• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TERBITNYA HARIAN MIMBAR UMUM TAHUN 1945

5.2. Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan penulis setelah melakukan penelitian di lapangan adalah:

 Harian Mimbar Umum sebagai pers perjuangan harus dapat melakukan penyesuaian diri terhadap perkembangan zaman. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penyajian berita yang aktual dan terbaru serta penyajian tampilan visual yang mampu menarik minat pembaca.

 Harian Mimbar Umum sebagai pers perjuangan dirasa perlu untuk mempublikasikan diri ke tengah-tengahmasyarakat tentang profil dan rekam perjalanannya sejak pertama kali terbit hingga sekarang. Hal ini penting dilakukan agar generasi muda zaman sekarang mengetahui akan keberadaan harian Mimbar Umum serta perannya sebagai dalam peristiwa sejarah di Indonesia khususnya Sumatera Utara.

 PWI sebagai organisasi kewartawanan diharapkan mampu bersinergi dengan seluruh penerbitan khususnya di Sumatera Utara agar menyajikan berita yang sifatnya informatif dan mendidik.

 SPS sebagai organisasi yang mengurusi bidang perusahaan penerbitan diharap mampu menetapkan secara tegas tentang harga jual maksimal dan harga jual minimal. Hal ini penting dilakukan agar persaingan bisnis bisa dilakukan secara sehat.

 Peemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika diharapkan mampu lebih sering mengadakan pelatihan untuk para wartawan surat kabar. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang pers.

BAB II

HARIAN MIMBAR UMUM DI MEDAN

2.1. Gambaran Umum Penerbitan Surat Kabar Masa Pendudukan Belanda di Medan

Medan yang dahulu dikenal dengan sebutan Tanah Deli merupakan kota yang mempunyai potensi alam dan berkembang di bidang perkebunan. Seorang Belanda yang bernama Jacob Nienhuys adalah orang pertama yang membuka perkebunan di Medan yaitu perkebunan tembakau. Pada masa itu tembakau merupakan komoditi utama perkebunan yang terkenal sampai ke Eropa. Selain tembakau, hasil perkebunan lainnya adalah karet, teh, cengkeh dan lain sebagainya. Setelah Nienhuys membuka perkebunan di Medan, kemudian menyusul bangsa asing lainnya untuk menginvestasikan modal mereka di bidang perkebunan. Beberapa di antaranya seperti Inggris, Belgia dan Amerika Serikat. Kegiatan perkebunan dan perdagangan ini tentunya menyebabkan orang menjadi semakin butuh akan informasi. Keadaan tersebut merupakan salah satu faktor yang menjadi latar belakang diterbitkannya surat kabar yang pertama di Medan. Pemerintahan Belanda menerbitkan surat kabar pada dasarnya bertujuan sebagai media informasi harga-harga hasil perkebunan, perdagangan dan sebagai media untuk menyampaikan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kepentingan Belanda.

Pada 18 Maret 1885 terbit surat kabar pertama milik Belanda dan berbahasa Belanda yang didirikan oleh Jacques Deen di Medan bernama Deli Courant.16 Deli Courant terbit dua kali dalam seminggu yaitu Rabu dan Sabtu dengan oplah 150 lembar.17 Ukurannya hampir sama dengan ukuran kertas folio dan diisi timbal balik. Isi dari berita Deli Courant pada masa itu hanya seputar kebijakan-kebijakan Belanda, hasil perkebunan, berita perdagangan dan berita tentang kapal bangsa asing yang merapat di pelabuhan sekitar pantai barat Pulau Sumatera. Tidak ada berita yang bersifat politik dan bersifat kritikan terhadap kebijakan-kebijakan yang

16 Mohammad Said, op.cit., hal. 33.

diterapkan oleh Pemerintahan Belanda. Untuk menjaminnya,sebelum dicetak Deli Courant terlebih dahulu diperiksa oleh pegawai sensor yang dipegang oleh orang Belanda. Hal ini memang sengaja dilakukan agar surat kabar Deli Courant benar-benar menjadi alat legitimasi kekuasaan Pemerintahan Belanda di Medan. Walaupun demikian, Deli Courant bukan merupakan satu-satunya surat kabar yang beredar di Medan. Pada masa itu terdapat juga surat kabar yang berasal dari luar daerah bahkan dari luar negeri. Biasanya surat kabar ini dibawa oleh para pedagang yang sekedar singgah atau berdagang di Sumatera Utara, khususnya di Medan.

