• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Jumlah Uang Beredar

Mankiw (2007) mengatakan ada tiga fungsi uang, yaitu: 1. Sebagai penyimpan nilai (store of value)

Uang adalah cara mengubah daya beli dari masa kini ke masa depan. Uang adalah penyimpan nilai yang tidak sempurna; jika harga meningkat, jumlah yang bisa dibeli dengan jumlah uang tertentu akan turun. Namun begitu, orang memegang 17

uang karena mereka bisa membelanjakannya untuk mendapatkan barang dan jasa pada suatu saat di masa depan.

2. Sebagai unit hitung (unit of account)

Uang memberikan ukuran dimana harga ditetapkan dan utang dicatat. Uang adalah ukuran yang digunakan untuk mengukur transaksi ekonomi.

3. Sebagai media pertukaran (medium of exchange)

Uang adalah apa yang kita gunakan untuk membeli barang dan jasa. Uang adalah alat tukar yang sah untuk seluruh transaksi, publik dan perorangan.

2.4.2.Kuantitas Uang

Jumlah uang yang tersedia disebut jumlah uang beredar ( money supply). Dalam perekonomian dewasa ini pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar. Peraturan resmi memberi pemerintah hak untuk memonopoli pencetakan uang. Kontrol atas jumlah uang beredar disebut kebijakan moneter. Aset yang paling jelas dimasukkan dalam kuantitas uang adalah mata uang (currency) atau disebut juga uang kartal, yaitu jumlah uang kertas dan uang logam yang beredar. Sebagian besar transaksi harian menggunakan mata uang sebagai media pertukaran. Aset yang lain yang digunakan dalam transaksi adalah rekening giro (demand deposit), dana yang dipegang orang dalam rekening ceknya. Ketika demand deposit dimasukkan dalam persediaan uang, maka banyak aset lain yang juga bisa dimasukkan misalnya dana dalam rekening tabungan, pasar uang reksadana. Karena sulit menilai secara pasti aset mana yang seharusnya dimasukkan dalam persediaan uang, maka disediakan berbagai 18

ukuran. Dari yang terkecil sampai yang terbesar, aset itu disebut C, M1, M2 dan M3. C adalah mata uang. M1 adalah mata uang ditambah deposito penerimaan, traveller’s check, dan deposito yang dapat diuangkan dengan cek lainnya. M2 adalah M1 ditambah neraaca reksadana pasar uang, deposito tabungan dan deposito berjangka kecil. M3 adalah M2 ditambah deposito berjangka besar, kesepakatan pembelian ulang, dan neraca reksadana pasar uang institusi. Ukuran yang paling umum digunakan untuk mempelajari dampak uang terhadap perekonomian adalah M1 dan M2. Namun, tidak ada konsensus tentang ukuran persediaan uang mana yang terbaik. (Mankiw, 2007).

Di Indonesia, pengertian uang beredar dikenal dengan terminologi sebagai berikut: (Pohan, 2008)

1. Uang kartal yaitu uang kertas dan uang logam yang dikeluarkan oleh otoritas moneter.

2. Uang giral yaitu simpanan milik sektor swasta domestik pada Bank Pencipta Uang Giral yang setiap saat dapat ditarik untuk ditukarkan dengan uang kartal sebesar nominalnya. Uang giral terdiri dari rekening giro, kiriman uang (transfer), deposito berjangka yang sudah jatuh waktu dan kewajiban segera lainnya.

3. Uang kuasi yaitu simpanan milik sektor swasta domestik pada Bank Pencipta Uang Giral yang dapat memenuhi fungsi-fungsi uang, tetapi untuk sementara waktu kehilangan fungsinya sebagai alat tukar menukar, yaitu terdiri dari

Uang kartal ditambah uang giral disebut M1, sedangkan M2 adalah M1 ditambah uang kuasi.

Pengaturan jumlah uang beredar dalam masyarakat dilakukan melalui kebijakan moneter yang sejalan dengan perkembangan seluruh sektor ekonomi. Dengan mengatur pertambahan jumlah uang beredar di masyarakat, otoritas moneter akan dapat mempengaruhi nilai uang dan suku bunga sedemikian rupa sehingga perkembangannya akan mampu mendorong perekonomian ke arah yang diinginkan sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.

