LAMPIRAN
1. Pengurus PWI cabang Medan periode 1951-1952 :
Ketua : Amarullah O. Lubis
Wakil Ketua : Djafar
Sekretaris : Syamsuddin Manan
Sekretaris II : Ani Idrus
Bendahar : A. Manan Karim
2. Pengurus PWI cabang Medan periode 1952-1953 :
Ketua : Djafar
Sekretaris : Syamsuddin Manan
Sekretaris II : Ani Idrus
Bendahara : A. Manan Karim
3. Pengurus PWI cabang Medan periode 1953-1963 :
Ketua : Ani Idrus
Wakil Ketua : Tengku Yafizham
Wakil Ketua : A. Dahlan
Sekretaris : Syamsuddin Manan
Wakil Sekretaris : Narmin Suti
Bendahara : A. Manan Karim
4. Pengurus PWI cabang Medan periode 1963-1965 :
Ketua : Imran Zouny
Wakil Ketua : Taridah Bangun
Sekretaris : Tan Fu Kiong
Bendahara : Sunaryo
5. Pengurus PWI cabang Medan periode 1965-1967 :
Ketua : Mayor. A. R. Surbakti
Wakil Ketua : Taridah Bangun
Wakil Ketua : M. Arsyad Nuh
Wakil Ketua : Narmin Suti
Sekretaris : Ridwan Siddik
Wakil Sekretaris : Zoel Libra
Bendahara : P. J. Massie
6. Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1967-1971 :
Ketua : Anwar Efendi
Wakil Ketua : A. Manan Karim
Wakil Ketua : Soffyan
Wakil Ketua : Narmin Suti
Sekretaris : M. Syarifuddin
Wakil Bendahara : Masri Habra
Bendahara : Hasanuddin
Wakil Bendahara : Bachtiar Zein Rangkuti
7. Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1971-1976 :
Ketua : Anwar Efendi
Wakil Ketua : Soffyan
Wakil Ketua : Faudin Daulay
Wakil Ketua : Sahata Hutagalung
Sekretaris : M. Syarifuddin
Wakil Sekretaris : Ali Soekardi
Bendahara : Bachtiar Zein Rangkuti
Wakil Bendahara : Djomardi
8. Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1976-1981 :
Ketua : Anwar Efendi
Wakil Ketua : Soffyan
Wakil Ketua : Ibrahim Sinik
Wakil Ketua : A. Farid Nasution
Wakil Ketua : Faudin Daulay
Sekretaris : M. Syarifuddin
Wakil Sekretaris : Zakaria Nasution
Bendahara : Bachtiar Zein Rangkuti
Wakil Bendahara : Rifyan Gani
9. Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1981-1985 :
Ketua : Anwar Efendi
Wakil Ketua : Ibrahim Sinik
Wakil Ketua : Zaidan BS
Wakil Ketua : M. Yazid
Sekretaris : M. Syarifuddin
Wakil Sekretaris : Syahrial
Bendahara : Prabudi Said
Wakil Bendahara : Ali Soekardi
Wakil Bendahara : O. S. L. Tobing
Wakil Bendahara : Muhammad T. W. H.
10.Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1985-1989 :
Ketua : M. Yazid
Wakil Ketua : Soffyan
Wakil Ketua : M. Syarifuddin
Wakil Ketua : A. Raauf Syaaf
Sekretaris : Zaki Abdullah
Wakil Sekretaris : Syahrial
Wakil Sekretaris : Zakaria Piliang
Bendahara : Ali Sukardi
Wakil Bendahara : M. Lud Lubis
11.Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1989-1993 :
Ketua : M. Yazid
Wakil Ketua : Syahrial
Wakil Ketua : Teruna Jasa Said
Wakil Ketua : Soffyan
Sekretaris : Zaki Abdullah
Wakil Sekretaris : A. Kaidir Zailani
Bendahara : Ali Soekardi
Wakil Bendahara : Zakaria Piliang
12.Pengurus PWI cabang Sumatera Utara periode 1993-1997 :
Ketua : Zaki Abdullah
Wakil Ketua : A. Kadir Zailani Yahya
Wakil Ketua : R. M. Hutagalung
Sekretaris : Syamsuar Djamil
Wakil Sekretaris : Drs. Chairuddin Wahid
Bendahara : Ronny Simon
DAFTAR INFORMAN
1) Nama : Muhammad T. W. H.
Umur : 80 Tahun
Pekerjaan : Mantan Wartawan Harian Mimbar Umum
Alamat : Jalan Sei Alas No. 6 Medan
2) Nama : Muhammad Lud Lubis
Umur : 70 Tahun
Pekerjaan : Staf Ahli Harian Mimbar Umum
Alamat : Jalan Pahlawan No. 9 Medan.
3) Nama : Ali Soekardi
Umur : 79 Tahun
Pekerjaan : Mantan Wartawan Harian Mimbar Umum
Alamat : Jalan Letterpress No. 9 Komplek Wartawan Medan
4) Nama : Ibrahim Sinik
Umur : 77 Tahun
Pekerjaan : Mantan Wartawan Harian Mimbar Umum
Alamat : Jalan Mayjend. Sutoyo Siswomihardjo No. 107-109 Medan
5) Nama : M. Yazid
Umur : 72 Tahun
Pekerjaan : Mantan Ketua PWI Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Wishnu, Pers dan Penguasa, Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1995.
C. Smith, Eduard, Pembredelan Pers Indonesia, Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1983.
Deppen RI, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2002.
Djoened, Marwati dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1984. Djunaedi, Purwadi, dkk., Jurnalisme Investigatif Panda Nababan Menembus Fakta Otobiografi
30 Tahun Seorang Wartawan, Jakarta: Q Communication, 2009.
Djuroto, Totok, Manajemen Penerbitan Pers, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Gandhi, L. M., UU Pokok Pers, Jakarta: Rajawali Pers, 1992.
Harian Mimbar Umum edisi Rabu 24 Juni 1970.
Idrus, Ani, Sekilas Pengalaman Dalam Pers dan Organisasi PWI Sumut, Medan: Waspada, 1996.
Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1992.
Kencana, Inu Safiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Koesworo, F. X., Di Balik Tugas Kuli Tinta, Surakarta: Sebelas Maret University, 1994.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Munandar, Haris dan Dudy Priatna (Eds.), Mass Media and Modern Society, Jakarta: Kencana, 2003.
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.
Oetama, Jakob, Perspektif Pers Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987.
Reid, Anthony, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
R., Sjahnan, Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan, Medan: Dinas Sejarah Kodam II-/BB, 1982.
Said, Mohammad, Sejarah Pers di Sumut, Medan: Waspada, 1976.
Said, Tribuana, Sejarah Pers Nasional dan Perkembangan Pers Pancasila, Jakarta: Saksama, 1988.
Samsudin, Mengapa G30S/PKI gagal, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.
Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, Yogyakarta: Tarawang Press, 2001.
Syah, Sirikit, Media Massa di Bawah Kapitalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Tanah Air Bangsa, Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: Iboekoe, 2007.
Tim Khusus Perencanaan dan Pelaksanaan Tatengger di Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Tatengger (Batu Bertulis Sebagai Tanda Lokasi/Tempat Perjuangan Masa
1945-1949) di Kotamadya Medan dan Sekitarnya, Medan, 1995.
Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Naskah Redaksi UUD 1945 (Amandemen Lengkap), Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011.
T. W. H., Muhammad, Parada Harahap, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2010.
___________, Perjuangan Tiga Komponen Untuk Kemerdekaan, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2004.
___________, Perlawanan Pers Sumut Terhadap Gerakan PKI, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 1996.
___________, Sebelum dan Sesudah Proklamasi di Medan, Medan: Bali Scan, 2005.
BAB III
PERANAN HARIAN MIMBAR UMUM DALAM MENGISI
KEMERDEKAAN RI HINGGA PERISTIWA GERAKAN 30 SEPTEMBER
TAHUN 1965
3.1.
Perkembangan Organisasi Kewartawanan di MedanDinamika perkembangan zaman mempengaruhi pergerakan dan pola pikir di dalam dunia
kewartawanan di Indonesia. Awalnya pejuang pers lebih cenderung atau lebih fokus untuk
menerbitkan surat kabar yang membawa suara republiken dan mengisinya dengan berita-berita
yang mengajak masyarakat untuk bersatu menentang segala bentukpenjajahan yang dilakukan
oleh bangsa asing. Seiring perkembangan zaman, pemikiran wartawan menjadi semakin luas,
maju dan jauh ke depan. Kemudian muncul gagasan untuk membentuk sebuah organisasi sebagai
wadah penyaluran aspirasi dan juga meningkatkan rasa solidaritas antar wartawan surat kabar
republiken.
Pada masa pendudukan Belanda, sebenarnya telah ada dibentuk semacam
organisasi kewartawanan.Organisasi kewartawanan pertama yang berdiri di Medan adalah
Inlandsche Journalisten Bond yang disingkat menajadi IJB pada tahun 1918. IJB merupakan
organisasi kewartawanan yang berpusat di Surakarta. Selanjutnya, pada tahun 1919 berdiri
perkumpulan wartawan Indonesia – Tinghoa yang memakai nama Inlandsche & Chinese
Journalisten Bond.43 Namun, kedua organisasi ini tidak terlihat jelas segala bentuk aktivitasnya dan hilang begitu saja. Pada 1925, berdiri perkumpulan wartawan Journalisten Bond Medan
dengan salah satu wartawan yang bergabung di dalamnya bernama Abdul Hamid Lubis.
