• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 967 Pdt.G 2012 Pa.Mdn) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 967 Pdt.G 2012 Pa.Mdn) Chapter III V"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)



“…..dan penuhilah janji, karena janji itu pasti dimintai pertanggung jawabannya.”

BAB III

AKIBAT HUKUM PENERAPAN KLAUSUL EKSONERASI DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUSYARAKAH BERDASARKAN HUKUM

PERJANJIAN ISLAM, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA, UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERATURAN

OTORITAS JASA KEUANGAN

A.Pengertian Akibat Hukum

Perbuatan atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dapat menimbulkan akibat hukum. Peristiwa hukum adalah semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum, antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum.162F

163

Peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh hukum diberikan akibat-akibat dinamakan peristiwa hukum atau kejadian hukum (rechtsfeit).163F

164

Menurut Bellefroid menjelaskan bahwa peristiwa hukum adalah “peristiwa sosial yang tidak secara otomatis dapat merupakan/menimbulkan hukum. Suatu peristiwa dapat menimbulkan hukum apabila peristiwa itu oleh peraturan hukum

163

Soejono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 130. Selanjutnya lihat dalam Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan: Cahaya Ilmu, 2006), h. 120.

164

(2)

dijadikan peristiwa hukum.”165 Menurut Van Apeldoorn sebagaimana dikutip Chainur Arrasjid bahwa peristiwa hukum adalah “peristiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan atau menghapuskan hak.”166 Peristiwa Hukum yang sesungguhnya hanya dijumpai dalam rumusan hukum atau dalam peraturan hukumnya. Peraturan hukum mempunyai bagian dari dunia serta tatanan hukum, bukan bagian dari dunia kenyataan.167

Peristiwa hukum dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

Berdasarkan definisi tersebut diatas, maka peristiwa hukum merupakan peristiwa di dalam masyarakat yang menimbulkan akibat hukum atau yang dapat menggerakkan peraturan tertentu sehingga peraturan yang tercantum di dalamnya berlaku konkrit. Misalnya peraturan hukum yang mengatur tentang perkawinan, akan menimbulkan akibat hukum bagi keduanya dalam harta, anak. Demikian juga kematian, akan membawa berbagai akibat hukum seperti penetapan ahli waris, dan harta waris.

168

1. Perbuatan subjek hukum (manusia dan badan hukum)

2. Peristiwa lain yang bukan merupakan perbuatan subjek hukum

Perbuatan subjek hukum yaitu manusia dan badan hukum dapat dibedakan menjadi perbuatan hukum dan perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum. Suatu perbuatan hukum dikatakan merupakan perbuatan hukum apabila perbuatan itu oleh hukum

165 Pipin Syarifin, Op.Cit, h. 73. 166

Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 134. 167Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h. 39.

(3)

diberi akibat, dan akibat hukum dikehendaki oleh yang bertindak. Jika akibat dari suatu perbuatan tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan tersebut atau salah satu pihak dari yang melakukannya maka perbuatan itu bukan merupakan perbuatan hukum. Kehendak dari pihak yang melakukan perbuatan merupakan unsur pokok dari perbuatan tersebut. Suatu perbuatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh yang melakukannya bukanlah suatu perbuatan hukum.

Perbuatan hukum dikenal dalam dua macam yaitu perbuatan hukum yang bersegi satu (eenzijdig) dan perbuatan hukum yang bersegi dua (tweezijdig).169

Perbuatan lain yang bukan perbuatan subjek hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:

Perbuatan hukum yang bersegi satu adalah tiap perbuatan yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari satu subjek hukum saja. Misalnya perbuatan mengadakan surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 853 KUHPerdata. Perbuatan hukum bersegi dua adalah tiap perbuatan yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari dua subjek hukum, dua pihak atau lebih. Setiap perbuatan hukum yang bersegi dua merupakan suatu perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

170

169Ibid, h.122.

(4)

1. Perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, walaupun bagi hukum tidak perlu akibat tersebut dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu, jadi akibat yang tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu diatur oleh hukum. Misalnya memperhatikan mengurus kepentingan orang lain dengan tidak diminta (zaakwaarneming) sebagaimana diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata.

2. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum (Onrechtmatigedaad)

Akibat dari suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur juga oleh hukum. Melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum harus mengganti kerugian yang diderita oleh orang yang dirugikan karena perbuatan tersebut.

Peristiwa hukum terjadi maka tidak terlepas dari adanya akibat hukum (rechtsgevolg). Akibat adalah sesuatu yang merupakan akhir atau hasil suatu peristiwa (perbuatan, keputusan), pernyataan/keadaan yang mendahuluinya.171 Akibat hukum adalah akibat yang timbul karena peristiwa hukum.172 Akibat hukum merupakan suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu hubungan hukum. Suatu hubungan hukum memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga apabila dilanggar akan berakibat bahwa orang-orang yang melanggar itu dapat dituntut di muka pengadilan.173

Pipin Syarifin menyatakan bahwa akibat hukum adalah “segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap

171 Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, h. 20 172 Ibid.

(5)

objek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.”174

R. Soeroso mengatakan bahwa akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum.175

Timbulnya akibat hukum dalam suatu peristiwa hukum akan melahirkan adanya hak dan kewajiban bagi subjek hukum yang bersangkutan. Misalnya dalam perjanjian pembiayaan, maka telah lahir suatu akibat hukum yakni bank berkewajiban untuk memberikan dana pembiayaan dan nasabah berkewajiban untuk melakukan pembayaran atau pelunasan kredit. Demikian juga sebaliknya bank berhak atas pelunasan kredit, dan nasabah berhak atas dana dari bank dalam bentuk pembiayaan. Bentuk-bentuk dari akibat hukum dapat berwujud:176

a. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum.

Misalnya dalam hal usia seseorang, Usia 21 Tahun, akibat hukumnya berubah dari tidak cakap hukum menjadi cakap hukum, atau dengan adanya pengampuan, lenyaplah kecakapan melakukan tindakan hukum.

b. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau lebih subjek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.

174Pipin Syarifin, Op.Cit, h. 71.

(6)

Misalnya A dan B mengadakan perjanjian jual beli, maka lahirlah hubungan hukum antara A dan B. Setelah adanya pembayaran lunas, hubungan hukum tersebut menjadi lenyap.

c. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.

