• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif dan Analitis Identitas Musikal Nias yang Terkandung Dalam “Zinunö BNKP”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Deskriptif dan Analitis Identitas Musikal Nias yang Terkandung Dalam “Zinunö BNKP”"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI DESKRIPTIF DAN ANALITIS IDENTITAS MUSIKAL NIAS YANG

TERKANDUNG DALAM “ZINUNÖ BNKP”

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : TITI KRISNAWATI LAOLI NIM : 110707024

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

Lembar Pengesahan

STUDI DESKRIPTIF DAN ANALITIS IDENTITAS MUSIKAL NIAS YANG

TERKANDUNG DALAM “ZINUNÖ BNKP”

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam

(3)

PENGESAHAN

DITERIMA OLEH:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu

syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada Tanggal : Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D 2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.

3. Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D 4.Drs. Perikuten Sembiring

(4)

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

KETUA,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum.,Ph.D.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 13Juli 2015

(6)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul: Studi Deskriptif dan Analitis Identitas Musikal Nias

yang Terkandung Dalam “Zinunö BNKP”. Tulisan ini mengkaji kandungan

aspek identitas musikal masyarakat Nias dalam sebuah kumpulan nyanyian

berbahasa Nias yang menjadi materi utama didalam kebaktian keagamaan orang Nias

yang dikenal dengan nama “ Zinunö BNKP”. Tujuan penelitian ini yaitu untuk

mengetahui latar belakang sejarah perkembangan Buku Zinunö yang telah mengalami

7 revisi sejak tahun 1898-2014, termasuk alasan revisi, serta bentuk kontribusi

kebudayaan Nias. Dengan metode deskriptif- analitis, penelitian membahas

bagaimana hubungan setiap revisi dan apa saja yang menjadi gambaran dari

masing-masing revisi.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa buku Zinunö adalah sebuah catatan

perkembangan kebudayaan Nias tidak saja dari aspek religius, sosial, pendidikan,

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus atas Kasih Karunia yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ STUDI

DESKRIPTIF ANALITIS IDENTITAS MUSIKAL NIAS YANG

TERKANDUNG DALAM ZINUNÖ BNKP”. Skripsi ini merupakan hasil

penelitian dan pembelajaran selama belajar selama 4 tahun di Etnomusikologi. Selama proses penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak pengetahuan, pengalaman, bimbingan dan arahan dari Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D sebagai pembimbing I dan Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd sebagai pembimbing II. Terimakasih kepada kedua dosen pembimbing yang begitu saya kagumi yang selama ini telah memberi dukungan, arahan, serta kesabaran, semangat untuk memotifasi penulis menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga berterimakasih kepada dosen-dosen Etnomusikologi Bapak Drs. Torang Naiborhu M.Hum selaku Dosen Akademik, Bapak Drs, Muhammad Takari M.A., Ph.D, Drs. Bapak Kumalo Tarigan M.A, Ibu Dra. Rita Hutajulu M.A, Bapak Drs. Bebas Sembiring M.Si, Bapak Drs. Irwansyah Harahap M.A, Bapak Drs. Fadlin M.A, Bapak Drs. Dermawan Purba M.Si, Ibu Arifni Netriroza STT, dan Ibu Dra. Frida Deliana Harahap M.Si dan dosen praktek musik, yang selama ini telah memberi banyak ilmu kepada penulis.

(8)

Ucapan terimakasih juga kepada semua teman-teman kos ku di Oryza Kos yang selalu mengganggu dengan ngajak nonton terlebih tapi selalu ada saat suka dan duka, kepada teman sepelayanan Pak Rewes, Debby, Horas, Wina, David, Bonny, Santi, Tere, Hendra, terimakasih buat dukungan doa kalian semua.

Terimakasih buat para informan yang tak dapat disebutkan satu persatu dan kepada staff tata usaha Etnomusikologi, dan yang memberi banyak informasi dan bantuan selama ini, dan tak lupa juga dengan murid-murid lesku yang penuh pengertian rela untuk menunda les selama beberapa waktu.

Kepada teman seperjuanganku “bengbeng club” Leoni, Adji, Siti yang terus saling mengingatkan untuk terus semangt mengerjakan skripsi ini, terimakasih banyak sahabatku. Terimakasih juga buat teman seperjuangan Etno CCB 0’11 yang sepakat untuk wisuda bareng Debby, Lisken, Agnes, Linfia, Trifose, Oktika, Mahyun, Stefani, Tari, Riri, Sopandu, Josua, Memed, Komting, Ardi, Jose, Erwin, David, Gok, Kawan, Zani, Alfred, Agri, Coy, dll, semoga terwujud segala cita-cita kita dan persahabatan ini abadi selamanya.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pihak- pihak yang turut berperan dan terlibat secara langsung atau tidak langsung semoga Tuhan yang membalas kebaikan yang telah diberikan. Akhir kata, penulis memohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan didalam hati. Semoga hasil penelitian ini memberi kontribusi pada disiplin Etnomusikologi dan dan memperkaya catatan-catatan kebudayaan Nias.

Penulis,

(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

BAB I: PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Pokok Permasalahan... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat...6

1.3.1 Tujuan...6

1.3.2 Manfaat...7

1.4 Konsep dan Teori ...7

1.4.1 Konsep...8

1.4.2 Teori...9

(10)

1.5.1 Studi Kepustakaan...11

1.5.2 Kerja Lapangan...13

1.5.3 Wawancara...14

1.5.4 Perekaman Data Visual dan Audio...15

1.5.5 Kerja Laboratorium...15

1.5.6 Pemilihan Lokasi Penelitian...16

BAB II: LATAR BELAKANG KEBUDAYAAN NIAS 2.1 Sejarah Suku Nias...17

2.1.1 Kontak Dengan Eksternal...21

2.1.1.1 Kontak Dengan Orang Aceh...21

2.1.1.2 Kontak dengan Orang Minangkabau...22

2.1.1.3 Kontak Dengan Orang Belanda...24

2.1.1.4 Kontak Dengan Orang Inggris...25

2.1.1.5 Kontak dengan Orang Jepang...26

2.1.1.6 Kontak Dengan RMG Jerman...26

2.6.6.1 Kerjasama Jerman dan Belanda...28

2.2 Masyarakat Nias di Medan...28

2.3 Bahasa...30

(11)

2.5 Sistem Kepercayaan...35

2.5.1 Agama Leluhur...35

2.5.2 Agama Negara...37

2.6 Musik dalam kebudayaan Nias...39

2.7 Kebudayaan Nias Pada Masa Sekarang...44

BAB III: LATAR BELAKANG BERDIRINYA BNKP 3.1 Kebaktian Kelompok Desa: Cikal Bakal Berdirinya BNKP...45

3.2 Berdirinya BNKP sebagai sebuah Institusi Gereja Lokal...47

3.3 Jemaat BNKP...58

3.4 Departemen Musik Teladan BNKP: Tugas dan Tanggungjawab...61

3.5 Publikasi Musikal BNKP: Zinunö...64

3.6. Kebutuhan Akan Nyanyian Jemaat...66

IV. DARI SURA ZINUNÕ BA NIHA KE BUKU ZINUNÕ BNKP: MENELUSURI REVISI BUKU NYANYIAN JEMAAT BNKP 4.1. Penggunaan Buku Zinunö oleh BNKP...67

(12)

4.3. Sistem Transmisi Lagu Dalam Buku Zinunö Kepada Jemaat...78

4.4. Latar Belakang Terjadinya Revisi Pada Buku Zinunö BNKP...80

4.5. Latar Belakang Tema Fanusugi Dödö Dalam Buku Zinunö...82

BAB V: ANALISIS IDENTITAS KEBUDAYAAN MUSIKAL NIAS DALAM BUKU ZINUNÖ BNKP . 5.1 Kebudayaan Musikal Nias...84

5.1.1 Instrumen Musik Nias...86

5.1.2 Musik Vokal Nias...96

5.2 Analisis Identitas Musikal Nias yang Terkandung dalam Zinunö BNKP....104

5.2.1 Analisis Lagu Yesu Sauri dan Fanawögu Oroisa...108

5.2.2 Analisis Lagu Misunosuno Zo‟aya...110

5.2.3 Analisis Lagu Omusomuso Dödö Zamati...111

5.3 Materi dan Hubungan masing-masing Revisi... 112

5.4 Kontribusi Kebudayaan Lokal...128

BAB VI: PENUTUP 6.1 Kesimpulan...125

6.2 Saran...128

(13)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul: Studi Deskriptif dan Analitis Identitas Musikal Nias

yang Terkandung Dalam “Zinunö BNKP”. Tulisan ini mengkaji kandungan

aspek identitas musikal masyarakat Nias dalam sebuah kumpulan nyanyian

berbahasa Nias yang menjadi materi utama didalam kebaktian keagamaan orang Nias

yang dikenal dengan nama “ Zinunö BNKP”. Tujuan penelitian ini yaitu untuk

mengetahui latar belakang sejarah perkembangan Buku Zinunö yang telah mengalami

7 revisi sejak tahun 1898-2014, termasuk alasan revisi, serta bentuk kontribusi

kebudayaan Nias. Dengan metode deskriptif- analitis, penelitian membahas

bagaimana hubungan setiap revisi dan apa saja yang menjadi gambaran dari

masing-masing revisi.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa buku Zinunö adalah sebuah catatan

perkembangan kebudayaan Nias tidak saja dari aspek religius, sosial, pendidikan,

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Buku Zinunö adalah sebuah buku nyanyian atau himne yang digunakan dalam kebaktian gereja BNKP Banua Niha Keriso Protestan). Nyanyian sangat penting dalam ibadah, sebabsebagian besar porsi ibadah dalam gereja adalah menaikkan pujian dan penyembahan kepada Tuhan lewat lagu. Begitu pentingnya nyanyian dalam gereja sehingga Marthin Luther seorang tokoh gereja Protestan era Reformasimengatakanbahwa gereja yang sejati adalah gereja yang bernyanyi1. Nyanyian yang berisi lirik- lirik pujian memiliki makna yang sangat dalam karena didalamnya terkandung ungkapan isi hati orang percaya terhadap iman Kekristenan mereka. Oleh karena itu, butuh proses yang panjang dan cukup lama dalam menyusun sebuah buku nyanyian untuk layak digunakan sebuah ibadah.