Gambar 1. Jacques Deen, seorang Belanda yang menerbitkan surat kabar pertama di Medan

yaitu Deli Courant tahun 1885 (Sumber: “Perjuangan Tiga KomponenUntuk Kemerdekaan”) Selama kurang lebih 10 tahun Deli Courant berkuasa sebagai satu-satunya surat kabar yang terbit di Medan. Kemudian pada 30 November 1895, terbit sebuah surat kabar milik Belanda dan juga berbahasa Belanda di Medan bernama De Ooskust (Pantai Timur), terbit dua kali dalam seminggu setiap Selasa dan Jumat.18 Walaupun Deli Courant dan De Oostkust sama-sama surat kabar milik Belanda namun keduanya berbeda sikap dan kepentingan. Secara keseluruhan, De Oostkust memuat berita yang bertolak belakang dengan berita yang dimuat oleh

18 Ibid., hal. 39.

Deli Courant. Namun, De Oostkust tetap tidak dapat menandingi Deli Courant dan memasuki

abad ke 20, surat kabar ini gulung tikar.

Setelah surat kabar De Oostkust tutup, kemudian terbit surat kabar ketiga milik Belanda bernama De Sumatra Post pada tahun 1899.19 Pendiri De Sumatra Post adalah J. Hallerman. Berita De Sumatra Post dominan diisi oleh berita-berita seputar perkembangan di Eropa. Dari sini dapat dilihat bahwa De Sumatra Post lebih memilih bersikap netral, yaitu tidak memihak terhadap kaum Belanda dan juga kaum pribumi. Belanda sengaja menerbitkan surat kabar dalam bahasa Belanda agar masyarakat pribumi tidak dapat membacanya. Khususnya bagi masyarakat pribumi yang tidak mendapatkan pendidikan. Belanda tidak hanya menjajah secara fisik, namun Belanda juga membatasi informasi. Hanya mereka yang mendapat pendidikan formal yang mampu membaca surat kabar saat itu. Keadaan ini semakin membuat kondisi bangsa Indonesia kian terpuruk.

Pada tahun 1902, perusahaan percetakan milik J. Hallerman menerbitkan surat kabar yang bernama Perca Timur. Walaupun surat kabar ini milik Belanda, namun Perca Timur diterbitkan dalam bahasa Melayu. Ini menjadikan Perca Timur sebagai surat kabar pertama yang berbahasa Melayu di Sumatera Utara. Artinya, secara keseluruhan Perca Timur dapat dibaca oleh masyarakat pribumi. Tidak dapat diketahui secara pasti alasan J. Hallerman menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu. Perca Timur dipimpin oleh Mangaradja Salemboewe. Mangaradja Salemboewe dikenal sebagai orang yang sering mengkritisi kebijakan Belanda dan Sultan Deli. Pada tahun 1909, peran Mangaradja Salemboewe digantikan oleh Moesa. Pada masa kepimpinan Moesa, Perca Timur ditutup oleh Mayor Tionghoa Tjong A Fie yang juga seorang pengusaha kaya raya akibat mengkritisinya secara berlebihan. Namun, setelah Perca Timur ditutup, belakangan muncul anggapan bahwa J. Hallerman mendapat ganti rugi dari Tjong A Fie dan

tidak begitu lama berselang terbitlah surat kabar Tionghoa bernama Pelita Andalas pada tahun 1912. Pemimpin redaksinya adalah Th. H. Poa.

Sekitar dua tahun setelah Indonesia memasuki masa kebangkitan nasional, Pewarta Deli terbit di Medan pada tahun 1910. Pewarta Deli merupakan surat kabar nasional pertama yang terbit di Sumatera Utara. Secara berturut, pemimpin redaksinya adalah Dja Endar Moeda, Soetan Parlindungan, Mangaraja Ihutan, Hasanul Arifin dan Jamaluddin Adinegoro hingga surat kabar ini ditutup bertepatan dengan kedatangan balatentara Jepang di Medan pada Maret 1942.20

Pers di Medan memang menggambarkan bahwa Indonesia telah memasuki masa kebangkitan nasional. Setelah Pewarta Deli terbit sebagai surat kabar nasional pertama di Sumatera Utara, tokoh-tokoh pers di Sumatera Utara semakin berani untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda melalui surat kabar yang terbit pada masa itu. Pada tahun 1916, di Medan terbit surat kabar Benih Merdeka dibawah pimpinan Mohammad Samin. Beliau merupakan salah satu tokoh pendiri organisasi Syarikat Islam di Medan. Ini menjadikan Medan

sebagai kota pertama di Indonesia yang memakai kata “merdeka” sebagai nama surat kabar. Pada

tahun 1921, surat kabar ini mengambil langkah yang semakin berani dengan menghilangkan kata

“benih’ sehingga nama surat kabar tersebut menjadi Merdeka saja.