Awalnya Journalisten Bond Medan dinilai mempunyai visi dan misi yang jelas sebagai
perkumpulan wartawan yaitu lewat usahanya dalam meredam polemik yang terjadi antar surat
republiken pada saat itu. Namun, seiiring berjalannya waktu, misi Journalisten Bond Medan
telah melenceng jauh dari tujuan awal dibentuknya organisasi tersebut. Organisasi ini menjadi
lebih fokus untuk menyikapi perjudian yang pada saat itu dilegalkan oleh pemerintah Belanda.
Hingga pada akhirnya segala bentuk aktivitas dari Journalisten Bond Medan berhenti akibat
banyaknya anggota yang memilih untuk keluar. Sebahagian besar dari mereka memberikan
penilaian bahwa organisasi ini tidak memperhatikan kesejahteraan anggotanya serta tidak serius
untuk meningkatkan bobot dan kualitasnya sebagai organisasi kewartawanan.
Selanjutnya, terdapat dua perkumpulan wartawan yang pernah menghiasi perjalanan
sejarah pers Sumatera Utara yaitu Persatuan Jurnalis Timur dan Wartawan Muslimin Indonesia.
Persatuan Jurnalis Indonesia berdiri pada tahun 1930 dibawah kepemimpinan M. Kanoen dari
surat kabar Pewarta Deli dan Lho Koei Fa dari surat kabar Sumatera Bin Poh. Sedangkan
Wartawan Muslimin Indonesia ketua pengurusnya adalah Zainal Abidin Ahmad. Seluruh
anggota perkumpulan ini adalah wartawan yang beragama Islam.
3.2. Berdirinya PWI Cabang Medan
Para wartawan yang ikut terlibat dalam kongres yang diadakan di Solo 9-10 Februari
berhasil mencetuskan dan mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Secara umum, PWI
sebagai organisasi kewartawanan diharapkan mampu merangkul seluruh surat kabar republiken
untuk menyatukan visi dan misinya dalam melakukan perlawanan terhadap pengaruh asing yang
mampu menyelesaikan konflik internal yang terjadi antar sesama surat kabar republiken serta
memperbaiki kesejahteraan dari wartawan itu sendiri. Terbentuknya PWI di Solo mendapat
sambutan positif dari pemerintah dan masyarakat, khususnya masyarakat dari kalangan
wartawan.
Setelah itu, PWI mulai didirikan di tingkat daerah agar perannya sebagai wadah yang
menaungi para wartawan semakin nyata terlihat. Gagasan untuk mendirikan PWI di kota Medan
muncul ketika utusan PWI pusat yang berkunjung ke Medan yaitu Djawoto dan Djamal Ali
menyarankan agar di Medan juga didirikan PWI. Setelah melalui beberapa kali pertemuan di
Gedung Taman Persahabatan pada Maret 1951 maka dalam pertemuan tersebut berhasil dibentuk
pengurus PWI cabang Medan untuk pertama kalinya. Susunan kepengurusan PWI yang pertama
kalinya adalah Amarullah O. Lubis sebagai ketua, Djafarsebagai wakil ketua, Syamsuddin
Manan dan Ani Idrus sebagai sekretaris, serta A. Manan Karim sebagai bendahara. Syamsuddin
Manan dan A. Manan Karim adalah wartawan yang berasal dari surat kabar Mimbar Umum.
Amarullah O. Lubis memimpin PWI cabang Medan kurang lebih hanya satu tahun.
Posisinya kemudian diisi oleh Djafar yang sebelumnya menjabat sebagai wakil ketua. Masa
kepemimpinan Djafar juga hanya satu tahun dan dalam pemilihan kepengurusan selanjutnya
pada tahun 1953, Ani Idrus terpilih sebagai ketua PWI cabang Medan selama beberapa periode
hingga tahun 1963. Dalam beberapa periode tersebut, wartawan dari surat kabar Mimbar Umum
tidak pernah absen dan selalu aktif dalam kepengurusan seperti Syamsuddin Manan dan Abdul
Manan Karim. Artinya, harian Mimbar Umum selalu konsisten untuk menempatkan
wartawannya agar turut ambil peran di dalam kepengurusan PWI cabang Medan. Perlu diketahui,
pada masa itu jangka waktu dalam satu periode tidak mempunyai ketentuan yang tetap. Artinya,
terpilih menentukan sendiri orang-orang yang akan mengisi kepengurusan. Dalam pemilihan
pengurus secara keseluruhan, biasanya masih ada pengaruh atau intervensi dari pihak penguasa,
baik itu pejabat negara atau pejabat militer. Saat itu lebih dikenal dengan istilah “titipan”.44
Dalam daftar kepengurusan PWI Sumatera Utara di atas, sejak awal tidak terdapat nama
Arif Lubis. Itu dikarenakan Arif Lubis memang dikenal sebagai sosok yang lebih mengutamakan
para anggotanya agar dapat tampil di depan publik. Arif Lubis kemudian dipercaya untuk
memimpin Serikat Penerbit Surat kabar (SPS) Sumatera Utara periode 1954-1965 dan periode
1968-1970. SPS merupakan sebuah organisasi yang dibentuk dengan tujuan dapat bertanggung
jawab menanggulangi permasalahan yang bersangkutan dengan penerbitan dan perusahaan.
Salah satu tugas SPS adalah membagi dan menjatah kertas sebagai bahan mentah surat kabar
kepada percetakan surat kabar republik. Kertas yang dibagikan berbentuk gulungan dan dihitung
dalam satuan kilogram. Namun, tidak diketahui secara pasti harga kertas per kilogram pasa masa
itu. Yang menjadi anggota SPS adalah semua pemilik surat kabar dan percetakannya. Anggota
SPS merupakan anggota dari PWI tetapi tidak dengan sebaliknya. Dalam masa-masa
perlawanan terhadap pengaruh PKI, SPS juga memiliki peran yang tidak dapat dikesampingkan.
3.3. PKI Berhasil Menguasai PWI
Kekuatan PKI dalam bidang penerbitan surat kabar sebenarnya sudah lama melemah.
Surat kabar yang berhaluan komunis seperti Harian Rakyat yang terbit pada tahun 1945 dan
harian Pendorong yang terbit pada tahun 1952 terhenti penerbitannya dikarenakan kekurangan
dana untuk biaya produksi sehari-hari. Orang-orang PKI yang ada di Medan tidak mempunyai
modal yang cukup untuk melanjutkan umur dari surat kabar tersebut. Sebenarnya masih ada surat
kabar lainnya yang pro terhadap PKI yaitu Gotong Royong. Akan tetapi, pengaruhnya sangat
kecil atau hampir tidak ada saat itu. Kemudian, kedatangan Tan Fu Kiong dari Jakarta ke Medan
membawa angin segar bagi para wartawan komunis di Medan. Hal ini menjadi titik balik
kebangkitan surat kabar komunis dan menghiasai sejarah panjang tentang perjalanan pers di
Sumatera Utara.
Tan Fu Kiong adalah seorang wartawan dari surat kabar Harapan, surat kabar milik PKI
yang terbit di Jakarta.45 Ia dikenal sebagai sosok yang cerdik dan pintar memanfaatkan situasi
dan kondisi yang ada. Ia juga dikenal sebagai orang yang mampu memperalat orang lain sebagai
politik adu domba atau sebagai tameng untuk melindungi dirinyademi mencapai tujuannya.
Mereka yang dimanfaatkan adalah orang-orang yang cukup berpengaruh di lingkungannya
masing-masing. Beberapa di antaranya adalah Amir Hasan Lubis alias Buyung Gandrung dari
mingguan Mimbar Teruna, Kepala Penerangan Daerah Militer (Kapendam) I BB Mayor. A. R.
Surbakti dan Gubernur Sumatera Utara Ulung Sitepu.
Sebelum Tan Fu Kiong menjalankan aksinya, ia terlebih dahulu melancarkan strategi
untuk mendapatkan dukungan dan rasa simpati dari masyarakat khususnya masyarakat dari etnis
Tionghoa. Saat itu terjadi gejolak dan dinamika besar-besaran di lingkungan masyarakat
Tionghoa. Hal ini berhubungan dengan diterapkannya Peraturan Pemerintah No. 10 pada akhir
tahun 1950-an. Peraturan ini berisi tentang larangan terhadap masyarakat Tionghoa untuk
mendirikan usaha di wilayah pedesaan hingga ke tingkat kecamatan. Artinya, masyarakat
Tionghoa hanya boleh mendirikan usaha di wilayah perkotaan. Akibatnya, banyak warga etnis
Tionghoa di Medan menjual toko dan usahanya. Mereka lebih memilih untuk kembali ke negara
asal mereka. Peraturan ini dikeluarkan pemerintah agar masyarakat pribumi diberi kesempatan
untuk bersaing dalam membuka usaha.
Situasi ini dimanfaatkan oleh Tan Fu Kiong dengan cara mengkritisi kebijakan
pemerintah tersebut melalui tulisan yang dimuatnya dalam surat kabar PKI. Hal ini dilakukan
Tan Fu Kiong secara konsisten dan terus-menerus. Dapat diketahui hasilnya, masyarakat
Tionghoa menjadi simpati kepada Tan Fu Kiong karena mereka menganggap ada yang membela
kepentingan mereka. Sejalan dengan itu, secara otomatis dukungan dana mengalir kepada Tan Fu
Kiong. Dana tersebut kemudian ia pergunakan sebagai modal untuk menerbitkan kembali surat
kabar komunis di Medan dan membantu organisasi-organisasi yang mendukung komunis.
