• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:214

a) Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,

b) Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan

c) Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

OJK mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan.215

Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan usahanya secara konvensional

214

Wib.

maupun secara syariah.216 Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan.217

Pasal 4 ayat (1) Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang menyatakan “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.” Pelaku usaha juga wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen.

218

216Lihat Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

217

Lihat Pasal 1 angka 2 Ketentuan Umum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

218

Lihat Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) menyatakan “Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut di atas, peraturan Otoritas Jasa Keuangan juga mengatur mengenai tata cara pembuatan perjanjian baku bagi pelaku usaha jasa keuangan. Bahwa setiap pelaku usaha jasa keuangan berkewajiban untuk membuat perjanjian-perjanjian baku yang sesuai dengan aturan dan batasan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Pengaturan mengenai larangan penerapan klausul eksonerasi atau pengalihan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen diatur dalam Pasal 22 ayat (3) huruf a yang menyatakan bahwa:

“Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen;

b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli;

c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan;

d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan;

e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;

f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau;

g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.” Ketentuan yang sama juga diatur dalam Bagian angka II tentang Klausula Dalam Perjanjian Baku angka 3 dan 4 Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku, yang menyatakan bahwa:

(3) Klausula219

219Kata klausula tidak sesuai dengan ketentuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Seharusnya menggunakan kata klausul. Klausul yaitu ketentuan tersendiri dari suatu perjanjian yang

a. Klausula eksonerasi/eksemsi yaitu yang isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK), atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban Konsumen.

b. Penyalahgunaan keadaan yaitu suatu kondisi dalam Perjanjian Baku yang memiliki indikasi penyalahgunaan keadaan. Contoh terhadap kondisi ini misalkan memanfaatkan kondisi Konsumen yang mendesak karena kondisi tertentu atau dalam keadaan darurat dan secara sengaja atau tidak sengaja PUJK tidak menjelaskan manfaat, biaya dan risiko dari produk dan/atau layanan yang ditawarkan.

(4) Perjanjian Baku yang dilarang adalah perjanjian yang memuat hal-hal sebagai berikut:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUJK kepada Konsumen;

b. menyatakan bahwa PUJK berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli;

c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada PUJK, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan;

d. mewajibkan Konsumen untuk membuktikan dalil PUJK yang menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen bukan merupakan tanggung jawab PUJK; e. memberi hak kepada PUJK untuk mengurangi kegunaan produk

dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;

f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh PUJK dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau

g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada PUJK untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas bahwa Peraturan OJK juga melarang pencantuman klausul eksonerasi, diatur dalam Pasal 22 ayat (3) huruf a Peraturan

salah satu pokok atau pasalnya diperluas atau dibatasi. Lihat dalam Departemen Pendidikan Nasional,

OJK Nomor 1/OJK.07/2013 dan bagian II angka 4 huruf a Surat Edaran OJK Nomor 13/SE OJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku. Pelaku Jasa Keuangan tidak dibenarkan membuat perjanjian baku yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan menyatakan pengalihan tanggung jawan Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada konsumen.

Perjanjian baku yang dibuat antara bank dan nasabah debitur baik itu pada bank yang menjalankan operasionalnya berdasarkan konvensional maupun prinsip syariah dilarang menerapkan klausul pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (bank) kepada nasabah debitur. Penerapan klausul eksonerasi pada Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan musyarakah bertentangan dengan Pasal 22 ayat (3) huruf a Peraturan OJK Nomor 1/OJK.07/2013 dan bagian II angka 4 huruf a Surat Edaran OJK Nomor 13/SE OJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.

Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Peraturan OJK jelas dinyatakan bahwa “dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Ketentuan penggunaan perjanjian baku diatur dalam Peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan OJK Nomor 1/OJK.07/2013. Akibat hukum terhadap pelanggaran ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan adalah batal demi hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUPK yang menyatakan bahwa klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku

usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.220

No

Ketentuan dalam Pasal 53 selanjutnya menyatakan Pelaku Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar ketentuan dalam Peraturan OJK dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa Peringatan tertulis, denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin kegiatan usaha.