2.4.3. Teori Kuantitas Uang

Fisher dalam Waluyo (2004) dalam teorinya mengenai kuantitas uang menyatakan bahwa aspek moneter adalah faktor yang mempunyai arti penting dalam proses terjadinya inflasi. Teori permintaan uang menurut Fisher memandang uang sebagai alat pertukaran. Menurut Fisher apabila terjadi transaksi diantara penjual dan pembeli maka terjadi pertukaran antara uang dengan barang/ jasa, sehingga nilai dari uang yang ditukarkan pastilah sama dengan nilai barang/ jasa yang ditukarkan. Teori kuantitas uang Fisher adalah sebagai berikut :

M V = P T ... (2.1) Dimana:

M = money (penawaran uang, jumlah uang beredar) V = velocity of money (kecepatan perputaran uang) P = price (harga barang dan jasa)

T = volume transaksi

Dalam setiap transaksi selalu ada pembeli dan penjual. Jumlah uang yang dibayarkan pembeli harus sama dengan jumlah uang yang diterima penjual. Hal ini berlaku pula untuk seluruh perekonomian dalam suatu periode tertentu, yaitu nilai barang dan jasa yang dibeli harus sama dengan nilai barang dan jasa yang dijual. Nilai barang yang dijual harus sama dengan nilai volume transaksi dikalikan dengan harga rata-rata dari barang tersebut (P). Di sisi lain, nilai dari barang yang ditransaksikan ini harus sama pula dengan volume uang yang ada pada masyarakat (M) dikalikan frekuensi rata-rata perputaran uang dalam periode tersebut (V).

Berdasarkan teori ini jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian menentukan nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan sebab utama terjadinya inflasi.

2.4.4. Teori Netralitas Uang

Milton Friedman, tokoh moneteris dari Chicago mengatakan teori mengenai netralitas uang (money doesn’t matter). Uang tidak mempengaruhi roda perekonomian. Terdapat dua kelompok besar dari para filosof uang yang tidak percaya pada pentingnya arus dana (cash flow) dalam menggerakkan roda usaha. Kelompok yang satu percaya bahwa uang bisa mempengaruhi gerak roda

perekonomian jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang pengaruh uang akan netral. Mazhab yang satu lagi, yang paling banyak ditelan logikanya, mengatakan, dalam jangka pendek pun uang tidak berpengaruh.

Dalam literatur ekonomi, hipotesis tentang netralitas uang (money neutrality) lebih banyak digaungkan oleh ekonom dari aliran klasik. Walaupun aliran klasik tetap bersikukuh bahwa hipotesis ini berlaku baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, terdapat konsensus di antara semua aliran ekonomi bahwa money neutrality

adalah fenomena jangka panjang.

Adanya peningkatan peredaran uang dan aktivitas di sektor keuangan tidak lagi berkaitan dengan sektor riil. Di sinilah netralitas uang berlaku, kelebihan uang tidak mampu menggerakkan sektor riil.

2.4.5. Pengaturan Jumlah Uang beredar

Aulia Pohan (2008) mengatakan ada beberapa instrumen utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang beredar, yaitu:

1. Reserve Requirement (RR)

Reserve Requirement adalah ketentuan bank sentral yang mewajibkan bank- bank untuk memelihara sejumlah alat-alat likuid (reserve) sebesar presentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil presentase tersebut, semakin

besar kemampuan bank memanfaatkan reserve- nya untuk memberikan

pinjaman dalam jumlah yang lebih besar kepada masyarakat. Sebaliknya semakin besar persentase, semakin berkurang kemampuan bank untuk

memberikan pinjaman. Oleh karena itu, pinjaman perbankan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi uang beredar. Disinilah posisi RR yang dapat menjadi alat untuk menambah atau mengurangi jumlah uang beredar. Saat ini ketentuan mengenai RR yang juga dikenal dengan cadangan wajib atau Giro Wajib Minimum (GWM) adalah sebesar 5% dari dana pihak ketiga yang diterima bank, yang wajib dipelihara dalam rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia.

2. Operasi Pasar Terbuka

Operasi pasar terbuka adalah kegiatan jual beli surat-surat berharga oleh bank sentral. Dalam kaitan ini penjualan surat-surat berharga oleh bank sentral akan mempunyai dampak kontraksi moneter karena pengurangan alat-alat likuid bank-bank akan memperkecil kemampuan bank-bank memberikan pinjaman. Sebaliknya pembelian surat-surat berharga oleh bank sentral akan membawa dampak ekspansi moneter karena peningkatan alat-alat likuid bank-bank akan memperbesar kemampuannya dalam pemberian pinjaman.

