BAB II
KAJIAN TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS
A.
Kajian Teori
1.
Tindak Pidana
a.
Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan salah satu bagian dari hukum
pidana. Hukum pidana baru dapat diterapkan apabila seseorang
terbukti melakukan suatu tindak pidana. Istilah tindak pidana
berasal dari bahasa Belanda yaitu “strafbaarfeit”.
“Strafbaarfeit” memiliki arti yaitu:17 “1) Delik (delict)
2) Peristiwa pidana 3) Perbuatan pidana
4) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum 5) Hal yang diancam dengan hukum
6) Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum
7) Tindak pidana.”
Menurut Pompe (Lamintang 2011:182) yang dimaksud
dengan tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma
(gangguan terhadap tata tertib hukum) tertib hukum yang
dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.18
Sedangkan menurut Moeljanto, yang dimaksud dengan tindak
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.19
Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh
aturan hukum, dalam hal ini yaitu hukum pidana, dimana orang
yang melanggar aturan hukum tersebut dapat dikenakan sanksi
pidana. Adanya aturan hukum mengenai tindak pidana menjadi
sangat penting karena dianutnya asas legalitas dalam sistem
hukum pidana di Indonesia. Pemberlakuan asas legalitas
ditunjukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”, yang dalam pembelajaran ilmu hukum sering juga disebut dengan
nullum delictum nulla poena sine praevia poenali.
b.
Unsur-unsur Tindak Pidana
Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dapat
langsung dikenakan sanksi pidana. Hakim tidak bisa langsung
serta-merta memberikan sanksi pidana terhadap pelaku tindak
pidana. Sebelum menjatuhkan sanksi pidana, terlebih dahulu
18
P.A.F., Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, Hlm 182
harus dilakukan pembuktian bahwa orang tersebut memang
benar telah melakukan suatu tindak pidana dan telah memenuhi
unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana itu sendiri
terdiri dari:20
1) Suatu perbuatan manusia.
2) Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang.
3) Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Moeljanto juga menjabarkan unsur-unsur tindak pidana
yang tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, yaitu
unsur-unsurnya terdiri sebagai berikut:21
1) Perbuatan manusia
2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang
3) Bersifat melawan hukum
Pada intinya, suatu perbuatan baru dapat dikatakan tindak
pidana apabila telah memenuhi seluruh unsur-unsur tindak
pidana, yaitu:
1) Adanya perbuatan
Terdapat dua jenis kategori perbuatan di dalam
KUHP, yaitu melakukan suatu perbuatan dan tidak
melakukan suatu perbuatan. Melakukan suatu perbuatan
berarti orang tersebut telah melakukan suatu tindakan
yang dimana tindakan tersebut dilarang oleh
undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak
melakukan suatu perbuatan adalah keadaan dimana
seseorang tidak melakukan perbuatan yang telah
diwajibkan oleh undang-undang kepadanya.
2) Bersifat melawan hukum
Sifat melawan hukum dalam tindak pidana dibagi
menjadi dua, yaitu sifat melawan hukum formil (formale wederrechtelijk) dan sifat melawan hukum materiil
(materiel wedderrchtelijk). Yang dimaksud dengan sifat melawan hukum formil adalah perbuatan yang dilakukan
telah memenuhi rumusan undang-undang, kecuali
diadakan pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan
oleh undang-undang, melawan hukum berarti melawan
undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang.
Sedangkan menurut sifat melawan hukum materiil ialah
belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan
undang-undang bersifat melawan hukum, karena yang dinamakan
hukum itu bukan hanya undang-undang saja (hukum yang
yakni kaidah-kaidah atau kenyataan yang berlaku di
masyarakat.22
3) Dapat dipertanggungjawabkan
Seseorang baru dapat dikatakan melakukan tindak
pidana apabila orang tersebut merupakan orang yang
cakap hukum sehingga dapat dimintai
pertanggungjawaban atas pelanggaran yang dilakukannya.
Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh orang yang tidak
cakap hukum, maka perbuatan tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai tindak pidana dan terhadap pelakunya
tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana, hal ini diatur di
dalam Pasal 44 KUHP yaitu “Barang siapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
2.
Tindak Pidana Pembunuhan
a.
Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan
Tindak pidana pembunuhan diatur dalam Buku Kedua Bab
XIX Pasal 338 sampai Pasal 350 KUHP yang mengatur tentang
kejahatan terhadap nyawa. Pembunuhan adalah suatu tindakan
yang dilakukan oleh seseorang yang mengakibatkan meninggal
atau hilangnya nyawa orang lain. Lamintang mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan pembunuhan adalah kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain, untuk menghilangkan nyawa
orang lain itu, seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau
suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya
orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain
tersebut.23
Terdapat beberapa jenis tindak pidana pembunuhan, yaitu:
1) Tindak pidana pembunuhan biasa ( Pasal 338
KUHP).
2) Tindak pidana pembunuhan berencana ( Pasal 340
KUHP).
3) Tindak pidana pembunuhan terhadap anak yang baru
dilahirkan oleh ibunya sendiri ( Pasal 341 sampai
pasal 342 KUHP).
4) Kejahatan menghilangkan nyawa orang lain atas
permintaan dari orang itu sendiri ( Pasal 344
KUHP).
5) Kejahatan berupa kesengajaan mendorong atau
membantu orang lain melakukan bunuh diri ( Pasal
345 KUHP).
6) Kejahatan berupa kesengajaan untuk menggugurkan
kandungan ( Pasal 346 sampai Pasal 349 KUHP).
Tindak pidana pembunuhan termasuk ke dalam kategori
delik materiil yaitu perbuatan tersebut baru dapat dikatakan
tindak pidana jika akibat dari perbuatan tersebut sudah terjadi.
Dalam delik formil yang dirumuskan adalah tindakan yang
dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak
mempersoalkan akibat dari tindakan itu.24 Sedangkan delik
materiil merupakan delik yang baru dapat dianggap telah selesai
dilakukan oleh pelakunya apabila timbul akibat yang dilarang
(akibat konstitutif atau constitutief-gevolg) yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang.25 Dengan kata lain, dalam
delik formil suatu tindak pidana dianggap telah terjadi atau telah
selesai apabila tindakan-tindakan yang dilarang oleh
undang-undang telah terpenuhi tanpa memperhatikan ada atau tidaknya
akibat dari perbuatan tersebut. Berbeda dengan delik formil,
dalam delik materiil adanya akibat atau telah terjadinya akibat
dari perbuatan tersebut merupakan unsur yang paling penting
untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikatakan
tindak pidana atau tidak.
24 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya . Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982, Hlm 237
b.