Dalamtahap pembuatanbuku zinuno saya merasaada banyak hal yang terjadi dibalik proses tersebut yang layak diangkat dan diketahui.

ZinunöMembaca kata sambutan yang disampaikan oleh Ephorus BNKP dalam Buku Zinuno terbitan tahun 2014 saya dihadapkan pada sebuah fenomena tentang latar belakang perkembangan buku zinuno BNKP. Berdasarkan keterangan

1

(15)

beliau, sejak Injil2masuk ke pulau Nias pada tahun 1865, para missionaris3sudah merencanakan untuk menyusun sebuah buku kidung berbahasa Nias yang akan digunakan dalam kelompok-kelompok masyarakat yang sudah , walaupun sebenarnya sulit untuk menghadirkan bukti tentang rencana yang dimaksudkan beliau4. Sebab, pada saat itu tak ada satupun organisasi gereja yang terbentuk sehingga ibadah dilakukan dengan cara berkelompok.

Menurut keterangan Ephorus BNKP, buku nyanyian pertama yang berhasil dibuat diberi judul "Sura Zinunö ba Danö Niha” ( Niassisches Gesang- Buchlein),

jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia mengandung arti “ Buku Nyanyian di Tanah Nias”, pada tahun 1898 di Ernst Siedhoff, Bielefeld, Germany.Tujuh tahun

setelah itu diperbahui kembali yaitu pada tahun 1905 berisi lirik lagu dan notasi balok dan dicetak di Leipzig, Germany. Kemudian pada tahun 1923 Buku Zinunö mengalami revisi kembali dengan penambahan lagu- lagu baru di buat di Missions Druckerei Ombolata. Pada saat itulah baru terdapat beberapa orang Nias yang ikut berpartisipasi dalam menyusun buku nyanyian tersebut.Mereka adalah Penatua Lotebulo, Penatua Ama Gana‟a, Penatua Ama Janaoli, Pendeta Ama Masia, Pdt. Ligi,

Penatua Sarambowo, Guru lo‟a, Penatua Tao Bini, Guru Nga, Guru Tabisa, Guru

Saloe-saloe, Pdt. Ama Wiro, Ketua Adat Ama De‟ali, dan Guru Amatia, bekerja sama

dengan Missionaris E. Fries; H. LAgeman, C. Ufer, Frickernschmidt; G. Marg.

2

Injil berasal dari bahasa Yunani yaitu "euanggelion" yang artinya "kabar baik" atau "good message"tentang kemuliaan dan Rahmat Allah yang inti isi beritanya adalah Pertobatan,

Pengampunan Dosa dan Hidup Yang Kekal di dalam Yesus Kristus.

3

Orang yg melakukan penyebaran warta Injil kpd orang lain yg belum mengenal Yesus; 2 imam Kristen atau Katolik yg melakukan kegiatan misi (sumber KBBI)

4

(16)

Dungs; G. Ottolie Schl; E. (Schlipkoter). Revisi berikutnya masih pada masa missionaris dibuat pada tahun 1931 di Wuppertal, Germany.dan diberi judul “ Buku

Zinunö Mbanua Niha Keriso P rotestan Ba Dano Nias Indonesia” (BukuNyanyian

Umat Kristen Protestan di Tanah Nias Indonesia). Kemudian di perbanyak pada tahun 1952 di Wuppertal- Barmen, Germany.

Beliau menambahkan setelah Yubellium 100 tahun kabar injil di Nias revisi sudah terjadi sebanyak 3 kali yaitu Buku Zinunö terbitan tahun 2000, dan buku terbitan tahun 2005 yang sudah memuat notasi angka dan di cetak di Nias. Namun, pada Persidangan Majelis Sinode5 BNKP ke -54 yang di adakan di Teluk Dalam, Nias Selatan memutuskan untuk memperbaharui kembali Buku Zinunö BNKP dengan tujuan lagu-lagu didalamnya lebih tersusun rapi dan dikelompokkan berdasarkan tema yang sudah di tentukan. Sebagai lanjutan dari keputusan di atas, maka pada tahun 2009 BPHMS (Badan Pengurus Harian Majelis Sinode) BNKP memberi mandat kepada Tim Revisi Buku Zinunö BNKP untuk melakukan revisi. Hasil revisi mereka yang terbaru di beri judul Buku Zinunö BNKP yang di cetak tahun 2014 dan memuat lagu-lagu lama yang beberapa liriknya mengalami penambahan, berikut dengan penambahan thema lagu “F anusugi Dödö” (Pengingat Sanubari/Hati) yang berisi lagu-lagu yang diciptakan oleh orang Nias sendiri.

Sekilas memperhatikan Buku Zinunö, penulis melihat bahwa nyanyian dikemas dalam bentuk himne sederhana yang mudah untuk dinyanyikan oleh jemaat.

5

(17)

Tempo yang sedang dan jumlah birama yang tidak begitu banyak juga memberi keterangan bahwa Zinunö dapat menyatukan jemaat dari berbagai kalangan termasuk orang tua dan lansia (lanjut usia) untuk dapat mengingat lebih banyak deretan lagu terutama karena penggunaan melodi yang bersifat repetitif. Salah satu hal yang menarik adalah nyanyian ciptaan masyarakat lokal yang ikut tercantum dalam Buku Zinunö. Kumpulan lagu-lagu ini dikelompokkan dalam tema “F anusugi Dödö (

Pengingat Hati/Sanubari). Salah satu lagu ciptaan orang Nias yang paling sering dinyanyikan oleh jemaat BNKP adalah lagu dalam “Buku Zinunö 2014 no. 498

Na’irugi inötö” bila diterjemahkan artinya „jika waktunya sudah tiba‟. Fenomena ini mengisyaratkan kepada penulis bahwa jemaat memberi respon positif dan sangat antusias terhadap zinunö- zinunö lokal. Penulis juga menemukan bahwa pencipta lagu tidak dicantumkan dalam Buku Zinunö sebelumnya kecuali terbitan tahun 2014. Bahkan nama-nama komposer lagu- lagu Nias tidak dituliskan, melainkan diwakilkan oleh nama sebuah tim yang disebut tim revisi.

(18)

Berdasarkan uraian diatas tentunya ada alasan-alasan tertentu mengapa revisi terjadi dan apa yang menjadi kontribusi kebudayaan setempat sehingga buku Zinunö dapat menjadi sebuah cerminan identitas musikal kebudayaan Nias. Oleh karena itu saya tertantang untuk mengetahui lebih dari sekedar yang sudah tertulis di dalam kata pengantar tersebut mengenai latar belakang perkembangan buku ini. Dua hal yang ingin saya lihat di dalam penelitian ini pertama apakah hubungan masing- masing revisi dan bagaimana buku ini menjadi sebuah catatan perkembangan kebudayaan Nias tidak saja dari religius, pendidikan, ekonomi dan teknologi tetapi dari aspek musikalnya.

Berdasarkan hal dan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikemukakan diatas, penulis tertarik untuk membahas nyanyian jemaat BNKP dan dituliskan dalam karya ilmiah dengan judul: “STUDI DESKRIPTIF DAN ANALITIS IDENTITAS

MUSIKAL NIAS YANG TERKANDUNG DALAM “ZINUNÖ BNKP”

1.2 Pokok Permasalahan

(19)

Hasil analisa dari ketujuh buku zinuno dan informasi yang didapat dari beberapa narasumber salah satunya adalah anggota Tim Revisi Buku Zinuno, Pdt. Tuhoni Telaumbanua selaku Ephorus serta Ibu Dorkas selaku sekretaris organisasi gereja BNKP, diharapkan mampu menunjukkan bahwa buku ini bukan hanya sekedar buku panduan jemaat dalam bernyanyi namun juga menjadi kumpulan catatan yang mengandung nilai sejarah masyarakat Nias baik dari segi sosial, religius, pendidikan, ekonomi, teknologi dan kekayaan musikal.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan

1.Untuk mengetahui latar belakang sejarah perkembangan Buku Zinunö BNKP. 2. Untuk mengetahui alasan mengapa Buku Zinunö BNKP mengalami revisi.