Sebelum balatentara Jepang masuk dan menguasai wilayah Medan, ada beberapa surat kabar nasional lainnya yang diketahui pernah terbit walaupun hanya terbit beberapa nomor penerbitan saja. Beberapa di antaranya adalah surat kabar Sinar Deli yang terbit pada tahun 1930 di bawah pimpinan Mangaraja Ihutan dan Hasanul Arifin dan surat kabar Benteng Andalas di bawah pimpinan Saleh Umar alias Surapati. Salah satu wartawannya yang terkenal adalah B. M. Diah. Selain itu, beberapa surat kabar Tionghoa lainnya yang pernah terbit di Medan yaitu

20 Hasil Wawancara dengan Bapak Muhammad T. W. H., wartawan senior harian Mimbar Umum pada tanggal 22 April 2011.

Sumatera Bin Poh dan Democratic Daily News yang terbit pada tahun 1913 serta New China

Times yang terbit pada tahun 1928. Selain surat kabar yang berkala harian, beberapa penerbitan di Medan juga mencetak surat kabar yang berkala mingguan dan tengah bulanan, misalnya Lukisan Dunia, Aneka, Obor, Timur, Gubahan Maya, Seruan Kita dan masih ada beberapa nama lainnya. Dari uraian ini, kita dapat menggambarkan pertumbuhan surat kabar di Medan cukup pesat walapun masih dalam masa pendudukan Belanda.

Pada umumnya, jika dalam sebuah kota atau wilayah terdapat beberapa perusahaan penerbitan surat kabar maka akan menimbulkan persaingan secara profit. Namun, keadaan tersebut tidak terjadi secara terang-terangan pada saat itu. Jika ada, persaingan bisnis yang terjadi masih dalam skala yang sangat kecil. Secara keseluruhan tujuan pers di Medan adalah sebagai alat perjuangan untuk menentang kebijakan-kebijakan pemerintahan Belanda yang selalu merugikan masyarakat pribumi. Di samping itu, saat itu belum ada peraturan tertulis atau sejenis undang-undang yang membatasi seorang pimpinan redaksi atau redaktur hanya boleh bertanggung jawab terhadap satu surat kabar saja. Artinya, seorang pimpinan redaksi atau redaktur dapat bertanggung jawab dan mengelolah lebih dari satu surat kabar.

Untuk mengatur seluruh penerbitan surat kabar di Medan, pemerintah Belanda memberlakukan peraturan yang disebut dengan Persbreidel Ordonantieyang disahkan pada tanggal 7 September 1931. Persbreidel Ordonantie terdiri dari beberapa pasal yang seluruhnya pasalnya berisi tentang peraturan yang harus diikuti seluruh penerbitan surat kabar dan rincian hukuman atau sangsi yang akan diberikan kepada surat kabar yang melanggar aturan. Sebuah surat kabar dikatakan melanggar aturan apabila berita yang dimuat berpotensi menggangu ketertiban umum dan melanggar kekuasaan umum. Gubernur jenderal diberi hak untuk melarang

terbit penerbitan tertentu yang nilainya bisa menggangu ketertiban umum.21 Selain pelarangan terbit, sangsi bisa berupa pembayaran denda uang sebesar 300 gulden kepada pemerintah Belanda oleh surat kabar yang bersangkutan. Sebelum Persbreidel Ordonantie disahkan, pemerintah Belanda menerapkan peraturan yang diberi nama Haatzaai Artikelen sejak tahun 1918 bersamaan dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht van Nederlands Indie.