Unsur-unsur Tindak Pidana Pembunuhan
Terdapat dua jenis unsur dalam tindak pidana
pembunuhan, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur
subjektif ialah unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku (niat
dari pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut) dan unsur
objekti ialah unsur yang berasal dari luar diri si pelaku. Tindak
pidana pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP yang
berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Dalam pasal tersebut,
terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi agar suatu
perbuatan dapat dikatakan tindak pidana pembunuhan, yaitu:
1) Barang siapa dengan sengaja (unsur subjektif)
Unsur subjektif merupakan unsur yang timbul dari
dalam diri pelaku sendiri. Barang siapa dengan sengaja
menunjukan bahwa telah muncul niat dari dalam diri
pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut dan pelaku
mengetahui akibat yang akan timbul dari perbuatannya
tersebut. Terdapat tiga jenis kesengajaan dalam hukum
a) Sengaja sebagai maksud
Sengaja sebagai maksud adalah apabila pelaku
menghendaki akibat perbuatannya. Ia tidak pernah
melakukan perbuatannya apabila pelaku tersebut
tidak mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya
tidak akan terjadi.26
b) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian
Kesengajaan semacam ini ada apabila si
pelaku, dengan perbuatannya itu bertujuan untuk
mencapai akibat yang akan menjadi dasar dari tindak
pidana, kecuali ia tahu benar, bahwa akibat itu
mengikuti perbuatan itu.27
c) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan
Sengaja dengan kesadaran kemungkinan
adalah keadaan dimana pelaku yang bersangkutan
pada waktu melakukan perbuatan itu untuk
menimbulkan suatu akibat, yang dilarang oleh
undang-undang telah menyadari kemungkinan akan
26 Andi Hamzah. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta, Rineka Cipta, 2008, Hlm. 116
timbul suatu akibat lain dari pada akibat yang
memang ia kehendaki.28
Dalam Pasal 338 KUHP dikatakan “Barang
siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain....” unsur kesengajaan disini ialah unsur sengaja
sebagai maksud, yaitu pelaku telah mengetahui
akibat dari perbuatannya dan pelaku menghendaki
akibat tersebut sehingga kemudian pelaku
melakukan tindak pidana pembunuhan.
2) Merampas nyawa orang lain (unsur objektif)
Merampas nyawa orang lain atau menghilangkan
nyawa orang lain menunjukan bahwa untuk dapat
dikatakan tindak pidana pembunuhan, perbuatan yang
dilakukan oleh pelaku tersebut harus telah menunjukkan
akibatnya yaitu hilangnya nyawa seseorang. Apabila
perbuatan tersebut belum mengakibatkan hilangnya nyawa
seseorang, perbuatan si pelaku itu masih tergolong dalam
kategori percobaan pembunuhan dan terhadap pelaku tidak
dapat dijatuhkan sanksi pidana pembunuhan meskipun
pada saat melakukan perbuatannya pelaku telah memiliki
niat untuk membunuh korbannya.
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain)
terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:29
a) Adanya wujud perbuatan
b) Adanya suatu kematian (orang lain)
c) Adanya hubungan sebab dan akibat (causal Verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain).
3.
Pembuktian
Pembuktian dalam persidangan mempunyai peranan yang sangat
penting, karena segala alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan
akan menjadi tolok ukur bagi hakim dalam membangun
pertimbangannya. Pembuktian jugalah yang nantinya akan
memberikan petunjuk bagi hakim untuk menentukan apakah
seseorang memang benar telah melakukan tindak pidana atau tidak.
“Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara – cara yang dibenarkan undang – undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan kesatuan yang mengatur alat – alat bukti yang dibenarkan undang – undang dan yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan30”.
Dalam proses pembuktian, Indonesia juga menggunakan empat
prinsip pembuktian dalam persidangan pidana, yaitu:
29 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta, P.T.Raja Grafindo, 2010, Hlm. 57
a. Dibutuhkannya 2 alat bukti (Pasal 183 KUHAP)
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan (Pasal 184 ayat (2) KUHAP)
Prinsip ini diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang
berbunyi “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan” atau biasa disebut dengan istilah notoire feiten
notorius (generally known). Lilik Mulyadi kemudian membagi
notoire feiten ke dalam 2 golongan, yaitu:31
“1) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian hal yang benarnya atau semestinya demikian.
2) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian.”
c. Satu saksi bukan saksi (Pasal 185 ayat (2) KUHAP)
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya”, prinsip ini sering dikenal dengan
istilah unus testis nullum testis
d. Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa (Pasal 189 ayat (4) KUHAP)
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.”
Secara umum, terdapat beberapa teori pembuktian, yaitu:32
1) Teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (Positief Wetelijke Bewijs Theorie)
Yaitu teori pembuktian yang mendasarkan pada
alat-alat bukti yang terdapat dalam Undang-Undang.
2) Teori berdasarkan keyakinan hakim melulu (Conviction Intime)
Yaitu teori ini didasarkan pada pendapat bahwa
pengakuan terdakwa tidak selalu dapat membuktikan
kebenaran, oleh karena itu bagaimanapun diperlukan juga
keyakinan hakim.
3) Teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang logis (Ia Conviction Rais Onnee)
Yaitu Hakim memutuskan seseorang bersalah harus
berdasarkan keyakinannya, keyakinan tersebut harus
didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan
suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada
peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
Beberapa teori lain mengenai pembuktian juga dijelaskan
oleh Waluyadi dalam bukunya yang berjudul Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi, yaitu:33
a. Conviction-in Time
“Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, yakni dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.”
b. Conviction-Raisonee
Sistem conviction-raisonee pun, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam
menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, pada sistem ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas. Hakim harus mendasarkan putusan-putusannya terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan (reasoning). Oleh karena itu putusan juga bedasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal (reasonable). Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijs bewijstheorie).
c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke stelsel)
“Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Terpenuhinya syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.”
d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke stelsel)
Sistem pembuktian yang dianut oleh di Indonesia adalah sistem
pembuktian Undang-Undang secara negatif (Negatiefe Wettelijke Bewijs Theorie), yaitu dalam pembuktian perkara pidana berpangkal tolak dari aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif
dalam Undang-Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan
Hakim34. Sistem pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
Pada sistem pembuktian secara negatif diperlukan minimal 2 alat
bukti yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan kemudian
berdasarkan hasil pemeriksaan dari 2 alat bukti itulah hakim akan
menentukan pertimbangannya. Alat bukti yang sah menurut
Undang-Undang yaitu Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:
a) Keterangan saksi
b) Keterangan ahli
c) Surat
d) Petunjuk
e) Keterangan terdakwa
a.
Pe mb u kt i a n Me n u r u t Ah l i d a l a m P u t u s a n
Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010
Menurut Prof. Dr. Edy O.S. Hiariej35 Pembuktian dalam
hukum pidana dimulai sejak tahap penyelidikan dan/atau
penyidikan sampai pada tahap pemeriksaan di sidang
pengadilan. Oleh karena itu penyidik maupun penuntut dapat
meminta keterangan saksi yang memberatkan mulai dari tahap
34
M.Haryanto, Hukum Acara Pidana, Salatiga, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2007, Hlm. 86
penyelidikan dan atau penyidikan sampai tahap persidangan.