3. Untuk megetahui hubungan masing- masing revisi dan gambaran dari masing- masing revisi.

4. Untuk mengetahui bentuk kontribusi dari kebudayaan Nias dalam penyusunan buku ini.

1.3.2 Manfaat

(20)

2. Untuk menambah referensi tentang perkembangan nyanyian gerejawi khususnya Buku Zinunö yang dalam konteks kebudayaan masyarakat Nias.

3. Sebagai referensi penelitian berikutnya dalam aspek Nyanyian Gereja di Nias.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Ada beberapa konsep dasar yang perlu dijelaskan dalam penulisan skripsi ini. Konsep merupakan suatu definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala (Mely Tan dalam Koentjaraningrat, 1991: 21). Konsep dimaksudkan untuk memberi definisi dan pembatasan pemahaman.

Deskripsi analitis terdiri dari 2 kata yaitu deskripsi yang artinya menguraikan apa adanya, sedangkan analitis adalah menjelaskan secara lebih dalam dan detail dengan focus pertanyaan kenapa, dan bagaimana. Berarti deskriptif- analitis adalah penyelidikan dan penguraian terhadap masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah. Adapun objek penelitian yang akan diuraikan adalah identitas musikal Nias yang terdapat dalam Zinunö BNKP.

(21)

lain. ( Kumbara, 2008: 316). Berdasarkan pengertian diatas dapat dipahami bahwa identitas dapat menumbuhkan rasa saling memiliki dan kebersamaan diantara komunitas sekalipun berada ditempat yang jauh dari tempat asalnya.

Identitas musikal adalah sebuah gaya atau ciri khas musik yang terdapat dalam sebuah komunitas dan membuatnya berbeda dengan yang lain. Identitas musikal Nias merupakan sebuah gaya atau ciri khas musik yang ada pada etnis Nias. Identitas musikal Nias dapat dididentifikasi dari musik lokal baik dalam bentuk instrumental ataupun dalam bentuk vocal.Dalam hal ini yang menjadi kajian identifikasi adalah Zinunö BNKP.

Zinunö BNKP adalah lagu atau kidung yang sering digunakan dalam ibadah- ibadah gereja BNKP baik di Nias maupun di luar Nias. Lagu- lagu tersebut kebanyakan berasal dari himne Jerman yang diterjemahkan kedalam bahasa Nias, hal ini dapat dilihat dari catatan kaki setiap lagu yang ada dalam buku Zinunö BNKP.

BNKP (Banua Niha Keriso Protestan, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki arti Himpunan atau kelompok masyarakat Kristen Protestan) adalah sebuah istitusi gereja yang beraliran Lutheran6 dimana dominan jemaatnya adalah orang Nias, kendatipun terdapat jemaat diluar masyarakat Nias.

6

(22)

1.4.2 Teori

Dalam pembahasan ini teori dapat digunakan sebagai landasan dan kerangka berpikir dalam membahas setiap permasalahan.

Menurut Anya P. Roiceidentitas adalah gabungan dari keseluruhan rasa yang terkait dengan nilai- nilai, simbol serta kesejarahan yang memberikan penekanan karakter suatu masyarakat (Roice dalam Purba 2014:265).

Lebih detail Tagor Nainggolan menambahkan dalam bukunya Batak toba di Jakarta : Kontinuitas Perubahan Identitas bahwa:

“ Ada 2 pengertian yang mendasar tentang identitas. Pertama, identitas mengacu

pada persamaan atau kesamaan yang dimiliki oleh sekelompok orang sehingga membuat sekelompok orang bersatu. Kedua, identitas mengacu pada keunikan suatu kelompok etnis sehingga membedakan mereka dengan etnis lain ( tagor Nainggolan dalam jurnal Mauli Purba 2014:265)”a.

(23)

Mauli Purba dalam artikelnya, Empat Komponen Kebudayaan Musikal Yang

P erlu Dipahami Dalam Rangka P engembangan Musik paduan Suara

Etnismenjelaskan bahwa setiap tradisi musikal suatu masyarakat pastilah memiliki

systemmusiknya sendiri. System music tersebut adalah sebuah kekayaan yang unik dan merupakan ciri khas masyarakat penyandang tradisi tersebut yang terinternalisasi dalam diri setiap anggota masyarakat tersebutb1Oleh karena itu Jeff Todd Titon,menegaskan bahwa kebudayaan masyarakat itu terdiri dari 4 komponen yang saling terkait yaitu : Ideas About Music, Sosial Organization of Music, Repertoire of Music, dan Material Culture of Music.Teori dari Jeff Titon juga membantu penulis untuk memahami identitas masyarakat Nias terhadap musiknya. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana kepercayaan mereka tentang musik, apa yang indah menurut orang Nias, dalam konteks apa saja musik digunakan, termasuk didalamnya style, teks, dan bagaimana cara mengajarkannya.

1.5 Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian penulis mengacu pada pendapat Nettl (1964:62) yang mengatakan ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi, yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work).

(24)

Zinunö sedangkan analitis adalah mencari penjelasan lebih dalam mengenai topik tersebut dengan fokus pertanyaan mengapa, kapan, dimana, siapa, dan bagaimana.

Dalam melakukan penelitian terhadap bahan tulisan ini, penulis melakukan beberapa tahapan kerja yang terdiri dari studi kepustakaan, pengumpulan data dilapangan, dan bimbingan secara formal ataupun nonformal dengan dosen pembimbing dan kerja laboratorium meliputi pembahasan dan penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian sebelumnya, dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini. Dalam hal ini penulis mengadakan penelusuran kepustakaan untuk memperoleh pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti.

(25)

membahas permasalahan dalam tulisan ini sekaligus untuk menghindari kesamaan topik pembahasan.

Beberapa tulisan yang berhubungan dengan penelitian ini adalah:

Skripsi Brian Lasso Harefa yang berjudul“ Analisis fungsional dan Musikal

Ansambel Mamozi Aramba Dalam Kebudayaan Nias di Gunungsitoli. Skripsi ini membahas tentang ansambel musik yaitu mamozi aramba yang ada dalam kebudayaan Nias dalam konteks fungsional dan musikal. Kemudian, artikel yang ditulis oleh Pdt. Dr. Tuhoni Telaumbanua berjudul “ Kearifan Lokal Dalam Konteks Nias”. Artikel ini membahas kearifan lokal dalam adat- istiadat selingkaran hidup,

kearifan lokal dalam sistem kemasyarakatan, kearifan lokal dalam sistem kepercayaan asli, kearifan lokal dalam seni, kearifan lokal dalam menghadapi bencana kearifan lokal dalam sistem mata pencaharian, dan kearifan lokal dalam kepemimpinan. Selanjutnya buku yang di tulis oleh Lucas Partan Koestoro & Ketut Wiradyana berjudul “ Tradisi Megalitik di Pulau Nias” yang membahas tentang

warisan kebudayaan Nias dengan objek megalitik yang juga berhubungan dengan sistem kepercayaan orang Nias pada masa lalu. Thesis Ramli SN Harahap berjudul “

A History of Christianity”. Tulisan ini membahas asal mula kekristenan dan proses

masuknya kekeristenan di Indonesia. Artikel yang di postkan ke blog resmi milik BNKP yang berjudul “ Sejarah Singkat Datangnya Berita Injil di Nias”. Artikel ini

(26)

Sejauh ini, penulis belum pernah menemukan kepustakaan yang yang membahas mengenai buku Zinunö secara spesifik. Namun demikian tulisan- tulisan diatas sangat kaya dengan informasi yang dapat saya gunakan sebagai identifikasi kebudayaan Nias, namun buku- buku diatas tidak ada hubungannya sama sekali dengan buku Zinunö

1.5.2 Kerja Lapangan

Penelitian lapangan ini dilakukan dengan metode pengumpulan data dengan cara wawancara dan perekaman. Sebelum wawancara, penulis menyusun daftar pertanyaan untuk mengarahkan kepada pokok permasalahan yang ingin penulis ketahui. Namun demikian penulis tetap akan mengembangkan pertanyaan kepada hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Penelitian kualitatif menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data/informan yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya.

(27)

Penulis akan melakukan kerja lapangan dengan mendatangi gereja dan juga menghadiri ibadah di jemaat BNKP yang pada dasarnya selalu menggunakan buku Zinunö. Ibadah ini termasuk ibadah raya Minggu, ibadah tengah minggu, dan latihan musik yang diselenggarakan oleh gereja.

1.5.3 Wawancara

(28)

Pada tahap ini penulis akan mencari informasi dengan mengadakan wawancara dengan tokoh-tokoh yang ikut mengambil andil dalam pembuatan buku ini. Salah satunya adalah Bapak Yas. Harefa dan Pdt. Arr. Gea yang ikut dalam Tim Revisi dan banyak mengetahui tentang buku ini. Tokoh lain adalah Pdt. Tuhoni Telaumbanua selaku Ephorus BNKP yang juga diperkirakan memiliki buku-buku dari cetakan awal hingga akhir, beliau juga mengetahui sejarah perkembangan buku ini. Dalam hal kebijakan gereja, Ibu Dorkas selaku sekjen BNKP juga dapat memberi informasi mengenai aturan-aturan dan kebijakan yang ada dalam organisasi gereja BNKP.