Masyarakat Tionghoa semakin merasa aman karena mereka telah memiliki wadah yang
memperjuangkan kepentingan mereka.
Di sisi lain, sedang berlangsung perbedaan prinsip di dalam internal kepengurusan PWI
yaitu isu tentanggender. Saat itu yang menduduki jabatan ketua adalah Ani Idrus. Ia memimpin
PWI cabang Medan sejak tahun 1953. Isu ini semakin hangat ketika Ani Idrus dikritik oleh
anggotanya sendiri yaitu Amir Hasan Lubis dari mingguan Mimbar Teruna. Secara
terang-terangan Amir Hasan Lubis menyatakan rasa ketidaksenangannya karena dipimpin oleh seorang
perempuan. Sedangkan anggota kepengurusan PWI di dominasi oleh kaum laki-laki. Ia
menggambarkan para pengurus seperti kawanan lebah yang melayani ratunya. Perlu diketahui,
Mimbar Teruna merupakan pecahan dari harian Mimbar Umum. Pemimpin redaksinya adalah
Amir Hasan Lubis. Sebelumnya ia merupakan bagian dari staf redaksi Mimbar Umum namun
karena terjadi perbedaan prinsip dengan Arif Lubis maka Amir Hasan Lubis memilih untuk
keluar dan menerbitkan sebuah mingguan yaitu Mimbar Teruna. Sedangkan Ani Idrus dari surat
hubungan kedua surat kabar yang dikenal sebagai barisan terdepan pers perjuangan tersebut.
Akan tetapi, visi dan misi keduanya tidak berubah yaitu bersama-sama berjuang menentang
segala bentuk kegiatan PKI di Medan.
Tan Fu Kiong melihat kondisi ini sebagai peluang agar orang-orang komunis bisa
menguasai PWI sesegera mungkin. Sebelumnya orang-orang PKI sudah ada yang terlebih dahulu
mengisi kursi di dalam struktur pemerintahan. Hal ini merupakan dampak dari konsep politik
Presiden Soekarno yang mencoba menggabungkan tiga aliran sekaligus yaitu nasionalisme,
agama dan komunis. Ketiganya lebih dikenal dengan istilah Nasakom. PKI menggunakan dalih
Nasakomisasi untuk menuntut kursi dalam pemerintahan dan Nasakominasi angkatan
bersenjata.46 PKI sering menentang kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada
kepentingan mereka. PKI juga tidak segan-segan untuk menyerang para menteri atau pejabat
lainnya yang bersikap anti terhadap PKI.
Pada tanggal 1 Juni 1959, Tan Fu Kiong menerbitkan Harian Harapan di Medan dengan
ia sendiri sebagai pemimpin redaksinya. Selain itu, ada beberapa surat kabar lainnya yang juga
berhaluan komunis yaitu surat kabar Gotong Royong yang terbit pada tanggal 4 Oktober 1961.
Pemimpin redaksinya adalah Umar Baki alias Suhaimi. Kemudian ada lagi surat kabar Bendera
Revolusi yang dipimpin oleh Imran Zouny. Sebelumnya surat kabar ini bernama harian Patriot.
Namun, sejak 31 Mei 1959 namanya berganti menjadi Bendera Revolusi. Gerwani yang
merupakan organisasi wanita pro PKI juga mempunyai surat kabarnya sendiri yaitu Obor
Revolusi yang dipimpin oleh Rumiati. Khusus untuk Imran Zouny, ia dikenal sebagai orang yang
memiliki ambisi agar dikenal oleh masyarakat dan ingin menjadi ketua PWI Sumatera Utara.
Namun, hal itu sulit terwujud karena ia merupakan seorang pengikut PKI. Imron Zouny dan tan
Fu Kiong kemudian memanfaatkan Amir Hasan Lubis yang diawal tadi disebutkan mempunyai
rasa sentimen pribadi terhadap Ani Idrus sebagai ketua PWI.
Gambar 7. Harian Harapan edisi Kamis 14 Januari 1965 (Sumber: Koleksi Pribadi).
Tan Fu Kiong dan Imran Zouny secara sengaja menimbulkan isu agar kondisi internal di
dalam kepengurusan PWI menjadi semakin panas. Tujuan utamanya untuk menyerang dan
melengserkan Ani Idrus dari kursi ketua PWI cabang Medan. Saat itu diketahui bahwa PWI telah
menerima kucuran dana dari Panglima A. Manap Lubis sebesar Rp. 400.000. Dana tersebut
ditujukan kepada Yayasan Balai Wartawan agar bisa digunakan untuk meningkatkan sarana dan
prasarana serta meningkatkan kualitas wartawan. Penyerahan dana ini langsung diterima oleh
Ani Idrus selaku ketua PWI pada saat itu. Namun, Tan Fu Kiong dan Imran Zouny menyebarkan
isu yang menyebutkan bahwa dana tersebut sebenarnya bukan untuk diserahkan kepada Yayasan
Balai Wartawan melainkan untuk dibagi-bagikan secara merata kepada semua pengurus. Isu ini
mampu menimbulkan perpecahan di dalam kepengurusan PWI. Sebahagian pengurus menjadi
ketua mulai goyah hingga puncaknya pada rapat pemilihan pengurus pada tahun 1963 Ani Idrus
tidak memperoleh dukungan.
Selanjutnya, jabatan ketua PWI cabang Medan di pegang oleh Imran Zouny dan Tan Fu
Kiong sebagai sekretaris. Sedangkan Suhaimi menjabat sebagai komisaris. Ketiganya kemudian
dikenal sebagai motor penggerak surat kabar komunis di Medan. Mereka berhasil menguasai
PWI cabang Medan dan itu membuat mereka semakin leluasa untuk melanjutkan rencana demi
mencapai tujuan PKI. Di luar dari bidang pers, salah satu tokoh yang dikenal sebagai pengikut
PKI di Medan adalah Andjarasmara. Ia merupakan seorang seniman dan pekerja budaya. Ia
merupakan pentolan dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kebudayaan
dan seni yang dibawah pengaruh PKI.
3.4. Surat Izin Terbit Harian Mimbar Umum Dicabut Pemerintah Atas Desakan PKI
Imran Zouny yang telah berhasil menjabat sebagai ketua PWI cabang Medan beserta
dengan para pengikutnya semakin berani untuk melebarkan pengaruh ideologi komunis secara
luas. Bagi mereka setiap pihak yang tidak sejalan dengan PKI maka akan disingkirkan.
Contohnya, PWI yang saat itu telah ditunggangi oleh PKI menutup sejumlah surat kabar yang
anti PKI dan justru memperbanyak surat kabar yang pro terhadap mereka. Tujuannya untuk
semakin memperkuat kedudukan mereka, misalnya seperti mingguan Turang. Surat kabar
komunis biasanya dicetak di percetakaan milik masyarakat Tionghoa yang rata-rata terletak di
kawasan Kesawan. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena tidak hanya terjadi di Medan
melainkan di beberapa kota besar di Indonesia. Keadaan ini kemudian yang menjadi latar
di Cipayung.47 BPS dibentuk sebagai wujud perlawanan terhadap PKI khususnya pers komunis
tidak lagi dilakukan secara sendiri-sendiri melainkan secara kolektif. Tampil sebagai pimpinan
tertinggi di BPS pusat adalah Adam Malik, B. M. Diah dan Soemantoro.
Keberadaan BPS ini disambut dengan positif oleh tokoh pers yang ada di Sumatera Utara,
khususnya di Medan. Mereka merasa BPS perlu dibentuk hingga ke tingkat daerah agar
perlawanan terhadap PKI semakin terlihat nyata. Untuk wilayah Sumatera Utara, pengurus BPS
pusat menunjuk Arif Lubis dari harian Mimbar Umum sebagai formatur guna membentuk
kepengurusan BPS Sumatera Utara. Arif Lubis diberikan mandat sebagai formatur karena pada
pertemuan di Cipayung karena Arif Lubis merupakan satu-satunya wartawan perwakilan dari
Medan yang hadir. Setibanya di Medan, Arif Lubis kemudian mengadakan rapat terbatas dengan
beberapa rekannya sesama wartawan yaitu Arsyad Yahya, Ismali A. U., Tribuana Said serta
puluhan wartawan dari beberapa surat kabar anti PKI yang terbit di Medan. Pertemuan dilakukan
pada tanggal 18 Oktober 1964 di kantor redaksi Mimbar Umum.48 Saat itu kantor redaksinya
beralamat di Jalan Riau No. 79 Medan. Walaupun Arif Lubis yang dimandatkan oleh pengurus
pusat untuk membentuk BPS Sumatera Utara namun hasil rapat memutuskan bahwa yang
terpilih sebagai ketua adalah Tribuana Said dari surat kabar Waspada, Ismail A. U. dari surat
kabar Pembangunan sebagai wakil ketua, Arsyad Yahya dari mingguan Waspada Teruna sebagai
sekretaris dan Arif Lubis dari surat kabar Mimbar Umum sendiri sebagai bendahara. Belakangan
Ismail A. U. menarik diri dari kepengurusan tanpa diketahui alasannya secara pasti dan memilih
bergabung dengan pihak Imron Zouny.
47 Muhammad T. W. H., Perlawanan Pers Sumatera Utara Terhadap Gerakan PKI, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 1996, hal. 195.
