ANALISIS PENGARUH BELANJA PEGAWAI PEMERINTAH,
INVESTASI DAN JUMLAH UANG BEREDAR TERHADAP
INFLASI DI INDONESIA
TESIS
Oleh
JAMILA LESTYOWATI
077018037/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Jamila Lestyowati : Analisis Pengaruh Belanja Pegawai Pemerintah, Investasi Dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi Di Indonesia, 2009
ANALISIS PENGARUH BELANJA PEGAWAI PEMERINTAH,
INVESTASI DAN JUMLAH UANG BEREDAR TERHADAP
INFLASI DI INDONESIA
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
dalam Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pembangunan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
JAMILA LESTYOWATI
077018037/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Jamila Lestyowati : Analisis Pengaruh Belanja Pegawai Pemerintah, Investasi Dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi Di Indonesia, 2009
Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH BELANJA PEGAWAI PEMERINTAH, INVESTASI DAN JUMLAH UANG BEREDAR TERHADAP INFLASI DI INDONESIA
Nama Mahasiswa : Jamila Lestyowati Nomor Pokok : 077018037
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Murni Daulay, S.E.M.Si.) (Kasyful Mahalli, S.E.M.Si.) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Dr. Murni Daulay, S.E. M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc.)
Telah Diuji Pada
Tanggal : 23 Februari 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Murni Daulay, S.E.M.Si.
Anggota : 1. Kasyful Mahalli, S.E.M.Si.
2. Dr Jonni Manurung, M.S.
3. Drs Rahmat Sumanjaya, M.Si.
ABSTRAK
Inflasi merupakan salah satu penyakit ekonomi yang banyak mendapat perhatian dari para semua pihak. Oleh karena itu, inflasi sering menjadi target kebijakan pemerintah mengingat dampaknya yang luas bagi perekonomian. Salah satu hal yang sering disorot ketika membahas masalah inflasi adalah kenaikan gaji PNS.
Penelitian ini merupakan kajian tentang inflasi melalui metode analisis Ordinary Least Square (OLS) dengan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab inflasi di Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data time series tahun 1985 – 2007, yaitu data inflasi, belanja pegawai pemerintah, investasi dan jumlah uang beredar. Data – data tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama belanja pegawai pemerintah, investasi dan jumlah uang beredar berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Sedangkan secara parsial, belanja pegawai pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Investasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Jumlah uang beredar berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi. Dengan membandingkan besaran koefisien dari masing-masing variabel bebas, terlihat bahwa jumlah uang beredar merupakan variabel utama yang memberikan kontribusi paling besar dalam hubungannya dengan inflasi di Indonesia.
ABSTRACT
Inflation is an economic disease that gets much attention from all parties. Therefore, it is often becomes a target of government policy for its broad impact in economy. One of the most frequently discussed issue on inflation is the increase of civil servant’s salary.
This research is a study on inflation using Ordinary Least Square (OLS) method of analysis by identifying factors that cause inflation in Indonesia. Data used is secondary data namely by time series from 1985 – 2007. They are inflation, government official spending, investment and money supply. Data is got from the Central Statistics Agency, Ministry of Finance and Bank Indonesia.
Results of the research show that simultaneously, government official spending, investment and the money supply have a significant effect on inflation in Indonesia. While partially, government official spending have a significant negative effect on inflation. Investment have a significant negative effect on inflation. Money supply have a significant and positive effect on inflation. By comparing the coefficients of each dependent variable, money supply is the main variable that gives the biggest contribution related to inflation in Indonesia.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji kepada Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Dalam penyelesaian penulisan tesis ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai
pihak, baik dalam bentuk moril, bimbingan maupun arahan, sehingga sesuai dengan
aturan yang telah ditentukan. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, D.M.T.&H., Sp.A (K). selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
3. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi
Pembangunan Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Ketua
Pembimbing atas arahan dan bimbingannya selama masa perkuliahan dan
pengerjaan tesis ini.
4. Bapak Kasyful Mahalli, S.E.M.Si. selaku Anggota Pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini.
5. Bapak Dr. Jonni Manurung, M.S, Drs. Rahmat Sumanjaya, M.Si. dan Drs
Rujiman, M.A. sebagai pembanding yang telah memberikan masukan dan saran
atas penulisan tesis ini.
6. Bapak dan Ibu dosen pada Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan
Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan
Universitas Sumatera Utara.
8. Teman-teman mahasiswa pada Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan
Universitas Sumatera Utara Angkatan 13 OK.
9. Para pejabat dan teman- teman di Balai Diklat Keuangan I Medan, yang rela
10.Dan terutama kepada suami dan anak-anak penulis yang telah memberikan
perhatian, semangat dan motivasi serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak terdapat
kekurangan. Semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi kita semua. Amin.