1.5.4 Perekaman Data Visual dan Audio

Perekaman data baik itu visual dan audio merupakan salah satu bagian terpenting juga yang digunakan penulis untuk mengumpulkan data selain menggunakan teknik wawancara. Perekaman data visual dan audio dilakukan secara langsung pada saat ibadah sedang dilakukan. Perekaman dan pemotretan data ini di lakukan dengan menggunakan Camera DSLR Canon dan Handphone Samsung

Galaxy Grandprime. Media digunakan untuk merekam Zinunö yang dinyanyikan

oleh jemaat dalam ibadah. Hasil rekaman ini menjadi data yang selanjutnya akan dianalisis.

1.5.5 Kerja Laboratorium

(29)

mengolah data, penulis melakukan proses menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis melakukan pendekatan deskriptif guna pengolahan dan penganalisisan data.

Transkripsi yang ada didalam tulisan ini menggunakan notasi angka. Sebagian materi sudah terlebih dahulu ditranskripsikan didalam Buku Zinunö. Penulis akan menggunakan notasi barat untuk menjelaskan bagian- bagian tertentu.

1.5.6 Lokasi Penelitian

Tempat penelitian yang dipilih penulis adalah gereja BNKP Teladan Medan di

(30)

BAB II

LATAR BELAKANG KEBUDAYAAN NIAS

Pada bab II akan dijelaskan secara singkat gambaran mengenai suku yang menjadi bahan penelitian penulis. Penjelasan meliputi sejarah suku Nias, kontak eksternal, masyarakat Nias di Medan, bahasa, dan sistem kekerabatan. Lebih jauh akan dijelaskan sistem kepercayaan masyarakat setempat untuk mengetahui agama leluhur dan masuknya agama-agama yang lain mengingat tulisan ini membahas Zinunö yang digunakan oleh jemaat BNKP. Aspek-aspek lain yang penting dibahas adalah kesenian lokal yang menjadi kebudayaan masyarakat setempat. Berikut adalah uraian tersebut secara umum.

2.1 Sejarah Suku Nias

Suku Nias adalah kelompok dominan masyarakat yang mendiami Pulau Nias, termasuk wilayah-wilayah Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, dan Kabupaten Nias Utara, Sumatera Utara. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha". „Ono‟ artinya„anak‟ atau „keturunan‟ dan„niha‟ artinya „manusia‟ dan Pulau Nias disebut sebagai "Tanö

Niha". „Tanö‟ adalah„tanah‟ dan „niha‟ adalah „manusia‟(Zebua, 2008:1).

(31)

asal- usul mereka. Hal ini dapat diketahui dari cerita legenda, dan syair yang disebut hoho. Hoho yang yang berkembang di Nias menyebutkan bahwa penguasa alam semesta adalah Lowalangi, atau sering disebut Langi Sagoro. Langi memiliki 2 orang istri yang pertama adalah Sirici yang kemudian melahirkan Bela, sedangkan istri kedua bernama Sinaria yang kemudian melahirkan Nadaoya. Suatu hari Langi Sagoro memerintahkan putrinya Bela untuk turun kebumi menggunakan liana laraga yaitu sejenis tumbuhan yang biasa merambat dipohon. Onombela dikenal memiliki kulit yang sangat putih dan cantik parasnya. Karena kecantikan yang dimilikinya membuat onombela khawatir akan keselamatannya dan memilih untuk bersembunyi di hutan dan digoa. Onombela memiliki kekuasaan atas hutan dan segala jenis binatang yang ada. Onombela inilah yang kemudian menjadi leluhur ono niha. (Hammerle 2008:104-126). Namun demikian, legenda ini adalah sejarah lokal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Disisi lain, ada berbagai spekulasi teoritis mengenai asal- usul orang Nias Dari perspektif ilmiah, banyak studi yang telah dilakukan untuk mengetahui asal- usul Suku Nias, antara lain studi- studi yang dilakukan Sony Wibisono7, Herawati Sudoyo8, Prof. Harry Truman Simanjuntak9, dan Mannis van Oven10. Beberapa diantaranya berpendapat bahwa Pulau Nias sudah dihuni manusia sejak 12.000 tahun silam; mereka bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa

7

Penelitian Arkeologi Nasional

8

Deputi Direktur Lembaga Eijkman

9

Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta

10

(32)

paleolitik11.Prof. Simajuntak lebih jauh menegaskan akan adanya indikasi bahwa Pulau Nias sudah dihuni sejak 30.000 tahun lampau. Pada masa itu hanya budaya

Hoabinh12Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga

diduga kalau asal usul suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam13 (F. Zebua 2008:4). Penelitian genetika terbaru menemukan bahwa masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu. Mannis van Oven, mahasiswa doktoral dari Department of Forensic Molecular Biology, Erasmus MC-University Medical Center Rotterdam beserta dengan tim meneliti 440 contoh darah warga di 11 desa di Pulau Nias dan memaparkan bahwa dari semua populasi yang telah diteliti, kromosom- Y dan mitokondria- DNA orang Nias sangat mirip dengan masyarakat Taiwan dan Filipina14. (Oven 2000: 300 -349).

Zebua didalam bukunya, Kota Gunungsitoli: Sejarah Lahirnya dan

P erkembangannya, mengungkapkan bahwa asal usul leluhur pertama Ono niha turun

dari negeri asalnya Tetehöli Ana'a ( kira-kira dari Indocina-Vietnam sekarang) antara 2000-1000 BC. Mereka berjumlah 5 orang yang disebut Silima Börödanömö ( Lima Induk Puak) datang berurutan dalam selang waktu yang relatif singkat. Ketika para leluhur pertama itu tiba di Tanö Niha, tidak seorang pun manusia yang

11

Paleolitik (palaeolithic) adalah sebuah terminologi didalam antropologi yang menegaskan sesuatu yang berhubungan dng penamaan tingkat tradisi kebudayaan atas dasar teknik pembuatan alat batu dari masa berburu dan mengumpulkan makanan (Kamus Antropologi, 2006:127)

12

Nama salah satu kota di Vietnam

13

Harian Kompas Selasa, 16 April 2013

14Ove va Ma is. . U e pe ted Isla d Effe ts at a E tre e:redu ed Y

-Chro oso e a d ito ho drial DNA diservisit i Nias dala jur al Moleculer Biology and

(33)

mendahului mereka sehingga mereka dan keturunan mereka menjadi etnis pertama dan penduduk asli di TanöNiha dan kepulauan sekitarnya. Keturunan dari masing-masing leluhur Silima Börödanömömemakai identitas. Mula-mula mereka memakai istilah ono (anak) atau iraono (jamak dari anak), misalnya ono Delau,ono Dohulu,

iraono Lase, iraono Huna dan sebagainya. Tetapi kemudian pada zaman

pemerintahan Belanda (sewaktu dikeluarkan zirat Pas yaitu sejenis Kartu Penduduk) mulai dipergunakan istilah mado (dari madou artinya cicit-piut, bani). Istilah mado bukan hanya diambil dari nama leluhur pertama itu tetapi juga dari nama leluhur berikutnya yang lebih terkenal jaya menurut mereka (menurut gelar karena pesta adat"owasa15").

Sebutan “Nias” yang dikenal sekarang ini sebenarnya bukanlah merupakan

bahasa asli ono niha (orang Nias). Dalam bahasa Nias, orang Nias menyebut diri mereka sebagai ono niha (anakmanusia) dan tempat mereka berada sebagai Tanö niha (tanah manusia). Istilah Niaskemungkinan merupakan istilah yang ditimbulkan semasa penguasa bangsa barat, yangkarena faktor bahasa menyebutkan istilah niha dengan nihas (Nias). Perubahan nama inijuga terjadi dalam menyebutkan nama-nama berbagai tempat di Nias, seperti KotaGunungsitoli yang dalam bahasa dahulu kala disebut luaha. Nama Gunungsitoli kemungkinan berasal dari kata onozitoli yang merupakan nama suatu daerah di dekat Gunungsitoli sekarang ini.

15Owasa

(34)

Terlepas dari spekulasi-spekulasi yang sudah disampaikan baik secara ilmiah maupun secara lisan, orang Nias sudah tinggal di pulau Nias sejak zaman dahulu. Mereka berkembang tidak saja dalam hal agama dan kepercayaan tetapi juga dalam hal pendidikan, ekonomi, teknologi, maupun politik. Sementara terkait asal- usul leluhur orang Nias masih belum diketahui secara jelas dan pasti. Kendatipun demikian dari manapun Ono Niha berasal, mereka telah membangun sistem kehidupannya baik organisasi sosial, sistem kepercayaan, kearifan lokal, maupun bidang kesenian.

2.1.1 Kontak Dengan Ekternal

2.1.1.1 Kontak Dengan Orang Aceh

(35)

Beberapa tahun kemudian, karena telah bekerja baik dan jujur, maka Tengku Polem dikawinkan dengan Kabowo, anak perempuan Harimao Harefa (dengan sistim

Ono Yomo = menantu yang diangkat anak sementara). Dan perkawinan itu, mereka

mendapat anak laki-laki: Simaoga (Simeugung) dan perempuan Siti (Siti Zohora). Setelah baginda Harimao Harefa meninggal dunia, Tengku Polem bersama dengan ipar-mertuanya Ko owa Kehemanu Harefa (dengan saudara Fagowa dan Kehomo) pindah dari Onozitoli. Mula-mula mereka bermukim di Osalafakhe-Turewodo, lalu di Tetehosi Miga, terus di Dahana„uwe (desa Lasara sekarang). Untuk sementara Tengku Polem sekeluarga tinggal bersama ipar-mertuanya Ko owa Kahemanu. Kemudian kepadanya diberikan tempat pemukimannya di Siwulu (desa Mudik sekarang). Setelah bermukim di Siwulu, Tengku Polem menyuruh anaknya Simeugang belajar Agama Islam di Meulaboh sampai belasan tahun di sana16.