Dibentuknya BPS ini bertujuan untuk mengembangkan, menyebarluaskan dan
mempopulerkan ajaran-ajaran Soekarnoisme melalui media seperti surat kabar, radio dan
televisi. Biaya untuk menjalankan BPS diperoleh dari iuran yang dikutip dari surat kabar yang
menjadi anggota BPS. Jumlah iuran setiap anggota berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan
jumlah oplah penjualan. Semakin besar oplah penjualan surat kabar tersebut maka semakin besar
juga iuran yang harus disetor kepada pengurus BPS. Harian Mimbar Umum merupakan surat
kabar dengan jumlah oplah yang tertinggi di Sumatera Utara dan mengikuti di bawahnya surat
kabar Waspada. Harian Mimbar Umum membayar iuran sebesar Rp. 20.000 setiap bulannya.
Selisih yang cukup jauh dibandingkan surat kabar lainnya yang membayar iuran sebesar Rp.
6.000 hingga iuran paling kecil adalah Rp. 2.500. Keberadaan BPS secara keseluruhan mendapat
sambutan hangat dari kalangan individu maupun kelompok yang anti terhadap PKI.
Dengan berhasil dibentuknya BPS untuk wilayah Sumatera Utara, surat kabar BPS secara
ramai-ramai memberitakan segala bentuk kegiatan dan perbuatan PKI. BPS menilai PKI telah
bertindak di luar etika seperti aksi demontrasi di perkotaan dan penyerobotan lahan tanah yang
sering terjadi di pedesaan. Mulai dari berita utama, tajuk rencana hingga pojok sentilan,
seluruhnya ditujukan untuk menyerang para pengikut PKI di Medan. Harian Mimbar Umum
merupakan salah satu surat kabar dengan jumlah oplah terbesar di Sumatera Utara pada saat itu
mengisi halaman pojok sentilannya dengan cara memplesetkan nama salah satu tokoh PKI di
Medan Yusuf Ajitorop menjadi “Yusuf Ajikurap”. Hal ini tentunya membuat orang-orang PKI
menjadi berang dan marah terhadap isi sentilan tersebut. PKI kemudian menuntut Arif Lubis ke
pengadilan. PKI yakin bahwa Arif Lubis yang memuat sentilan tersebut sekalipun identitas
penulis disamarkan. Atas pengaduan ini, Arif Lubis sempat menjalani persidangan terkait
menyindir Yusuf Ajitorop. Ia mengatakan bahwa banyak orang yang bernama Yusuf di Medan
yang mempunyai penyakit kurap. Akhirnya Arif Lubis hanya dijatuhi hukuman percobaan oleh
pengadilan. Secara keseluruhan, keberadaan surat kabar yang bernaungdi bawah BPS telah
menjadi ancaman serius terhadap surat kabar PKI.
Di tengah upaya BPS berjuang melawan PKI, pada 17 Desember 1964 Presiden Soekarno
justru mengeluarkan keputusan yang isinya menyatakan pembubaran BPS baik di pusat hingga
ke tingkat daerah. Menurut BPS, keputusan ini merupakan rekayasa dan permainan politik dari
PKI. PKI memang dikenal sebagai partai yang mempunyai hubungan dekat dengan Presiden
Soekarno. Melalui permainan politiknya, PKI berhasil melancarkan fitnah kepada BPS. PKI
menuduh BPS sebagai organisasi yang dibiayai oleh badan intelijen Amerika, Central Inteligent
of America (CIA). Ditemukan surat yang dijadikan sebagai bukti oleh PKI tentang adanya
hubungan antara BPS dengan CIA. Surat tersebut berada di tangan Dr. Soebandrio, saat itu
menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri masa pemerintahan Presiden Soekarno. Tuduhan ini
sangat ampuh untuk menyerang BPS mengingat Presiden Soekarno adalah sosok yang dikenal
sebagai anti kolinialisme dan anti neo-imperialisme. PWI yang di telah didominasi oleh
orang-orang PKI juga menuding BPS melakukan pembelokan terhadap ajaran-ajaran Soekarnoisme
sehingga kepanjangan dari BPS diplesetkan menjadi Badan “Pembunuh” Soekarnoisme.
Keputusan ini tentunya disambut gembira oleh orang-orang PKI. Kegembiraan ini
diwujudkan dengan cara memecat seluruh wartawan surat kabar anggota BPS dari kepengurusan
PWI tanpa ada pengecualian, baik kepengurusan di pusat maupun di daerah. Dari harian Mimbar
Umum, beberapa nama tercatat yang menjadi korban pemecatan adalah Arif Lubis, Syamsuddin
Manan, Muhammad T. W. H., Anwar Efendi, Bustamam Amir Hasan Lubis, Muhammad Lud
telah dibubarkan, namun harian Mimbar Umum tidak berhenti untuk tetap menyerukan agar
masyarakat tidak terhasut oleh segala bentuk propaganda yang dilancarkan oleh PKI. Untuk
halaman pojok sentilan pasca dibubarkannya BPS oleh pemerintah, harian Mimbar Umum
meyindir PKI sebagai berikut:
Para wartawan harian Mimbar Umum juga melakukan sikap protes terhadap keputusan PWI
yang memecat seluruh wartawannya dari kepengurusan.
PKI melihat surat kabar BPS seperti harian Mimbar Umum tetap konsisten melakukan
perlawanan melalui berita yang diterbitkannya meskipun BPS sebagai wadah mereka telah
dibubarkan. Oleh karena itu, PKI mendesak pemerintah untuk mencabut Surat Izin Terbit seluruh
surat kabar yang pernah menjadi anggota BPS. Desakan PKI ini pun terwujud dengan
dikeluarkannya keputusan oleh Menteri Penerangan pada tanggal 24 Februari 1965. Saat itu
posisi Menteri Penerangan dijabat oleh Mayjend. Achmadi.50 Keputusan ini berisi tentang
pencabutan Surat Izin Terbit seluruh surat kabar yang pernah menjadi anggota BPS termasuk
49 Ibid., hal. 212.
harian Mimbar Umum di Medan. PKI menuduh harian Mimbar Umum sebagai anggota BPS
secara terang-terangan menentang Nasakom, itu artinya harian Mimbar Umum dianggap sebagai
surat kabar yang menentang kebijakan Presiden Soekarno. Dengan kata lain, PKI memanfaatkan
konsep Nasakom sebagai alat untuk memperoleh kedudukan dalam pemerintahan dan
menyingkirkan seluruh pihak yang tidak sejalan dengan mereka. Tidak hanya di lingkungan pers
tetapi juga di lingkungan pemerintahan dan badan legislatif. Hal ini semakin jelas terlihat dalam
berita pojok harian Bendera Revolusi sebagai berikut:
- Koran-koran BPS telah digulung habis
Tapi kok Syamsuddin Manan dan Haji Dahlan masih anggota DPRD ya?
- Maunya sisa-sisa itu segera dihabisi
Kayak sisa nasi di celah gigi aja, mengganggu.51
Syamsuddin Manan merupakan wartawan harian Mimbar Umum yang juga menjadi anggota
DPRD saat itu.
Setelah PKI berhasil membubarkan BPS dan menutup surat kabar BPS maka secara
otomatis surat kabar yang terbit hanya surat kabar PKI. Pemberitaan dan informasi yang tersebar
di masyarakat berat sebelah dan lebih memihak kepada kegiatan PKI. Sementara berita terhadap
BPS dan surat kabarnya bersifat negatif. Surat kabar PKI seperti harian Harapan, Bendera
Revolusi, Gotong Royong dan mingguan Turang berhasil membentuk dan menggiring opini
publik bahwa BPS adalah sebuah lembaga yang kontra revolusi. Kontra revolusi kemudian
digenerelalisasikan menjadi kontra terhadap segala bentuk kebijakan Presiden Soekarno.
Dampaknya juga berimbas kepada wartawan-wartawan surat kabar BPS. Selain mengakibatkan
mereka menjadi penggangguran, mereka juga seolah-olah diperlakukan seperti “penyakit” di
lingkungan masyarakat. Diluar surat kabar PKI, memang tercatat ada satu atau dua surat kabar
yang tetap diiizinkan untuk terbit, namun surat kabar tersebut lebih memilih untuk bersikap
netral terhadap situasi dan kondisi politik di Medan saat itu.
Gambar 8.Mingguan Turang edisi Selasa 22 Desember 1964 (Sumber: Koleksi Pribadi).
3.5. Staf Redaksi Harian Mimbar Umum Sebagai Pihak Di Balik Layar Surat Kabar Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I
Ditutupnya harian Mimbar Umum menyebabkan staf redaksi dan para karyawannya
menjadi pengangguran. Namun, para karyawan dan wartawan harian Mimbar Umum tetap
datang ke kantor redaksi seperti biasanya sekalipun tidak ada kegiatan peliputan berita dan
percetakan. Mereka mengisi waktu luang dengan berbagai kegiatan seperti membaca surat kabar
yang terbit, bermain catur, membersihkan kantor dan lain sebagainya. Walaupun harian Mimbar
Umum dihentikan penerbitannya namun Arif Lubis selaku pemimpin redaksi dan perusahaan
karyawan. Pada masa itu para karyawan mendapatkan enam kali gajian dalam setiap bulannya.
Perinciannya sebagai berikut:
- Gajian Besar diterima oleh para karyawan setiap tanggal 1 atau 30 setiap bulannya.
- Gajian Kecil diterima oleh para karyawan pada pertengahan bulan, biasanya pada tanggal
14 atau 15 setiap bulannya.