Jika ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka pemerintah menjual surat- surat berharga (open market selling). Dengan demikian uang yang ada di masyarakat menglir ke otoritas moneter, sehingga jumlah uang beredar berkurang. Jika ingin menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah membeli kembali surat-surat berharga tersebut guna lebih mengefektifkan operasi pasar terbuka ini.

Di Indonesia, operasi pasar terbuka dilakukan dengan menjual atau membeli sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Jika ingin mengurangi jumlah uang beredar, pemerintah menjual SBI dan atau SBPU. Melalui penjualan SBI/SBPU uang yang ada dalam masyarakat ditarik, sehingga jumlah uang beredar berkurang. Bila pemerintah melihat jumlah uang beredar perlu ditambah, agar perbankan lebih mampu memberikan kredit yang akan memacu pertumbuhan ekonomi, maka SBI dan SBPU yang telah dijual dibeli kembali. Melalui pembelian itu pemerintah mengeluarkan uang sehingga menambah jumlah uang beredar.

3. Fasilitas Diskonto

Fasilitas diskonto adalah kebijakan moneter bank sentral untuk mempengaruhi jumlah uang beredar melalui penetapan diskonto pinjaman bank sentral kepada bank-bank. Dengan menetapkan tingkat diskonto yang tinggi diharapkan bank-bank akan mengurangi permintaan kredit dari bank sentral, yang pada gilirannya akan mengurangi jumlah uang beredar. Sebaliknya penetapan diskonto yang rendah akan mendorong bank-bank meningkatkan permintaan pinjaman bank sentral yang selanjutnya akan menambah jumlah uang beredar.

4. Foreign Exchange Intervention

Intervensi valuta asing adalah kebijakan bank sentral untuk mempengaruhi jumlah uang beredar atau likuiditas di pasar uang melalui jual beli valuta asing atau cadangan devisa. Dalam hal bank sentral ingin mengetatkan 24

likuiditas rupiah di pasar uang, bank sentral akan menjual cadangan devisanya. Sebaliknya, pembelian valuta asing oleh bank sentral akan meningkatkan likuiditas rupiah di pasar uang.

5. Moral Suasion

Selain instrumen diatas, bank sentral juga dapat melakukan imbauan kepada bank-bank untuk melakukan kebijakan tertentu. Imbauan ini bersifat tidak mengikat, tetapi sebagai lembaga yang kredibel imbauan bank sentral biasanya memiliki dampak yang cukup efektif dalam kebijakan moneter.

2.5. Teori inflasi

2.5.1. Menurut Keynes

Keynes dalam Atmadja (1999) mengatakan dasar pemikiran model inflasi ini adalah bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek. Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat tidak sama (heretogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi barang-

barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang relatif rendah kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian ini akan terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang (inflationarygap menghilang).

2.5.2. Teori Kuantitas

Teori ini juga membahas tentang inflasi, dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi.

Inti dari teori ini adalah inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral dan laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang.

2.5.3. Mark-up Model

Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponen 26

ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut :

Price = Cost + Profit Margin ... (2.2)

Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu prosentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi :

Price = Cost + ( a% x Cost) ...(2.3)

Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau penaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar (Atmadja, 1999).

2.5.4. Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang

Banyak studi mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural

yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :

1.Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis.

Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi

supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.

2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor.

Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.

3. Pengeluaran pemerintah terbatas. ...

Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printingof money).

Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di negara berkembang dalam jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist

menekankan pada struktur sektor keuangan. Dasar pemikiran ini adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi. Menurut pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu faktor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi melimpah, harga uang (suku bunga) akan murah, volume investasi akan meningkat. Dengan meningkatnya volume investasi, volume produksi juga akan meningkat. Sehingga, penawaran barang meningkat, yang pada gilirannya akan menekan tingkat inflasi. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini, timbul pendapat bahwa deregulasi di sektor finansial dan peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi seraya menekan inflasi. Kaum strukturalis berpendapat, bahwa

selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh harga barang-barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor.

2.5.5. Inflasi dan Tingkat Bunga

Tingkat bunga adalah harga yang menghubungkan masa kini dan masa depan. Tingkat bunga dibagi menjadi dua yaitu tingkat bunga nominal dan tingkat bunga riil (Mankiw, 2007). Tingkat bunga yang dibayar bank adalah tingkat bunga nominal (i) dan kenaikan daya beli adalah tingkat bunga riil (r). Jika adalah inflasi maka hubungan antara tingkat bunga nominal, tingkat bunga riil dan inflasi adalah sebagai berikut :

i = r + ... (2.4)

Persamaan diatas disebut persamaan Fisher yang menunjukkan bahwa tingkat infasi bisa berubah karena perubahan dalam tingkat bunga.