2.1.1.2 Kontak Dengan Orang Minangkabau

Pada tahun 1109 H (1669 AD), sebuah perahu layar dari Minangkabau menuju Aceh Barat diserang angin taufan, sehingga terdampar di Teluk Tolubalugu (Teluk Belukar sekarang, 15 km dari Gunungsitoli). Setelah mendapat informasi dari penduduk setempat, perahu tersebut kembali berlayar melalui pelabuhan Luahanou di Gunungsitoli. Pemimpinnya ialah Datuk Ahmad Caniago bersama dengan Ahmad Linto (Rinto), dan Datuk Kumango serta beberapa teman lain. Mereka berasal dari Kampung Dalam, Negeri P ariaman, P adang P anjang, Luhak Tanah Datar,

16

(36)

Minangkabau. Mereka berlabuh di Luahanou. Tidak berapa lama kemudian mereka dapat menemukan Tengku Polem di Siwulu. Mereka itu disebut "Dawa Ndare" dan "Dawa Kumango"17.

2.1.1.2.1Kontak Dengan Etnis Melayu Lainnya A. Etnis Melayu

Selain Etnis Aceh dan Minangkabau yang berdomisili di Mudik dan tim tersebut di alas, masih ada etnis laindari Sumatera, yang datang dan tinggal menetap di Nias, terutama sekitar Gunungsitoli. Mereka semua disebut "Dawa Melayu" (Etnis Asing Beragama Islam).

B. Akibat Kehadiran Orang Melayu / Dawa Melayu

Kehadiran mereka di Nias umumnya dan di Gunungsitoli khususnya membawa kekacauan, bencana dan penderitaan penduduk, kehancuran Banua dan Ori. Tentang "Dawa Melayu" ini perlu disimak kembali tulisan Schroder:

"Dua bangsa mengeksploitasi keadaan ini untuk diri sendiri dan menghasut

sebanyak mungkin permusuhan di antara mereka. Mereka itu adalah orang

Aceh dan Melayu yang bermukim di sini. Dari semua daerah di Sumatera,

terdapat orang Melayu yang berhimpun di sini, di antaranya pencari harta

dan pelarian karena kejahatan".

Menurut penyelidikan Zebua, mereka berasal dari Mukomuko, Priaman,

17

(37)

Priangan (dekat Padang Panjang), Surabaya, Tarusan, Teloksemawe. Sedangkan kebanyakan etnis asing yang lain itu diketahui berasal dari Aceh, Bugis, Melayu atau Arab. Dengan nada serupa, majalah Tijdschr N.I.,berkata: "P elabuhan-pelabuhan ini (utara) menjadi tempat pelarian untuk orang-orang demikian dan daerah-daerah

lain yang mencoba mengingkari pemerintahan gubernemen". Sumber lain

mengatakan: "mereka bersikap angkuh terhadap orang-orang Nias, mengikatnya dalam dagang dan mencari keuntungan dengan segala cara yang memungkinkan

dengan mengorbankan orang Nias. Beberapa orang berhasil mengangkat dirinya

sebagai Kepala Kampung atau Kepala Negeri-negeri kecil dan berlindung di

belakang sejenis pertahanan Gubernemen Belanda... Rupa -rupanya mereka terlalu

lemah atau tak acuh untuk melindungi penduduk dengan kekerasan atas keberanian

orang-orang asing itu"18.

2.1.1.3 Kontak Dengan Orang Belanda

A. Kedatangan Orang Belanda

Bangsa atau Orang Belanda dipanggil oleh Ono Niha sebagai “Dawa (Naha) Balanda" sedang Orang Inggris disebut "Dawa / Niha Hagori”. Orang Belanda yang datang di Nias berstatus dua, yaitu: mula-mula (1669-1840) selaku pedagang, dengan nama organisasinya "Vereniging de Oost Indische Compagnie" alias VOC (= Perserikatan Dagang Hindia Timur). Dari istilah Compagnie (Kompeni), timbul istilah rakyat "komboni" (gomboni) Balanda; kemudian dengan status Pemerintah

18

(38)

dengan status Pemerintah Penjajah, yang disebut Gouvernement Nederland Oost Indie (= Pemerintah Hindia Timur Belanda). Karena rakyat telah biasa menyebut Belanda Pedagang adalah Komboni, maka Pemerintah Penjajah pun disebut saja Komboni, walaupun sebenarnya manurut bahasa Melayu, Gubernemen adalah Pemerintah (dari Gouverment), yang kemudian dibahasaniaskan oleh rakyat dengan kata "famareta".

Orang Belanda yang pertama kali datang di Tanö Niha ialah Davidson, Kepala Cabang VOC di Baros, untuk meneliti keadaan di Tanö Niha. Belai mencari kemungkinan diadakannya hubungan dagang, dengan mengunjungi pelabuhan-pelabuhan sekeliling Tanö Niha pada tahun 1665. Di samping tujuan utama ini, ia juga melaporkan bahwa ia telah melihat adanya pergaulan orang Nias dengan orang Melayu dan Agama Islam telah berpengaruh terhadap kehidupan kebudayaan dan kepercayaan Nias.

1.1.1.4Kontak dengan Orang Inggris

(39)

tersebut. Jadi baik-buruknya, manis-pahitnya kekuasaan Inggeris di daerah ini atau di kota Gunungsitoli hingga tahun 1825, tak ada dalam catatan sejarah.

2.1.1.5 Kontak dengan Orang Jepang

Pada masa perang Dunia II di Asia, Jepang menaklukkan Negara-negara jajahan Hindia Belanda secara serempak. Jepang menyerang Belanda di Indonesia pada Tanggal 8 maret 1942. Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati-Jawa Barat. Sejak Itu, Jepang yang berkuasa di Indonesia, termasuk di daerah Nias. Dalam bulan Maret 1942, tentara dan pemerintah (Dai Nippon) jepang tiba di Gunungsitoli, tanpa perlawanan Belanda dan Rakyat. Bahkan Orang Belanda, baik sipil maupun militer telah lebih dahulu dibekuk dan ditawan oleh barisan pejuang Putera Nias, sebagai pejuang kemerdekaan, sehingga kedatangan Jepang disambut dengan hangat dan akrab, dengan lebih dahulu di utus pemandu ke Sibolga. Bangsa Jepang dinamai Ono Niha “Nifo” atau “Zafa”.

2.1.1.6 Kontak dengan Misionaris R.M.G. Jerman

Ono Niha menyebut orang Jerman dengan sebutan “Dawa/NIha Geremani”.

(40)

Malaya-Malaysia), yaitu Pastor Vallon (Maret 1832). Beliau tinggal diNoord Nias berada di Gunungsitoli dan District Zuid Nias berada di Teluk Dalam19.

Namun kemudian pada tanggal 27 september 1865, misionaris Jerman utusan RMG (Rheinische Missionaris Gesellschaft) Barmen-Jerman bernama Ernst Ludwig Dennginger tiba dan menetap di Gunungsitoli. (Ia datang dari Padang setelah 6 tahun di situ dan dapat berbahasa Nias yang dipelajarinya dari Ono Niha yang tinggal di Padang). Lalu beliau terus menyebarkan agama Kristen Protestan di Gunungsitoli dan kampung sekitarnya. Kemudian pendeta-pendeta Jerman penggantinya menyebarkan agama Protestan ke seluruh Tanö Niha, dengan berpusat di Gunungsitoli.

Di samping agama, para Misionaris itu mengembangkan sekolah (Sikola

Ndraono = sekolah dasar yang dimulaidi Gunungsitoli pada Tahun 1866 oleh E.

Dennginger baru kemudian menyebar ke seluruh Tanö Niha). Sekolah tersebut disebut sekolah Zending20 (berkelas III, VI, V); selain itu ada sekolah guru Seminari dan sekolah Pendeta di Ombolata-Gunungsitoli, dan beberapa sekolah Injil (Sikola

Zinenge). Mereka juga mengembangkan kesehatan dengan mendirikan beberapa

poliklinik, Rumah Sakit penolong dan Rumah Sakit Besar di Gunungsitoli (1934). Di bidang Ekonomi mereka mendirikan Toko Henneman di Gunungsitoli (1908), dan pabrik Kopra (1913).

2.1.1.6.1 Kerjasama Jerman dengan Belanda

19

Op.cit, hal 99

20

(41)

Dalam usaha mengembangkan agama dan bidang-bidang lain tersebut di atas, pendeta misionaris Jerman menjalin kerjasama dengan pemerintah Belanda dan saling menjadi ujung tombak dan perisai untuk menghadapi Ono Niha sesuai dengan kondisi dan situasi. Pendeta Misionaris melemahkan dan mematikan perlawanan rakyat melalui pengajaran agama, mendamaikan dan mengampuni para pemimpin peperangan (seperti balugu Balohalu Waruwu pemimpin perlawanan dari daerah Ma‟u, beliau diampuni oleh Pendeta DR. W. H. sunderman di Lolowa‟u tahun 1901).