Misalnya seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari perbuatan si pencuri tersebut ialah mengambil barang orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum.

d. Akibat hukum yang timbul karena adanya kejadian-kejadian darurat oleh hukum yang bersangkutan telah diakui atau dianggap sebagai akibat hukum, meskipun dalam keadaan yang wajar tindakan-tindakan tersebut mungkin terlarang oleh hukum.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka suatu peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat akan menimbulkan akibat hukum, baik itu perbuatan yang dilakukan satu pihak saja (bersegi satu), misalnya dalam pembuatan surat wasiat. Termasuk juga perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak (bersegi dua) seperti perjanjian jual beli, tukar menukar dan perjanjian pembiayaan. Akibat hukum dalam perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian tersebut.

B.Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah 1. Tinjauan Terhadap Pembiayaan Musyarakah

a. Pengertian Pembiayaan Musyarakah

Musyarakah merupakan akad kerjasama usaha antara dua pihak atau lebih

(7)

bersama antara pihak-pihak yang terkait.177

b. Landasan Syariah Pembiayaan Musyarakah

Pasal 20 angka 3 KHES menyatakan syirkah adalah “kerjasama antara dua orang atau lebih dalam permodalan,

keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.”

Musyarakah dapat diartikan sebagai suatu kerjasama antara para pihak,

masing-masing pihak memberikan dalam bentuk dana atau keahlian, keterampilan dengan keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

1) Al Qur’an

Landasan syariah pembiayaan musyarakah diatur dalam Surah An Nisa’ ayat (12) yang artinya “..maka mereka berserikat pada sepertiga..” Pembiayaan musyarakah juga diatur dalam Al Qur’an Surah Shaad ayat (24), artinya “dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” Kedua ayat Al qur’an tersebut di atas menunjukkan Allah Swt membolehkan musyarakah atau perserikatan dalam kepemilikan harta. Surah An Nisa’ ayat (12) perserikatan terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan surah Shaad ayat (24) terjadi karena akad.

2) Hadits Riwayat Abu Dawud

Landasan syariah diperbolehkannya pembiayaan musyarakah juga diatur dalam Hadits Riwayat Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda “sesungguhnya Allah

(8)

Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama

salah satunya tidak mengkhianati lainnya.” 3) Ijma’

Ibnu Qudamah dalam kitabnya al Mughni178, telah berkata, “kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya,”179

c. Jenis-Jenis Pembiayaan Musyarakah

Musyarakah terbagi dua, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad.

Musyarakah pemilikan tercipta karena adanya warisan, wasiat, atau kondisi

lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Akad Musyarakah antara dua orang atau lebih, bahwa tiap mereka memberikan modal

musyarakah dan sepakat membagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad

terbagi atas:180 1) Syirkah al-‘Inan

Yaitu perjanjian antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi keuntungan dan kerugian sebagaimana yang telah disepakati. Akan tetapi bagian bagi masing-masing pihak baik dalam hal dana, kerja, bagi hasil tidak harus sama, sesuai dengan kesepakatan mereka.

178

Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, Mughni wa Syarh Kabir, (Beirut: Darul Fikr, 1979), vol.V, h. 109. Selanjutnya lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit, h. 91.

179Para ulama sepakat syirkah inan dibolehkan dan sah, sedangkan syirkah lain terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama Syafi’iyah dan Dhahiriyah. Imaniyah berpendapat bahwa segala jenis syirkah tidak diperbolehkan kecuali syirkah inan dan syirkah mudharabah. Hanabilah memperbolehkan semua jenis syirkah, kecuali syirkah mufawwadah. Malikiyah memperbolehkan semua jenis syirkah, kecuali syirkah wujuh dan mufawwadah. Hanafiyah dan Zaidiyah memperbolehkan semua jenis syirkah jika memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Lihat Ibnu Rusy, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah Muqtashid, Jilid II, (Beirut: Dar Ihyan Kutub al-Arabiyah, 1998), h. 50-51. Selanjutnya lihat Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia:

Pembiayaan Bisnis dengan Prinsip Kemitraan, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), h. 33.

(9)

2) Syirkah Mufawadhah

Yaitu perjanjian antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu bagian dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Syarat utama dari musyarakah ini adalah kesamaan dana, kerja, tanggung jawab dan beban utang, dibagi sama pada masing-masing pihak dalam perjanjian musyarakah tersebut. 3) Syirkah A’maal

Perjanjian kerjasama dua orang yang memiliki profesi yang sama untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya dua orang penjahit menerima pesanan pembuatan seragam sebuah kantor.

4) Syirkah Wujuh

Perjanjian antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dan menjual barang tersebut secara tunai. Keduanya berbagi keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh mitra.

5) Syirkah Mudharabah

Perjanjian antara dua orang atau lebih dalam kerjasama usaha dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian.

2. Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Kerjasama dalam pembiayaan musyarakah dapat dilakukan antara dua pihak pemilik modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang tidak sama, masing-masing pihak berpartisipasi dalam perusahaan, dan keuntungan atau kerugian dibagi sama atas dasar proporsi modal.181 Kerjasama dalam bentuk pembiayaan musyarakah dapat juga dilakukan dalam kerjasama antara dua pihak pemilik modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang sama dan keuntungan atau kerugian dibagi sama.182

Perjanjian pembiayaan musyarakah merupakan perjanjian yang terjadi antara Bank Syariah dengan Nasabah Penerima Fasilitas atau nasabah debitur. Perjanjian

(10)

kerjasama bahwa nasabah debitur memperoleh dana dari pemilik dana/modal (bank) untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing.

Kesepakatan dalam pembiayaan musyarakah yang terjalin antara bank dan nasabah debitur dituangkan dalam sebuah Perjanjian Pembiayaan musyarakah. Perjanjian tersebut berisikan kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam pelaksanaan pembiayaan musyarakah. Perjanjian tersebut diikuti dengan Surat Pernyataan yang merupakan bagian dari perjanjian pembiayaan musyarakah berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Akad Pembiayaan

Musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011 yang menyatakan:

1. Apabila ada hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur dalam Akad ini, maka kedua belah pihak akan mengaturnya bersama secara musyawarah mufakat dalam suatu addendum.183

2. Tiap addendum dari Akad merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari akad ini.

Perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut disertai dengan Surat Pernyataan yang berbunyi “apabila dikemudian hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan

(11)

menuntut pihak bank dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya hingga selesai.”