2.5.6. Jenis Inflasi

Dalam ilmu ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam pengelompokan tertentu, dan pengelompokan yang akan dipakai akan sangat bergantung pada tujuan yang hendak dicapai.

Jenis inflasi :

1. Menurut Derajatnya

a. Inflasi ringan dibawah 10% (single digid) b. Inflasi sedang 10% - 30%

c. Inflasi tinggi 30% - 100% d. Hyperinflasion di atas 100%

Laju inflasi tersebut bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan golongan masyarakat manakah yang terkena imbas ( yang menderita ) dari inflasi yang sedang terjadi.

2. Menurut Penyebabnya

Rahardja (2004) megatakan ada beberapa penyebab terjadinya inflasi yaitu:

a. Demand pull inflation yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil produksi di pasar barang. Akibatnya, akan menarik (pull) kurva permintaan agregat ke arah kanan atas, sehingga terjadi excess demand , yang merupakan

inflationary gap. Dan dalam kasus inflasi jenis ini, kenaikan harga-harga barang biasanya akan selalu diikuti dengan peningkatan output (GNP riil)

dengan asumsi bila perekonomian masih belum mencapai kondisi full- employment. Pengertian kenaikkan aggregate demand seringkali ditafsirkan berbeda oleh para ahli ekonomi. Golongan moneterist menganggap aggregate demand mengalami kenaikkan akibat dari ekspansi jumlah uang yang beredar di masyarakat.

Sedangkan, menurut golongan Keynesian kenaikkan aggregate

demand dapat disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi, investasi, government expenditures, atau net export, walaupun tidak terjadi ekspansi jumlah uang beredar.

P AS P1 P0 AD1 AD0 Y0 Y1 Y

Gambar 2.2. Demand Full Inflation

b. Cost push inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan bergesernya aggregate supply curve ke arah kiri atas. Faktor-faktor yang menyebabkan aggregate supply curve bergeser tersebut adalah meningkatnya harga faktor-faktor produksi (baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri) di pasar faktor produksi, sehingga menyebabkan kenaikkan harga komoditi di pasar komoditi. Dalam kasus cost push inflation kenaikan harga seringkali diikuti oleh kelesuan usaha.

P AS1 AS0 P1 P0 AD Y1 Y0

Gambar 2.3. Cost Push Inflation

3. Menurut Asalnya

Domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan pengelolaan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter di

dalam negeri oleh para pelaku ekonomi dan masyarakat. Imported inflation,

yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga-harga komoditi di luar negeri (di negara asing yang memiliki hubungan perdagangan dengan negara yang bersangkutan). Inflasi ini hanya dapat terjadi pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka (open economy system). Dan, inflasi ini dapat ‘menular’ baik melalui harga barang-barang impor maupun harga barang-barang ekspor.

Terlepas dari pengelompokan-pengelompokan tersebut, pada kenyataannya inflasi yang terjadi di suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak ada) yang disebabkan oleh satu macam / jenis inflasi, tetapi acapkali karena kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini dikarenakan tidak ada faktor-faktor ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki hubungan yang independen dalam suatu sistem perekonomian negara. Contoh : imported inflation

seringkali diikuti oleh cost push inflation, domestic inflation diikuti dengan demand pull inflation.

2.5.7. Inflation Targetting Framework

Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Amanat ini memberikan kejelasan

peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian single objective -nya.

Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dalam hal ini, BI hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar) sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Oleh karena itu, untuk dapat mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil, diperlukan adanya kerjasama dan komitmen dari seluruh pelaku ekonomi, baik pemerintah maupun swasta. Tanpa dukungan dan komitmen tersebut niscaya tingkat inflasi yang sangat tinggi selama ini akan sulit dikendalikan. Selanjutnya nilai tukar rupiah sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan panawaran yang terjadi di pasar. Apa yang dapat dilakukan oleh BI adalah menjaga agar nilai rupiah tidak terlalu berfluktuasi secara tajam.

2.5.7.1. Pentingnya kestabilan harga

Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil

masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

Inflation Targetting Framework adalah sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa

Dokumen terkait