Medan, Februari 2009
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Jamila Lestyowati
Tempat/Tanggal Lahir : Lamongan, 16 April 1975
Alamat : Jl Eka Suka Gg Eka Suka VII
Pekerjaan : PNS
Status : Menikah, 4 anak
Nama Suami : Harun Rosit
Nama Anak : 1. Abdurrasyid Dzaki Tsaqofi
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 6
2.1. Pengeluaran Pemerintah ... 6
2.2. Announcement Effect... 11
2.3. Investasi ... 12
2.4. Jumlah Uang Beredar... 16
2.6. Penelitian Sebelumnya ... 36
2.7. Kerangka Pemikiran ... 39
2.8. Hipotesis Penelitian... 40
BAB III METODE PENELITIAN... 42
3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 42
3.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 42
3.3. Model Analisis ... 42
3.4. Metode Analisa ... 43
3.5. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 44
3.6. Definisi Variabel Operasional ... 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48
4.1. Perkembangan Variabel Yang Diteliti ... 48
4.2. Hasil Estimasi ... 55
4.3. Pembahasan Hasil Estimasi ... 62
4.4. Uji Asumsi Klasik ... 65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67
5.1. Kesimpulan . ... 67
5.2. Saran ... 68
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1 Besar Kenaikan Gaji PNS Tahun 2006 – 2008 ... 2
2.1. Struktur APBN ... 8
4.1. Hasil Estimasi Pengaruh Belanja Pegawai Pemerintah, Investasi dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi Indonesia (Model Linier) ...
56
4.2. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas (Model Linier) ... 56
4.3. Hasil Estimasi Pengaruh Belanja Pegawai Pemerintah, Investasi dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi di Indonesia (Model Log) ...
57
4.4. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas (Model Log) ... 57
4.5. Hasil Estimasi Pengaruh Belanja Pegawai Pemerintah, Investasi dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi di Indonesia (Model Bentuk Perbedaan Pertama) ...
60
4.6. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas (Model Bentuk Perbedaan Pertama) ...
60
4.7. Hasil Uji Breusch – Godfrey Serial Correlation LM Test...
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Fungsi Investasi ... 14
2.2. Demand Full Inflation ... 31
2.3. Cosh Push Inflation ... 32
2.4. Kerangka Pemikiran ... 40
4.1. Perkembangan Inflasi Indonesia Tahun 1985 – 2007 .... 49
4.2. Perkembangan Belanja Pegawai Pemerintah Tahun 1985 – 2007 ... 52 4.3. Perkembangan Investasi Tahun 1985 – 2007 ... 54
4.4. Perkembangan Jumlah Uang Beredar Tahun 1985 –
2007 ...
1
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Data Analisis Inflasi (INF), Belanja Pegawai
Pemerintah (BPP), Investasi (INV) dan Jumlah Uang Beredar (JUB) ...
72
2 Data Analisis Bentuk Perbedaan Pertama Inflasi
(DINF), Belanja Pegawai Pemerintah (DBPP), Investasi (DINV) dan Jumlah Uang Beredar (DJUB) ...
73
3 Hasil Estimasi Regresi (Model Linear) ... 74
4 Hasil Uji Multikolinieritas (Model Linear) ... 75
5 Hasil Estimasi Regresi Bentuk Log ………... 77
6 Hasil Uji Multikolinieritas (Model Log) ………. 78
7 Hasil Uji Breusch – Godfrey (Model Log) ... 80
8 Hasil Estimasi Regresi (Model Bentuk Perbedaaan
Pertama) ………...
81
9 Hasil Uji Multikolinieritas (Model Bentuk Perbedaan
Pertama) ...
82
10 Hasil Uji Hasil Uji Breusch – Godfrey (Model Bentuk Perbedaan Pertama) ...
84
11 Mean Perkiraan Variabel Inflasi 85
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu tahap dalam siklus anggaran (budget cycle) di Indonesia adalah
tahap penetapan anggaran. Tahapan ini dimulai ketika presiden menyampaikan pidato
kenegaraan di depan sidang DPR/ MPR sekaligus menyampaikan Nota Keuangan
(NK) dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk
tahun yang akan datang.
Dalam pidatonya, presiden menyampaikan pokok-pokok kebijakan yang akan
diambil pemerintah dalam rangka pelaksanaan visi misinya. Selain itu presiden juga
menyampaikan peran strategis kebijakan fiskal, perkembangan perekonomian
Indonesia, regional, dunia dan perubahan-perubahan mendasar yang akan
dilaksanakan ke depan.