2.2. Gambaran Umum Penerbitan Surat Kabar Masa Pendudukan Jepang di Medan

Jepang dikenal sebagai negara yang mempunyai semangat juang tinggi. Di bawah bendera Dai Nippon, Jepang bercita-cita ingin menguasai dunia. Setelah berhasil menghancurkan Pearl Harbour yang merupakan pangkalan terbesar Angkatan Laut Amerika Serikat di Pasifik, Jepang kemudian bergerak ke bagian negara-negara di Asia Tenggara, salah satunya adalah Indonesia. Tujuannya adalah untuk menguasai sumber daya alam yang dimiliki Indonesia serta mencari dukungan untuk melawan Sekutu. Pasukan militer Jepang bergerak ke Indonesia melalui beberapa pintu masuk. Ada yang masuk melalui bagian utaraPulau Kalimantan dan ada yang masuk melalui kawasan Malaysia setelah terlebih dahulu menaklukkan daerah-daerah yang dilewatinya. Kelompok pasukan militer yang masuk melalui Malaysia ini yang nantinya sampai di Medan. Berhasil menaklukkan wilayah Malaysia dan Singapura, Jepang bergerak menuju Pulau Sumatera bagian utara. Ada beberapa titik yang dijadikan sebagai pintu masuk oleh balatentara Jepang, yaitu Labuhan Ruku di Tanjung Tiram, Idi di Aceh Timur, Krueng Raya di Aceh Besar dan Sabang di Pulau We.22

Pasukan militer Jepang resmi menduduki kota Medan pada 13 Maret 1942. Balatentara Jepang yang sampai di Medan adalah pasukan yang masuk melalui wilayah Tanjung Tiram yaitu

21 Penelitan Pengembangan Penerangan Departemen Penerangan RI, Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2002, hal. 172.

22 Muhammad. T. W. H., Perjuangan Tiga KomponenUntuk Kemerdekaan, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2004, hal. 8.

Balatentara XVI, sekarang menjadi wilayah Kabupaten Batubara. Untuk mendapatkan rasa simpati dari masyarakat, balatentara Jepang melancarkan propagandanya yaitu mengaku kepada masyarakat pribumi di sekitar Tanjung Tiram bahwa mereka adalah saudara tua dari bangsa Indonesia. Jika dilihat dari segi ciri-ciri fisik, ada kemiripan antara penduduk pribumi dengan pasukan militer Jepang, misalnya warna kulit. Selain itu, balatentara Jepang berhasil meyakinkan masyarakat bahwa kedatangan mereka bertujuan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Upaya ini berjalan dengan mulus dan tidak ada perlawanan dari masyarakat sekitar karena tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah sehingga bisa dengan mudah dikelabui oleh balatentara Jepang.

Balatentara Jepang yang tiba di Tanjung Tiram dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama bergerak menuju Medan dan kelompok kedua bergerak menuju daerah Tanjung Balai dan Pematang Siantar. Sebahagian dari mereka ada yang berjalan kaki dan sebahagian lagi menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Sepeda tersebut diperoleh dari masyarakat sekitar dengan melakukan sistem barter atau ada juga yang diambil secara paksa. Sesampainya balatentara Jepang di Medan, keadaan kota Medan pada saat itu telah ditinggalkan oleh pasukan Belanda yang bergerak mundur ke wilayah dataran tinggi Tanah Karo kemudian ke wilayah bagian Aceh seperti Kutacane, Tanah Alas dan Gayo Luas. Namun, sebelum meninggalkan kota Medan, pasukan Belanda terlebih dahulu menghancurkan sarana stasiun radio Nirom yang terletak di Jalan Serdang No. 28 Medan, sekarang Jalan Moh. Yamin.23 Hal ini dilakukan oleh pasukan Belanda untuk mempersulit sistem komunikasi ketika balatentara Jepang tiba di Medan dan memperlambat pergerakan mereka.

