• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdirinya BNKP sebagai sebuah Institusi Gereja Lokal

BAB III: LATAR BELAKANG BERDIRINYA BNKP

3.2 Berdirinya BNKP sebagai sebuah Institusi Gereja Lokal

Berdirinya BNKP di Nias sebagai sebuah institusi gereja merupakan sebuah hasil nyata dari proses penyebaran ajaran Kristen yang berjalan sejak tahun 1865 sampai 1936 (Gulõ, 1983:5). Berangkat dari latar belakang pembentukan BNKP, Alfred Schneider membagi masa penyebaran ajaran Kristen dalam 5 periode yaitu:

1. Masa permulaan yang sulit (1865-1890) 2. Masa penyebaran (1891-1915)

3. Masa pertobatan missal (1916-1930) 4. Menuju pembentukan gereja (1930-1940)

5. BNKP Sekarang (1940- sekarang)32 (Schneider,1965:7)

32“ h eider, Alfred. . Turia, 100 Jahrs Dienst am Evangelium auf Nias, Rhei is he

Sejarah penyebaran ajaran Kristen diuraikan berdasarkan periode tersebut termasuk pengaruh dan perubahan yang terjadi selama masa penyebaran ajaran Kristen.

1. Masa Permulaan yang Sulit (1865-1890)

Penyebaran ajaran Kristen di Nias sebenarnya telah dimulai oleh dua orang pastor33 dari Gereja Katolik Roma dari Mission Etrangers pada tahun 1822/ 1823 yaitu Pere Wallon dan pere Barart. Kedua pastor bertempat tinggal di Lasara, tidak jauh dari Gunungsitoli. Namun, setelah 3 hari berada di Nias seorang diantaranya meninggal dunia sedang yang lainnya meninggal juga tiga bulan kemudian. Oleh karena itu tidak ada diketahui hasil dan buah pelayanan mereka. (Gulõ, 1983:6)

Kira- kira 43 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1865 seorang pekabar Injil dari RMG (Rheinische Mission Gesellschaft) Jerman bernama Ludwich Ernst Denninger datang dan menjadi missionaris pertama yang berhasil menyebarkan ajaran Kristen di Nias. Perjalanan Denninger untuk menjadi seorang missionaris hingga sampai ke Nias tidaklah mudah. Berawal dari profesi sebagai tukang cerobong asap yang sudah digeluti sejak muda, hingga ketertarikannya kepada hal- hal yang bersifat rohani. Semasa muda ia juga sangat aktif dalam berbagai kegiatan gereja hingga memutuskan untuk meninggalkan profesinya sebagai tukang cerobong dan mendaftarkan diri menjadi seorang missionaries pada lembaga RMG. Sebelum diutus menjadi missionaris, Denninger mengikuti pendidikan Missionaris di Seminari

33

Pastor (juga dilafalkan Pastur) adalah sebutan bagi pemimpinagama di lingkungan Gereja Kristen. Di Indonesia, sebutan ini biasanya digunakan untuk imam di lingkungan Gereja Katolik Roma, sementara di negara-negara berbahasa Inggris, biasanya di lingkungan Gereja Protestan.

Barmen di Wuppertal, Jerman. Umumnya yang diterima di seminari ini adalah yang memiliki kualifikasi intelektual dan mental-spritual yang baik34(Wellem, 1998:241).

Setelah menamatkan pendidikan di Seminari Barmen, maka pada tahun 1847 ia dilantik dan diutus menjadi missionaris di Borneo (Kalimantan). Setelah 12 tahun Denninger melayani di Borneo, perkembangan misi sudah mulai menunjukkan kemajuan. Akan tetapi pada tahun 1859 terjadi suatu peristiwa berdarah dengan adanya “Pemberontakan Hidayat”, yang menyerang seluruh orang asing, tanpa kecuali, baik kolonial maupun missionaries. Denninger berhasil melarikan diri dan pada tahun yang sama sampai di Padang, Sumatera Barat. Beliau terpaksa tinggal didaerah itu karena istrinya sedang dalam keadaan sakit (Ukur dalam Gulõ, 1983:6)