Begitu pula sebaliknya, sebagai penyeimbang, tersangka dapat
meminta keterangan saksi yang meringankan mulai dari tahap
penyelidikan dan atau penyidikan sampai tahap persidangan.
Teori tersebut kemudian didukung oleh pendapat dari Dr.
Mudzakkir, S.H., M.H.36 yang menjelaskan bahwa kekuatan
pembuktian saksi yang diajukan oleh tersangka/penasehat
hukumnya memiliki nilai kekuatan pembuktian yang kuat dan
sama dengan saksi-saksi lainnya asalkan memenuhi kualitas
keterangan saksi yaitu bersifat netral dan objektif, keterangan
yang diberikan berdasarkan apa yang ia alami dan/atau ia lihat
dan/atau ia dengar sendiri yang diberikan di bawah/di atas
sumpah. Perbedaannya terletak kepada sifat pembuktiannya,
yaitu pembuktian yang bersifat negatif. Maksudnya, keterangan
kesaksian atau alat bukti yang diajukan tersebut membuktikan
sebaliknya, yakni membuktikan bahwa tidak dipenuhinya
unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan kepadanya.
Tujuan dipanggil serta diperiksanya saksi baik saksi
memberatkan maupun meringankan dari sejak dari tahap
penyelidikan ialah untuk memastikan bahwa benar telah terjadi
suatu tindak pidana. Dalam hukum pidana di Indonesia dikenal
asas praduga tak bersalah yang dimana asas ini juga
diberlakukan pada saat tahap pembuktian. Menurut Dr. Chairul
Huda37, pelaksanaan asas praduga tak bersalah dalam
pembuktian perkara pidana mengharuskan pembuktian telah
terjadi tindak pidana dan seorang telah bersalah melakukan
tindak pidana tersebut, berdasarkan bukti-bukti yang tidak
menimbulkan keraguan sedikitpun (beyond the reasonable doubt), yang diperoleh secara sah.
b.
Macam-Macam Alat Bukti
1) Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah berupa keterangan dari
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka
27 KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan saksi
menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah “Orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri”.
Akan tetapi pengertian keterangan saksi sebagai salah satu
alat bukti dalam persidangan tidak berhenti sampai disini
saja. Keterangan saksi dalam persidangan baru dapat
dikatakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan
saksi tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat
materiil. Syarat formil yaitu keterangan saksi dianggap sah
apabila diberikan di bawah sumpah yang terdapat dalam
Pasal 160 ayat ( 3 ) KUHAP dan syarat materiil yaitu
kesaksian dari seorang saksi itu harus mengenai hal – hal
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri,
dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
Terdapat 3 jenis saksi dalam persidangan pidana,
yaitu saksi A Charge atau saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan
kesaksiannya yang memberatkan terdakwa, saksi A De Charge atau saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya
meringankan terdakwa, serta yang terakhir ialah saksi
mahkota yang diatur dalam Putusan Mahkamah Agung
No. 2437 K/Pid.Sus/2011, definisi saksi mahkota ialah
sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang
tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama
melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada
Saksi tersebut diberikan mahkota.
Dalam Putusan MK 65/PUU-VIII/2010, Majelis
Hakim Konstitusi menambahkan 1 jenis keterangan saksi
yaitu keterangan saksi yang tidak mendengar, melihat,
atau mengalami secara langsung suatu peristiwa atau
testimonium deauditu dalam Putusan MK a quo lebih ditekankan kepada saksi A De Charge atau saksi yang meringankan, hal ini bertujuan untuk tidak membatasi atau
bahkan menghilangkan kesempatan bagi terdakwa untuk
mengajukan saksi yang meringankan. Namun, tidak
seluruh keterangan saksi testimonium deauditu dapat dijadikan sebagai alat bukti. Keterangan saksi testimonium deauditu baru dapat dijadikan alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK 65/PUU-VIII/2010 ialah
apabila keterangan saksi tersebut memiliki keterkaitan
dengan terdakwa pada saat terjadinya tindak pidana atau
keterangan tersebut dapat membuktikan dan kemudian
menjadi alibi bahwa terdakwa tidak melakukan tindak
pidana.
Hakim memiliki kebebasan untuk menilai kekuatan
pembuktian dari keterangan saksi. Akan tetapi, kebebasan
penilaian hakim disini ialah kebebasan yang harus dapat
dipertanggungjawabkan dan bukan merupakan tindakan
kesewenang-wenangan hakim.
2) Keterangan Ahli
Dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP dijelaskan bahwa
“Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Dari pengertian itu maka
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ahli
adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam
suatu bidang tertentu, yang dalam hal ini, berkaitan
dengan perkara pidana yang sedang diperiksa oleh
pengadilan. Seorang ahli dalam memberikan keterangan
sesuai dengan bidangnya di suatu persidangan haruslah
berada di bawah sumpah sesuai dengan syarat sahnya alat
bukti keterangan ahli. Keterangan ahli sebagai alat bukti
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli secara
lisan di depan persidangan. Apabila seorang ahli di bawah
sumpah telah memberikan keterangan tertulis di luar
persidangan dan keterangan tersebut dibacakan di depan
sidang pengadilan, keterangan ahli tersebut merupakan
alat bukti surat.38
3) Surat
Surat adalah kertas yang bertuliskan buah pikiran
atau perasaan seseorang. Karakteristik surat yang dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sah diatur dalam Pasal
187 KUHAP yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan,
atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Dengan kata
lain, surat yang dapat digunakan sebagai alat bukti adalah
surat yang isi maupun keterangan di dalamnya dibuat atas
sumpah jabatan dan dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang secara resmi. Adapun berdasarkan Pasal 187
KUHAP, surat yang dapat digunakan sebagai alat bukti,
adalah:
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang
dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau
yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat
atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan.
c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
daripadanya.
d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
4) Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan,
yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan
keterangan terdakwa, yang karena persesuaiannya, baik
antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya.39 Menurut Pasal 188
ayat (3) KUHAP, penilaian atas kekuatan pembuktian dari
suatu petunjuk dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati
nuraninya. Pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim disini
ialah pemeriksaan yang dilakukan selama persidangan,
maka dengan kata lain penilaian hakim terhadap petunjuk
yang dilakukan diluar persidangan tidak dapat dijadikan
sebagai dasar pembuktian dalam pertimbangan hakim.
5) Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa
nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau
yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri ( Pasal 189 ayat
(1) KUHAP). Keterangan terdakwa tidak harus selalu
berbentuk pengakuan terdakwa atas perbuatan yang
dilakukannya, keterangan terdakwa juga dapat berupa
penyangkalan dari terdakwa terhadap perbuatan yang
didakwakan atas dirinya. Keterangan terdakwa baru dapat
dikatakan alat bukti apabila keterangan yang ia berikan
dalam persidangan tersebut merupakan keterangan atas
perbuatan yang ia lakukan sendiri, apa yang ia ketahui
sendiri, dan apa yang ia alami sendiri. Sesuai dengan
prinsip pembuktian yang dijelaskan dalam Kedudukan
keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak dapat berdiri
sendiri meskipun keterangan terdakwa yang diberikan
dalam persidangan merupakan pengakuan terdakwa bahwa
ia memang melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya. Keterangan tersebut, meskipun berupa
pengakuan dari terdakwa, tetap harus didukung oleh alat
bukti lainnya yang menunjukkan bahwa memang terdakwa
telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya. Hal ini sesuai dengan prinsip pembuktian yang
diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
4.