Tabel 1: Akibat Hukum Penerapan Klausul Eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada Perjanjian Pembiayaan Musyarakah berdasarkan Hukum Perjanjian Islam, KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/OJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Perban dingan Hukum Perjanjian Islam KUHPerdata UU No. 8/1999 tentang UUPK POJK No. 1/OJK.07/2013 1. Syarat Sah Perjanji an Memenuhi Rukun dan Syarat Akad. Rukun Akad: 1. Al ‘aqidain (Subjek Perikatan) 2.Mahallul ‘Aqd (Objek Perikatan) 3.Maudhu’ul ‘Aqd (Tujuan Perikatan) 4.Sighat al ‘Aqd (Ijab

dan qabul). Syarat Akad: Pasal 1320 KUHPerdata mengatur sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang

- -

220

Sebagai konsekuensi atau akibat hukum terhadap pelanggaran terhadap ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan adalah batal demi hukum. Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1337 KUHPerdata. Kebebasan berkontrak tetap dibatasi oleh ketentuan yang berlaku. Pelanggaran terhadap suatu sebab yang halal berakibat batal demi hukum. Lihat Munir Fuady, Loc.it, h. 74.

1. Tidak menyalahi hukum syariah

2. Harus sama ridho atau sepakat

3. Akad harus jelas. Pasal 26 KHES, akad tidak sah apabila bertentangan dengan: e. Syari’at Islam f. Peraturan Perundang- undangan g. Ketertiban umum dan/atau h. Kesusilaan Pasal 26 huruf a, akad yang sah adalah akad yang disepakati dalam

perjanjian,tidak mengandung unsur: e. Ghalath atau khilaf

f. Tidak dilakukan dibawah ikrah atau paksaan; g. Taghrir atau tipuan, dan h. Ghubn atau penyamaran. halal 2. Ketentu an yang Dilangg gar Bertentangan dengan tujuan akad yang merupakan salah satu dari rukun akad.

bertentangan dengan prinsip syariah yaitu suatu perbuatan zalim yang menimbulkan ketidakadilan bagi ahli waris.

Bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (3) suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1339 bahwa perjanjian tidak hanya mengikat ha-hal yang secara tegas dinyatakan dalam perjanjian tetapi juga

Bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a “Pelaku Usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan Bertentangan dengan Pasal 22 ayat (3) huruf a “Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban

Pasal 21 KHES mengenai asas-asas dalam akad, yaitu asas transparansi (Pasal 21

huruf g), asas

keseimbangan

/taswiyah (Pasal 21 huruf f ), asas itikad baik (Pasal 21 huruf j) dan asas suatu sebab yang halal (Pasal 21 huruf k ).

Klausul tersebut juga bertentangan dengan prinsip syariah yaitu suatu perbuatan zalim yang menimbulkan ketidakadilan bagi konsumen. diharuskan sesuai dengan asas kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. bertentangan dengan syarat sah perjanjian yaitu “kesepakatan” dan “suatu sebab yang halal” dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.” Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen.” 3. Akibat Hukum

Akad batil. Batal demi hukum Batal demi hukum

Batal demi hukum Berdasarkan tabel tersebut di atas tampak bahwa penerapan klausul eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah berdasarkan Hukum Perjanjian Islam melanggar ketentuan tujuan akad, Pasal 21 KHES mengenai asa-asas dalam akad. Berdasarkan KUHPerdata bertentangan dengan syarat sah perjanjian “kesepakatan” dan “suatu sebab yang halal”, bertentangan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (3). Berdasarkan UUPK melanggar Pasal 18 ayat (1) huruf a. Berdasarkan POJK melanggar ketentuan Pasal 22 ayat (3) huruf a. Akibat hukum penerapan klausul eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada

perjanjian pembiayaan musyarakah berdasarkan Hukum Perjanjian Islam adalah merupakan akad batil. Berdasarkan KUHPerdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan adalah batal demi hukum.

BAB IV

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP KEKUATAN