Di Padang, Denninger bertemu dan bergaul di tengah- tengah ±3000 orang Nias yang telah lama tinggal di Padang. Diduga bahwa orang Nias yang tinggal di Padang adalah orang- orang yang diperjual- belikan oleh orang Aceh dan Melayu yang singgah ke Nias (Zebua, 1996:86). Dari sinilah beliau belajar bahasa Nias dan mengenal kebiasaan orang Nias, dan akhirnya tertarik serta memutuskan untuk datang sendiri ketempat asal orang Nias. Denninger datang ke Nias pada tanggal 27 September 1865 (hingga sekarang setiap tanggal 27 September diperingati sebagai hari Yubellium BNKP). Tujuh tahun setelah kedatangan Denninger, RMG mengutus J.W Thomas yang kemudian menerjemahkan Injil Yohanes kedalam bahasa Nias, kemudian disusul oleh Kramer yang kemudian menerjemahkan injil Lukas (Yonifati, dalam artikel “Denninger, Tentang Kemandirian Gereja” 23 Oktober 2013)

34

Wellem,F. D. . Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta:

Pada tahun- tahun pertama Denninger di Gunungsitoli, ia mengumpulkan beberapa pemuda dan mengajar mereka membaca menulis. Inilah permulaan pendidikan di Nias, sekalipun pelaksanaanya masih di rumah penduduk. Selain itu, Kramer dan istrinya juga kerap mengunjungi keluarga pribumi yaitu di desa Hilina‟a untuk memberitakan injil. Seorang utusan RMG yang lain bernama Sunderman juga membuka pos penyebaran ajaran Kristen yaitu di Dahana pada tahun 1874.

Dalam upaya menyebarkan agama Kristen di pulau Nias, ada banyak tantangan yang dihadapi oleh para missionaries yaitu:

1. Tidak ada jaminan keamanan diseluruh pulau Nias. Perang antar kampung masih kerap terjadi. Bahkan perlawanan terhadap Belanda masih belum bias terpatahkan.

2. Sarana dan prasarana dari kampung ke kampung masih belum memadai, sehingga sukar untuk menjangkau daerah pedalaman karena harus ditempuh dengan jalan kaki.

3. Kepercayaan penduduk terhadap berhala masih sangat kuat. Tidak mudah untuk melepaskan mereka dari penyembahan patung dan ukiran yang sudah sangat menguasai kehidupan mereka karena telah banyak pula harta yang telah dikorbankan untuk itu. Seorang Balugu Oroisa di Dahana mengatakan demikian kepada Sunderman:

“Orang tua saudara (maksudnya orang tua dari Sunderman) berada jauh di Jerman, sedangkan orang tua saya juga telah lama meninggal dunia. Oleh karena itu, kami disini hidup sebagai orang yang bersaudara sehingga kami dapat saling memperhatikan kepentingan

yang lain. Akan tetapi keinginan saudara agar kami melepaskan dan membuang „Adu Zatua‟ (patung nenek moyang) tak dapat saya penuhi karena untuk itu kami telah mengorbankan banyak ternak babi dan harta kami”

Demikianlah usaha penyebaran ajaran Kristen dalam masa permulaan ini. Sebanyak 5 orang missionaries telah bekerja selama 25 tahun di Nias. Namun penyebaran ajaran Kristen hanya disekitar kota Gunungsitoli saja dengan 3 pos penyebaran ajaran Kristen yaitu di Gunungsitoli, Ombolata dan Dahana. Jumlah yang telah mendapat babtisan dalam 3 pos hanya 699 orang, dengan penatua yang telah ditentukan oleh para missionaries untuk membimbing masyarakat (Gulõ, 1983:8).

2. Masa Penyebaran (1891-1915)

Usaha penyebaran ajaran Kristen pada periode ini ternyata mengalami kemajuan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada periode ini berhasil masuk di Nias bagian Tengah sampai ke Nias bagian Barat, Pantai sebelah Timur sampai di Nias bagian Selatan, Nias bagian Utara dan di Pulau-pulau Batu.

Masuknya Injil di Nias bagian Tengah dan Nias Bagian Barat

Pada tahun 1896, Dr. W.H. Sundermann membuka pos pelayanan di Lõlõwua 17kmdari kota Gunungsitoli). Di Lõlõwua ini Sundermann berhasil menterjemahkan

Alkitab ke dalam Bahasa Nias, ditambah dengan Katekhismus35 Luther yang disebut

“Lala Wangorifi”.