Teori Pertimbangan Hakim
Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 angka 8 KUHAP).
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 9 KUHAP). Dalam melaksanakan proses mengadili, seorang hakim
tetap harus memperhatikan tiga asas peradilan yaitu sederhana, cepat,
dan biaya ringan. Pengertian hakim di Indonesia kemudian diatur
lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa
“Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut”.
Tugas hakim secara normatif diatur dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu:
a. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.
b. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.
c. Menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
d. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
e. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum
kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila
diminta.
Sebagai bentuk akhir dari proses mengadili, hakim kemudian
mengeluarkan produk hukum yaitu putusan. Putusan hakim, dalam
perkara pidana, adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena
jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk
umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana
pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan
dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan
penyelesaian perkaranya.40
Putusan hakim berisi pertimbangan-pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan sanksi pidana berdasarkan proses pemeriksaan fakta dan
bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Seorang hakim apabila
ingin menjatuhkan putusan yang baik dalam memberikan
pertimbangannya harus berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang
terungkap dalam persidangan dan juga harus sesuai dengan ketentuan
undang-undang yang berlaku tanpa terkena pengaruh atau intervensi
dari pihak-pihak luar.
Tujuan dari dijatuhkannya sanksi pidana dalam suatu putusan
hakim adalah untuk mencegah masyarakat melakukan hal yang sama
seperti apa yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana, dengan
adanya penjatuhan sanksi pidana tersebut diharapkan masyarakat akan
merasa takut untuk melakukan tindak pidana. Adapun tujuan lain dari
penjatuhan sanksi pidana dalam suatu putusan adalah untuk membuat
efek jera terhadap pelaku tindak pidana sehingga mereka tidak akan
mengulangi perbuatannya lagi.
Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dikatakan “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan
yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam mengadili dan
menegakkan hukum.41 Hakim memiliki kebebasan untuk memberikan
pertimbangan dan menjatuhkan suatu putusan pengadilan sesuai
dengan kewenangannya. Kebebasan hakim dalam memberikan
pertimbangan dan menjatuhkan putusan dalam proses peradilan
pidana terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib
menjaga kemandirian peradilan dan segala campur tangan dalam
urusan peradilan oleh pihak lain luar kekuasaan kehakiman dilarang,
kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun
1945. Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam
kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:42
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi
atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim.
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam
menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.
Akan tetapi, kebebasan dalam konsep kekuasaan hakim
bukanlah suatu kebebasan mutlak. Kebebasan disini adalah kebebasan
yang bertanggung jawab dan tidak boleh melanggar dan merugikan
kebebasan orang lain. Kebebasan seorang hakim terbagi dalam dua
jenis yaitu kebebasan eksistensial hakim dan kebebasan sosial hakim.
Kebebasan eksistensial adalah kebebasan hakiki yang dimiliki oleh
setiap manusia tanpa melihat predikat yang melekat padanya. Pada
profesi hakim kebebasan eksistensial menegaskan bahwa seorang
hakim harus mampu menentukan dirinya sendiri dalam membuat
putusan pengadilan.43 Sementara itu, kebebasan sosial merupakan
ruang gerak bagi kebebasan eksistensial, kita hanya dapat menentukan
sikap dan tindakan kita sendiri sejauh orang lain membiarkan kita.44
Meskipun diberi kebebasan, namun dalam memberikan
pertimbangan seorang hakim juga harus melihat pada hasil
42
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif , Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 104
43 H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, Hlm. 170
pemeriksaan di sidang pengadilan dan tindak pidana apa yang
dilakukan seseorang serta keadaan-keadaan atau faktor-faktor apa saja
yang meliputi perbuatannya tersebut.45 Sosok hakim seringkali
dianggap sebagai sosok wakil Tuhan di bumi, karena hakim
merupakan tempat akhir bagi masyarakat yang ingin mendapatkan
penyelesaian atas masalahnya dan juga merupakan tujuan akhir bagi
masyarakat yang ingin mencari dan mendapatkan keadilan yang
hakiki. Oleh karena itu, meskipun hakim mempunyai kebebasan untuk
memberikan pertimbangan dan menjatuhkan putusan sesuai dengan
keyakinannya, akan tetapi dalam melakukan tugasnya seorang hakim
tidak boleh berpihak kecuali kepada kebenaran dan keadilan, serta
nilai-nilai kemanusian.46 Hakim dalam menjatuhkan putusan harus
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:47
a. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis
“Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fa ktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya:
1) Dakwaan jaksa penuntut umum 2) Keterangan saksi
3) Keterangan terdakwa 4) Barang-barang bukti
5) Pasal-Pasal dalam Undang-Undang.”
45 Lilik Mulyadi, Kekuasaan Kehakiman, Surabaya, Bina Ilmu, 2007, Hlm. 63
46 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , Bandung, PT Citra Aditya Bhakti, 1996, Hlm. 2
47
b. Pertimbangan yang bersifat non yuridis
Selain pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yang bersifat non yuridis yaitu:
1) Akibat perbuatan terdakwa
2) Kondisi diri terdakwa.”
Pada dasarnya, terdapat beberapa teori pendekatan yang
digunakan oleh hakim di dalam pertimbangannya, yaitu:48
a. Teori Keseimbangan
“Teori keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.”
b. Teori Pendekatan Intuisi
“Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi, dalam menjatuhkan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.”
c. Teori Pendekatan Keilmuan
”Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara
sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara,hakim tidak boleh semata -mata atas dasar intuisi atau insting semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus di putusnya.”
d. Teori Pendekatan Pengalaman
“Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang di hadapinya setiap hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagai mana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban, maupun masyarakat.”
e. Teori Ratio Decidendi
“Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang lebih relevan dengan pokok perkara yang di sengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan.”
Namun, tugas hakim dalam mengadili seseorang tidak hanya
semata-mata memberikan pertimbangan dalam putusannya. Seorang
haruslah benar-benar melihat dari fakta-fakta yang dihadirkan dalam
persidangan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang
dituduhkan kepadanya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu
merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa tersebut bersalah dan
dapat dipidana, serta apakah pidana yang dijatuhkan telah tepat jika
memang terdakwa terbukti melakukan tindak pidana. Hal ini bertujuan
agar hakim pada saat menjatuhkan putusan dalam persidangan,
putusan tersebut kemudian dapat menjadi putusan yang tepat sesuai
dengan peraturan perundangan dan juga agar putusan tersebut dapat
menciptakan keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh pihak yang
terlibat dalam suatu perkara.
B.