Pejabat pemerintah Belanda, menggerakkan pembangunan gereja, sekolah, rumah sakit, rumah guru, dsb, dengan menghukum rakyat pembangkang atau yang malas bergereja atau yang malas bersekolah. Pendeta Jerman yang dianggap fasih dalam bahasa Nias juga sering dipanggil oleh pemerintah Belanda dalam perkara-perkara rakyat. Dengan menjadi juru bahasa, banyak terbuka kedok dari juru bahasa orang melayu yang sengaja berkhianat dalam menerjemahkan ucapan setiap pihak dalam persidangan pengadilan, demi mencari keuntungan material dan politik mereka 21.

2.1 Masyarakat Nias di Medan

Tafonao menegaskan bahwa migrasi besar orang Nias diperkirakan sudah terjadi sejak abad ke-17 yaitu pada waktu terjadinya interaksi perdagangan dengan Arab dan bangsa Cina serta Hindia, pada saat berlangsungnya jalur perdagangan

21

(42)

menuju Barus22. Tanö Niha menjadi lumbung tempat penyimpanan bahan-bahan untuk kebutuhan selama berlangsungnya perdagangan di Baros. Nias merupakan daerah terdekat menuju Baros yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai daerah sehingga orang Nias mempunyai peran penting dalam kelangsungan perdagangan waktu itu seperti menyediakan tenaga kerja yang kuat dan mudah dihimpun, karena karakter orang Nias ialah menghormati dan patuh pada pemimpinnya. ( Tafonao, 2012:26)

Masyarakat suku Nias yang tinggal di Kota Medan (dahulunya Sumatera Timur) diperkirakan dimulai sejak dibukanya onderneming23perkebunan tembakau danperkebunan karet yang dikenal dengan HVA. Banyak orang Nias bekerja diperkebunan yang pada waktu itu karet menjadi “primadona” bagi orang

Belanda(Tafonao, 2012:30). Inilah awal dan sejarahnya masyarakat suku Nias tinggal dan menetap di Kota Medan. Factor lain yang menyebabkan terjadinya imigrasi adalah untuk mendapat kehidupan yang lebih baik dan layak serta mencari ilmu yang setinggi- tingginya, khususnya bagi para muda- mudi yang baru selesai menamatkan sekolahnya.Beberapa daerah yang ditempati orang Nias di Medan adalah Helvetia, Mandala, Kampung Susuk, Simalingkar, Padang Bulan, Sunggal, dan hampir disetiap daerah kita dapat menjumpai masyarakat Nias. Beberapa organisasi yang dibentuk di Medan adalah; STM Sehati, STM Faomakhöda, STM Kasih Karunia, STM Saradödö. Ada juga organisasi lain yang bersifat kepemudaan, gerejawi, pendidikan dan

22Tafo ao, Agus.

Analisis Musik Vokal Pada Pertunjukan Maena DalamPesta Adat Falöwa (Perkawinan) MasyarakatNias Di Kota Medan “kripsi. Meda : Fakultas Il u Buda a,

Universitas Sumatera Utara.

23

(43)

pembangunan juga berdiri di Kota Medan, seperti Gerakan Mahasiswa Nias (GMN), Generasi Muda Nias (Gema Nias), Forum Mahasiswa Nias Peduli Nias (FORMANISPE), Komisi pemuda BNKP Hilisawatö

2.2 Bahasa

Masyarakat Nias mempunyai bahasa ibu yang disebut Li Niha. Dahulu Sebelum ndrawa (orang yang bukan berasal dari suku Nias) datang ke Nias, semua orang di Niasmenggunakan Li Niha . Setelah terjadinya hubungan dengan orang asing, kemudian sebagian masyarakat Nias (khususnya di Gunungsitoli) mulai mengerti dan menggunakan bahasa Melayu (sekarang bahasa Indonesia) dan Belanda (khususnya pada masa penjajahan). Namun demikian, sampai sekarang masih ada masyarakat Nias yang masih belum mengerti bahasa Indonesia, khususnya pada masyarakat di pedalaman pulau Nias. Hal ini dibenarkan oleh pendapat Man Harefa selaku tokoh masyarakat, mengatakan bahwa masih banyak masyarakat Nias yang belum mengetahui bahasa Indonesia, terutama didaerah terpencil seperti pedalaman di daerah Nias Selatan (Gomo), maupun di tempat lainnya(Harefa, dalam Harefa 2012:42).

Satu keunikan dari bahasa Nias, yaitu huruf konsonan pada akhir kata tidak ada. Jadi apabila masyarakat Nias zaman dahulu jika berbicara dengan memakai bahasa Indonesia akan terlihat unik, contohnya kata „makan, minum, lem, dan

rumpu‟, ono Niha pasti akan berkata „maka, minu, le, da rupu. Hal ini disebabkan

karena struktur bahasa Nias yang tidak mempunyai huruf konsonan pada akhir kata.

(44)

dengan huruf ö24. Jadi bahasa Nias mempunyai 27 huruf. Masing- masing huruf dibentuk menjadi sebuah kata dan setiap kata berakhir dengan huruf vokal.

Kita mengetahui struktur bahasa Indonesia adalah „S-P-O-K‟, maka struktur

bahasa Nias berbeda. Menurut bapak Yas Harefa (2012) struktur bahasa Nias dimulai dari predikat subjek- objek- keterangan. Contoh perbedaan bahasa Nias dan Indonesia yaitu :

Bahasa Nias mempunyai logat dan intonasi yang berbeda-beda sesuai dengan daerah yang terbagi 3, yaitu utara, tengah dan selatan. Selain itu masyarakat Nias Utara dan tengah mempunyai perbedaan kosa kata dengan Nias Selatan. Masyarakat Nias dapat mengetahui orang tersebut apakah berasal dari Nias bagian utara, tengah atau selatan dari cara mereka berbicara dan intonasinya. Berikut contoh transkripsi bahasa Nias bagian utara, tengah dan Selatan (Harefa, dalam Harefa 2012:43).

Nias Utara : hezo möi’ö : kemana kamu pergi

Nias Tengah : hezo möi’ö : kemana kamu pergi

Nias Selatan : Haega hö möi : kemana kamu pergi

Pada masa penyebaran ajaran Kristen di Nias, para missionaris juga berusaha untuk melakukan pendekatan melalui li niha. Selama proses ini berlangsung, para

24Me urut Bpk Bu’ulölö. Huruf ö a g ada dala siste ahasa Nias erupaka pe garuh

(45)

missionaris banyak mengganti bahasa Nias dengan makna dan pemahaman yang baru untuk mempermudah ono niha memahami konsep ajaran Kristen. Beberapa diantaranya adalah:

1. Lowalangi sebagai Allah

Ono niha memiliki keyakinan bahwa Lowalangi adalah adu/dewa atau Tuhan yang tertinggi, Pencipta alam semesta dan berurusan dengan hidup dan mati. Ono niha sangat menghormati Lowalangi, sehingga dalam berbagai ritual mereka menggunakan jasa seorang ere 25 sebagai mediator kepada Lowalangi. Para missionaris menggunakan kata lowalangi sebagai nama Allah (Ellohim). Sehingga ketika ono niha memanggil nama lowalangi, mereka tidak lagi berfokus kepada adu tetapi kepada Ellohim (Tuhan).

2. Yesu Keriso sebagai Yesus Kristus

Penerjemahan ini disesuaikan dengan ejaan lokal karena li niha tidak menggunakan huruf konsonan pada setiap kata, sehingga Yesus diganti mengganti Yesu, dan Kristus diganti dengan Keriso. Oleh karena itu Yesu Keriso merupakan sebuah bahasa yang baru yang sama sekali tidak mengandung unsur agama primal sebelumnya.

3. Eheha Ni‟amoni‟ö sebagai nama Roh Kudus.

Pada zaman dahulu orang Nias percaya bahwa eheha dapat didapatkan oleh seorang anak muda tertua dalam keluarga sebelum ayahnya nyaris meninggal dengan

25

Sebutan untuk para pemimpin agama kuno yang menjadi pengantara antara ono niha

(46)

mendekatkan mulut si anak dengan mulut si ayah sebelum menghembuskan nafas terakhirnya untuk mendapatkan eheha, jika seorang anak tidak kuat untuk menerima eheha tersebut maka si anak dapat pingsan. Bagi ono niha eheha merupakan sebuah roh yang diturunkan mengandung kharisma, hikmat, kebijaksanaan, kekuatan dan keterampilan terutama dalam hal kepemimpinan. Eheha ini kemudian digunakan oleh missionaris untuk menggambarkan roh kudus yang memberi hikmat, ketentraman, dan kebijaksanaan. Ono niha tidak mengalami kesulitan untuk memahami hal ini dan langsung memberi respon yang positif terlebih para bangsawan.