Pembiayaan tersebut dilindungi dengan adanya asuransi jiwa, yaitu:

“Usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”184

Jiwa seseorang dapat, guna keperluan seorang yang berkepentingan, dipertanggungkan baik untuk selama hidupnya jiwa itu, baik untuk sesuatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian.185

Klausul dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut merupakan suatu klausul tentang asuransi. Menyatakan bahwa apabila polis asuransi belum selesai maka ahli waris tidak akan menuntut bank dan seluruh pembiayaan dari nasabah debitur menjadi tanggung jawab ahli waris. Klausul tersebut merupakan klausul eksonerasi, bahwa bank melepaskan tanggung jawab atau resiko dari pelaksanaan asuransi kepada ahli waris nasabah debitur.

Apabila terjadi sesuatu terhadap jiwa nasabah debitur, maka pembiayaan yang diberikan kepada nasabah debitur telah dilindungi oleh asuransi. Salah satu upaya untuk melindungi pembiayaan apabila terjadi resiko yang tidak diinginkan selama dalam pelaksanaan pembiayaan apabila nasabah debitur meninggal dunia, maka pembiayaan yang diberikan kepada nasabah debitur dilindungi dengan asuransi jiwa.

(12)

Pembiayaan yang dilindungi dengan asuransi jiwa, maka dalam prosesnya terjadi hubungan antara tiga pihak yaitu bank, nasabah debitur dan asuransi. Hubungan antara bank dan nasabah debitur yaitu hubungan perjanjian pembiayaan, bank memberikan pembiayaan kepada nasabah debitur untuk menjalankan kegiatan usaha bersama. Pembiayaan disertai dengan perlindungan asuransi jiwa. Bank sebagai pihak yang menghubungkan antara nasabah debitur dan Asuransi dalam perlindungan asuransi tersebut. Hubungan antara bank dan asuransi yaitu pada proses administrasi sampai pada terjadinya penutupan asuransi dan keluarnya polis asuransi. Bank berkewajiban untuk menyelesaikan prosedur, syarat-syarat dan ketentuan administrasi yang dibutuhkan dalam penutupan asuransi hingga pembiayaan yang dikeluarkan telah dilindungi asuransi.

Berdasarkan isi klausul tersebut, bank menyatakan tidak dapat digugat apabila terjadi sesuatu resiko atau peristiwa yang menyebabkan tidak terjadinya penutupan asuransi dan keluarnya polis asuransi serta mengalihkan tanggung jawab pelunasan pembiayaan kepada ahli waris apabila nasabah debitur meninggal dunia.

(13)

asuransi belum keluar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 257 KUHD yang menyatakan bahwa perjanjian asuransi telah mengikat sejak adanya pembayaran premi oleh tertanggung kepada asuransi walaupun polisnya belum selesai.

C.Akibat Hukum Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Akibat hukum merupakan akibat dari suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Akibat hukum dalam perjanjian pembiayaan musyarakah lahir dari adanya hubungan hukum berupa perjanjian yang dilakukan oleh bank dan nasabah debitur pada suatu kerjasama dalam pembiayaan musyarakah. Akibat hukum yang timbul dengan adanya penerapan klausul eksonersi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah berdasarkan Hukum Perjanjian Islam, KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

1. Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam.

(14)

Sahnya suatu akad dalam Hukum Perjanjian Islam harus memenuhi rukun dan syarat suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut.186

Syarat sah suatu perjanjian secara umum sebagai berikut:

Rukun dan syarat terbentuknya akad dalam Hukum Perjanjian Islam sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II, yaitu subjek akad (al ‘aqidain), objek akad (mahallul ‘aqd), ijab dan qabul (shighat al ‘aqd) dan tujuan akad (maudhu’ul ‘aqd) yang tidak bertentangan dengan syara’ (Hukum Islam).

187

a. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati.

Setiap orang bebas untuk membuat perjanjian, akan tetapi kebebasan itu ada batasnya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik Al Qur’an maupun hadits. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum.

b. Harus sama ridha dan ada pilihan

Perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, didalamnya tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Konsekuensi yuridis jika syarat ini tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan.

c. Harus jelas dan gamblang

Perjanjian disepakati dengan jelas apa saja yang menjadi objeknya, hak dan kewajiban para pihak. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka konsekuensi yuridisnya perjanjian yang dibuat para pihak dalam perjanjian batal demi hukum.

Syarat sahnya akad juga diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). KHES terdiri dari 4 buku dan 790 Pasal. Buku I tentang Subjek Hukum dan

186 Fathurrahman Djamil, Op.Cit, h. 252.

(15)

Harta (Amwal), Buku II tentang Akad, Buku III tentang Zakat dan Hibah, Buku IV tentang Akuntansi Syariah.

KHES merupakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. KHES sebagai pedoman prinsip syariah bagi Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah yang diterbitkan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung. 188

KHES berfungsi untuk mengisi kekurangan atau kekosongan Undang-Undang dalam menjalankan praktik peradilan dalam memberikan keadilan sehingga kepastian hukum dapat terwujud.189

188

Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengeluarkan surat keputusan Nomor: KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20 Oktober 2006 tentang pembentukan Tim Penyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Tim bertugas menghimpun dan mengolah materi yang sesuai, menyusun draf naskah KHES, menyelenggarakan seminar yang mengkaji draf naskah dengan melibatkan unsur lembaga, ulama dan pakar ekonomi syariah, serta melaporkan hasilnya kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Usaha yang dilakukan tim adalah menyesuaikan pola pikir, mencari format ideal dengan mengadakan semiloka, pertemuan sekaligus meminta masukan kepada beberapa lembaga seperti Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan Ikatan Ahli Ekonomi Syariah (IAES), MUI serta Bank Indonesia (BI). Tim juga melakukan kajian pustaka terhadap literatur kitab fiqih klasik dan ekonomi kontemporer. Tim penyusun berkunjung ke Malaysia sejak tanggal 16-20 November 16-2006, untuk melakukan studi banding ke Pusat Ekonomi Islam, Universitas Islam Internasional, Pusat Takaful, Lembaga Keuangan Islam, dan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan. Tim Penyusun juga berkunjung ke Pusat Pengkajian Hukum Ekonomi Islam Universitas Islam International Islamabad, Federal Court, Mizan Bank, Bank Islam Pakistan pada Juni 2007. Hasil studi tersebut kemudian diolah dan dianalisis bersama tim konsultan. Hasil final draf KHES kemudian dilaporkan kepada Ketua Mahkamah Agung. KHES agar dapat dijadikan pedoman dan landasan hukum bagi hakim peradilan agama dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Lihat dalam M. Isna Wahyudi, Achmad Fauzi, Edi Hudiata, Hermansyah, Peradilan Agama Babak Baru Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Syariah: Kedudukan KHES,KHAES dan Efektifitas Penerapannya, Majalah Peradilan Agama, Edisi 3

(16)

Kekuatan hukum KHES dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditinjau berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur bahwa:

Pasal 7

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a.Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d.Peraturan Pemerintah;

e.Peraturan Presiden;

f.Peraturan Daerah Provinsi; dan g.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana di maksud pada ayat (1).