- Syarahan Mingguan diterima oleh para karyawan setiap hari Sabtu. Setiap bulannya
mereka mendapatkan empat kali gaji syarahan mingguan setiap bulannya dan dibagikan
secara merata.
Untuk bulan-bulan pertama, Arif Lubis mampu membayar gaji karyawannya secara penuh. Ia
menjual satu unit mobil pribadinya agar dapat meringankan beban para karyawannya yang
sekarang ini sedang menganggur. Namun, belakangan Arif Lubis hanya mampu membayar
sekitar 50% gaji karyawan.
Arif Lubis terus berupaya mencari cara agar harian Mimbar Umum dapat diterbitkan
kembali. Upaya ini kemudian membuahkan hasil bertepatan dengan rencana TNI Angkatan
Darat yang hendak menerbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata. Sebelumnya telah ada surat
kabar Berita Yudha yang juga diterbitkan oleh Angkatan Darat. Tujuan TNI menerbitkan surat
kabar adalah agar dapat mengimbangi pemberitaan sepihak yang dilakukan oleh surat kabar PKI.
Menteri/PANGAD Letjend. Ahmad Yani mengetahui betapa besarnya bahaya yang mengancam
apabila massa non komunis sampai kehilangan pedoman.52 Di Jakarta, surat kabar Angkatan
Bersenjata terbit pada tanggal 15 Maret 1965 dan di Medan surat kabar ini baru mulai terbit
untuk edisi pertamanya pada tanggal 1 April 1965. Kantor redaksinya adalah markas Koanda
(Komando Antar Daerah) yang terletak di Jalan Letjend. Suprapto, sekarang menjadi Komando
Daerah Militer I Bukit Barisan ZENI. Saat itu yang menjabat sebagai Kepala Penerangan di
Koanda adalah Letkol. B. H. T Siagian. Ia juga merangkap sekaligus sebagai pemimpin
redaksinya.
Letkol. B. H. T. Siagian kemudian berkonsultasi dengan Kolonel Harsono, seorang
perwira di Koanda tentang susunan redaksi Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I. Kemudian
Kolonel Harsono menganjurkan agar Letkol. B. H. T. Siagian memakai para wartawan harian
Mimbar Umum yang saat itu menganggur akibat surat kabar mereka diberangus oleh PKI. Lalu
Letkol. B. H. T Siagian segera bertemu dengan Arif Lubis untuk mendiskusikan hal ini dan Arif
Lubis pun menyetujuinya. Namun, dalam daftar susunan redaksi yang diterbitkan di kolom surat
kabar, disepakati tidak satu pun dicantumkan nama wartawan dari harian Mimbar Umum.
Awalnya surat kabar ini hendak diberi nama Mimbar Kartika tetapi dibatalkan dengan alasan
untuk menghindari protes dari orang-orang PKI khususnya yang ada di dalam kepengurusan
PWI. Strategi untuk mengelabui PKI adalah dengan cara menempatkan wartawan harian Mimbar
Umum bekerja di balik layar dan untuk mencari berita ke luar adalah wartawan yang sama sekali
tidak pernah berkaitan dengan BPS. Mereka bekerja mulai dari sore menjelang maghrib hingga
malam hari. Bahkan tidak jarang mereka bekerja larut malam hingga menjelang dini hari.
Surat kabar Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I dicetak di percetakan Mimbar Medan,
milik harian Mimbar Umum. Percetakan Mimbar Medan merupakan salah satu percetakan yang
modern pada masanya. Redaksi Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I tetap memberikan uang
tata usaha harian Mimbar Umum adalah M. Hasim Lubis.53 Orang-orang PKI tidak berani untuk
sekedar mengganggu kegiatan pencetakan dikarenakan percetakan tersebut telah dijaga ketat
oleh tentara. Dalam kolom susunan redaksi, tidak satu pun terdapat nama-nama wartawan harian
Mimbar Umum. Hal ini sengaja dilakukan untuk mengelabui PKI.
Oleh karena yang bekerja di balik layar adalah para wartawan harian Mimbar Umum
maka bentuk penyajian berita dari surat Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I hampir tidak ada
ubahnya seperti harian Mimbar Umum sebelumnya. Isi beritanya bersifat kritis dan menyindir
tajam terhadap segala bentuk kegiatan PKI khususnya di Medan. Masyarakat belakangan
mengetahui bahwa yang bekerja sebagai staf redaksinya adalah orang-orang dari harian Mimbar
Umum. Setelah selama lebih dari sebulan, masyarakat mulai jenuh terhadap pemberitaan sepihak
dari surat kabar PKI. Maka dengan terbitnya surat Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I menjadi
sesuatu hal yang baru di tengah-tengah kalangan pembaca surat kabar. Hasilnya dapat diketahui
yaitu Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I laris terjual di pasaran. Oplahnya terus meningkat
hingga mencapai kurang lebih 30.000 eksemplar pada saat itu.54
Imron Zouny yang mengetahui akan hal ini selanjutnya sengaja memuat berita untuk
menyerang orang-orang harian Mimbar Umum yang bekerja di kantor redaksi Angkatan
Bersenjata Edisi Mandala I. Dikatakan tentara khususnya Koanda secara sengaja melindungi
orang-orang eks BPS. Imron Zouny kemudian menyampaikan mosi kepada pemimpin redaksi
Letkol. B. H. T. Siagian agar segera “membersihkan” orang-orang harian Mimbar Umum yang
massa untuk melakukan demonstrasi di depan markas Koanda. Hasilnya dapat diketahui yaitu
Arif Lubis beserta staf redaksi segera angkat kaki dari Koanda.
Setelah mengetahui bahwa mereka tidak dibolehkan lagi bekerja sebagai staf redaksi di
Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I, Arif Lubis kemudian memberikan gaji dan pesangon
kepada sejumlah karyawannya. Yang menarik adalah Ali Soekardi, wakil pemimpin redaksi
harian Analisa sekarang, saat itu sudah bergabung sebagai wartawan harian Mimbar Umum.
Masa kerjanya memang tergolong singkat namun Arif Lubis memberikan gaji dan pesangon
yang sama rata dengan wartawan yang lainnya. Ini menujukkan bahwa Arif Lubis sangat peduli
akan kesejahteraan anggotanya. Pasca dipecatnya orang-orang Mimbar Umum dari Angkatan
Bersenjata Edisi Mandala I, Letkol. B. H. T Siagian mencari orang baru untuk mengisi staf
redaksi dan tentunya bukan lagi diambil dari wartawan eks BPS.
Setetelah tidak lagi bekerja di surat kabar, Arif Lubis kemudian membuka toko buku
Pustaka Mimbar yang terletak di Jalan Suprapto 3 Q-R.55 Arif Lubis menampung anak buahnya
untuk bekerja sebagai pelayan toko buku. Mereka yang bekerja sebagai pelayan di toko buku
tetap aktif menulis artikel dan cerita pendek. Nantinya tulisan ini akan dikirim ke surat kabar
yang terbit. Tulisan yang dibuat tidak ada yang membahas tentang politik, melainkan tentang
budaya, sosial dan perfilman. Mereka juga memakai nama samaran jika hendak mengirimkan
tulisan mereka ke surat kabar. Karena apabila hal tersebut diketahui oleh PWI, maka PWI akan
melarang surat kabar yang dimaksud untuk menerbitkan tulisan tersebut. Dan selanjutnya,
biasanya diikuti oleh berita di surat kabar PKI yang sifatnya menyindir. Selain mereka yang
bekerja di toko buku, sebahagian ada yang memilih untuk bekerja sebagai penjual minuman,
penjual rokok dan supir angkutan umum agar dapat memenuhi biaya kehidupan sehari-hari.
Gambar 9. Dulunya bangunan di atas merupakan lokasi toko buku Pustaka Mimbar milik Arif
Lubis (Sumber: Koleksi Pribadi).
3.4. Pemberangusan surat kabar pro PKI di Medan
Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau lebih dikenal dengan Supersemar menjadi
titik balik bagi kedudukan PKI di Indonesia. Sebelumnya PKI selalu merasa di atas angin pada
masa rezim pemerintahan Presiden Soekarno sekalipun pada peristiwa Gerakan 30 September
tahun 1965, PKI dianggap sebagai dalang utama di balik peristiwa pembunuhan terhadap tujuh
orang tentara yang terdiri dari perwira tinggi, perwira menengah dan bintara di tubuh Angkatan
Darat. Terlepas dari latar belakangnya yang kontroversi, Supersemar menjadi sebuah legitimasi
yang digunakan oleh Menteri/PANGAD Letjend. Soeharto untuk membubarkan PKI,
organisasi-organisasi serta surat kabar yang berhaluan komunis di Indonesia. Tidak sampai hitungan 24 jam
sejak dikeluarkannya Supersemar secara resmi, PKI berhasil dibubarkan oleh Soeharto. Kabar ini
pada hari itu juga tersebar sampai ke Medan dan beberapa daerah-daerah di Indonesia melalui
Begitu informasi tersebut tersiar dari stasiun radio, situasi di Medan saat itu menjadi
kacau dan tidak terkendali. Kekacauan tidak hanya terjadi di lingkungan politik, tetapi di
lingkungan masyarakat sipil juga secara spontanitas terjadi komando liar yang berujung kepada
penyerangan dan pembantaian massal terhadap orang-orang PKI di Kampung Kolam. Perlu
diketahui, Kampung Kolam merupakan basis PKI di Medan. Pergerakan ini didominasi oleh
organisasi dari golongan kepemudaan misalnya seperti Pemuda Pancasila. Situasi yang tidak
terkendali ini kemudian sering disalahgunakan oleh kelompok atau individu yang tidak
bertanggung jawab dengan cara menuduh orang yang tidak ia senangi sebagai pengikut PKI
sehingga orang tersebut pun tidak luput dari sasaran amuk massa yang anti terhadap PKI.