Salah satu materi dalam NK adalah asumsi-asumsi yang akan dipakai ketika
menyusun RAPBN. Asumsi tersebut antara lain tingkat pertumbuhan ekonomi,
tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, suku bunga SBI tiga bulan
dan harga minyak per barel. Selain asumsi RAPBN, presiden juga menyampaikan
besaran RAPBN yang akan dipakai sebagai dasar pelaksanaan APBN tahun
berikutnya.
Diantara materi-materi krusial yang disampaikan presiden adalah mengenai
besaran belanja pegawai dalam RAPBN. Karena hal ini menyangkut hajat hidup
sebagian besar Pegawai negeri Sipil (PNS) di Indonesia. Biasanya dengan
mengetahui besaran belanja pegawai tersebut, presiden mengumumkan bahwa akan
ada kenaikan gaji dengan besaran yang bervariasi setiap tahunnya. Pada setiap tahun
pemerintah berusaha untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan PNS . Tabel
berikut memperlihatkan kepada kita besaran kenaikan gaji pegawai selama tiga tahun
terakhir.
Tabel 1.1. Besar Kenaikan Gaji PNS Tahun 2006 - 2008
No Tahun Besarnya Kenaikan gaji pegawai
1
Berdasarkan prinsip-prinsip keuangan negara, maka negara mempunyai
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Salah satu diantaranya adalah membayar
gaji PNS. Hal ini kemudian diimplementasikan dengan dimasukkannya belanja
pegawai dalam APBN Indonesia. Melihat besaran nilai belanja pegawai dalam APBN
setiap tahunnya, selalu mengalami peningkatan. Hal ini sejalan dengan keinginan
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan PNS.
Namun kenyataannya di lapangan justru tidak seperti yang diharapkan. Efek
yang mencuat ialah announcement effect, yang boleh jadi lebih besar daripada efek
harga-harga merangkak lebih dulu, sementara kenaikan gaji baru diumumkan.
Announcement effect juga perlu perhatian secara serius. Hal serupa terjadi saat ada
permintaan tambahan akibat kenaikan gaji.
Saat presiden mengumumkan akan ada kenaikan gaji PNS, harga
barang-barang kebutuhan pokok sudah meningkat lebih dulu. Bahkan kenaikan harga ini
lebih besar dari pada kenaikan gaji PNS.
Salah satu indikator makroekonomi adalah inflasi. Inflasi merupakan salah
satu penyakit ekonomi yang tidak bisa diabaikan, karena dapat menimbulkan dampak
yang sangat luas. Oleh karena itu inflasi sering menjadi target kebijakan pemerintah.
Inflasi yang tinggi bisa menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang lambat dan
pengangguran yang meningkat. Dengan inflasi yang meningkat maka PNS makin
tidak berdaya. Kenaikan gaji yang diharapkan bisa membantu kondisi
perekonomiannya malah menjadi bumerang bagi mereka.
Berawal dari fenomena tersebut, penulis berkeinginan untuk mengetahui
sejauh mana pengaruh kenaikan belanja pegawai pemerintah terhadap kenaikan harga
barang atau inflasi di Indonesia. Untuk menganalisis pengaruh ini disertakan variabel
lain yang mempengaruhi inflasi yaitu investasi dan jumlah uang beredar. Karena
dengan investasi yang meningkat akan meningkatkan permintaan agregat dan dengan
kenaikan permintaan agregat dapat menyebabkan kenaikan harga. Demikian juga
sebaliknya. Hal ini juga berlaku pada variabel jumlah uang yang beredar dengan
mekanisme yang sama. Jumlah uang beredar merupakan faktor yang menyebabkan
Pegawai Pemerintah, Investasi dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi di
Indonesia”
1.2. Perumusan Masalah
Bergerak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan
beberapa masalah, yaitu:
1. Bagaimana pengaruh belanja pegawai pemerintah terhadap inflasi Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh jumlah uang beredar terhadap inflasi Indonesia?
3. Bagaimana pengaruh investasi terhadap inflasi Indonesia?
1.3. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk menganalisis dan mengetahui pengaruh belanja pegawai pemerintah
terhadap inflasi Indonesia
2. Untuk menganalisis dan mengetahui pengaruh jumlah uang beredar terhadap
inflasi Indonesia
3. Untuk menganalisis dan mengetahui pengaruh investasi terhadap inflasi
Indonesia
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk :
2. Sebagai masukan kepada pemerintah dalam perencanaan, penganggaran dan
pembuatan kebijakan di Indonesia.