Bahasa Nias juga mempunyai kata-kata yang artinya sama dengan suku lain (bahasa serapan). Contoh bahasa tersebut seperti asu, manga (mangan dalam bahasa Batak Toba), dan sebagainya. Bahasa serapan tersebut bisa ada dalam Li Niha diakibatkan karena kontak budaya, mungkin dahulu ada sesuatu benda yang namanya tidak terdapat dalam kosa kata bahasa Nias sehingga Ono Niha memakai bahasa tersebut. Bahasa Nias juga digunakan dalam ibadah gereja kesukuan seperti Amin ( Angowuloa Masehi Indonesia) dan BNKP.

2.4. Sistem Kekerabatan

Ono niha yang berasal dari satu satu garis keturunan disebut sisambua

mado. Mereka diikat oleh pertalian darah mengikuti garis keturunan ayah

(patrilineal). Setiap nenek moyang dan keluarga keturunannya memiliki atia nadu

yaitu generasi yang kesembilan perkawinan diantara keturunannya dilarang untuk

(47)

keturunannya tidak menjadi masalah lagi. Hanya saja persyaratan harus dipenuhi yakni dengan memisahkanatianaduketurunan tersebut dari kumpulanatianadu nenek moyang dan membayar pemisahan itu dengan memotong babi sebesar 4 alisi. Babi tersebut diberikan oleh pihak laki-laki. Jadi dengan terjadinya perkawinan ini berarti kawin dalam lingkungan marga atau mado yang sama. Itulah sebabnya di daerah Nias kita jumpai suami/istri yang marganya sama. Sistemkekerabatan yang ada di pulau Nias adalah sebagai berikut:

1. Ibu : Ina

2. Bapak : Ama

3. Nenek : Gawe

4. Kakek : Dua

5. Paman : Zibaya

6. Istri dari paman : Ina sakhi

7. Saudara/i tertua dari bapak/ibu : Ama sa‟a/ ina sa‟a 8. Saudara/i tengah dari bapak/ibu : Ama talu/ ina talu 9. Saudara/i dari bapak/ibu : Ama sakhi/ ina sakhi 10. Anak dari saudari dari ibu : Gasiwa

11. Anak dari saudara ayah : Ga‟a

(48)

tertinggi dalam pesta adat. . Selain itu keluarga yang memberi istri bagi anak laki-laki sangambatö merupakan satu kekerabatan yang disebut sitenga bö’ö. Kelompok ini diundang apabila sangambatö mengawinkan anaknya, mengaadakan pesta kematian atau pesta adat lainnya.

2.5 Sistem Kepercayaan

2.5.1 Agama Leluhur

Zaman dulu sebelum agama masuk ke Nias, masyarakat Nias menganut kepercayaan yang disebut sanömba adu. Yang secara harafiah dapat diterjemahkan

sanömba berarti menyembah, adu berarti patung ukiran yang terbuat dari kayu atau

batu. Jadi, sanömba adu berarti kepercayaan kepada patung-patung buatan manusia baik berupa kayu maupun batu-batu besar (owe). Adu ditempatkan di osali börönadu yaitu bangunan sebagai tempat ibadah religi sanömba adu. (Hammerle, 1995:56).

(49)

Dalam acara pemujaan dewa-dewa tersebut, mereka menggunakan berbagai sarana. Misalnya dukun atau pemimpin agama kuno (ere) sebagai perantara dalam menyampaikan permohonan selalu memukul fondrahi (tambur) pada saat menyampaikan permohonan dalam bentuk syair-syair kuno (hoho) atau mantera-mantera. Selain itu, para ere juga mempersiapkan sesajen, misalnya: sirih dan makanan lainnya untuk dipersembahkan kepada para dewa agar apa yang dimohon dapat dikabulkan. Sesajen dalam bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai kepingan emas juga diberikan supaya upacara pemberhalaan itu sempurna dan permohonan dikabulkan. Persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan tetapi setelah upacara penyembahan selesai, emas sering kali menjadi porsi ere pada akhirnya. Banyak benda-benda mati yang dipercayai seolah-olah hidup dan memiliki kekuatan supernatural (sakti) sehingga dijadikan jimat sebagai sumber dan penambah kekuatan/kekebalan. Dari bebatuan, misalnya: Sikhöri Lafau, KaraZi’ugu-ugu, Kara Mboli, Öri Zökha, dan sebagainya. Sesama manusia juga di“Ilah”kan (Telaumbanua, 2012:33). Hal ini tergambar dari

ungkapan seperti: sibaya ba sadono Lowalani(Lowalangi) ba guli danö. Artinya paman (saudara laki-laki sekandung dari ibu) dan orang tua merupakan jelmaan Tuhan yang hadir di bumi. Maka tidak heran kalau dalam tradisi kuno sebelum agama baru masuk di Nias, patung leluhur (AduZatua) selalu dibuat untuk kemudian diberhalakan.

(50)

meninggal dunia, memiliki kekuatan yang dapat melindungi serta menolong mereka. Sehingga mereka membuat tempat atau benda-benda seperti patung-patung yang terbuat dari batul. Mereka juga percaya akan tempat-tempat tertentu adalah tempat keramat,yang mana terdapat roh yang bisa berbuat sesuatu terhadap mereka. Untuk menghormati roh-roh tersebut mereka melakukan ritual berdoa atau sembahyang pada waktu-waktu tertentu dengan memberikan persembahan persembahan atau sesajian dan melakukan ritual dengan cara mengelilingi pohon-pohon besar atau batu besar.

Beberapa adu yang sangat terkenal adalah Adu Saembu, adu Giwaho, Adu Nono Gilewe, Adu ba Nomo, Adu Mbumbu Nomo, Adu Gehomo Mbumbu, Adu ba

Mbakholo, Adu Handro Bato, Adu Ba Lawa - lawa, Adu Zobou, Adu Siraha Na

Mokhokho ndraono, Adu Mbawaulu Horo, Adu Fondrako, Adu Ni’omasi’o Gere, Adu

Sarambia, Adu Mbawi Nadu(Hammerle, 1995:60). Hal ini dapat dibuktikan dengan

peninggalan sejarah baik dari gowe (patung yang tebuat dari batu), ataupun dari rumah adat Nias yang didalamnya banyak banyak terdapat ukiran- ukiran dan hiasan rumah yang bernuansa mistis.

2.5.2 Agama Negara

(51)

ke Nias, mengajarkan agama Kristen ternyata berhasil dan kemudian dilanjutkan oleh Thomas yang datang tahun 1873. Masa penting dalam pengembangan agama Kristen adalah antara tahun 1815-1930, antara tahun ini disebut sebagai masa pertobatan massal(fangesadödö sebua). Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap, patung-patung mulai dibakar dan dihancurkan, poligami, sangsi-sangsi hukum adat dengan hukuman badan, penyembahan patung, penyembahan penyakit melalui fo’ere (dukun) dan sejenisnya sudah makin berkurang. Hingga kini sebagian besar orang Nias memeluk agama Kristen26.

Selain agama Kristen, orang Nias juga memeluk agama Islam. Agama Islam dibawa oleh orang Aceh, Arab, dan Melayu yang datang untuk berdagang ke Tanö

Niha. Kawasan yang mereka kuasai adalah pelabuhan dan pesisir pantai. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila sebagian besar penganut agama Islam adalah masyarakat- pesisir yang tinggal di daerah pelabuhan dan pinggir pantai. Masyarakat muslim Nias, umumnya berintegrasi dengan pemukiman-pemukiman enkapulsari umat Islam, namun demikian mereka tetap memelihara hubungan budaya dengan masyarakat Nias pada umumnya. Masyarakat muslim Nias ini juga giat melakukan kegiatan ibadah Islam seperti Shalat, zakat, puasa, wirid yasin, memperingati isra mi’raj Nabi Muhammad27.

Berdasarkan pengamatan penulis dilapangan, Agama Buddha juga menjadi salah satu agama di Nias yang dianut khususnya oleh kaum gehai(Chinese). Bahkan

26

Op.cit, hal. 84

27

(52)

tidak sedikit juga orang Nias yang menganut agama ini karena perkawinan yang terjadi diatara kedua etnis ini.

2.6 Kesenian

Aktifitas kesenian dan kebudayaan mengandung peranan penting sebagai cerminan kehidupan masyarakat Nias. Kesenian hadir sebagai jati diri masyarakat yang tercipta dan terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Beberapa kesenian Nias yang masih dapat dikenali meliputi; seni musik, seni tari, seni lukis, seni kerajinan tangan dan seni pahat. Salah satu kesenian yang paling terkenal dan unik di Nias adalah Hombo Batu/fahombo (lompat batu). Hombo Batu merupakan sebuah aktitas tantangan melompati sebuah batu yang tersusun dengan ketinggian sekitar 2,5 m yang diperuntukkan kepada pemuda yang beranjak dewasa sebagai simbol bahwa kedewasaan sudah ada dalam dirinya.

(53)

itu, tradisi lompat batu pun lahir dan dilakukan sebagai sebuah persiapan sebelumberperang.Saat itu, desa-desa di Pulau Nias yang dipimpin para bangsawan dari strata balugu akan menentukan pantas tidaknya seorang pria Nias menjadi prajurit untuk berperang. Selain memiliki fisik yang kuat, menguasai bela diri dan ilmu-ilmu hitam, mereka juga harus dapat melompati sebuah batu bersusun setinggi 2,5 meter tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun sebagai tes akhir.Kini tradisi lompat batu bukan lagi untuk persiapan perang antarsuku atau antardesa tetapi sebagai ritual dan simbol budaya Nias. Pemuda Nias yang berhasil melakukan tradisi ini akan dianggap dewasa dan matang secara fisik28.