Masyarakat sipil kebanyakan menjadi tidak berani untuk bertegur sapa dengan orang-orang PKI
karena takut diduga sebagai pengikut PKI juga. Selain itu, banyak terjadi penculikan pada malam
hari terhadap pengkikut PKI namun tidak diketahui kabar selanjutnya secara pasti. Diduga
orang-orang PKI tersebut dibuang ke Sungai Ular. Sebahagian dari mereka ditangkap oleh polisi
atau tentara. Kemudian mereka ditahan di asrama polisi di Tanjung Kaso, menuju arah Kisaran.56
Saat itu orang-orang pengikut PKI diklasifikasikan menjadi tiga golongan. Golongan A
ditahan kemudian diadili di Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Kebanyakan mereka
yang dari golongan A mendapatkan vonis mati dari pengadilan. Golongan B ditahan kemudian
dibuang ke Pulau Buruh untuk dipekerjakan secara paksa. Tetapi pada akhirnya mereka
dibebaskan. Golongan C hanya ditahan dalam kurun waktu yang tidak pasti kemudian
dibebaskan. Tan Fu Kiong dan Imron Zouny yang berhasil ditangkap oleh polisi masuk dalam
golongan A. Sementara Suhaimi tidak berhasil ditangkap karena saat itu ia sedang berada di
Peking dalam rangka menghadiri perayaan hari ulang tahun Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Kabar selanjutnya diketahui Suhaimi tidak berani kembali ke Medan dan memilih menetap di
Peking karena mendengar kabar bahwa PKI telah dibubarkan dan para pengikutnya telah
ditahan. Sejalan dengan itu, pada tanggal 8 Oktober 1965 dikeluarkan keputusan yang isinya
terhitung tanggal 7 Oktober 1965 seluruh surat kabar PKI tidak dibenarkan untuk terbit. Maka
surat kabar PKI yang ada di Medan seluruhnya dihentikan penerbitannya, seperti harian Harapan,
BAB IV
MEROSOTNYA HARIAN MIMBAR UMUM DI MEDAN
4.1. Harian Mimbar Umum Terbit Kembali Pada Masa Awal Orde Baru
Pada masa menjelang peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965, beberapa pengurus
BPS sedang menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Pemeriksaan ini
dilakukan terkait tuduhan PKI yang menyatakan bahwa BPS merupakan lembaga yang dibiayai
oleh CIA. BPS juga dituduh telah menerima dana operasional sebesar $ 500.000.000 dari CIA.
Sebuah nilai yang sangat besar pada saat itu. Pemeriksaan terhadap pengurus BPS mulai berjalan
sejak awal bulan September. Orang pertama yang diperiksa adalah H. Soffyan selaku Kepala
Biro Luar Negeri dalam kepengurusan BPS di Sumatera, sekarang pemimpin redaksi harian
Analisa. Ia dianggap sebagai orang yang paling mengetahui tentang segala hal yang berkaitan
dengan pihak luar negeri. Di dalam persidangan, H. Soffyan membantah tuduhan yang
mengatakan bahwa BPS telah menerima dana operasional dari CIA. Ia juga menambahkan
bahwa segala biaya operasional yang dibutuhkan BPS berasal dari iuran anggota yang rutin
dibayar setiap bulannya.
Selain H. Soffyan, pengurus lainnya yang dianggap mengetahui akan hal ini adalah Arif
Lubis selaku Biro Keuangan dan Amir Hasan Lubis alias Buyung Gandrung. Saat itu Amir
Hasan Lubis menjabat sebagai Kepala Biro Penelitian, Bimbingan dan Pendidikan BPS Suamtera
Utara. Hasil persidangan menyatakan bahwa PKI tidak punya cukup bukti mengenai tuduhannya
terhadap BPS Sumatera Utara yang dikatakan menerima dana operasional dari CIA. Belakangan
hasil rekayasa dari orang-orang PKI. Hal itu dilakukan sebagai salah satu cara agar BPS dapat
segera dibubarkan. Dari awal terbentuknya BPS, PKI memang tidak senang akan keberadaan
BPS. PKI menganggap BPS merupakan ancaman serius bagi eksistensi mereka di Indonesia.
Dengan demikian, Kejaksaan Tinggi memutuskan bahwa seluruh surat kabar BPS yang
sebelumnya telah dibredel sejak saat itu diiizinkan untuk terbit kembali seperti
biasanya.Menyambut keputusan tersebut, Arif Lubis langsung berbenah diri menyiapkan segala
kebutuhan teknis untuk memulai penerbitan kembali. Mulai dari susunan redaksi yang bertugas
hingga kondisi mesin percetakan seluruhnya dipersiapkan sebaik mungkin. Seluruh wartawan
harian Mimbar Umum yang bekerja di toko buku Pustaka Mimbar difungsikan oleh Arif Lubis
untuk bergabung dalam staf redaksi harian Mimbar Umum. Di kolom susunan redaksi tertera
Arif Lubis sebagai pemimpin redaksi sekaligus pemimpin umum, E. Nasution sebagai wakil
pemimpin umum, Bustamam dan Syamsuddin Manan sebagai wakil pemimpin redaksi dan
anggota redaksi diisi oleh Anwar Effendi, Muhammad T. W. H., Poniman Syahri serta
Kamaluddin Lubis.57Kantor redaksi harian Mimbar Umum saat itu masih sama yaitu di Jalan
Riau No. 79 Medan, sekaligus kantor tata usaha dan percetakannya Percetakan Mimbar Medan.
Sedangkan kantor redaksi sore atau malam di Jalan Sutomo No. P 305 Medan. Kantor ini
merupakan kediaman Arif Lubis. Secara keseluruhan, hampir tidak ada perubahan di dalam
internal harian Mimbar Umum.Sekitar akhir bulan Mei 1966, harian Mimbar Umum sudah mulai
terbit seperti biasanya. Nomor penerbitan atau edisinya dilanjutkan dari edisi terakhir sebelum
harian Mimbar Umum dibredel. Slogan harian Mimbar Umum saat itu adalah Harian Pagi
Membawa Suara Independen.58
Terbitnya harian Mimbar Umum disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini disebabkan
selama surat kabar BPS ditutup, masyarakat merasa jenuh dan bosan karena selalu disajikan
berita propaganda yang bersifat sepihak oleh surat kabar PKI di Medan. Awal penerbitannya
pada masa orde baru, oplah harian Mimbar Umum mencapai kurang lebih 8.000 eksemplar.
Jumlah ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan oplah harian Mimbar Umum pada
tahun 1964 yang mencapai 13.000 sampai dengan 14.000 eksemplar.59Dan harga per
eksemplarnya adalahRp. 10.60 Jika berlangganan, per bulannya dikenakan biaya Rp. 250. SPS
adalah pihak yang berwenang menentukan harga surat kabar tertinggi dan terendah. Namun,
pada kenyataan yang terjadi di lapangan, harga jual surat kabar per eksemplarnya bisa melewati
dari harga tertinggi yang telah ditetapkan oleh SPS. Hal ini disebabkan pada masa itu informasi
merupakan kebutuhan yang sangat penting. Masyarakat pembaca memiliki rasa ingin tahu yang
sangat besar tentang perkembangan situasi pasca dibubarkannya PKI di Indonesia. Mereka
berlomba-lomba membeli harian Mimbar Umum dari agen atau pengecer sepagi mungkin. Oleh
karena itu, para agen atau pengecer bersedia membayar sedikit lebih mahal kepada bagian
percetakan harian Mimbar Umum asalkan oplah mereka diberikan terlebih dahulu. Sehingga para
agen dan pengecer pun harus menjual per eksemplarnya di atas dari harga yang telah ditentukan.
Menariknya, secara umum masyarakat tidak keberatan akan hal ini karena saat itu harian Mimbar
Umummasih menjadi primadona di antara seluruh surat kabar yang terbit di Medan. Harian
Mimbar Umum dijadikan sebagai referensi terpercaya yang menyajikan berita akurat dan
terkini.Sedangkan untuk harga iklan dibagi menjadi dua kategori yaitu harga iklan umum dan
harga iklan keluarga. Harga iklan umum Rp. 25 per mm sedangkan harga iklan keluarga Rp. 10
59 Wawancara dengan Bapak Muhammad Lud Lubis, staf ahli harian Mimbar Umum pada tanggal 19 Desember 2012.
per mm.61Namun, dua tahun pertama pasca harian Mimbar Umum terbit lagi, kolom iklan
dibatasi kuotanya. Artinya, lebih diutamakan kuantitas dan kualitas berita.
Persebaran harian Mimbar Umum telah mencapai beberapa daerah di Sumatera Utara.
Wilayah persebaran ini kemudian dibagi menjadi empat jalur, yaitu:
- Jalur I : Mencakup daerah Tapanuli, Padang Sidempuan dan Panyabungan.
- Jalur II : Mencakup daerah Langkat dan Aceh Tamiang.
- Jalur III : Mencakup daerah Asahan dan Rantau Parapat.
- Jalur IV : Mencakup daerah Sidikalang dan Dairi.