3. Sebagai tambahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat meneliti
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengeluaran Pemerintah
Murni (2006) mengatakan pemerintah sebagai salah satu pelaku ekonomi
suatu negara mempunyai peran sebagai berikut:
a. Mengatur kegiatan ekonomi melalui perundang-undangan dan peradilan.
b. Mengendalikan kestabilan ekonomi dalam arti mengendalikan ketersediaan
barang kebutuhan masyarakat.
c. Menjaga keamanan dan ketahanan suatu negara baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri.
d. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Agar peranan pemerintah tersebut dapat terwujud, pemerintah harus
menyelenggarakan beberapa fungsi yaitu berupa fungsi alokasi, fungsi distribusi dan
fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan tugas pemerintah untuk
mengalokasikan sumber daya yang ada dalam suatu negara agar ketersediaan barang
kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Fungsi distribusi merupakan tugas pemerintah
mengadakan penataan dan penyesuaian terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan
masyarakat pada suatu keadaan yang adil dan merata. Fungsi stabilisasi merupakan
tugas pemerintah untuk menjaga kondisi perekonomian yang stabil. Misalnya tingkat
harga yang relatif stabil, ketersediaan barang kebutuhan dan kesempatan kerja yang
berimbang sesuai dengan kebutuhan.
Muana Nanga (2005) mengatakan dalam perekonomian pengeluaran
pemerintah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan agregat.
Permintaan agregat adalah jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan di dalam
perekonomian yang diminta pada berbagai tingkat harga. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan agregat dalam suatu perekonomian adalah :
a. Pendapatan disposabel (Yd) atau pengeluaran konsumsi (C)
b. Tingkat bunga (i)
c. Kepercayaan dunia bisnis atau investasi (I)
d. Jumlah uang beredar (Ms)
e. Pengeluaran pemerintah (G)
f. Pajak (T)
g. Pendapatan luar negeri (Yf)
h. Harga luar negeri (Pf)
i. Nilai tukar riil (ER)
Kenaikan dalam pendapatan disposabel, pengeluaran konsumsi, pengeluaran
investasi, penawaran uang riil, pengeluaran pemerintah, pendapatan luar negeri,
tingkat harga luar negeri dan penurunan dalam tingkat bunga, pajak, nilai tukar akan
membawa kenaikan dalam permintaan agregat. (Muana Nanga, 2005)
Pengeluaran pemerintah di Indonesia dilakukan melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan
negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar
sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara
selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN merupakan instrumen
untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai
pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan
menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum.
Sejak tahun 2000 struktur APBN terdiri dari tiga bagian besar yaitu
pendapatan negara , belanja negara dan pembiayaan. Hal ini karena Indonesia masih
menganut prinsip anggaran defisit sehingga diperlukan pembiayaan untuk menutup
defisitnya.
Struktur APBN adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2. Struktur APBN
A. Pendapatan Negara dan Hibah
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
a. Pajak Dalam Negeri
b. Pajak Perdagangan Internasional
i. Bea Masuk
ii. Pajak Ekspor
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak
a. Penerimaan SDA
i. Minyak Bumi
ii.GasAlam
Lanjutan Tabel 2.2. Struktur APBN
I. Belanja Pemerintah Pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang
3. Belanja Modal
4. Pembayaran Bunga Hutang
a. Hutang Dalam Negeri II. Transfer ke Daerah
1.Dana Perimbangan
a. Dana Bagi Hasil
b. Dana Alokasi Umum
c. Dana Alokasi Khusus
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian C. Keseimbangan Primer
D. Surplus/ Defisit Anggaran (A-B) E. Pembiayaan
I. Pembiayaan Dalam Negeri 1. Perbankan Dalam Negeri 2. Non Perbankan Dalam Negeri
a. Privatisasi
b. Penjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankan
c. Obligasi Negara (Neto)
i. Penerbitan Obligasi Pemerintah
ii. Pembiayaan Cicilan Hutang
Pokok/ Obligasi DalamNegeri
Lanjutan Tabel 2.2. Struktur APBN
II. Pembiayaan Luar Negeri (Neto) 1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri
a. Pinjaman Program
b. Pinjaman Proyek
2. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang Luar Negeri Sumber : RAPBN 2009
Belanja negara adalah semua pengeluaran negara yang digunakan
untuk membiayai belanja pemerintah pusat dan belanja daerah. Belanja pemerintah
pusat menurut jenis adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk
membiayai belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga
utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
Belanja pegawai merupakan salah satu jenis pengeluaran pemerintah yang
tertuang dalam APBN. Setiap tahun jenis pengeluaran ini selalu ada dalam APBN.
Dalam APBN belanja pegawai termasuk dalam kategori belanja pemerintah pusat
dari jenis belanja negara.
Belanja pegawai adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk
membiayai kompensasi dalam bentuk uang atau barang yang diberikan kepada
pegawai pemerintah pusat, pensiunan, anggota Tentara Nasional Indonesia/
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pejabat negara, baik yang bertugas di
dalam negeri maupun di luar negeri, sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah
dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.
