• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Pengaturan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin

B. Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang

29

Undang-undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

B. Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 144,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)

Pengertian sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 1 ayat (4) yaitu, sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Mengenai pengaturan pengamanan dan pengunaan sediaan farmasi diatur dalam pasal 98 sampai pasal 108. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah :

Pasal 98

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.

ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

ayat (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

ayat (4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 99

ayat (1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya.

ayat (2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. ayat (3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi. Pasal 100

ayat (1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya.

ayat (2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional.

Pasal 101

ayat (1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. ayat (2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah.

ayat (1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.

ayat (2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 103

ayat (1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu.

ayat (2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 104

ayat (1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan.

ayat (2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional. Pasal 105

ayat (1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.

ayat (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.

ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan. ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 107

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 108

ayat (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

ayat (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 197, rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan

sediaan farmasi dan atau/alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidanana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar limaratus juta rupiah )

C. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3671) Dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062)

Sebenarnya dalam kedua Undang-Undang diatas tidak ada pasal-pasal

yang secara langsung mengatur tentang mengedarkan sedian farmasi tanpa izin edar, namun terdapat beberapa pasal yang sangat berkaitan erat dengan mengedarkan sediaan farmasi.

1. Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang Psiotropika

Pengaturan mengenai peredaran psiotropika dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 8 sampai pasal 13. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut yaitu:

Pasal 8

Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan Pasal 9

ayat (1) Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan

ayat (2) Menteri menetapkan persyaratan dan tata cara pendaftaran psikotropika yang berupa obat

Pasal 10

Setiap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika, wajib dilengkapi dengan dokumen pengangkutan psikotropika

Pasal 11

Tata cara peredaran psikotropika diatur lebih lanjut oleh Menteri Pasal 12

ayat (1) Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah

ayat (2) penyaluran psiotropika sebagaimana diatur dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan oleh :

a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan.

b. Pedagang basar farmasi kepada pedang besar farmasi lainnya, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan

c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah kepada rumah sakit pemerintah, puskesmas dan balai pengobatan pemerintah.

ayat (3) Psiotropika gokongan satu hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan atau pendidikan guna psiotropika.

Pasal 13

Psiotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatura dalam pasal 60 ayat (1) huruf (c), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Barang siapa memproduksi atau mengedarkan psikotropoka berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab dibidang kesehatan sebagaiman dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) 30

30

Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang Psiotropika

2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Pengaturan mengenai peredaran narkotika dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 35 sampai pasal 38. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut Pasal 35

Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindah tanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 36

ayat (1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.

ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara perizinan peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

ayat (3) Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.

ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 37

Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 38

Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah. Pasal 39

(1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran Narkotika dari Menteri.

Pasal 40

Narkotika kepada:

a. pedagang besar farmasi tertentu; b. apotek;

c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; dan d. rumah sakit.

ayat (2) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:

a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya; b. apotek;

c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; d. rumah sakit; dan

e. lembaga ilmu pengetahuan;

ayat (3) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:

a. rumah sakit pemerintah;

b. pusat kesehatan masyarakat; dan c. balai pengobatan pemerintah tertentu. Pasal 41

Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyaluran Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatur menurut golongannya. Ketentuan mengenai tindak pidanan mengedarkan narkotika golongan I diataur dalam pasal 113 ayat (1), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Mengenai tindak pidana mengedarkan narkotika golongan II diatur dalam pasal 118 ayat (1), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)

Mengenai tindak pidana mengedarkan narkotika golongan III diatur dalam pasal 123 ayat (1), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 31

31

D. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3781)

Peraturan pemerintah tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan ini dibuat atas perintah UU kesehatan untuk mengatur hal teknis dan oprasional dari UU tersebut. Pengaturan mengenai peredaran sediaan farmasi dalam Peraturan Pemerintah ini diatur dalam pasal 6 sampai pasal 8. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut

Pasal 6

Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan terdiri dari penyaluran dan penyerahan

Pasal 7

peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Pasal 8

ayat (1) Setiap pengankutan sedian farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran harus disertai dengan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan

ayat (2) Setiap pengankutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Pasal 9 sampai pasal 10 Peraturan pemerintah ini mengatura mengenai tata cara mendapatkan izin edar, adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah

Pasal 9

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memperoleh izin edar dari menteri kesehatan

ayat (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diperoduksi oleh perorangan Pasal 10

ayat (1) Izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan diberikan atas dasar permohonan secara tertulis kepada menteri kesehatan

ayat (2) Permohonan secara tertulis sebagaiman dalam ayat (1) disertai dengan keterangan dan atau data mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin edar serta contoh sediaan farmasi dan alat kesehatan

ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan izin edar sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan oleh menteri kesehatan Pasal 11

Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin edar dari segi mutu, keamanan dan kemanfaatan

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam Peraturan Pemerintah ini diatura dalam pasal Pasal 75 huruf (b) rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Barang siapa memproduksi atau mengedarkan Barang siapa dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanp izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dipidana

denganpidan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 140.000.000.00 (seratus empat puluh juta rupiah32

32

Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

BAB III

ANALISA KASUS PUTUSAN NO.1920 / PID B / 2004 / PN MEDAN

A. Kasus Posisi

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengangkat kasus tentang mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar di wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan. Pada kasus dengan No Putusan 1902/ Pid B/ 2004/ PN Medan, dengan terdakwa Nerawati.