Pasal 8

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka KHES sudah memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

(17)

a. Syari’at Islam

b. Peraturan Perundang-undangan c. Ketertiban umum dan/atau d. Kesusilaan

Pasal 29 selanjutnya dinyatakan bahwa “akad yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a adalah akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur:

a. Ghalath atau khilaf

b. Tidak dilakukan dibawah ikrah atau paksaan; c. Taghrir atau tipuan, dan

d. Ghubn atau penyamaran.

Hukum akad terbagi dalam tiga kategori, yaitu:190 a. Akad yang sah

Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya b. Akad yang fasad/dapat dibatalkan

Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat.

c. Akad yang batal/batal demi hukum

Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya.

Perjanjian pembiayaan musyarakah antara bank dan nasabah debitur apabila ditinjau berdasarkan rukun dan syarat akad, maka syarat cakap atau dewasa (tamyiz) telah terpenuhi, sighat akad (ijab dan qabul) telah dibuat dalam bentuk tertulis yang dituangkan dalam akad pembiayaan musyarakah. Ijab dan qabul dalam bentuk tulisan

(18)

sah hukumnya sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an surah Al Baqarah ayat (282), yaitu:

“wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang mendiktekan, dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya.” Objek akad dalam perjanjian telah terpenuhi yaitu pembiayaan musyarakah. Syarat tujuan akad yaitu bertujuan untuk memberikan kontribusi dana dalam bentuk amal, keahlian dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal. 191

191Tujuan akad pembiayaan musyarakah lihat lebih lanjut dalam Fatwa DSN 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah.

(19)

undang-undang, ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Sehingga Surat Pernyataan tersebut tidak memenuhi unsur tujuan akad yang merupakan salah satu dari rukun akad dalam Hukum Perjanjian Islam.

Klausul tersebut juga bertentangan dengan Pasal 21 huruf j KHES. Bahwa akad harus dilakukan dengan itikad baik dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya. Asas itikad baik yaitu bahwa pelaksanaan perjanjian harus dijalankan dengan memperhatikan kepatutan dan kesusilaan, sehingga menimbulkan kemaslahatan bagi para pihak.

Penerapan klausul tersebut bertentangan dengan asas transparansi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 huruf g KHES yang menyatakan bahwa setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka. Bahwa akad yang dibuat harus bersifat transparan, jelas dan terbuka mengenai pertanggung jawaban para pihak dalam akad tersebut. Klausul tersebut juga tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 21 huruf k KHES asas suatu sebab yang halal, bahwa akad yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.

(20)

dilindungi dengan asuransi maka pelunasan pembiayaan ditanggung oleh pihak asuransi.

Ketidakseimbangan tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi pihak ahli waris. Ketidakadilan dalam transaksi perbankan syariah disebut dengan zalim dan bertentangan dengan prinsip syariah yaitu Prinsip Hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 192

1. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasiah);

Prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur yang disebutkan dalam Penjelasan atas Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu:

2. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang

tidak pasti dan bersifat untung-untungan;

3. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;

4. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah, atau

5. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.

192

Lihat Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Lihat juga dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/14/PBI/2013 tentang Unit Usaha Syariah.

(21)

Akad dalam transaksi syariah berpedoman pada kaidah-kaidah syariah berdasarkan Al Quran dan Hadits. Adanya klausul membebaskan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen menimbulkan kerugian bagi konsumen terhadap hak-haknya, hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam Al Qur’an:



“dan janganlah kalian merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kalian merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS.As Syu’ara’: 183).



“dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil…” (Al Baqarah ayat: 188).

(22)

terikat dengan syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”193

“jauhilah kezaliman karena kezaliman menjadikan kegelapan di hari kiamat.”

Klausul tersebut bertentangan dengan prinsip syariah yang seharusnya dalam akad tidak mengandung unsur zalim yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya, sebagaimana Hadits Nabi Riwayat Muslim “Jabir Ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

194

Akad yang tidak memenuhi rukun dan syaratnya, akad tersebut berdampak hukum tidak sah dan merupakan akad batil. Pasal 26 KHES juga mengatur bahwa akad tidak sah apabila bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Maka Penerapan klausul eksonerasi

Berdasarkan uraian di atas, maka klausul tersebut bertentangan tujuan akad, bertentangan dengan Pasal 21 KHES yang mengatur mengenai asas-asas dalam Hukum Perjanjian Islam, yaitu asas itikad baik, asas transparansi, asas kesetaraan (taswiyah), asas suatu sebab yang halal. Klausul tersebut tidak sesuai dengan prinsip syariah yaitu mengandung unsur zalim atau ketidakadilan, serta tidak sesuai dengan anjuran Al Qur’an dan Hadits dalam melaksanakan perjanjian.

193

Berdasarkan hasil wawancara dengan Dewan Pengawas Syariah Bank Syariah Propinsi Sumatera Utara Bapak Amiur Nuruddin pada hari Jum’at tanggal 16 April 2015 Pukul 15.30 di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.

194Imam Nawawi, Musthofa Said Al Khin dkk (Penerjemah Muhil Dhofir), Syarah &

(23)

dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah tidak memenuhi rukun akad, sehingga merupakan akad batil atau batal demi hukum.

2. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak kedua belah pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan.195

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Kesepakatan dalam perjanjian diadakan secara sukarela dari para pihak dalam perjanjian, sesuai dengan ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

Kesepakatan pihak-pihak dalam perjanjian merupakan unsur utama untuk terjadinya suatu perjanjian yang bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan dari para pihak untuk mencapai suatu kehendak.

195Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari

(24)

Setiap orang cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap.196

1) Orang-orang yang belum dewasa

Pihak-pihak yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUHPerdata mengatur bahwa tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah, yaitu:

Pasal 330 KUHPerdata mengatur bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai genap dua puluh satu Tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.” Dapat disimpulkan bahwa sesorang dianggap cakap berdasarkan KUHPerdata apabila telah berusia 21 Tahun. Telah menikah, termasuk juga mereka yang sudah menikah tetapi belum mencapai usia 21 Tahun.