Belanja pegawai dapat berupa :
a. gaji
b. pensiun
c. tunjangan beras, uang makan
d. lain-lain belanja pegawai.
Dalam belanja pegawai ini termasuk juga pengeluaran dalam rangka
meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan, agar pegawai negeri dapat
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
2.2. Announcement Effect
Announcement effect adalah kejadian yang muncul akibat diumumkannya
suatu peristiwa. Efek pengumuman ini bisa bersifat positif dan negatif. Misalnya
ketika situasi perekonomian memanas akibat nilai tukar rupiah yang melemah dan
pemeritah mengumumkan bahwa cadangan devisa dalam kondisi yang aman, maka
masyarakat tidak terpancing untuk menukarkan rupiah yang mereka miliki dengan
mata uang asing. Atau saat pemerintah mengumumkan akan ada kenaikan gaji PNS,
maka saat itu juga harga barang dan jasa sudah melambung lebih dulu.
Announcement effect dalam teori ekonomi moneter menjelaskan perubahan
ekspektasi masyarakat sebagai akibat dari diumumkannya kebijakan bank sentral.
Pengumuman tersebut tidak hanya mempengaruhi masyarakat di sektor keuangan dan
perbankan, tapi juga masyarakat secara keseluruhan.
Di Indonesia, gejala announcement effect dapat dilihat pada berbagai
kesempatan pemerintah mengumumkan kebijakannya. Misalnya pengumuman
kenaikan gaji pegawai negeri senantiasa diikuti dengan ekspektasi bahwa harga akan
meningkat, sebuah gejala moneter meskipun penyebabnya belum tentu dari sisi
moneter (Burhanuddin Abdullah, 2006).
2.3. Investasi
2.3.1. Teori Akselerasi
Teori ini mula-mula dikembangkan oleh Bickerdike dan Clark tahun 1910 dan
menjadi semakin popular setelah Keynes menerbitkan bukunya The General Theory,
Hansen dan Saumelson telah mengembangkan lebih lanjut teori tersebut. ( Waluyo,
2004).
Teori akselerasi merupakan teori investasi yang didasarkan kepada hubungan
yang rigid atau kaku antara jumlah barang modal (capital stock) dengan tingkat
pendapatan nasional yang dapat diciptakannya. Menurut teori ini rasio diantara nilai
stok modal dengan nilai produksi yang dapat diwujudkannya adalah tetap.
Waluyo (2004) mengatakan pandangan utama dari teori akselerasi adalah
sebagai berikut:
a. Terdapat hubungan yang proporsional diantara jumlah barang modal yang
tersedia dengan tingkat produksi nasional yang dapat diwujudkannya.
b. Kebutuhan untuk meningkatkan produksi di masa depan memerlukan
investasi yang beberapa kali nilainya dari peningkatan produksi yang perlu
dilakukan.
Pandangan kedua inilah yang menyebabkan teori investasi ini lebih dikenal
dengan prinsip akselerasi atau prinsip percepatan (acceleration principle). Dan rasio
antara nilai stok modal yang diperlukan dengan produksi nasional yang dapat
diwujudkan disebut akselerator atau koefisien akselerasi.
Investasi merupakan suatu kegiatan untuk menambah barang modal dalam
perekonomian. Walau bagaimanapun pada setiap periode investasi tidak akan
menambah barang modal sebanyak nilai investasi tersebut. Sebagian dari investasi
dilakukan untuk menggantikan barang modal yang telah didepresiasikan dan tidak
digunakan lagi. Maka, pertambahan barang modal dalam suatu periode tertentu dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan:
∆ Kt = It – Dt
Dimana :
∆ Kt = pertambahan nilai modal pada tahun t
It = nilai investasi pada tahun t
Dt = nilai barang modal yang didepresiasikan pada tahun t
Biasanya It > Dt. Akibatnya investasi yang dilakukan terus menerus pada
masa lalu akan menyebabkan suatu akumulasi stok modal tertentu, yaitu pada tahun t
nilai stok modal tersebut adalah Kt. Kemampuan stok modal ini akan menghasilkan
produksi nasional ditentukan oleh rasio modal produksi, yaitu W. Dengan demikian
hubungan diantara stok modal (Kt) dan produksi nasional yang dapat diciptakan (Ypt)
adalah sebagai berikut:
Kt = W Ypt
Dimana Ypt adalah nilai maksimum dari pendapatan nasional yang dapat diciptakan
oleh barang modal yang bernilai Kt.
15 Bagaimana suatu perekonomian perlu melakukan investasi tergantung pada
keinginan masyarakat untuk melakukan perbelanjaan di masa depan.