Tahun 1905, E. Fries membuka pos penyebaran ajaran Kristen di Sifaoro’asi (50 km arah Nias Timur). Baru 4 tahun setelah kedatangannya di sana, tepatnya tanggal 26 Desember 1909 di Sifaoro’asi dapat dilaksanakan pembaptisan yang pertama sekaligus dengan peresmian gedung gereja yang pertama di lokasi tersebut.

Di Nias bagian Barat H. Lagemann bersama A. Lett telah berhasil tiba di

Sirombu pada tahun 1892, dan membuka Pos Penyebaran ajaran Kristen di situ di

bawah asuhan A. Lett. Satu tahun kemudian tahun 1893, H. Lagemann juga berhasil membuka Pos Penyebaran ajaran Kristen di Lahagu. Tahun 1806 Pendeta Bassfeld membuka pos penyebaran ajaran Kristen di Lõlõmoyo, Mandrehe. Menyusul lagi pada tahun 1899 Pendeta Sporket membuka Pos Penyebaran ajaran Kristen di Lõlõmboli Moro’õ. Demikian pula bersamaan dengan itu Pendeta W. Hoffman membuka pos penyebaran ajaran Kristen di Hinako.

Pada tahun 1905 Pendeta A. Pilgenroder membuka Pos Penyebaran ajaran Kristen di Tugala Oyo.

Masuknya Injil di P antai bagian Timur sampai di Nias bagian Selatan

Usaha penyebaran ajaran Kristen di Nias bagian Selatan baru dapat dibuka pada tahun 1908, yaitu setelah pemerintah Hindia Belanda berhasil menduduki Õri

35

suatu ringkasan atau uraian dari doktrin yang umum digunakan dalam pengajaran agama Kristen (katekisasi), baik untuk anak-anak maupun orang dewasa; petunjuk doktrin yang seringkali berbentuk tanya-jawab untuk dihafalkan; sebuah format yang digunakan pula dalam konteks non-keagamaan atau sekular

Maenamõlõ. Sehingga Pendeta H. Rabeneck berhasil membuka pos penyebaran ajaran Kristen di sana pada tahun 1909 dengan dibantu oleh dua orang tenaga guru yaitu Faedogõ di Hiligeo dan Fangaro di Hilisatarõ. Baptisan pertama di sana baru terjadi pada tahun 1916. Berita Injil baru masuk di Hilisimaetanõ pada tahun 1911, yaitu dengan datangnya Pendeta B. Borutta di sana.

Masuknya Injil di Nias bagian Utara

Pada tahun 1903 Pendeta Noll membuka Pos Penyebaran ajaran Kristen di Bo’usõ. Orang-orang yang datang dan pergi melalui Bo‟usõ ini mempercepat tersiarnya berita Injil di kalangan penduduk di Nias Bagian Utara, sehingga pada tahun 1910 Tuhenõri Ama De‟ali yang bergelar Samasiniha dari Hilindruria bersama 3 orang Salawa datang meminta kepada Poendeta Noll agar membuka pos Penyebaran ajaran Kristen di Hilimaziaya.

Pada tahun 1911 Pendeta Schlipkoter membuka Pos Penyebaran ajaran Kristen di Hilimaziaya. Kemudian berita Injil tersiar mulai dari Hilimaziaya dan dari

Tugala Oyo sampai di Afulu dan Lahewa.

Akhirnya pada tahun 1922 Pendeta Skubina membuka pos penyebaran ajaran Kristen di Lahewa

Masuknya Injil di P ulau-P ulau Batu

Masuknya injil di Pulau-pulau Batu bukan atas usaha RMG tetapi atas usaha Luthersche Zendings Genotschap dari Negeri Belanda. Yang membawa berita Injil di sana adalah Johannes Kersten yang tiba di Pulau Tello pada tanggal 25 Februari

1889. Seperti halnya di daratan Pulau Nias, Pendeta Johannes Kersten di sana juga menghadapi wabah penyakit dan permusuhan antar kelompok penduduk. Pada akhir tahun itu datang pula Pendeta C.W. Frickenshmit, dan tidak lama kemudian menyusul P. Landwer yang berhasil membuka pos penyebaran ajaran Kristen di Pulau Sigata pada tahun 1896.