Ketentuan dewasa dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 50 yang menyatakan “anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Perkawinan tersebut di atas, usia dewasa seseorang adalah 18 tahun. Maka ketentuan ini menggantikan berlakunya ketentuan dalam KUHPerdata yang menentukan usia 21 tahun untuk menentukan saat dewasa seseorang. Oleh karena itu kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum apabila telah

(25)

menikah, seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.197 2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

Seseorang yang dibawah pengampuan juga termasuk tidak cakap hukum. Pengampuan diatur dalam Pasal 433 KUHPerdata yang menyatakan:

“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit gelap atau mata gelap harus di taruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.

Seseorang dewasa boleh juga di taruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas orang yang dapat ditaruh di bawah pengampuan disebabkan karena gila (sakit otak), dungu (onnoozelheid), mata gelap (rezernij), lemah akal (zwakheid van vermogens), pemborosan.198

3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

197

Lihat dalam Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Op.Cit, h. 131. Menurut Hukum Islam orang-orang yang telah baligh (dewasa) dapat dilihat pada laki-laki yang telah bermimpi (ihtilam) dan pada perempuan yang telah haidh. Ukuran dewasa juga dapat dilihat pada usia seseorang yaitu 15 tahun. Berdasarkan pada hadits Ibnu Umar, bahwa Ibnu Umar tidak diizinkan Rasulullah untuk berperang (Perang Uhud) ketika usianya 14 tahun. Ketika usianya 15 tahun ia diizinkan untuk turut berperang (Perang Khandaq). Lihat Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h. 1510. Selanjutnya lihat dalam Wirdyaningsih dkk, Op.Cit, h. 96. Ketentuan dewasa juga diatur dalam beberapa undang-undang yaitu: Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam menyatakan dewasa usia 21 tahun sepanjang anak itu tidak cacat fisik dan mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.” Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak menyatakan “anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.” Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang tentang Peradilan anak menyatakan “batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah kurang dari 18 Tahun dan belum pernah kawin.”

(26)

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dijelaskan dalam KUHPerdata pada Pasal 1333 yang berbunyi “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau diihitung.”

Rumusan tersebut menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, KUHPerdata hendak menjelaskan bahwa jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan tertentu.199

d. Suatu sebab yang halal.

Suatu perjanjian harus jelas objek yang ditentukan oleh para pihak. Objek perjanjian dapat berupa barang, jasa, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Objek perjanjian berupa barang, maka digunakan cara seperti menghitung, menimbang, mengukur. Objek berupa jasa, maka harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak.

Suatu sebab yang halal bukanlah lawan kata dari haram dalam hukum Islam, akan tetapi yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal adalah isi dari perjanjian

(27)

tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 1335 KUHPerdata, dijelaskan bahwa yang disebut sebab yang halal adalah:200

1) Bukan tanpa sebab 2) Bukan sebab yang palsu

3) Bukan sebab yang terlarang, yang terdiri dari: a) Kausa yang dilarang oleh perundang-undangan; b) Kausa yang bertentangan dengan kesusilaan;

c) Kausa yang bertentangan dengan ketertiban umum.

Pasal 1337 menyatakan “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Pasal 1337 ini berkaitan dengan isi yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Keempat syarat pokok ini dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu syarat-syarat subjektif yang berhubungan dengan subjek hukum yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Syarat-syarat objektif, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan objek hukum yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Para ahli hukum Indonesia umumnya berpendapat bahwa dalam hal syarat-syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya (voidable). Sedangkan dalam hal

200 Lebih lanjut lihat dalam Pasal 1335 KUHPerdata. Contoh-contoh perjanjian dengan suatu sebab yang tidak halal seperti kontrak yang mengandung unsur riba atau lintah darat, kontrak yang mengandung unsur judi, kontrak jual beli dengan hak beli kembali, janji tidak menyaingi, larangan pemindahan barang, kontrak tanpa license, kontrak untuk bercerai, kontrak pembebasan (eksonerasi,

exonoratie, exculpatory), kontrak yang dilakukan dengan sogok menyogok dan kontrak dengan syarat

(28)

syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (void ab initio).201

Perjanjian merupakan faktor yang sangat penting untuk mengikat antara para pihak dalam perjanjian. KUHPerdata mengaturnya dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Seperangkat aturan hukum telah ditentukan oleh undang-undang sebagai tolak ukur bagi para pihak untuk menguji standard keabsahan perjanjian yang mereka buat. Berdasarkan KUHPerdata sahnya suatu perjanjian apabila memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toesteming van degenen die zich verbinden), kecakapan untuk membuat suatu

perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan), suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp), suatu sebab yang halal (eene geoorloogde oorzaak). Syarat

sahnya suatu perjanjian disamping syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, maka untuk sahnya suatu perjanjian juga disyaratkan agar perjanjian tersebut tidak melanggar unsur itikad baik, kepatutan, kepentingan umum dan kebiasaan.202

Penerapan klausul eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah merupakan suatu tindakan yang tidak patut (on billijkheid). Klausul tersebut bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan, suatu perjanjian haruslah dilaksanakan dengan itikad baik (goeder trouw, bona

201Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Commom Law, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 45.

(29)

fide).203

Siti Ismijati Jeni mengemukakan bahwa dalam Bahasa Indonesia itikad baik dalam artian objektif disebut juga dengan istilah kepatutan. Objektif menunjuk pada kenyataan bahwa perilaku para pihak itu harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik dan tidak semata-mata berdasarkan anggapan para pihak sendiri.

Itikad baik dalam doktrin hukum perjanjian meliputi itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif diartikan dalam hubungannya dengan hukum benda bermakna kejujuran, sedangkan itikad baik objektif berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.

204

Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa:205

Klausul tersebut bertentangan dengan Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

“Kejujuran (itikad baik) dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, tidak terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji, jadi kejujuran di sini bersifat dinamis, kejujuran dalam arti dinamis atau kepatutan ini berakar pada sifat peranan hukum pada umumnya, yaitu usaha untuk mengadakan keseimbangan dari berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat. Dalam suatu tata hukum pada hakikatnya tidak diperbolehkan kepentingan seseorang dipenuhi seluruhnya dengan akibat kepentingan orang lain sama sekali terdesak atau diabaikan. Masyarakat harus merupakan sesuatu neraca yang berdiri tegak dalam keadaan seimbang.”

203 Ibid, h. 81.

204Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas

Hukum Umum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, (Yogyakarta, tanggal 10 September 2007), h. 5. Selanjutnya lihat dalam

Abdul Hakim, Op.Cit, h. 92.