Hasil Penelitian
1.
Fakta Persidangan
a.
Kasus Posisi
Pada hari Minggu, tanggal 30 Juli 2013, sekitar jam 10.00
WIB, terdakwa 1 Andro Supriyanto als. Andro dan terdakwa 2
Nurdin Prianto als. Benges baru saja pulang ke Cipulir setelah
malam sebelumnya para terdakwa bermalam di rumah
kerabatnya (rumah saksi Fransiska als Mak Parung) di Parung.
Para terdakwa ketika sampai di bawah kolong jembatan Cipulir
melihat korban di bawah kolong jembatan Cipulir terluka parah
wajah, pelipis, leher dan belakang telinga dan ketika ditanya
oleh terdakwa 1, Andro Supriyanto, korban yang bernama Diky
Maulana mengaku mencuri motor dan habis di todong serta
dikeroyok. Terdakwa 1, Andro Supriyanto, sempat menawarkan
untuk mengantar korban ke rumah sakit namun korban tidak
mau dan minta diantar ke kantor Polisi namun Terdakwa dan
yang lain takut mengantar ke kantor Polisi. Korban lalu meminta
diberikan air minum oleh para terdakwa, setelah itu para
terdakwa kemudian pergi mengamen.
Siangnya, pada saat para terdakwa selesai mengamen dan
kembali ke kolong jembatan Cipulir, para terdakwa menemukan
korban telah meninggal dunia, lalu terdakwa 1 yaitu Andro
Supriyanto bersama dengan dua saksi lainnya melaporkan
kepada anggota polisi (saksi Jaidi Pendi) yang pada saat itu
sedang keliling menjalankan tugas BIMAS dan hendak mampir
di Pasar Cipulir sekitar pukul 13.00 WIB, karena merasa curiga
dengan penjelasan terdakwa yang lancar dan kompak kemudian
saksi Jaidi Pendi sengaja menahan dan mengajak ngobrol
terdakwa hingga petugas Polsek dan Polres datang. Setelah
petugas Polsek dan Polres datang, saksi Jaidi Pendi kemudian
menyerahkan terdakwa Andro dan mengatakan bahwa terdakwa
adalah saksi kunci, setelah itu terdakwa kemudian dibawa ke
kantor polisi untuk diperiksa sebagai saksi sedangkan korban
Fatmawati untuk kemudian dilakukan pemeriksaan visum et
repertum yang dimana hasil Visum et Repertum yang dibuat dan
ditandatangani oleh dokter Andriani SpF Dokter ahli forensik
pada Instalasi Forensik dan Perawatan Jenazah RSUP Fatmawati
Jln RS Fatmawati Cilandak Jakarta Selatan tanggal 05 Juli 2013
tanggal nomor : HK.05.01/II.1/919/2013 Atas nama mayat
DICKY MAULANA tersebut, dengan kesimpulan bahwa
pememeriksaan mayat seorang laki- laki berumur lebih kurang
tujuh belas tahun, ditemukan luka terbuka pada dada kiri bawah
depan sedalam Sembilan belas koma lima sentimeter yang
menembus lambung dada hati serta pendarahan sebanyak 700 cc
akibat kekerasan tajam (tusuk) yang menyebabkan kematian,
perkiraan saat kematian adalah kurang dari dua putuh empat jam
dari saat pemeriksaan jenazah.
Pada saat pemeriksaan di kepolisian, para terdakwa dan
beserta saksi mahkota lainnya yaitu Fikri Pribadi, Bagus
Firdaus, Fatahillah, Arga Putra Samosir, yang sebelumnya
berstatus sebagai saksi mengatakan bahwa malam sebelum nya
terdakwa ada di Parung di rumah emak waktu itu bersama
Nurdin dan baru pulang ke Cipulir keesokan harinya.
bersama-sama dengan Andro, Bagus, Fatahillah, Fikri, Ucok dan OKI
melihat seorang pria di bawah kolong jembatan Cipulir terluka
parah dengan banyak bekas sayatan pisau dan golok pada bagian
teman-teman berniat menolong tetapi polisi tidak percaya. Pada
saat pemeriksaan para terdakwa mengaku dipukuli, disetrum,
dan diminta mengaku bahwa para terdakwa telah membunuh
korban hingga akhirnya para terdakwa mengaku karena sudah
tidak tahan dipukuli. Namun keterangan para terdakwa dan saksi
mahkota dalam pemeriksaan tersebut dicabut pada saat para
terdakwa dan saksi memberikan keterangan di pengadilan, para
terdakwa mengatakan bahwa pada saat pemeriksaan di
kepolisian dan di BAP mereka terpaksa mengaku karena takut
disiksa lagi.
Pada saat persidangan, penasehat hukum para terdakwa
mendatangkan saksi alibi yaitu saksi Fransiska als Mak Parung
yang memberikan keterangan bahwa pada malam sebelum
ditemukannya korban, para terdakwa bermalam di rumahnya
dan baru pulang ke Cipulir keesokan harinya dan penasehat
hukum juga mendatangkan saksi Iyan Pribadi yang memberikan
keterangan bahwa saksi mengetahui perkara ini karena para
terdakwa tidak pernah melakukannya karena yang melakukan
b.
Hasil Pemeriksaan Saksi
1) Saksi dari Jaksa Penuntut Umum:
a) Saksi Rasma dan Saksi Dominggus Ie Manu (anggota kepolisian Polda Metro Jaya):
- Bahwa saksi tidak kenal dengan para Terdakwa
- Bahwa saksi pernah diperiksa oleh Penyidik dan keterangan yang diberikan dalam Berita Acara Pemeriksaan adalah benar dan tidak ada perubahan.
- Bahwa saksi tidak pernah ikut serta memeriksa para Terdakwa
- Saksi mendengar pengakuan dari para terdakwa yang membunuh korban adalah para terdakwa ketika terdakwa diperiksa bersama temannya yang lain dan mendapatkan informasi bahwa pelakunya adalah para terdakwa dari penyidik.
- Bahwa berdasarkan pengakuannya terdakwa andro menusuk di bagian rusuk dan terdakwa Nurdin menusuk bagian leher alat yang di gunakan pisau lipat.
- Bahwa ketika di lakukan pemeriksaan di tempat kejadian di ketemukan sebilah golok bergagang kayu dan potongan kayu dan saksi membenarkan barang bukti yang diperlihatkan kepadanya berupa golok dan sebilah kayu ada pada tempat kejadian.
b) Saksi Jaidi Pendi dan saksi Dwi Kusmanto (anggota Polsek Kebayoran Lama):
- Bahwa saksi sebelumnya tidak kenal dengan para Terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga.
- Bahwa saksi pernah di periksa di penyidik daan semua keterangan yang di muat di berita penyidikan betul semua.
- Bahwa terdakwa Andro bersama 2 temannya yang saat itu masih berstatus sebagai saksi di bawa ke Polsek Kebayoran Lama selanjutnya saksi di perintahkan terdakwa dan 2 orang temannya tersebut di bawa ke Polda dan saksilah yang mengantarkan setelah itu saksi tidak mengetahui perkembangan selanjutnya karena kejadian tersebut telah di tangani oleh Polda.