2.3.2. Pandangan Keynes
Keynes dalam Mankiw (2007) mengatakan hal yang sangat menentukan
investasi adalah suku bunga, sehingga fungsi investasi adalah I = f (r).
Persamaan yang mengaitkan antara investasi I pada tingkat bunga riil r adalah sebagai
berikut :
I = I (r)
Tingkat bunga riil (r)
Kuantitas investasi (I)
Gambar 2.1. Fungsi Investasi
Fungsi investasi mengaitkan jumlah investasi pada tingkat bunga riil r. Investasi
bergantung pada tingkat bunga riil karena tingkat bunga adalah biaya pinjaman.
Fungsi investasi miring ke bawah, ketika tingkat bunga naik, semakin sedikit proyek
2.3.3. Investasi Dalam Konteks Ekonomi Makro
Pengertian investasi dalam teori ekonomi makro lebih banyak kepada
investasi fisik, misalnya dalam bentuk barang modal (pabrik dan peralatan),
bangunan dan persediaan barang (inventory). Investasi berarti pembelian (dan berarti
juga produksi) dari kapital/modal barang-barang yang tidak dikonsumsi tetapi
digunakan untuk produksi yang akan datang (barang produksi). Dengan pembatasan
tersebut, maka definisi investasi dapat lebih dipertajam sebagai
pengeluaran-pengeluaran yang meningkatkan stok barang modal (capital stock). Stok barang
modal adalah jumlah barang modal dalam suatu perekonomian pada suatu saat
tertentu. Untuk mempermudah penghitungan, umumnya stok barang modal dikalikan
harga perolehan per unit barang modal. Dengan demikian barang modal merupakan
konsep stok (stock concept) karena besarnya dihitung pada suatu periode tertentu
(Rahardja dan Manurung, 2004).
Agar tidak terjadi kerancuan dengan kenyataan sehari-hari, perhitungan
investasi harus konsisten dengan perhitungan pendapatan nasional. Yang dimasukkan
dalam perhitungan investasi adalah barang modal, bangunan/konstruksi, maupun
persediaan barang jadi yang masih baru. Jika seorang pengusaha membeli pabrik dan
bangunan yang pernah dipakai orang, kegiatan tersebut tidak dapat dihitung sebagai
investasi, sebab kegiatan tersebut tidak menambah stok barang modal yang baru.
Investasi merupakan konsep, karena besarnya dihitung selama satu interval
periode tertentu. Tetapi investasi akan mempengaruhi jumlah barang modal yang
tersedia pada suatu periode tertentu. Tambahan stok barang modal adalah sebesar
pengeluaran investasi satu periode sebelumnya.
Untuk lebih jelasnya, investasi juga adalah suatu komponen dari PDB dengan
rumus PDB = C + I + G + (X-M). Fungsi investasi pada aspek tersebut dibagi pada
investasi non-residential (seperti pabrik dan mesin) dan investasi residential (rumah
baru). Investasi adalah suatu fungsi pendapatan dan tingkat bunga, dilihat dengan
kaitannya I= (Y, i). Suatu pertambahan pada pendapatan akan mendorong investasi
yang lebih besar, dimana tingkat bunga yang lebih tinggi akan menurunkan minat
untuk investasi sebagaimana hal tersebut akan lebih mahal dibandingkan dengan
meminjam uang. Walaupun jika suatu perusahaan lain memilih untuk menggunakan
dananya sendiri untuk investasi, tingkat bunga menunjukkan suatu biaya kesempatan
dari investasi dana tersebut daripada meminjamkan untuk mendapatkan bunga.
Investasi dapat berbentuk domestic investment yaitu investasi yang berasal dari dalam
negeri dan foreign investment yaitu investasi yang berasal dari luar negeri.
2.4. Jumlah uang beredar
2.4.1. Fungsi Uang
Mankiw (2007) mengatakan ada tiga fungsi uang, yaitu:
1. Sebagai penyimpan nilai (store of value)
Uang adalah cara mengubah daya beli dari masa kini ke masa depan. Uang adalah
penyimpan nilai yang tidak sempurna; jika harga meningkat, jumlah yang bisa
dibeli dengan jumlah uang tertentu akan turun. Namun begitu, orang memegang
uang karena mereka bisa membelanjakannya untuk mendapatkan barang dan jasa
pada suatu saat di masa depan.
2. Sebagai unit hitung (unit of account)
Uang memberikan ukuran dimana harga ditetapkan dan utang dicatat. Uang
adalah ukuran yang digunakan untuk mengukur transaksi ekonomi.