Bahwa terdakwa Nerawati pada hari Kamis tanggal 2 Oktober 2003, sekitar pukul 14.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2003, di toko obat Dwi jaya jalan Mayor No.7-f Pajak Palapa Medan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, telah mengedarkan sedian farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar, yang hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :

- Pada waktu dan tempat seperti tersebut diatas, terdakwa selaku pemilik toko obat Dwi Jaya, telah membuka toko tersebut sejak tahun 2000 untuk menjual obat-obatan pada pelanggan, dan tiba-tiba datang petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Medan yaitu Sahat T.Marpaung, Drs.Ramses Doloksaribu dan Dahlinar Astuty untuk melaksanakan tugas pemeriksaan terhadap toko obat berizin berdasarkan Surat Perintah Tugas Kepala Balai Besar POM di Medan Nomor : PO.02.02.82.824.2550 tanggal 30 September 2003.

- Kemudian para petugas Balai Besar POM melakukan pemeriksaan obat-obatan yang berada di toko obat Dwi Jaya milik Nerawati, dan hasilnya petugas menemukan sejumlah obat-obatan yang tidak terdaftar atau tanpa izin edar yaitu : 13 (tiga belas) botol obat batuk, 60 (enam puluh) Tube Fluoclnonide Oitment, 20 (dua puluh) pot salap HL, 10 (sepuluh) kotak Niu Huang dan 16 (enam belas) tube cream Cinolone.

- Selanjutnya petugas Balai Besar POM melakukan penyitaan terhadap obat-obatan tersebut dan terdakwa mengakui bahwa obat-obat-obatan tanpa izin edar tersebut diperoleh dengan membeli dari toko obat Kemenangan dan toko obat Abadi, dan sebagian obat-obatan tersebut telah terjual secara eceran kepada orang-orang yang datang ke toko obat tersebut.

- Berdasarkan keterangan ahli yaitu Dra. Florasari, Apt, menerangkan bahwa obat-obatan yang telah disita dari toko Dwi Jaya milik terdakwa tersebut, adalah benar obat yang tidak terdaftar atau tanpa izin edar.

Dengan Dakwaan

Diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (2) huruf c “Barang siapa yang tampa keahlian dan kewenangan dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana diatur dalam pasal41(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana dendapaling banyak Rp. 140.000.000,00 (seratus enpat puluh juta rupiah” Jo Pasal 41 ayat (1) “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar” Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.

Dengan Putusan

Menyatakan terdakwa Nerawati telah terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2) huruf c Jo Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selam 6 (enam) bulan dengan masa hukuman percobaan selama 1 (satu) tahun

B. Analisis Kasus

1. Unsur-unsur Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan farmasi tanpa Izin Edar

Syarat utama memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hal ini adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting, artinya sebagai prinsip kepastian, undang-undang pidana sifatnya harus pasti, didalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan.

Pandangan tentang unsur-unsur tindak pidana dapat dibagi menjadi dua aliran, aliran monistis dan aliran dualistis.

a.

1. Simons

Aliran monistis dianut oleh:

Unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah sebagaiberikut:33

33

a. Perbuatan Manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld); c. Melawan hukum (onrechtmatig);

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (torekeningsvatbaar persoon); Simon menyebutkan adanya dua unsur strafbaarfeit, yakni

1. Unsur objektif meliputi dari: a. Perbuatan Orang;

b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;

c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu. 2. Unsur subjektif adalah:

a. Orang yang mampu bertanggung jawab;

b. Adanya kesalahan (dolus atau culpa), perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

2.Van Hamel

Unsur-unsur tindak pidana menurut Van Hamel adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

b. Melawan hukum;

c. Dilakukan dengan kesalahan; d. Patut dipidana.

3. E. Mezger

a. Perbuatan dalam arti yang luas (aktif atau membiarkan);

b. Sifat melawan hukum (baik yang bersifat objektif ataupun subektif); c. Dapat dipertangungjawabkan kepada seseorang;

d. Diancam dengan pidana. b.

1. Moeljanto

Aliran dualistis diantaranya dianut oleh:

Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia;

b. Yang memenuhi rmusan dalam undang-undang(merupakan syarat formil); c. Bersifat melawan hukum;

2. H.B. Vos

Unsur-unsur tindak pidana menurut H.B Vos adalah: a. Kelakuan manusia

b. Diancam pidana dalam undang-undang. c. Sifat Melawan hukum dalam tindak pidana

Salah satu unsur tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum, unsur ini merupakan penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam unang-undang, dalam bahasa Jerman ini disebut “tatbestandmaszing” tatbestand dalam arti sempit adalah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana, tastbestand dalam arti sempit ialah masing-masing unsur dari rumusan delik, perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya

perbuatan tersebut.34 Sifat melawan hukum hapus apabila diterobos dengan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf35

Sifat melawan hukum dibedakan atas empat bagian, yakni terdiri dari: .

36

Pengertian melawan hukum materil dapat dibedakan menjadi dua yaitu: sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif dan sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif:

1.Melawan hukum formil

Yaitu suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila ada perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, sedangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus hanya berdasrkan suatu ketentuan undang-undang, jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangtan dengan undang-undang.

2. Melawan hukum materil

Yaitu suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukm yang tidak tertulis, sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis.

37

a. Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif yaitu Mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada diluar undang-undang menghapus sifat

34

Ibid. hal. 76.

35

Samidjo, Ringkasan Dan Tanya Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, halaman 123. 36

D. Schffmeister et al, dalam J.F. Sahetapi (ed), Hukum Pidana, Liberty Edisi Pertama Cetakan Ke-1, Yogyakarta, halaman 39.

37

melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi alasan tersebut sebagai pengahapus sifat melawan hukum.

b. Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif yaitu menganggap suatu perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada diluar undang-undang, jadi disini diakui hukum yang tidak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.

3. Sifat melawan hukum umum

Yaitu diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidannya yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana (perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela).

4. Sifat melawan hukum khusus

Yaitu sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik.

Mengenai unsur-unsur tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan

Dokumen terkait