(30)

dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”

Tan Kamello dalam pandangan hukumnya menyatakan:

“Dalam KUHPerdata, kepatutan adalah tiang hukum yang wajib ditegakkan. Sebagai asas kepatutan memiliki peran dan fungsi antara lain menambah atau mengenyampingkan isi perjanjian. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Isi perjanjian yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak harus dijalankan dengan itikad baik”206

Asas kepatutan dalam Pasal 1339 KUHPerdata berkaitan dengan isi perjanjian. Pelaksanaan perjanjian harus dilakukan dengan memperhatikan norma-norma kepatutan207

Klausul eksonerasi melanggar syarat sepakat dalam perjanjian pada Pasal 1321 KUHPerdata, yaitu “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Isi Surat Pernyataan yang menerapkan klausul eksonerasi telah dibuat dalam bentuk baku sehingga nasabah debitur dan ahli waris tidak mempunyai posisi tawar untuk ikut menentukan isi perjanjian tersebut. Kesepakatan dalam perjanjian baku tidak dapat dilakukan sebebas dengan perjanjian langsung yang melibatkan para pihak dalam penetapan isi klausul-klausul dalam perjanjian. Nasabah debitur tidak dapat menolak isi klausul karena adanya ketergantungan secara ekonomi untuk memperoleh pembiayaan dari , sehingga dapat memberikan rasa keadilan bagi para pihak dalam perjanjian tersebut.

206

Tan Kamello dalam O.C. Kaligis, Asas Kepatutan dalam Arbitrase, (Bandung: Alumni, 2009), h. 279-280.

(31)

bank. Sehingga kesepakatan dalam Surat Pernyataan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian“sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”.

Penerapan klausul eksonerasi tersebut juga bertentangan dengan syarat sah perjanjian suatu sebab yang halal. Pasal 1335 menyatakan “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” Selanjutnya dalam Pasal 1337 dinyatakan “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah berisi pengalihan tangggung jawab kepada konsumen dilarang oleh

undang-undang.208

3. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Syarat suatu sebab yang halal dilanggar, sehingga tidak memenuhi syarat sah perjanjian elemen yang keempat “suatu sebab yang halal”.

Berdasarkan uraian di atas penerapan klausul eksonerasi tersebut bertentangan dengan itikad baik, kepatutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3), Pasal 1339 KUHPerdata. Kesepakatan dalam Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut juga tidak terpenuhi. Tidak memenuhinya syarat objektif suatu sebab yang halal dalam sahnya perjanjian, maka Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut batal demi hukum.

(32)

Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “segala warga negara Indonesia bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal 27 ayat (1) tersebut memberikan landasan bagi perlindungan konsumen di Indonesia. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa segala warga Negara sama kedudukannya di dalam hukum. Kedudukan hukum antara konsumen dan produsen sama, memiliki hak-hak yang seimbang antara satu sama lain.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.209 Kalimat dalam pengertian perlindungan konsumen yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.210

Perlindungan hukum bagi konsumen merupakan hal yang utama dalam menjaga hubungan hukum antara produsen dan konsumen. Dengan demikian pihak produsen dan konsumen dapat mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.

211

209Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

210Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit, h. 1.

211Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 1.

(33)

melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas.212

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) pelarangan penggunaan kontrak baku terhadap dua hal yakni berkaitan dengan isi dan bentuk penulisannya. Dari segi isi berkaitan dengan larangan memuat klausul-klausul baku yang tidak adil. Sedangkan dari bentuk penulisannya klausula itu harus dituliskan secara jelas dan terang sehingga dapat dibaca dan dimengerti oleh konsumen dengan baik.

213

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Surat Pernyataan dalam Perjanjian pembiayaan musyarakah dalam bentuk baku dan mencantumkan klausul bahwa bank mengalihkan tanggung jawab pelunasan pembiayaan kepada ahli waris apabila polis asuransi belum selesai. Penerapan klausul eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan:

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

b. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang yang telah dibeli konsumen.

c. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang sudah dibeli oleh konsumen. d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala

212

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoritis dan

Perkembangan Pemikiran, (Banjarmasin: FH Unlam Press, 2010), h. 95.

(34)

tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran

e. Mengatur tentang pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau jasa yang dibeli konsumen.

f. Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.

g. Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.

h. Menyatakan konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli secara angsuran.

Penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian baku merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) huruf a. Sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan:

“setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.”

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka perjanjian baku yang menerapkan klausul eksonerasi atau pengalihan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen adalah batal demi hukum. Akibat dari kebatalan demi hukum atas Surat Pernyataan tersebut, menurut Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan “pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.”

(35)

(1) huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Atas adanya klausul tersebut, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

4. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:214

a) Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,

b) Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan

c) Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

OJK mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan.215

Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan usahanya secara konvensional

214

Wib.

(36)

maupun secara syariah.216 Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.217

Pasal 4 ayat (1) Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang menyatakan “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.” Pelaku usaha juga wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen.

218

216Lihat Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

217

Lihat Pasal 1 angka 2 Ketentuan Umum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

218

Lihat Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) menyatakan “Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

(37)

Pengaturan mengenai larangan penerapan klausul eksonerasi atau pengalihan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen diatur dalam Pasal 22 ayat (3) huruf a yang menyatakan bahwa:

“Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen;

b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli;

c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan;

d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan;

e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;

f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau;

g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.” Ketentuan yang sama juga diatur dalam Bagian angka II tentang Klausula Dalam Perjanjian Baku angka 3 dan 4 Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku, yang menyatakan bahwa:

(3) Klausula219

219Kata klausula tidak sesuai dengan ketentuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Seharusnya menggunakan kata klausul. Klausul yaitu ketentuan tersendiri dari suatu perjanjian yang

(38)

a. Klausula eksonerasi/eksemsi yaitu yang isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK), atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban Konsumen.

b. Penyalahgunaan keadaan yaitu suatu kondisi dalam Perjanjian Baku yang memiliki indikasi penyalahgunaan keadaan. Contoh terhadap kondisi ini misalkan memanfaatkan kondisi Konsumen yang mendesak karena kondisi tertentu atau dalam keadaan darurat dan secara sengaja atau tidak sengaja PUJK tidak menjelaskan manfaat, biaya dan risiko dari produk dan/atau layanan yang ditawarkan.

(4) Perjanjian Baku yang dilarang adalah perjanjian yang memuat hal-hal sebagai berikut:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUJK kepada Konsumen;

b. menyatakan bahwa PUJK berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli;

c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada PUJK, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan;

d. mewajibkan Konsumen untuk membuktikan dalil PUJK yang menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen bukan merupakan tanggung jawab PUJK; e. memberi hak kepada PUJK untuk mengurangi kegunaan produk

dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;

f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh PUJK dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau

g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada PUJK untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas bahwa Peraturan OJK juga melarang pencantuman klausul eksonerasi, diatur dalam Pasal 22 ayat (3) huruf a Peraturan

salah satu pokok atau pasalnya diperluas atau dibatasi. Lihat dalam Departemen Pendidikan Nasional,

(39)

OJK Nomor 1/OJK.07/2013 dan bagian II angka 4 huruf a Surat Edaran OJK Nomor 13/SE OJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku. Pelaku Jasa Keuangan tidak dibenarkan membuat perjanjian baku yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan menyatakan pengalihan tanggung jawan Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada konsumen.