3. Sebagai media pertukaran (medium of exchange)
Uang adalah apa yang kita gunakan untuk membeli barang dan jasa. Uang adalah
alat tukar yang sah untuk seluruh transaksi, publik dan perorangan.
2.4.2.Kuantitas Uang
Jumlah uang yang tersedia disebut jumlah uang beredar ( money supply).
Dalam perekonomian dewasa ini pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar.
Peraturan resmi memberi pemerintah hak untuk memonopoli pencetakan uang.
Kontrol atas jumlah uang beredar disebut kebijakan moneter. Aset yang paling jelas
dimasukkan dalam kuantitas uang adalah mata uang (currency) atau disebut juga
uang kartal, yaitu jumlah uang kertas dan uang logam yang beredar. Sebagian besar
transaksi harian menggunakan mata uang sebagai media pertukaran. Aset yang lain
yang digunakan dalam transaksi adalah rekening giro (demand deposit), dana yang
dipegang orang dalam rekening ceknya. Ketika demand deposit dimasukkan dalam
persediaan uang, maka banyak aset lain yang juga bisa dimasukkan misalnya dana
dalam rekening tabungan, pasar uang reksadana. Karena sulit menilai secara pasti aset
mana yang seharusnya dimasukkan dalam persediaan uang, maka disediakan berbagai
ukuran. Dari yang terkecil sampai yang terbesar, aset itu disebut C, M1, M2 dan M3.
C adalah mata uang. M1 adalah mata uang ditambah deposito penerimaan, traveller’s
check, dan deposito yang dapat diuangkan dengan cek lainnya. M2 adalah M1
ditambah neraaca reksadana pasar uang, deposito tabungan dan deposito berjangka
kecil. M3 adalah M2 ditambah deposito berjangka besar, kesepakatan pembelian
ulang, dan neraca reksadana pasar uang institusi. Ukuran yang paling umum
digunakan untuk mempelajari dampak uang terhadap perekonomian adalah M1 dan
M2. Namun, tidak ada konsensus tentang ukuran persediaan uang mana yang terbaik.
(Mankiw, 2007).
Di Indonesia, pengertian uang beredar dikenal dengan terminologi sebagai
berikut: (Pohan, 2008)
1. Uang kartal yaitu uang kertas dan uang logam yang dikeluarkan oleh otoritas
moneter.
2. Uang giral yaitu simpanan milik sektor swasta domestik pada Bank Pencipta
Uang Giral yang setiap saat dapat ditarik untuk ditukarkan dengan uang kartal
sebesar nominalnya. Uang giral terdiri dari rekening giro, kiriman uang
(transfer), deposito berjangka yang sudah jatuh waktu dan kewajiban segera
lainnya.
3. Uang kuasi yaitu simpanan milik sektor swasta domestik pada Bank Pencipta
Uang Giral yang dapat memenuhi fungsi-fungsi uang, tetapi untuk sementara
waktu kehilangan fungsinya sebagai alat tukar menukar, yaitu terdiri dari
Uang kartal ditambah uang giral disebut M1, sedangkan M2 adalah M1
ditambah uang kuasi.
Pengaturan jumlah uang beredar dalam masyarakat dilakukan melalui
kebijakan moneter yang sejalan dengan perkembangan seluruh sektor ekonomi.
Dengan mengatur pertambahan jumlah uang beredar di masyarakat, otoritas moneter
akan dapat mempengaruhi nilai uang dan suku bunga sedemikian rupa sehingga
perkembangannya akan mampu mendorong perekonomian ke arah yang diinginkan
sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.
2.4.3. Teori Kuantitas Uang
Fisher dalam Waluyo (2004) dalam teorinya mengenai kuantitas uang
menyatakan bahwa aspek moneter adalah faktor yang mempunyai arti penting dalam
proses terjadinya inflasi. Teori permintaan uang menurut Fisher memandang uang
sebagai alat pertukaran. Menurut Fisher apabila terjadi transaksi diantara penjual dan
pembeli maka terjadi pertukaran antara uang dengan barang/ jasa, sehingga nilai dari
uang yang ditukarkan pastilah sama dengan nilai barang/ jasa yang ditukarkan. Teori
kuantitas uang Fisher adalah sebagai berikut :
M V = P T ... (2.1)
Dimana:
M = money (penawaran uang, jumlah uang beredar)
V = velocity of money (kecepatan perputaran uang)
P = price (harga barang dan jasa)
T = volume transaksi
Dalam setiap transaksi selalu ada pembeli dan penjual. Jumlah uang yang
dibayarkan pembeli harus sama dengan jumlah uang yang diterima penjual. Hal ini
berlaku pula untuk seluruh perekonomian dalam suatu periode tertentu, yaitu nilai
barang dan jasa yang dibeli harus sama dengan nilai barang dan jasa yang dijual.