23 Hasil Wawancara dengan Bapak Muhammad T. W. H., wartawan senior harian Mimbar Umum pada tanggal 11 Agustus 2011.

Kota Medan mengalami banyak perubahan sejak pemerintahan Jepang mengambil alih kekuasaan. Jepang melakukan perubahan dalam sistem pemerintahan, bahkan pers juga tidak luput dari dampak perubahan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang. Sistem pemerintahan sebelumnya diterapkan sebelumnya diganti menjadi pemerintahan militer oleh Jepang. Namun, pemerintahan militer ini sifatnya hanya untuk sementara. Dalam sistem pemerintahan militer, jabatan tertinggi dipegang oleh seorang panglima tentara. Dalam bahasa Jepang dikenal dengan sebutan gunshireikan.24Langkah-langkah awal yang dilakukan oleh panglima tentara Jepang adalah menutup semua surat kabar yang terbit. Surat kabar yang ditutup adalah surat kabar milik Belanda, surat kabar Indonesia yang anti terhadap Jepang dan surat kabar Cina yang menyerang agresi Jepang terhadap Tiongkok. Selain itu, balatentara Jepang mengumpulkan semua radio yang dimiliki oleh masyarakat pribumi, membangun ulang sarana stasiun radio Nirom yang telah dihancurkan oleh pasukan Belanda dan memecat pegawai-pegawai berkebangsaan Belanda yang masih mengisi posisi dalam roda pemerintahan, nantinya posisi mereka akan digantikan oleh tenaga kerja sipil yang didatangkan dari Jepang. Namun, rencana tersebut sempat terhambat disebabkan kapal yang yang membawa tenaga kerja sipil dari Jepang hancur diserang oleh pihak Sekutu dalam perjalanannya menuju ke Sumatera Utara. Keadaan ini memaksa pemerintahan Jepang memberdayakan orang-orang pribumi sebagai tenaga kerja agar roda pemerintahan tetap dapat berjalan. Tanpa disadari dan secara tidak langsung, hal ini merupakan keuntungan bagi orang-orang pribumi karena dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman di bidang pemerintahan. Pemerintahan sementara ini berakhir ketika panglima tentara Jepang menetapkan Undang-Undang Pemerintah (Osamu Seirei). Pemerintahan Jepang mulai membagi wilayah-wilayah menjadi struktural, yaitu syu (residen), syi

24 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hal. 6.

(kotamadya), ken (kabupaten), gun (distrik), son (kecamatan) dan kun (kelurahan/desa).25 Medan ditetapkan sebagai syi dan kepala daerahnya dikenal dengan istilah syico.

Undang- undang yang ditetapkan oleh pemerintah Jepang juga mengatur tentang pers. Hal ini jelas terlihat dalam Undang-Undang Pemerintah (Osamu Seiri) No. 16 pasal 3 tentang Pengawasan Badan-badan Pengumuman dan Penerangan dan Penilikan Pengumuman dan Penerangan, yang bunyinya:

”Terlarang menerbitkan barang tjetakan jang berhoeboeng dengan pengoemoeman

ataoe penerangan baik jang beroepa penerbitan setiap hari, setiap minggoe, setiap boelan maoepoen penerbitan dengan tidak tertentoe waktoenya, ketjuali oleh

badan-badan jang soedah mendapat izin.”26

Dengan diterapkannya peraturan tersebut menyebabkan seluruh penerbitan surat kabar yang ada di Medan ditutup. Tidak hanya surat kabar milik pribumi yang ditutup melainkan surat kabar milik Belanda dan Cina juga tidak diperkenankan untuk terbit.

Dalam melancarkan propagandanya, pemerintahan Jepang tentunya tetap membutuhkan surat kabar sebagai alat untuk menyuarakan kebijakan-kebijakan mereka. Oleh sebab itu, pemerintahan Jepang melalui badan yang bernama Syanan Sibun Kai menerbitkan Sumatora Sinbun.27 Surat kabar ini dicetak dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Tionghoa. Walaupun pemerintah Jepang menutup seluruh surat kabar milik pribumi tetapi mereka tetap memberdayakan sumber daya manusianya untuk ditugaskan mengelola Sumatora Sinbun. Untuk

25 Ibid., hal. 10.

26 F. X. Koesworo, dkk., Di Balik Tugas Kuli Tinta, Surakarta: Sebelas Maret Iniversity Press, 1994, hal. 11.

27 Muhammad T. W. H., Perjuangan Tiga KomponenUntuk Kemerdekaan, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2004, hal. 8.

edisi bahasa Indonesia, pemerintah Jepang mengambil tenaga inti dari eks surat kabar Pewarta Deli yaitu Adinegoro. Dan untuk edisi bahasa Tionghoa, peemerintah Jepang memberdayakan orang-orang eks surat kabar New China Times dan Democratic Daily News.