Perjanjian baku yang dibuat antara bank dan nasabah debitur baik itu pada bank yang menjalankan operasionalnya berdasarkan konvensional maupun prinsip syariah dilarang menerapkan klausul pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (bank) kepada nasabah debitur. Penerapan klausul eksonerasi pada Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan musyarakah bertentangan dengan Pasal 22 ayat (3) huruf a Peraturan OJK Nomor 1/OJK.07/2013 dan bagian II angka 4 huruf a Surat Edaran OJK Nomor 13/SE OJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.

(40)

usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.220

No

Ketentuan dalam Pasal 53 selanjutnya menyatakan Pelaku Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar ketentuan dalam Peraturan OJK dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa Peringatan tertulis, denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin kegiatan usaha.

Tabel 1: Akibat Hukum Penerapan Klausul Eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada Perjanjian Pembiayaan Musyarakah berdasarkan Hukum Perjanjian Islam, KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/OJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Perban dingan

Hukum Perjanjian Islam

KUHPerdata UU No. 8/1999 tentang UUPK

(41)

1. Tidak menyalahi e. Ghalath atau khilaf

(42)

Pasal 21 KHES

Akad batil. Batal demi hukum Batal demi hukum

Batal demi hukum

(43)

perjanjian pembiayaan musyarakah berdasarkan Hukum Perjanjian Islam adalah merupakan akad batil. Berdasarkan KUHPerdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan adalah batal demi hukum.

BAB IV

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP KEKUATAN MENGIKAT KLAUSUL EKSONERASI DALAM PELUNASAN

PEMBIAYAAN MUSYARAKAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NOMOR 967/PDT.G/2012/PA.MDN

A. Posisi Kasus 1. Peristiwa Konkrit

a. Identitas Penggugat dan Tergugat

Kasus ini terjadi antara SD (Ibu kandung dari OSH yaitu Nasabah ), usia 60 Tahun, pekerjaan ibu rumah tangga, alamat di Padang Lawas Utara (Penggugat) melawan:

1) PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padang Sidimpuan (Tergugat I) 2) PT. Bank Sumut, Sumatera Utara (Tergugat II)

3) PT. Asuransi Y Syariah, Jakarta (Tergugat III)

(44)

AUH, 15 tahun, tidak bekerja, RMH, 12 tahun, Kesemua anak 1 sampai 3 beralamat dan tinggal bersama dengan Turut Tergugat I di Padang Lawas Utara (Turut Tergugat I).

5) FDAH, alamat di Padang Lawas Utara (Turut Tergugat II) 6) EMH, alamat di Padang Lawas Utara (Turut Tergugat III) b. Kronologi Kasus

Kasus ini berawal dari nasabah debitur dan Tergugat I mengikatkan diri dalam akad pembiayaan musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011 pada tanggal 26 April 2011. Akad musyarakah bertujuan untuk penambahan modal kerja dengan jumlah pembiayaan Rp. 700.000.000,. (tujuh ratus juta rupiah) dalam jangka waktu 12 bulan atau satu tahun. Perjanjian pembiayaan tersebut disertai dengan jaminan berupa Sertifikat Hak Milik Nomor 457/Pasar Gunung Tua tanggal 19 Desember 2008 dan Sertifikat Hak Milik Nomor 395/ Pasar Gunung Tua tanggal 7 Juni 2007. Nasabah telah memenuhi pembayaran asuransi jiwa dan administrasi kepada bank sebesar Rp. 13.609.000,. (tiga belas juta rupiah).

Tiga bulan berjalannya pembiayaan, tepatnya tanggal 13 Juli 2011 Nasabah meninggal dunia. Meninggalnya nasabah debitur menyebabkan terhentinya pembayaran cicilan pembiayaan. Kemudian pihak bank mengirim surat peringatan pada tanggal 3 Februari 2012, 27 Maret 2012, dan tanggal 22 Mei 2012 kepada ahli waris nasabah debitur yaitu istri dan anak-anaknya agar membayar pelunasan hutang pembiayaan musyarakah sebesar Rp. 752.000.000,. (tujuh ratus lima puluh dua juta rupiah). Jika tidak dilunasi maka bank akan

(45)

mengajukan lelang terhadap barang jaminan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Ahli waris tidak bersedia melakukan pelunasan pembiayaan karena pembiayaan musyarakah tersebut telah dilindungi dengan asuransi pembiayaan dan premi asuransi tersebut telah dibayar oleh almarhum nasabah debitur sebelum beliau meninggal dunia. Biaya-biaya yang dibebankan oleh pihak bank kepada nasabah debitur dalam permohonan pembiayaan musyarakah antara lain administrasi senilai Rp. 8.750.000,-, Notaris Rp. 1.500.000,-, Asuransi Jiwa Rp. 2.170.000,-, Asuransi Kebakaran Rp. 1.189.408,-, total yang telah dibayar nasabah debitur sebesar Rp. 13.609.408,-.

Biaya pinjaman diatas Rp. 500.000.000,- wajib disertai dengan surat Pemeriksaan Kesehatan dari Nasabah. Laporan atau hasil Pemeriksaan Kesehatan (Medical Check up) meliputi Laporan Pemeriksaan Kesehatan, Electrocardiogram, Analisa darah dan urine lengkap serta Thorax Photo. Akan tetapi hingga sampai nasabah debitur meninggal dunia, bank tidak pernah memberitahukan mengenai surat Pemeriksaan Kesehatan tersebut. Nasabah debitur dan ahli warisnya juga tidak mengetahui mengenai adanya syarat Pemeriksaan Kesehatan. Bank menyampaikan pemberitahuan mengenai Surat Pemeriksaan Kesehatan setelah nasabah debitur meninggal dunia.

(46)

menyebabkan pihak asuransi tidak bersedia mengeluarkan klaim asuransi karena perusahaan asuransi belum melakukan penilaian dan mempelajari persyaratan administrasi berupa Laporan Pemeriksaan Kesehatan dari nasabah debitur.

