh pembelanya tidak dapat dianggap sebagai pengakuan. Selanjutnya pengakuan harus diberikan secara bebas dan tidak dipaksa, dan tidaklah boleh memperolehnya dengan jalan memancing atas dasar pertanyaan-pentanyaan yang menjerat. Paksaan, kekerasan atau tipu daya menyebabkan suatu pengakuan menjadi tidak berharga sebagai alat bukti yang sah.

b. Suatu pengakuan haruslah diberikan dimuka hakim. Yang dimaksudkan disini adalah suatu pengakuan yang diberikan di sidang pengadilan yang memeriksa perkara terdakwa tersebut. Suatu pengakuan yang diberikan pada jaksa, pembantu jaksa (istilah HIR untuk polisi) ata u siapapun bukanlah pengakuan. Di luar pengadilan, maka suatu pengakuan hanyalah menimbulkan petunjuk, dan hanyalah menjadi alat bukti yang sah jika didukung oleh petunjuk-petunjuk lain.

c. Pengakuan harus dengan teliti menyatakan cara - cara kejahatan tersebut dilakukan dan oleh sebab itu juga bahwa terdakwa mempunyai kesengajaan tertentu untuk melakukan suatu tindak pidana. Keterangan terdakwa bahwa ia bersalah tenhadap kejahatan yang dituduhkan padanya tidaklah dapat dianggap telah mencukupi.

d. Suatu pengakuan harus selanjutnya diberikan dengan tegas. Diamnya seorang terdakwa, ia malahan pengakuan sebagian, dan ia tidak dapat memberi penjelasan tentang hal-hal yang memberatkan kesalahannya, dan harus mengakui kekuatan alat-alat bukti, belumlah merupakan pengakuan kesalahan, hal tersebut hanyalah dapat dianggap ada, jika tendakwa tegas menenangkan bahwa ia telah melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadanya.

e. Pengakuan harus dikuatkan dengan keadaan- keadaan lain. Keadaan-keadaan yang dimaksud oleh pembuat undang-undang bukanlah harus bahwa peristiwa tersebut menyimpulkan suatu

86 Abdul Karim Nasution, Masa lah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana, Jilid I, II, dan III, Korps Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta, 1975, hlm. 13-25

kesalahan, tetapi cukuplah bahwa keadaan- keadaan tersebut membuat pengakuan tersebut dapat dipercaya, keadaan-keadaan mana seharusnya harus dapat dibuktikan. Keadaan- keadaan tersebut dengan demikian dapat merupakan alat-alat bukti yang sah, ataupun keadaan-keadaan yang bukan merupakan alat bukti yang sah.

f. Akhirnya jika pengakuan tersebut seyogyanya dapat diterima, maka hakim haruslah merasa yakin atasnya. Hakim tidaklah mempunyai perasaan ragu, apakah mungkin pengakuan tersebut diberikan bertentangan dengan kebenaran, atau dengan maksud untuk melindungi orang lain, atau karena untuk mencegah pemeriksaan lebih lanjut, atau karena alasan- alasan lain selama kebenaran dan suatu alat bukti tidak seluruhnya dapat diterima oleh akal, maka tidaklah dapat ia memberikan keyakinan penuh.”

Maka dengan beberapa penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa pengakuan terdakwa saja tidak cukup menjadi alat bukti tetapi penuntut umum juga harus memberikan alat bukti lain yang mendukung pengakuan tersebut sehingga pengakuan terdakwa seperti yang diajukan oleh Penuntut umum menjadi alat bukti yang sah di dalam persidangan.

c) Petunjuk

Pada saat pemeriksaan di tingkat banding dan kasasi, majelis hakim banding dan majelis hakim kasasi berdasarkan pemeriksaan seluruh alat bukti yang dihadirkan pada saat pemeriksaan, tidak memperoleh petunjuk yang meyakinkan bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap korban. Adapun petunjuk yang diperoleh oleh majelis hakim banding dan kasasi dari keterangan saksi

serta keterangan terdakwa di persidangan adalah bahwa para terdakwa tidak melakukan tindak pidana pembunuhan dan bahwa pada saat jam kejadian terjadinya tindak pidana pembunuhan terhadap korban para terdakwa tidak berada di tempat kejadian perkara (tempus delicti tidak terpenuhi).

Pada perkara ini, penuntut umum hanya mampu menghadirkan 2 jenis alat bukti yaitu keterangan saksi dan surat pada saat pemeriksaan di persidangan. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya oleh penulis bahwa saksi yang diajukan oleh penuntut umum tidak ada yang melihat atau mengetahui langsung terdakwa melakukan tindak pidana pembunuhan sebagaimana didakwakan kepadanya dan juga keterangannya tidak memiliki korelasi dengan saat terjadinya tindak pidana karena keterangan tersebut berupa pendapat dari hasil pemikiran saja. Dengan demikian keterangan para saksi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti dan oleh karena itu maka penuntut umum kemudian hanya mampu menghadirkan satu alat bukti saja dalam sidang pengadilan yaitu alat bukti surat keterangan hasil Visum Et Repertum No; HK.05.01/11.1/919/2013 tanggal 5 Juli 2013 atas nama mayat Diky Maulana yang berisi tentang penyebab kematian korban.

Majelis hakim tingkat pertama telah kurang teliti dalam pertimbangannya dan tidak rinci dalam menilai alat bukti pada saat pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama. Majelis hakim tingkat pertama telah salah menerapkan hukum dalam putusannya.

Kurangnya alat bukti yang dihadirkan pada saat persidangan dan tidak diperolehnya petunjuk yang meyakinkan majelis hakim banding dan kasasi bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan menjadi dasar pertimbangan bagi majelis hakim banding dan kasasi menjatuhkan vonis bebas terhadap para terdakwa. Hal ini sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP.

Dokumen terkait