Di sisi lain, sejalan dengan mulai terbitnya harian Mimbar Umum turut mempengaruhi jumlah
oplah surat kabar Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I. Sebelumnya, oplah surat kabar
Angkatan Bersenjata Edisi Mandala I mencapai kurang lebih 30.000 eksemplar lalu mengalami
penurunan menjadi sekitar 18.000 eksemplar pada tahun tersebut.
Menurunnya jumlah oplah harian Mimbar Umum saat itu masih dapat dianggap wajar
mengingat harian Mimbar Umum baru saja mulai terbit kembali. Sedangkan pada tahun 1964
adalah masa dimana harian Mimbar Umum tampil sebagai surat kabar perjuangan serta menjadi
surat kabar terdepan yang secara tegas menyatakan sikap perlawanan terhadap PKI sehingga
berbanding lurus dengan jumlah oplahnya. Walaupun demikian, harian Mimbar Umum tetap
menjadi surat kabar dengan jumlah oplah tertinggi di Sumatera Utara di antara surat kabar eks
BPS lainnya yang juga baru terbit kembali. Bahkan tidak semua surat kabar eks BPS yang
mampu melanjutkan penerbitan sekalipun sudah diizinkan untuk terbit kembali. Pada dasarnya
masyarakat telah bersikap simpati terhadap harian Mimbar Umum dan orang-orang di dalamnya.
Masyarakat menilai harian Mimbar Umum bersikap konsisten sebagai pers perjuangan baik pada
masa kemerdekaan, agresi militer Belanda hingga pada masa perjuangan melawan PKI di
Medan.
4.2. Kehidupan Pers Secara Umum dan Harian Mimbar Umum Pada Masa Orde Baru
Masa orde baru adalah masa dimana pemerintah memfokuskan diri untuk meningkatkan
pembangunan di sektor ekonomi. Salah satunya adalah dengan cara menarik sejumlah investor
asing agar mau menanamkan modal perusahaan mereka di Indonesia. Kebijakan ini tentu sangat
bertolak belakang dengan corak pemerintahan sebelumnya yang anti terhadap imperialisme. Pers
yang pada awalnya mendukung dan simpati terhadap pemerintahan orde baru karena telah
berhasil membubarkan PKI di Indonesia mulai melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah
tersebut. Kritik yang dilakukan secara berkesinambungan yang dilakukan oleh pers mampu
menggiring dan membentuk opini negatif yang berkembang di dalam masyarakat tentang
kebijakan pemerintah sehingga memicu aksi protes dan unjuk rasa di beberapa tempat di
Indonesia. Sebahagian besar aksi protes dan unjuk rasa ini digerakkan oleh kalangan mahasiswa
hingga pada klimaksnya adalah peristiwa Malari pada tahun 1974 di Jakarta. Banyak isu yang
dianggap sebagai pemicu pecahnya peristiwa Malari. Mulai dari masalah perekonomian awal
orde baru, gerakan mahasiswa, arus penentangan modal Jepang, krisis pangan, sampai pertikaian
antara kelompok Soemitro dan Ali Moertopo.62Sejak peristiwa tersebut, hubungan pers dengan
pemerintah menjadi tertutup. Padahal sebelumnya para pejabat pemerintah terbuka untuk
memberikan informasi kepada pers. Pemerintah orde baru selalu mengawasi berita surat kabar
yang dinilai provokatif serta melakukan kritik berlebihan terhadap segala bentuk kebijakan
62 Purwadi Djunaedi, dkk., Jurnalisme Investigatif Panda Nababan Menembus Fakta Otobiografi 30 Tahun
pemerintah. Banyak terjadi pembredelan surat kabar khususnya surat kabar di pulau Jawa pasca
peristiwa Malari tersebut. Sejak saat itu, pers difokuskan sebagai salah satu alat pembangunan.
Lebih tepatnya pers diarahkan untuk rutin menerbitkan berita tentang pembangunan yang sedang
dijalankan oleh pemerintah. Tujuannya sebagai legitimasi kekuasaan pemerintah orde baru.
Pada masa orde baru, pers dikenal sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Artinya, pers bebas memberitakan apa saja asalkan masih sesuai dengan peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Namun, dalam pelaksanaannya pers diatur sedemikian rupa oleh
pemerintah. Sedangkan Undang-Undang Pokok Tentang Persdan Dewan Pers tidak dapat
berbuat banyak terhadap kondisi tersebut. Dalam hal ini departemen yang mengurusi bidang pers
adalah Departemen Penerangan, sekarang Menkominfo. Secara berurutan, pasca peristiwa Malari
pada tahun 1974 hingga tahun 1998, kursi Menteri Penerangan pernah dijabat oleh Mashuri, Ali
Murtopo, Harmokodan Alwi Dahlan. Harmoko adalah orang yang paling lama menjabat sebagai
Menteri Penerangan yaitu selama 3 periode dan masa tersebut banyak terjadi pembredelan
terhadap pers, khususnya media cetak. Padahal latar belakang Harmoko adalah seorang
wartawan dan pemilik surat kabar Pos Kota yang terbit di Jakarta.
Pelanggaran pers khususnya surat kabar terhadap kebijakan pemerintah dibagi menjadi
dua, yaitu pelanggaran ringan dan pelanggaran berat. Apabila sebuah surat kabar melakukan
pelanggaran ringan, pemerintah akan menegur yang bersangkutan dan biasanya disampaikan
melalui pemimpin redaksi. Teguran ini disampaikan oleh Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib). Kopkamtib tidak hanya berada di pusat melainkan juga ada di tingkat
Harian Mimbar Umum pernah dianggap melakukan pelanggaran ringan dikarenakan
Muhammad Lud Lubis menuliskan tentang Selat Malaka dan batas wilayah dengan Malaysia.
Saat itu beliau murni tujuannya adalah untuk menulis tanpa ada kepentingan lain. Tidak
diketahui secara pasti alasan pemerintah menganggap tulisan tersebut sebagai sebuah
pelanggaran. Kejadian ini mengakibatkan Muhammad Lud Lubis harus menghadap Kopkamtib
untuk memberi penjelasan dan pertanggungjawaban terhadap tulisan yang ia terbitkan. Namun,
pada akhirnya Kopkamtib hanya memberikan teguran ringan kepada harian Mimbar Umum.
Sejak saat itu harian Mimbar Umum lebih berhati-hati dalam memuat berita agar tidak
tersandung dengan peraturan pers pada masa orde baru.
Sedangkan bagi surat kabar yang dianggap melakukan pelanggaran berat, pemerintah
akan membredel surat kabar yang bersangkutan. Sangsi bredel ini juga dibagi menjadi dua, yaitu
pembredelan bersyarat dan pembredelan permanen. Pembredelan bersyarat maksudnya adalah
pemerintah akan mengizikan sebuah surat kabar atau penerbitan untuk terbit kembali dengan
syarat mengikuti kebijakan dari pemerintah. Pembredelan permanen maksudnya adalah surat
kabar atau penerbitan yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk terbit selanjutnya. Dalam hal
ini, pihak yang berwenang mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) adalah
Departemen Penerangan. Dalam hal ini yang merekomendasikan kepada Departemen
Penerangan tentang sebuah surat kabar dibredel atau tidak salah satunya adalah Pelaksana
Khusus (Laksus). Laksus merupakan salah satu bagian dari staf ahli kepresidenan pada masa
orde baru.Kopkamtib dan Laksus diisi oleh orang-orang dari kalangan ABRI, khususnya
Angkatan Darat. Dengan diaturnya pemberitaan pers sedemikian rupa oleh pemerintah maka
4.3. Peralihan Manajemen Harian Mimbar Umum
Manajemen merupakan unsur yang penting dalam menjalankan sebuah perusahaan. Usia
dan kualitas sebuah perusahaan ditentukan oleh manajemen yang dijalankan perusahaan,
khususnya oleh pemimpin perusahaan. Fungsi manajemen yaitu Planning (Perencanaan),
Organizing (Pembagian Tugas), Acting (Pelaksaan Tugas) dan Controlling (Pengawasan).63
Harian Mimbar Umum pernah mengalami peralihan atau perpindahan manajamen. Perindahan
manajemen ini dapat disederhanakan sebagai pergantian pucuk pimpinan dalam struktur harian
Mimbar Umum. Pertama kalinya pergantian pimpinan harian Mimbar Umum dilakukan pada
tahun 1975. Sejak tahun 1972, Arif Lubis selaku pemimpin umum, pemimpin redaksi sekaligus
pendiri harian Mimbar Umum mengundurkan diri dari perusahaan disebabkan oleh faktor usia.
Ia tidak lagi menjabat dalam susunan redaksi dan kembali menekuni usaha toko buku Pustaka
Mimbar.
Saat itu kondisinya harian Mimbar Umum sedang membutuhkan dana untuk membeli
mesin cetak yang lebih modern dan canggih agar mampu mengimbangi pencetakan surat kabar
sejumlah oplah. Dikarenakan mesin cetak yang lama sudah mengalami penurunan dari segi
kualitas dan kecepatannya. Atas pertimbangan ini, Arif Lubis berupaya agar harian Mimbar
Umum diserahkan kepada orang yang nantinya dapat mengatasi permasalahan tersebut. Tanpa
disengaja, Arif Lubis teringat dengan Hasbullah Lubis. Ia merupakan teman sepengajian dari
keponakannya sendiri yaitu Lud Lubis. Hasbullah Lubis mempunyai mesin percetakan yang
dapat dikatakan sebagai mesin cetak yang paling modern pasa masanya. Percetakan milik
Hasbullah Lubis bernama Percetakan Asmar yang terletak di Jalan M. Yakub No. 50 Medan.Arif
Lubis kemudian menyerahkan saham dan seluruh karyawan harian Mimbar Umum kepada
Hasbullah Lubis secara gratis atau tanpa mengharapkan imbalan apa-apa. Ia hanya meminta
kepada Hasbullah Lubis agar tidak memecat seorang karyawan pun kecuali karyawan tersebut
dinilai menganggu kinerja perusahaan. Penyerahan saham sekaligus pergantian pucuk pimpinan
ini dilakukan di rumah Hasbullah Lubis Jalan Moh. Yamin No. 352 Medan, kantor harian
Mimbar Umum sekarang.