- Bahwa saksi tidak pernah melihat pengeroyokan dan pembunuhan terhadap korban karena saat tiba di TKP sudah meninggal.
c) Saksi Fikri Pribadi, Saksi Bagus Firdaus als PAU, Saksi Fatahillah als FATA, dan Saksi Arga Putra Samosir als UCOK:
- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa tetapi saksi tidak ada hubungan keluarga.
- Bahwa saksi tidak kenal dengan korban.
- Bahwa saksi pernah diperiksa oleh Penyidik namun keterangan yang diberikan dalam Berita Acara Pemeriksaan Penyidik tidak benar.
- Bahwa keterangan yang saksi sampaikan di penyidik pada intinya para terdakwa melakukan pengeroyokan dengan cara menusuk korban dengan memakai pisau lipat.
- Bahwa keterangan yang diberikan di depan Penyidik hanya karangan karena saksi takut disiksa lagi.
- Bahwa saksi sebelum memberikan keterangan disiksa oleh petugas Polisi dengan cara dipukul, diinjak, ditendang, dan dipaksa untuk mengaku kalau melakukan pembunuhan terhadap korban.
bersama-sama dengan Fata, Oky, Wazis, Nurdin dan Isep dan baru pulang keesokan paginya.
- Bahwa saksi bersama-sama dengan Nurdin, Fata, Ucok, Fata, Fau, Fauzan, Oky serta terdakwa Andro melihat korban DICKY MAULANA dan masih dalam keadaan hidup.
d) Saksi Jubirin Ginting , SH, dan Saksi Suhartono, SH (saksi verbalisan):
- Bahwa saksi sebelumnya tidak kenal dengan para terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga.
- Bahwa saksi adalah anggota polisi yang bertugas memeriksa terdakwa Nurdin dan Andro serta saksi Ucok, saksi Fikri Pribadi dan saksi Fataillah.
- Bahwa para terdakwa diperiksa di ruang pemeriksaan yang terbuka secara bersama-sama dengan terdakwa lainnya namun oleh petugas pemeriksa yang berbeda.
- Bahwa selama pemeriksaan, Terdakwa tidak ditekan, tidak dipaksa ataupun diarahkan oleh yang memeriksa dan tidak ada tindakan kekerasan maupun penyetruman.
- Bahwa Terdakwa memberikan keterangan sendiri secara bebas dengan cara saksi mengajukan pertanyaan dan dijawab oleh Terdakwa.
- Bahwa Terdakwa sebelum membubuhkan cap jempol, dibacakan dulu keterangan yang sudah diberikan.
- Bahwa waktu di beriksa terdakwa mengakui perbuatannya dan saksi rekam.
2) Saksi dari Penasehat Hukum:
a) Saksi Ustadzi Wasis:
- Bahwa terdakwa kenal dengan para terdakwa sebagai teman tetapi tidak ada hubungan keluarga.
- Bahwa saksi tidak kenal dengan korban
- Bahwa saksi bertemu Dicky Maulana pada Dicky dibunuh oleh mereka bertiga Brengos dan Jubai.
- Bahwa saat kejadian saksi Rere ada di parung bersama dengan Nurdin.
- Bahwa terdakwa Andro, Fatah, Ucok, Vera dan yang lainnya pada malam minggu pernah menginap di rumah saksi Fransiska di Parung sedangkan untuk terdakwa Nurdin satu kereta tetapi pisah di stasiun sampai di Parung sekitar jam 10 malam.
- Bahwa keesuk harinya mereka pulang naik kereta sekitar jam 7.20 an pagi.
lalu saksi tanya kenapa minta maaf dia bilang ikut melakukan, terus saksi tanya siapa saja dia bilang Brengos dan Jubai.
c) Saksi Fauzan Kazim, Saksi Isep Febristanda, Saksi Sharvera Kumar Ananda, dan Saksi Fauzan als masih dalam keadaan hidup.
- Bahwa kayu barang bukti yang di perlihatkan di persidangan tidak ada di tempat kejadian.
- Bahwa golok yang di ajukan di persidangan tetapi tidak ada hubungan keluarga.
- Bahwa saksi mengetahui perkara ini karena para terdakwa tidak pernah melakukannya karena yang melakukan adalah teman saksi yang bernama Jubay dan Brengos.
- Bahwa yang di bunuh bernama Dicky Maulana
- Bahwa cara mengajak si korban ngajakin nodong trus, selanjutnya saksi pergi sama Brengos dan korban sama Jubay naik motornya korban
- selanjutnya sampai di kolong jembatan korban masuk kedalam kolong bersama Jubay dan Brengos, sedangkan saksi nunggu di atas untuk melihat security.
- Bahwa tidak berapa lama kemudian Brengos naik keatas, tangannya ke bacok dan saksi di suruh menemani ke rumah sakit sedang si Jubay masih di kolong
- Bahwa saksi tanya sama Brengos kenapa luka karena kebacok sendiri ketika bacok korban.
- Bahwa saksi setelah dari rumah sakit nongkrong di gang lahap ketemu sama Jubay dan waktu itu Jubay bilang Diki udah dimatiin.
- Bahwa ketika Brengos bunuh korban saksi tidak tahu saksi hanya di beritahu oleh Brengos dan waktu memberitahu Brengos dan Jubay dalam keadaan mabuk demikian juga saksi juga dalam keadaan mabuk.
2.
P e r b a n d i n g a n T u n t u t a n , P e m b e l a a n , d a n
P e r t i mb a n g a n H a ki m d a l a m P u t u s a n T i n g ka t
Pertama,Banding, dan Kasasi
Perbandingan putusan tingkat pertama, banding, dan kasasi akan
59
Tabel 1. Tuntutan dan Memori Kasasi Penuntut Umum:
Tuntutan Penuntut Umum dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel
Memori Banding Penuntut Umum dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Nomor:50/PID/2014/PT.DKI
Memori Permohonan Kasasi Penuntut Umum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor:
1055K/PID/2014
Isi dari tuntutan penuntut umum pada pokoknya yaitu:
Menyatakan para terdakwa Nurdin
Prianto Als Benges dan Andro Suprianto alias Andro terbukti bersalah melakukan tindak pidana Pembunuhan yang dilakukan secara bersama sama sebagaimana diatur dan di ancam pidana dalam pasal 338 KUHP Jo. Pasal 55 ayat 1 ke. 1 KUHP.
Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa masing-masing 13 (tiga belas ) tahun di kurangi selama para
terdakwa berada dalam tahanan
dengan perintah agar para terdakwa tetap di tahan.