Tarian tradisional Nias masih banyak yang dapat dipertahankan meskipun beberapa diantaranya sudah merupakan kombinasi dari tari kreasi, meskipun demikian tarian tradisional Nias masih tetap eksis sampai sekarang, beberapa diantaranya adalah:

1. F aluaya29(tari perang), terdapat diseluruh daerah Nias. Di bagian utara namanya

Baluse. Tarian tersebut ditarikan minimal 12 orang pria, dan bila lebih maka akan

lebih baik. Pada umumnya lebih 100 orang, gerakannya sangat kuat. Maluaya ini di Pulau-pulau Batu berbeda dengan daerah Nias lainnya, di Pulau-pulau Batu para wanita juga turut menari. Para wanita menari dengan langkah kecil yang lemah gemulai. Tarian Maluaya ditarikan pada upacara pernikahan untuk masyarakatkelas atas, penguburan, dan pesta untuk menyambut pendatang baru30.

28

Lih. Gambar 2.2

30

(54)

2. F oere adalah tarian yang menampilkan lebih dari 12 penari wanita, diiringi dengan seorang penyanyi. Tarian ini merupakan bentuk dari penyembahan untuk berakhirnya kematian dan bencana.

3. F anarimoyo (tarian elang) adalah sebuah tarian yang ditarikan di Nias Selatan dan

Utara oleh 20 penari wanita. Kadang-kadang di dalam lingkaran ditarikan oleh penari pria. Di bagian utara tarian ini dinamakan Moyo. Tarian ini dimulai dengan gerakan seperti elang terbang dan ditampilkan untuk acara hiburan. Tarian ini menggambarkan seorang gadis yang harus menikahi pria yang tidak dicintainya.

Dia berdoa supaya menjadi seekor elang yang dapat terbang.

4. Maena adalah sebuah tarian khas dari Nias Utara yang ditarikan oleh wanita dan pria, biasanya ditarikan pada upacara pernikahan.

5. F ogaile adalah sebuah tarian khas Nias Selatan yang ditarikan oleh wanita untuk mengekspresikan rasa hormat dan untuk menyambut tamu khusus dan memberikan mereka sirih tradisional. Di bagian Utara dinamakan Mogaele dan dapat ditarikan oleh wanita dan pria.

6. Tari Tuwu adalah tarian yang menampilkan seorang penari wanita/pria diatas sebuah meja batu, dengan tujuan untuk menghormati para pemimpin.

7. F adabu adalah sebuah upacara untuk mempertunjukkan kekebalan seseorang.

(55)

8. F atabo adalah sebuah peristiwa unik di Pulau-pulau Batu. F atabo walaupun berunsur tari, namun bukan sebuah tarian, hanya sebuah carauntuk menangkap ikan diair yang dangkal. Dua baris orang yangmasing-masing di bawah pimpinan, berjalan meninggalkan air tersebutdan membawa sebuah kotak. Pemimpin tersebut meminta agar dibuatsuara keras dan memukul air tersebut dengan tongkat, kemudian merekaberjalan di atas tanah, menyembunyikan kotak tersebut, dan menyimpanikan tersebut di antara mereka dan pantai. Di pantai lain barisan pria bergerak melemparkan jaringan untuk menangkap ikan. Keseluruhanperistiwa ini adalah sebuah nilai seni yang mempunyai irama musik dankeributan. F atabo sangat populer di Pulau Sigata, Desa Wawa, danTanah Masa. Sekarang sangat jarang dijumpai di Nias.

9. Tari Ya’ahowu merupakan sebuah tari kreasi baru yang biasanya di pertunjukan pada acara penyambutan tamu adat, pesta-pesta adat seperti pernikahan, penyambutan tamu pemerintahan atau daerah. Tarian ini merupakan tari kreasi baru dan sudah disahkan menjadi salah satu tarian kesenian Nias. Dan tarian ini selalu di pertunjukan setiap kali ada penyambutan tamu di pulau Nias.

Adapun alat-alat musik Nias yang masih dipertahankan sampai sekarang adalah: (a) Göndra alat musik membranofon yang dipukul dengan alat pemukul dari rotan. Alat pemukul ini disebut famo göndra. Alat musik ini selalu digunakan dalam pesta pernikahan dan juga dipakai sebagai alat musik mengiringi tarian atau lagu. (b)

Aramba (gong), alat musik jenis gong berpencu, hampir sama dengan gong yang ada

(56)

hanya saja ukurannya lebih kecil. Untuk alat musik tradisional yang lain akan dijelaskan lebih detail pada bab V.

Nias memiliki rumah adat yang sangat menarik31. Rumah tradisional yang tertua dan terluas yang dinamakan Omo Sebua, yang merupakan rumah asli dan suku yang suka perang terdapat di desa Bawomatulou atau“Sunhill”. Omo sebua adalah jenis rumah adat atau rumah tradisional dari Pulau Nias. Omo sebua adalah rumah yang khusus dibangun untuk kepala adat desa dengan tiang-tiang besar dari kayu besi dan atap yang tinggi. Omo sebua didesain secara khusus untuk melindungi penghuninya dari serangan pada saat terjadinya perang suku pada zaman dahulu. Akses masuk ke rumah hanyalah tangga kecil yang dilengkapi pintu jebakan. Bentuk atap rumah yang sangat curam dapat mencapai tinggi 16 meter. Selain digunakan untuk berlindung dari serangan musuh, omo sebua pun diketahui tahan terhadap goncangan gempa bumi. Rumah ini tingginya mencapai 22 m dan beberapa tiangnya lebih tebal dari 1 m. Rumah ini masih dimiliki dan ditempati oleh keluarga kerajaan. Arsitektur dari bangunan ini sangat unik dan mempunyai ukuran dinding yang menarik untuk menghormati upacara pesta yang terkenal dan hiasan perabotnya, seperti meja dan kursi beratnya masing-masing mencapai 18 ton dan juga seni lukis dan pahat yang menghiasi rumah ini.

2.7 Kebudayaan Masa Pada Masa Sekarang

Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan Nias juga sudah berubah dan tidak sama lagi seperti ratus tahun silam. Budaya ono niha yang dulu sangat

31

(57)
(58)

BAB III

LATAR BELAKANG BERDIRINYA BNKP

Bab ini akan menguraikan tentang proses berdirinya BNKP sebagai sebuah institusi gereja di Pulau Nias. Pertama sekali penulis akan membicarakan terkait Kebaktian Kelompok Desa sebagai cikal bakal berdirinya BNKP. Kedua, akan diuraikan seputar sejarah proses berdirinya BNKP sekaligus datangnya ajaran Kristen di Pulau Nias. Jumlah statistik jemaat juga akan di uraikan, untuk mengetahui perkembangan jemaat BNKP di beberapa kota. Berikutnya akan dijelaskan tentang tugas dan tanggungjawab Departemen Musik dan sebelum mengakhiri bab ini akan dijelaskan juga publikasi buku Zinunö kepada jemaat BNKP.

3.1 Kebaktian Kelompok Desa: Cikal Bakal Berdirinya BNKP

(59)

bersama-sama. Mereka membuat sebuah aturan bahwa dalam 7 hari dalam seminggu harus terdapat 1 hari untuk istirahat dan beribadah.

Patut diketahui bahwa pada masa itu belum ada satupun tempat ibadah yang resmi atau gereja. Oleh karena itu missionaris mendirikan stasiun misi, salah satunya adalah di rumah penduduk. Dalam hal ini rumah salawa menjadi pusat stasiun misi dimana sebelumnya rumah selawa memang menjadi tempat perkumpulan ono niha (Hummel, 2007:264). Missionaris memberitahukan kepada ono niha bahwa hari minggu adalah waktu untuk beribadah dan ono nihadiundang untuk datang kerumah

salawa untuk mengadakan kebaktian. Ono niha tertarik untuk datang ibadah pada

hari Minggu karena Deninger menawarkan hadiah- hadiah kecil berupa tembakau, obat-obatan, kue, dan uang. Kdang-kadang pada hari Minggu pagi beliau mendatangi pasar-pasar untuk mengundang orang-orang bergabung dalam ibadah. Penawaran makanan oleh Deninger dianggap baik dan sesuai dengan adat ono niha dimana tamu selalu dijamu dengan makanan. Kebaktian semacam ini dilakukan sepenuhnya oleh missionaris. Tidak ada liturgi wajib pada saat itu.

Pada tahun 1892, missionaris Dora Lett beserta dengan suami bergabung dalam ibadah ini di daerah Tugala Lahömi. Dora Lett menggunakan lonceng untuk memanggil orang-orang beribadah pada hari Minggu. Orang-orang setempat sangat bersemangat melihat item baru ini dan merupakan paradigma yang baru dalam kehidupan mereka. Dora Lett juga memperkenalkan jam, mesin jahit, cermin, dan harmonika untuk menarik orang ke kebaktian Minggu. Ditempat lain yaitu Sifaoro‟asi, missionaris Fries meniup terompet untuk mengundang ono niha

Gambar

Gambar 5. 1
Gambar 5. 3
Gambar 5. 4
Gambar 5. 6
+7

Referensi

Dokumen terkait