Gambar 10. Lokasi Percetakan Asmar. Sekarang telah menjadi perumahan Serdang
Residence (Sumber: Koleksi Pribadi).
Pada tahun 1979, kantor redaksi harian Mimbar Umum pindah ke Percetakan Asmar.
Mesin percetakan berada di lantai satu sedangkan kantor redaksinya berada di lantai dua.
Namun, dikarenakan letaknya yang kurang strategis dan jauh dari pusat kota maka toko buku
Asmar juga dijadikan sebagai kantor harian Mimbar Umum. Toko buku Asmar merupakan milik
Hasbullah Lubis yang terletak di Jalan M. T. Haryono, simpang Jalan Irian Barat tepat di
urusan pemasangan iklan dan tata usaha lainnya. Kantor ini buka mulai dari pagi hingga sore
hari. Sedangkan kantor yang yang ada dipercetakan lebih dikhususkan sebagai kantor redaksi
yang buka mulai dari sore hingga malam hari. Sejak masa kepimpinan Hasbullah Lubis juga
halaman harian Mimbar Umum bertambah menjadi 12 halaman.
Kepemimpinan Hasbullah Lubis berlangsung tidak cukup lama disebabkan pada tahun
1983 beliau meninggal dunia. Kemudian jabatan pemimpin umum diserahkan kepada anaknya
yaitu Fauzih Lubis.Oleh karena Fauzih Lubis berdomisili di Jakarta maka ia menugaskan sebuah
tim manajemen untuk dikirimkan ke Medan. Tujuannya untuk mengurus dan membenahi segala
kekurangan di dalam harian Mimbar Umum, baik permasalahan teknis atau menyangkut tentang
sumber daya manusianya.Salah satu anggota dari tim manajemen ini adalah Rita Tobing, mantan
kepala Televisi Republik Indonesia (TVRI) pusat. Besar kemungkinan kebijakan ini dibuat
karena faktor rasa krisis kepercayaan Fauzih Lubis yang berada di Jakarta terhadap staf redaksi
yang ada di Medan. Setibanya tim manajemen yang ditugaskan oleh Fauzih Lubis di Medan,
mereka langsung mengambil alih kepengurusan perusahaan. Hal ini menyebabkan seluruh staf
harian Mimbar Umum sebelumnya turun posisi menjadi karyawan dan wartawan biasa. Lud
Lubis sebelumnya telah menjabat sebagai pemimpin redaksi tetapi sejak diambil alih oleh tim
manajemen posisi Lud Lubis turun menjadi kepala sumber daya manusia dan penanggung jawab
percetakan. Namun, dalam susunan redaksi yang tertera pada kolom surat kabar tidak ada terjadi
perubahan. Perubahan hanya bersifat di lingkup internal saja.
Pada tahun 1989, Fauzih Lubis mengadakan joint venture atau kerjasama dengan
perusahaan milik Surya Paloh yaitu Surya Pressindo.Dengan bergabungnya kedua perusahaan ini
maka terjadi perubahan susunan kepemimpinan perusahaan yaitu Fauzih Lubis sebagai komisaris
berkantor di Jalan Letjend. Suprapto No. 6 Medan, seberang restoran cepat saji Pizza Hut,
sekarang menjadi kantor Mutiara Development. Kantor tersebut dikontrak dari pemiliknya yaitu
Jenderal M. Panggabean,mantan panglima ABRI. Kantor redaksi harian Mimbar Umum menjadi
kantor surat kabar yang paling mewah saat itu. Namun, dikarenakan harga kontraknya yang
cukup mahal maka pada tahun 1994 harian Mimbar Umum pindah kantor ke Jalan Moh. Yamin
No. 41 Medan, sekarang kantor Metro TV. Ketika kerja sama perusahaan antara Fauzih Lubis
dan Surya Paloh resmi berjalan maka diadakan penyeleksian ulang terhadap seluruh karyawan
harian Mimbar Umum dan seluruh karyawan surat kabar milik Surya Paloh yaitu Media
Indonesia.Namun, tidak dibatasi apabila wartawan atau karyawan dari penerbitan lainnya yang
berminat untuk mengikuti seleksi.
Gambar 11. Harian Mimbar Umum yang bekerja sama dengan Surya Pressindo mengontrak
sebuah rumah milik Jend. M. Panggabean untuk dijadikan sebagai kantor redaksi serta
menjadikannya sebagai kantor redaksi surat kabar yang paling mewah saat itu. (Sumber: Koleksi
Pada saat hari dibukanya pendaftaran, jumlah pendaftar mencapai ratusan orang yang
terdiri dari karyawan harian Mimbar Umum, Media Indonesia dan surat kabar lainnya seperti
dari harian Waspada. Salah satu alasannya adalah tawaran gaji yang tinggi pasa saat itu.
Diketahui gaji seorang wartawan mencapai Rp. 1.000.000. Kemudian dilakukan seleksi berkas
terhadap formulir pendaftaran yang masuk ke panitia seleksi dan yang dinyatakan lulus berkas
berjumlah 70 orang. Total 70 orang inilah yang kemudian mengikuti tahap seleksi
selanjutnya.Proses penyeleksian tersebut berlangsung selama dua hari. Termasuk di dalamnya
ujian tertulis, psikotest dan wawancara. Dari total 70 orang yang mengikuti ujian tertulis dan
wawancara maka yang dinyatakan lulus berjumlah 50 orang.Jumlah ini yang nantinya ditetapkan
sebagai karyawan tetap di perusahaan.Sebelum dilakukan penyeleksian terhadap karyawan biasa,
terlebih dahulu telah dilakukan proses penyeleksian kepada karyawan menengah ke atas dan
pimpinan. Dalam proses penyeleksian terhadap pimpinan ini, Muhammad T. W. H. dinyatakan
tidak lulus. Sedangkan Muhammad Lud Lubis dinyatakan lulus dan menjabat sebagai wakil
pemimpin redaksi. Pendapatan beliau saat itu mencapai Rp. 1.800.000 per bulan ditambah
dengan fasilitas dan tunjangan.
Kerjasama antara harian Mimbar Umum dengan Surya Pressindo berakhir pada tahun
1998. Faktor utama penyebab berakhirnya kerjasama ini adalah perbedaan prinsip pucuk
pimpinan kedua perusahaan yang sangat bertolak belakang. Surya Paloh cenderung lebih
mengarah ke arah politik. Sedangkan Fauzih Lubis lebih cenderung ke arah bisnis. Oleh karena
tidak ada kesamaan visi dan misi maka disepakati untuk mengakhiri kerjasama yang telah
berjalan selama 9 tahun. Dengan berakhirnya kerjasama tersebut maka harian Mimbar Umum
pindah kantor ke Jalan Moh. Yamin No. 352 Medan, bekas rumah Hasbullah Lubis dan menjadi
mencetak surat kabar di Percetakan Asmar. Tahun selanjutnya hingga sekarang, harian Mimbar
Umum mencetak surat kabar di Percetakan Bali Scan yang terletak di Jalan Krakatau simpang
Jalan Bilal.
4.4. Faktor Kualitas Mesin Cetak Yang Semakin Menurun dan Munculnya Surat Kabar Baru di Medan
Mesin cetak merupakan salah satu unsur yang sangat penting di dalam perusahaan
penerbitan surat kabar. Sekalipun isi berita dari surat kabar tersebut menarik namun apabila tidak
diimbangi oleh kualitas cetak yang baik maka dipastikan faktor tersebut akan mempengaruhi
minat beli masyarakat pembaca terhadap surat kabar tersebut.Keadaan seperti ini dapat
menyebabkan turunnya oplah sebuah surat kabar. Dan untuk menarik minat serta kepercayaan
masyarakat pembaca untuk kembali lagi merupakan bukan pekerjaan yang mudah.Oleh karena
itu, isi berita dan kualitas cetak sebuah surat kabar harus berjalan seimbang.
Sebelum masa kepemimpinan Hasbullah Lubis, harian Mimbar Umum pernah mengalami
masa dimana kondisi mesin cetak mereka telah menurun kualitasnya dan beberapa kali
mengalami kerusakan di tengah proses pencetakan surat kabar. Mesin cetak yang ada saat itu
tidak mampu mengimbangi jumlah oplah harian Mimbar Umum. Hal ini dapat dimaklumi karena
mesin cetak yang bermerk Kubau tersebut merupakan mesin cetak yang dibeli dari Bandung.
Mesin cetak tersebut dibeli setengah pakai dari surat kabar Pikiran Rakyat yang terbit di
Bandung. Arif Lubis selaku pemimpin perusahaan mengerti akan hal ini. Ia pun segera berupaya
mencari solusi agar dapat membeli mesin cetak yang baru.
Arif Lubis kemudian berencana membeli mesin cetak buatan Jerman merk Webb Offset.