Menyatakan barang bukti pakaian
korban yaitu 1 (satu) buah kaos tanpa lengan dengan warna biru tua bertuliskan Es 1 (satu) buah celana dalam warna hitam coklat merk Decimen , 1 (satu) buah sweter
berwarna hitam lengan panjang
Barghest, 1 (satu) buah celana jeans warna biru tua, 6 (enam) buah gelang karet warna hitam, 1 (satu) gelang tali, 4 (empat) buah cicin warna hitam
Isi dari materi permohonan kasasi penuntut umum pada pokoknya yaitu:
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menjatuhkan putusan atas
nama Terdakwa I ANDRO
SUPRIYANTO alias ANDRO dan
Terdakwa II NURDIN PRIANTO alias BENGES yang amarnya berbunyi seperti tersebut di atas, dalam memeriksa dan
mengadili perkara tersebut telah
melakukan kekeliruan, dimana putusan Majelis Hakim tersebut bukanlah bebas murni, dengan alasan:
1. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta dalam
putusannya tidak
mempertimbangkan fakta-fakta
yang terungkap di muka
persidangan secara utuh
berdasarkan berkas perkara, barang bukti, surat dakwaan, surat tuntutan, nota pembelaan (Pledoi Para Terdakwa) dan Salinan
Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan
Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.jkt.S el tanggal 16 Januari 2014
60 putih di kembalikan kepada yang
berhak sedangkan yang lainnya
semuanya di rampas untuk di
musnahkan.
Menetapkan supaya masing-masing
terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2000 (dua ribu))
DKI Jakarta dalam memutus perkara atas nama Terdakwa ANDRO SUPRIYANTO alias ANDRO dan Terdakwa NURDIN PRIANTO alias BENGES hanya didasari atau menyadur dari isi Memori Banding dari Kuasa Hukum Para dan keterangan Para Saksi a de charge yang diajukan oleh kuasa hukum Para Terdakwa
dalam pemeriksaan materi
perkara di muka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
sebagaimana pertimbangan
hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dari halaman 13 s/d halaman 16.
3. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam memutus perkara a quo hanya didasari atas
keyakinan Hakim terhadap
penyangkalan Para Terdakwa
tidak melakukan pembunuhan
terhadap korban secara
bersamasama sehingga
mengakibatkan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah salah dan keliru dalam
menguraikan pertimbangan
hukumnya.
4. Bahwa dalam pertimbangan
hukumnya Majelis Hakim
61
hanya mempertimbangkan
keterangan atau pengakuan dari
Para Terdakwa saja tanpa
mempertimbangkan keterangan
Saksi-Saksi lainnya dan alat bukti lainnya.
5. Bahwa keterangan Tersangka
atau Terdakwa tidak memiliki
kekuatan pembuktian
sebagaimana ketentuan Pasal 52 KUHAP dan Pasal 66 KUHAP.
6. Bahwa untuk membuktikan
kebenaran materil perkara a quo,
seharusnya Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mendengar sendiri keterangan Terdakwa atau Saksi-Saksi atau
Penuntut Umum dengan
menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka
tentang apa yang ingin
diketahuinya. Akan tetapi Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta tidak pernah
melakukannya sebagaimana
ketentuan Pasal 238 Ayat (4) KUHAP, melainkan langsung memutus perkara a quo dan berpendapat Para Terdakwa tidak terbukti melakukan pembunuhan
secara bersama-sama
62
Tabel 2. Pembelaan dan Memori Banding Penasehat Hukum:
Pembelaan Penasehat Hukum Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel
Memori Banding Penasehat Hukum Dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Nomor:50/PID/2014/PT.DKI
Memori Kasasi Penasehat Hukum Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor:
1055K/PID/2014
Isi dari pembelaan penasehat hukum pada pokoknya yaitu:
Bahwa berkas perkara tidak layak di jadikan dasar untuk merumuskan surat dakwaan dan surat tuntutan.
Penyidikan bertentangan dengan
hukum sehingga mengakibatkan berita
acara pemeriksaan cacat hukum
sehingga dengan demikian berita acara pemeriksaan, surat dakwaan dan surat tuntutan batal demi hukum sehingga tidak dapat di jadikan dasar untuk memenjarakan terdakwa.
Penuntut umum tidak profesional dan tidak cermat, pertama BAP tidak di
buat sesuai dengan ketentuan
KUHAP, kedua penuntut umum membuat surat tuntutan yang tidak berdasarkan fakta yang muncul di
persidangan hanya berlandasan
kepada BAP yang cacat , selain itu ada banyak juga fakta hukum yang terungkap di persidangan tidak di pakai penuntut umum sebagai dasar untuk melakukan penuntutan sehingga penuntut umum telah melakukan pelanggaran hukum pasal 185 ayat 1 KUHAP
Isi dari memori banding penasehat hukum pada pokoknya yaitu:
Persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berjalan dengan tidak berimbang, tidak obyetif dan tidak adil. Persidangan dipenuhi dengan pelanggaran hukum acara maupun
peraturan perundangan-undangan
yang berlaku. Hal tersebut
mengakibatkan fakta hukum kasus ini menjadi kabur, kebenaran materil kasus ini menjadi tertutupi. Hak-hak mendasar Para Terdakwa terlanggar, akibatnya Para Terdakwa menjadi sangat dirugikan dengan putusan yang
diambil oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Berbagai kelemahan maupun
ketidakakuratan pertimbangan yang dilakukan oleh hakim dalam kasus ini menunjukkan bahwa pada dasarnya para terdakwa telah dituduh dan
dipaksa mengakui melakukan
perbuatan pidana yang tidak pernah
dilakukannya.Perlu dilakukan
pemeriksaan ulang perkara No.
63
Bahwa penuntut umum telah
melakukan kekeliruan dengan
mendakwa para terdakwa yang bukan orang yang melakukan tindak pidana pembunuhan yang di lakukan secara
bersama-sama maupun secara
bersama-sama di muka umum
melakukan kekerasan terhadap orang yang menyebabkan matinya orang dengan demikian para terdakwa harus di bebaskan dari segala tuntutan
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas mohon kepada majleis hakim
yang memeriksa dan mengadili
perkara ini memutuskan:
1. Menerima nota pembelaan
(pledooi) penasehat hukum dan para terdakwa secara keseluruhan.
2. Menyatakan berita acara
pemeriksaan (BAP) polisi batal demi hukum.
3. Menyatakan menolak
dakwaan dan / atau tuntutan secara keseluruhan.
4. Menyatakan bahwa terdakwa I Andro Supriyono als Andro
dan terdakwa II Nurdin
Priyanto als Benges tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan secara
bersama-sama sebagaimana
64 diatur dalam pasal 338 Jo.
Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP maupun tindak pidana secara bersama-sama di muka umum
melakukan kekerasan
terhadap orang yang
menyebabkan matinya orang sebagaimana di atur dalam pasal 170 ayat (2) ke 3 KUHP
5. Membebaskan terdakwa I
Andro Supriyanto als Andro
dan terdakwa II Nurdin
Priyanto als Benges dari
segala tututan hukum
(Vrijspraak).