Mula-mula mereka berusaha membuka sekolah-sekolah di pulau-pulau yang berdekatan, jadi dari situ diteruskan usaha penyebaran ajaran Kristen. Dengan cara ini pada tahun 1912 dapat dibuka Pos penyebaran ajaran Kristen di Pulau Mari, pada tahun 1913 di Pulau Betu’a, tahun 1914 di Pulau Sifika dan tahun 1916 di Pulau Lora.

Gereja yang pertama didirikan di Pulau-pulau Batu disebut BKP (Banua Keriso Protestan) pada tahun 1945 dan akhirnya menggabungkan diri dengan BNKP Pada Persidangan Majelis Sinode BNKP pada tahun 1960 di Ombõlata. Hal ini semakin mempererat kesatuan antara orang Nias di daratan dengan orang Nias yang ada di kepulauan Batu. (Gulõ, 1983:10-13)

3. Masa Pertobatan Masal (F angesa Dödö Sebua)

Perkembangan dan pertumbuhan kekristenan di Nias mencapai puncaknya pada tahun 1916 dengan apa yang disebut “F angesa Dödö Sebua” semacam gerakan pertobatan massal. Peristiwa ini bermula di Humene (± 10 km dari Gunungsitoli) ketika seorang “guru bantu” di sekolah Zending bernama Filemo pada bulan April 1916. Pada saat itu sedang ada berlangsung kebaktian Paskah sekaligus Perjamuan Kudus dengan misionaris Ruderrsdorf sebagai pelayannya. Setelah mendengar

Firman Tuhan tiba-tiba Filemo menangis dan menjerit sambil berkat “Horögu! Horögu!” (Dosaku! Dosaku!). Orang banyak mengira dia “gila” atau “sakit”, tetapi Ruderrsdorf yang berlatar belakang Pietis memahami kondisi ini. Dia mengatakan bahwa Filemo tidak sakit, melainkan dia menyesal akan dosa-dosanya. Ruderrsdorf menuntun Filemo untuk mengakui dosa dihadapan Tuhan dan meminta maaf terhadap setiap orang yang merasa dia bersalah. Dia melakukan itu semua dan setelahnya Filemo merasa damai dan tenang. Anehnya kepada setiap orang Filemo meminta maaf, orang tersebut juga menagis dan menyesali dosanya sehingga pergi meminta maaf kepada yang lain

Peristiwa ini cepat menyebar ke seluruh wilayah daerah pelayanan para misionaris, sehingga banyak orang yang menyesali dosanya dan kembali ke jalan Tuhan. Dampak positif dari gerakan ini nampak pada pertumbuhan kuantitas dan kualitas iman warga jemaat. Segi kuantitas terjadi pertambahan jumlah orang Kristen secara signifikan. Pada tahun 1915 jumlah orang Kristen di Nias tercatat 20.000 jiwa (hasil pelayanan 50 tahun). Pada tahun 1929 menjadi 85.000 jiwa. Bertambah 65.000 jiwa hanya dalam kurun waktu 14 tahun saja. Juga dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Nias yang telah menjadi Kristen, benar-benar menunjukkan dirinya sebagai orang yang percaya kepada Yesus. Perubahan dari peristiwa ini ditandai dengan patung- patung beserta dengan ilmu sihir yang dan racun yang sudah banyak dimusnahkan,. Perselisihan dan peperangan diantar penduduk mulai berkurang dan kerukunan mulai berkembang dan kepatuhan terhadap pemerintah sudah mulai tampak.Pada saat ini kerinduan orang mendengar Firman Tuhan sungguh besar. Sehingga dimana-mana bermunculan persekutuan doa yang disebut dengan Sekola

Wanusugi Dödöatau Sekolah Niha Keriso.Pada saat ini banyak tercipta lagu-lagu

rohani yang berisi pertobatan dan perubahan hati.

Namun demikian, dalam kebudayaan dan adat istiadat terutama yang menyangkut hukum adat masih belum ada perubahan yang signifikan, Salawa dan Tuhenori masih mempunyai peranan yang sangat menentukan (Gulõ, 1983:15).Disisi lain, para missionaries juga mempersiapkan penatua dan guru- guru jemaat yang akan membantu para jemaat dalam bidang kerohanian bahkan juga sebagai guru disekolah yang didirikan oleh para missionaries (Gulõ, 1983:16)