Sumatora Sinbun banyak memuat berita tentang keadaan kota Medan dan sebagian lagi berita tentang keadaan luar negeri. Khusus untuk berita luar negeri diperoleh dari kantor berita

Domei yang sebelumnya adalah kantor berita Antara. Sumatora Sinbun diterbitkan pada sore

hari. Tentunya terlebih dahulu harus melalui proses penyaringan berita yang sangat ketat dari lembaga sensor Jepang yang dikenal dengan sebutan Bunkaka.28 Kantor bunkakaterletak di sekitar Jalan Balai Kota sekarang.Selaku lembaga sensor, bunkaka yang berhak menentukan berita-berita yang layak diterbitkan. Dapat dipastikan berita yang layak terbit adalah berita yang secara keseluruhan menguntungkan pihak pemerintahan Jepang khususnya di Medan. Secara berurutan, Sumatora Sinbun pernah dipimpin oleh Adinegoro, Yahya Yakub dan terakhir adalah Arif Lubis. Ketika pergantian pemimpin redaksi dari Adinegoro ke Yahya Yakub, surat kabar ini sempat berganti nama menjadi Kita Sumatora Sinbun.

Sehubungan beredarnya kabar bahwa Presiden Soekarno telah memproklamirkan teks proklamasi di Jakarta sebagai tanda bahwa Indonesia telah merdeka, maka tokoh-tokoh pers di Medan juga mulai sibuk untuk mempersiapkan rencana pembacaan teks proklamasi kepada masyarakat kota Medan. Yahya Yakub termasuk salah satu dari beberapa tokoh yang ambil peran penting dalam hal ini. Atas pertimbangan kesibukan Yahya Yakub yang semakin padat maka posisi pemimpin redaksi Kita Sumatora Sinbun diserahkan kepada Arif Lubis. Di sisi lain, para pemuda yang berasal dari Barisan Pemuda Indonesia (BPI) memanfaatkan momentum

28 Muhammad T. W. H., Sejarah Perjuangan Pers Sumatera Utara, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, 2001, hal. 87.

tersebut untuk merebut dan menguasai surat kabar Kita Sumatora Sinbun beserta mesin cetaknya. Nama surat kabar kemudian diganti menjadi Sumatera Baru.

Kota Medan pada Agustus 1945 diselimuti konflik politik dan sosial yang jauh lebih serius dibandingkan dengan masa sebelumnya.29 Dalam kondisi seperti ini, masyarakat dan kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar wilayah kota Medan berada dalam pilihan yang sulit. Sebahagian tidak ingin kembali dijajah oleh bangsa asing namun sebahagian masyarakat juga masih ragu berlindung di bawah pemerintahan yang belum jelas statusnya. Sebagai contoh, Kerajaan Deli merupakan salah satu kerajaan yang mengharapkan datangnya kembali bangsa Belanda untuk memimpin dan menguasai kota Medan. Dalam situasi politik yang sulit ini, surat kabar Sumatera Baru satu-satunya surat kabar yang terbit pada saat itu dijadikan sebagai

“terompet” oleh para pejuang yang tidak ingin kota Medan kembali menjadi daerah jajahan

bangsa asing. Tujuannya untuk meyakinkan masyarakat kota Medan bahwa Indonesia benar-benar telah merdeka. Pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah akan segera dibentuk agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan yang berlarut-larut. Upaya tersebut dilakukan secara berkesinambungan selama Mr. T. M. Hasan yang menjadi utusan ke Jakarta kembali ke Medan. Segala bentuk cara dilakukan oleh para pejuang, tokoh pers dan barisan pemuda agar masyarakat tidak terpecah belah dan tidak terhasut oleh kampanye Belanda yang mengklaim bahwa Indonesia khususnya kota Medan telah kembali menjadi wilayah kekuasaannya.

Ada rentang waktu yang cukup lama antara pembacaan teks proklamasi di Jakarta dengan pembacaan teks proklamasi di Medan. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah sistem komunikasi yang belum memadai antar daerah, apalagi antar pulau Jawa dan Sumatera. Selain itu, Mr. T. M. Hasan selaku utusan yang dikirim ke Jakarta menempuh perjalanan melalui jalur

darat. Ketika dalam perjalan pulang ke Medan, Mr. T. M. Hasan juga menyempatkan diri untuk singgah di beberapa kota seperti Palembang dan Bukit Tinggi untuk melakukan hal yang sama yaitu mengumumkan isi teks proklamasi.

Setibanya di Medan, Mr. T. M. Hasan melihat situasi politik yang panas dan kacau.

Dalam dokumen Harian Mimbar Umum Di Medan (1945-1998) (Halaman 53-116)

Dokumen terkait