6. Menyatakan agar terdakwa I Andro Supriyanto als Andro
dan terdakwa II Nurdin
Priyanto als Benges segera di keluarkan dari tahanan setelah
putusan Pengadilan di
ucapkan dalam persidangan. 7. Memulihkan hak terdakwa I
Andro Supriyanto als Andro
dan terdakwa II Nurdin
Priyanto als Benges dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. 8. Membebankan biaya perkara
kepada negara menurut
65
Tabel 3. Putusan dan Pertimbangan Hakim:
Pertimbangan Hakim Dalam
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel
Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Nomor:50/PID/2014/PT.DKI
Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor:
1055K/PID/2014
Pertimbangan hakim PN pada pokoknya yaitu: - Bahwa akan dipertimbangkan terlebih
dahulu dakwaan primair Pasal 338 Jo 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP yang unsur-unsurnya yaitu barang siapa; dengan sengaja menghilangkan nyawa orang serta dapat dipertanggung
jawabkan terhadap
perbuatannya.
Bahwa di persidangan telah dihadapkan terdakwa I Andro Supriyanto alias Andro dan terdakwa II Nurdin Prianto als
Benges yang identitasnya
tersebut dalam surat dakwaan
JPU dan para terdakwa
membenarkan identitas tersebut dalam pemeriksaan identitas di persidangan dan para terdakwa dalam keadaan sehat jasmani
rohani selama dalam
pemeriksaan di persidangan
Bahwa berdasarkan uraian
Pertimbangan hakim tinggi pada pokoknya yaitu:
- Bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh penuntut umum tidak seorang pun
yang melihat/mengetahui secara
langsung terdakwa-terdakwa
melakukan pembunuhan bahkan
terdakwa-terdakwa menyangkal keras telah melakukan pembunuhan atau
kekerasan yang menyebabkan
meninggalnya korban Diky Maulana, lagipula tidak ada alat bukti lain yang dapat dipergunakan untuk memperoleh petunjuk untuk meyakinkan hakim tentang adanya kesalahan terdakwa-terdakwa.
- Bahwa keterangan dari saksi-saksi yang diajukan oleh penasihat hukum para terdakwa telah terungkap fakta hukum yang melakukan pembunuhan atau kekerasan yang menyebabkan meninggalnya Diky Maulana bukan dilakukan oleh terdakwa-terdakwa.
- Bahwa dari pertimbangan diatas,
majelis hakim tingkat banding
berpendapat terdakwa-terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
Pertimbangan hakim agung pada pokoknya yaitu:
- Bahwa alasan-alasan kasasi dari
pemohon kasasi/penuntut umum
tidak dapat dibenarkan karena Judex
Facti telah salah dalam menerapkan
hukum, bahwa Judex Facti
66 tersebut majelis berpendapat
unsur ke 1 telah terpenuhi. - Unsur dengan sengaja menghilangkan
nyawa orang lain:
Bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah suatu perbuatan
yang dilakukan dengan
kesadaran dari pelaku, bahwa perbuatan yang dilakukan akan
menimbulkan akibat yang
merupakan tujuan dari sipelaku.
Bahwa berdasarkan fakta
persidangan pada hari Minggu tanggal 30 Juni 2013 sekitar pukul 08.00 WIB di bawah
kolong jembatan Cipulir,
Jakarta Selatan, telah
ditemukan korban yang sudah
dalam keadaan meninggal
dunia seorang bernama Diky
Maulana, berdasarkan
keterangan saksi-saksi, para terdakwa bersepakat mengajak korban Diky Maulana ke bawah
jembatan Cipulir Jakarta
Selatan untuk memberi
pelajaran dengan kalimat kita gulung/sekolahin korban Diky Maulana.
Bahwa hasil pemeriksaan
mayat dalam Visum Et
Repertum No;
HK.05.01/11.1/919/2013
sebagaimana didakwakan dalam
dakwaan primair
- Bahwa sejalan dengan pertimbangan dakwaan primair diatas bahwa tidak ada satu saksi pun yang melihat perbuatan terdakwa-terdakwa yang
melakukan pembunuhan atau
kekerasan terhadap korban Diky Maulana dan tidak ada alat bukti lainnya yang membuktikan adanya
kesalahan terdakwa-terdakwa
sedangkan terdakwa-terdakwa
menyangkal keras sehingga majelis hakim berpendapat dan berkesimpulan
bahwa terdakwa-terdakwa tidak
terbukti pula melakukan tindak pidana
sebagaimana dalam dakwaan
subsidair.
- Bahwa oleh karena terdakwa-terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana baik dalam dakwaan primair maupun dakwaan subsidair penuntut umum, maka terdakwa-terdakwa haruslah dibebaskan dari seluruh dakwaan penuntut umum tersebut, dan selanjutnya memulihkan
terdakwa-terdakwa dalam
kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya.
dengan tepat dan benar oleh Judex
Facti pengadilan tinggi.
- Bahwa karenanya permohonan
pemohon kasasi/penuntut umum
harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum dan permohonan kasasi ditolak.
- Bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang maka permohonan kasasi dari pemohon kasasi/penuntut umum tersebut harus ditolak.
- Bahwa oleh karena permohonan
67 tanggal 5 Juli 2013 atas nama
mayat Diky Maulana dengan
kesimpulan bahwa mayat
seorang laki-laki berumur lebih kurang 17 tahun ini ditemukan luka terbuka pada dada kiri bawah depan sedalam19,5cm yang menembus lambung dada hati serta pendarahan sebanyak
700cc akibat kekerasan
tajam(tusuk) yang
menyebabkan kematian,
perkiraan saat kematian adalah kurang dari 24 jam dari saat pemeriksaan jenazah.
Bahwa di persidangan para
terdakwa tidak mengakui
perbuatannya dan menurut
keterangan saksi-saksi dari para terdakwa dan keterangan para terdakwa pelaku pembunuhan terhadap korban Diky Maulana
bukan para terdakwa,
keterangan para terdakwa
dalam BAP penyidik hanya
merupakan karangan saja
karena para terdakwa
mengalami kekerasan fisik maupun psikhis.
Bahwa sesuai dengan
keterangan saksi yang diajukan
oleh para terdakwa yang
68 saksi Iyan diberitahu oleh
Brengos dan Jubay bahwa yang
membunuh korban Diky
Maulana adalah Brengos dan
Jubay, tetapi pada saat
pemberitahuan tersebut baik Brengos dan Jubay serta saksi Iyan dalam keadaan mabuk dan saksi Iyan sendiri juga tidak mengetahui sendiri kejadian pembunuhan terhadap korban
Diky Maulana, sehingga
keterangan saksi menurut
majelis hakim tidak dapa dijadikan dasar bahwa yang
membunuh korban adalah
Jubay dan Brengos sehingga keterangan saksi Iyan tersebut
tidak dapat
dipertanggungjawabkan
kebenarannya dan untuk itu harus dikesampingkan.
Bahwa terhadap keterangan
saksi yang diajukan oleh para
terdakwa semuanya
teman-teman para terdakwa yang tentunya akan membela para terdakwa dan keterangannya saling bertentangan dengan
fakta sehingga dengan