4. Menuju Pembentukan Gereja

Pendidikan tenaga pendeta sudah dimulai sejak tahun 1905 sehingga memungkinkan untuk mendirikan sebuah institusi gereja. Jumlah orang Kristen juga telah mencapai 83.905 orang sampai pada tahun 1929. Pada tahun 1914, jumlah kebaktian telah berkembang dari 120 tempat dan tahun 1929 mencapai 164 tempat. Anggota jemaat tersusun dalam filial, beberapa filial membentuk distrik dan kumpulan beberapa distrik membentuk resort. Resort- resort inlah yang kemudian mempersatukan diri dalam datu sinode dengan siding sinodenya pertama kali diadakan pada bulan November 1936 di Gunungsitoli. Semua praeses dan utusan dari tiap resort adalah anggota dalam persidangan tersebut. Dari keputusan dan hasil persidangan tersebut maka berdirilah gereja pertama di Nias dengan nama BNKP (

Banua Niha Keriso P rotestan) dan dipimpin langsung oleh Ephorus Pendeta A. Luck

5. BNKP Sekarang

Pada tahun 1940-1950, pendeta- pendeta RMG meninggalkan pulau Nias sebagai akibat dari perang dunia ke-2. Hal ini merupakan tantangan yang besar yang harus dihadapi gereja pada saat itu. Akhirnya, para missionaries menyerahkan segala tugas dan tanggungjawab kepada pendeta jemaat setempat dalam sebuah sidang yang diadakan oleh pendeta BNKP sepulau Nias. Banyak anggota gereja pada saat itu menyampaikan usul supaya pimpinan sinode diserahkan kepada Salawa (Kepala Desa) atau kepada salah seorang pegawai pemerintah yang beragama Kristen. Tetapi sidang akhirnya memutuskan bahwa pimpinan BNKP harus diserahkan kepada anggota BNKP yang telah berpendidikan theologia (Gulõ, 1983:21)

Sesudah BNKP berdiri, pola kemasyarakatan tidak banyak yang berubah tetapi dipergunakan dalam menyusun organisasi gereja. Pemilihan para penatua dilakukan dengan memilih satu orang dari 20 keluarga, dan biasanya dilakukan oleh anggota- anggota gereja dengan mempertimbangkan hubungan kekerabatan didalam kampong. Unsure- unsure perkampungan juga mempengaruhi pembangunan dan bahkan perpecahan jemaat. Dapat dikatakan bahwa dalam melakukan pelayanannya, gereja menyesuaikan diri dengan pola yang ada dimasyarakat.

Hingga sekarang ini BNKP sudah menjadi gereja yang mandiri dan memiliki kapasitas serta pengaruh yang besar dalam berbagai bidang dan aspek social di pulau Nias. Gereja ini juga menampung hampir 60% masyarakat local, sisanya berjemaat di gereja lain seperti Gereja Amin (Angowuloa Masehi Indonesia) , Gereja AFY (Angowuloa Fa‟awosa kho Yehowa), Gereja ONKP (Orahua Niha Keriso Protestan),

Gereja GPT (Gereja Pantekosta Tabernakel), GPdI (Gereja Pantekosta di Indonesia), gereja GBI (Gereje Bethel Indonesia) dan lain- lain. Meskipun sudah banyak organisasi gereja lain sudah banyak berdiri, namun BNKP tetap menjadi gereja utama di Pulau Nias, bahkan gereja yang berbasis budaya Nias ini berhasil mengembangkan pelayanannya bahkan sampai diluar Pulau Nias.

Hal ini dapat dilihat dari data statistic gereja BNKP yang telah menyebar hampir diseluruh Indonesia. Beberapa diantaranya gereja BNKP Teladan Medan, BNKP Mandala, BNKP Tangerang, BNKP Surabaya, BNKP Mandala, BNKP Galilea Bogor Kota, BNKP Jambi, BNKP Narwastu Cimahi, BNKP Tuapejat Mentawai. Tidak hanya itu saja, BNKP juga bergerak dibidang, pendidikan dengan membangun yayasan pendidikan, seperti: TK BNKP Hanna Blindow Gunungsitoli, STT Sunderman, Yayasan Pendidikan BNKP Kemaat Lahewa, dan lain sebagainya (LPLG BNKP, 2015:153-157). Pada akhirnya BNKP tidak hanya melayani kebutuhan dalam bidang religi namun juga menjadi wadah yang mempersatukan masyarakat Nias menjadi satu etnis dan bahasa.

Dokumen terkait