Pihak bank dan nasabah debitur beserta istri (ahli waris) pada saat persetujuan akad pembiayaan musyarakah juga disertai dengan Surat Pernyataan yang merupakan bagian dari perjanjian pembiayaan musyarakah yang ditandatangani oleh ahli waris yaitu istri nasabah debitur pada tanggal 26 April 2011 yang menyatakan:

“Apabila dikemudian hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak bank dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya hingga selesai.”

(47)

(tiga juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) dan pada tingkat Banding sebesar Rp. 150.000,00., (seratus lima puluh ribu rupiah). Kemudian salah satu Terbanding (SD/Penggugat) mengajukan Kasasi. Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusannya menolak permohonan Kasasi dengan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi.

2. Peristiwa Hukum

Berdasarkan posisi kasus tersebut di atas telah terjadi suatu peristiwa hukum yaitu perjanjian pembiayaan musyarakah antara Bank Syariah dengan nasabah. Pembiayaan musyarakah yang direalisasikan bank kepada nasabah bertujuan untuk kerjasama dimana bank memberikan modal kepada nasabah untuk menjalankan dan meningkatkan usaha nasabah. Kerjasama tersebut dilakukan dengan prinsip syariah melalui adanya pembagian keuntungan dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Pembiayaan musyarakah disertai juga dengan perlindungan asuransi jiwa yang bertujuan untuk melindungi dana pembiayaan apabila terjadi sesuatu pada nasabah. Apabila Nasabah meninggal dunia, jika pembiayaan sudah dilindungi dengan asuransi maka pelunasan pembiayaan dapat terlindungi oleh asuransi.

(48)

asuransi jiwa sebagai perlindungan terhadap pelunasan pembiayaan musyarakah apabila nasabah debitur meninggal dunia. Asuransi jiwa belum memenuhi syarat administrasi berupa kelengkapan Laporan Pemeriksaan Kesehatan Nasabah.

Perjanjian pembiayaan musyarakah disertai dengan Surat Pernyataan yang merupakan bagian dari perjanjian pokok, menyatakan “apabila dikemudian hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak bank dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya hingga selesai.” Berdasarkan Surat Pernyataan tesebut, bank melepaskan tanggung jawabnya terhadap terjadinya penutupan asuransi yang merupakan kewajiban dari bank dan mengalihkannya kepada ahli waris nasabah debitur.

Tiga bulan pertama semasa hidup, nasabah debitur selalu rutin membayar angsuran setiap bulannya. Setelah nasabah debitur meninggal dunia, maka siapa yang bertanggung jawab terhadap pelunasan pembiayaan tersebut serta bagaimana kekuatan mengikat klausul eksonerasi yang terdapat dalam Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan musyarakah.

3. Pertimbangan Dan Putusan Hakim

(49)

melakukan pembiayaan sesuai yang ditetapkan serta tercatat sebagai nasabah yang baik dan jujur.

Majelis Hakim PA menilai bahwa bukti P.3 yaitu Akad Pembiayaan Musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011 bertanggal 26 April 2011

adalah bukti autentik bahwa semasa hidupnya almarhum telah membuat akad pembiayaan musyarakah dengan PT. Bank Sumut yang diwakili oleh Pimpinan PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padangsidimpuan sebesar Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah), uang tersebut telah diterima oleh almarhum dengan terlebih dahulu memenuhi dan melengkapi biaya administrasi, asuransi, notaris dan syarat-syarat administrasi lainnya sebesar Rp. 13.609.408,- (tiga belas juta enam ratus sembilan ribu empat ratus delapan rupiah) dan telah diterima dan disetujui oleh pimpinan PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padangsidimpuan.

(50)

Surat Nota Debet dan Jadwal Angsuran Pembiayaan Musyarakah pada bukti P.5 yang dikeluarkan oleh PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padangsidimpuan bertanggal 26 April 2011 adalah membuktikan pada masa hidupnya almarhum adalah merupakan mitra dan nasabah yang tetap melakukan pembayaran sesuai dengan yang ditetapkan serta tercatat sebagai nasabah yang baik dan jujur.

Surat Peringatan pertama, kedua dan terakhir dalam bukti P.6 yang dikeluarkan oleh Pimpinan Bank Sumut Cabang Syariah Padangsidimpuan atas perihal tentang keterlambatan pembayaran angsuran sampai pada peringatan dilakukannya lelang terhadap barang agunan, membuktikan bahwa Tergugat I dan Tergugat II ingin melepaskan tanggung jawab atas kelalaiannya untuk menanggung resiko karena telah melakukan pencairan pinjaman padahal Tergugat III belum menyetujui adanya penutupan asuransi.

Surat Pernyataan yang ditandatangani oleh almarhum semasa hidupnya bersama istri (bukti T.I-II Nomor2), merupakan bukti yang dibuat dan diterbitkan oleh Tergugat I dan Tergugat II Majelis Hakim berpendapat bahwa bukti tersebut tidak berkekuatan hukum, dan dinyatakan bukti tesebut tidak memenuhi syarat formil dan materil untuk suatu bukti dan harus ditolak.

Gambar

Tabel 1: Akibat Hukum Penerapan Klausul Eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada Perjanjian Pembiayaan Musyarakah berdasarkan Hukum Perjanjian Islam, KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuan

Referensi

Dokumen terkait

Cambridge IGCSE French 0520, German 0525, Greek 0543, Italian 0535, Spanish 0530 syllabus for 2017, 2018 and 2019. Details of

Toyota Motor Manufacturing Indonesia, proses pembuatannya diawali dengan proses RCS (Resin Coated Sand) atau proses persiapan pasir, lalu dilanjutkan dengan proses pembentukan

[r]

Tetapi dari pengalaman yang dialami tidak jarang para guru menemui ketidakmampuan siswa dalam berbicara karena seseorang pembicara khususnya dalam berpidato harus

stakeholder , maka strategi potensi pariwisata perkotaan berdasarkan prioritasnya, yaitu (1)mensosialisasikan kebijakan setiap daya tarik wisata pariwisata melalui

1. Ekspektasi Kinerja berpengaruh signifikan terhadap minat pemanfaatan SIPKD. Penulis menyimpulkan pegawai kota kupang yakin dan percaya bahwa dengan menggunakan

Pada Tabel 5 berikut ini merupakan tabel rekapitulasi tanggapan konsumen terhadap citra merek, harga, kualitas produk, serta minat beli ulang di Sate Maranggi

Berdasarkan hasil analisis terdapat 27 saluran yang ada pada Kecamatan Kota SoE masih mampu menampung debit banjir rencana dengan kala ulang 5 tahun, sehingga dimensi saluran