Nilai barang yang dijual harus sama dengan nilai volume transaksi dikalikan dengan
harga rata-rata dari barang tersebut (P). Di sisi lain, nilai dari barang yang
ditransaksikan ini harus sama pula dengan volume uang yang ada pada masyarakat
(M) dikalikan frekuensi rata-rata perputaran uang dalam periode tersebut (V).
Berdasarkan teori ini jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian
menentukan nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan
sebab utama terjadinya inflasi.
2.4.4. Teori Netralitas Uang
Milton Friedman, tokoh moneteris dari Chicago mengatakan teori mengenai
netralitas uang (money doesn’t matter). Uang tidak mempengaruhi roda
perekonomian. Terdapat dua kelompok besar dari para filosof uang yang tidak
percaya pada pentingnya arus dana (cash flow) dalam menggerakkan roda usaha.
Kelompok yang satu percaya bahwa uang bisa mempengaruhi gerak roda
perekonomian jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang pengaruh uang akan
netral. Mazhab yang satu lagi, yang paling banyak ditelan logikanya, mengatakan,
dalam jangka pendek pun uang tidak berpengaruh.
Dalam literatur ekonomi, hipotesis tentang netralitas uang (money neutrality)
lebih banyak digaungkan oleh ekonom dari aliran klasik. Walaupun aliran klasik tetap
bersikukuh bahwa hipotesis ini berlaku baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang, terdapat konsensus di antara semua aliran ekonomi bahwa money neutrality
adalah fenomena jangka panjang.
Adanya peningkatan peredaran uang dan aktivitas di sektor keuangan tidak
lagi berkaitan dengan sektor riil. Di sinilah netralitas uang berlaku, kelebihan uang
tidak mampu menggerakkan sektor riil.
2.4.5. Pengaturan Jumlah Uang beredar
Aulia Pohan (2008) mengatakan ada beberapa instrumen utama yang
digunakan untuk mengatur jumlah uang beredar, yaitu:
1. Reserve Requirement (RR)
Reserve Requirement adalah ketentuan bank sentral yang mewajibkan
bank-bank untuk memelihara sejumlah alat-alat likuid (reserve) sebesar presentase
tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil presentase tersebut, semakin
besar kemampuan bank memanfaatkan reserve- nya untuk memberikan
pinjaman dalam jumlah yang lebih besar kepada masyarakat. Sebaliknya
semakin besar persentase, semakin berkurang kemampuan bank untuk
memberikan pinjaman. Oleh karena itu, pinjaman perbankan merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi uang beredar. Disinilah posisi RR yang dapat
menjadi alat untuk menambah atau mengurangi jumlah uang beredar. Saat ini
ketentuan mengenai RR yang juga dikenal dengan cadangan wajib atau Giro
Wajib Minimum (GWM) adalah sebesar 5% dari dana pihak ketiga yang
diterima bank, yang wajib dipelihara dalam rekening bank yang bersangkutan
di Bank Indonesia.
2. Operasi Pasar Terbuka
Operasi pasar terbuka adalah kegiatan jual beli surat-surat berharga oleh bank
sentral. Dalam kaitan ini penjualan surat-surat berharga oleh bank sentral akan
mempunyai dampak kontraksi moneter karena pengurangan alat-alat likuid
bank-bank akan memperkecil kemampuan bank-bank memberikan pinjaman.
Sebaliknya pembelian surat-surat berharga oleh bank sentral akan membawa
dampak ekspansi moneter karena peningkatan alat-alat likuid bank-bank akan
memperbesar kemampuannya dalam pemberian pinjaman.
Jika ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka pemerintah menjual
surat-surat berharga (open market selling). Dengan demikian uang yang ada di
masyarakat menglir ke otoritas moneter, sehingga jumlah uang beredar
berkurang. Jika ingin menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah
membeli kembali surat-surat berharga tersebut guna lebih mengefektifkan
operasi pasar terbuka ini.
Di Indonesia, operasi pasar terbuka dilakukan dengan menjual atau membeli
sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Jika
ingin mengurangi jumlah uang beredar, pemerintah menjual SBI dan atau
SBPU. Melalui penjualan SBI/SBPU uang yang ada dalam masyarakat
ditarik, sehingga jumlah uang beredar berkurang. Bila pemerintah melihat
jumlah uang beredar perlu ditambah, agar perbankan lebih mampu
memberikan kredit yang akan memacu pertumbuhan ekonomi, maka SBI dan
SBPU yang telah dijual dibeli kembali. Melalui pembelian itu pemerintah
mengeluarkan uang sehingga menambah jumlah uang beredar.
3. Fasilitas Diskonto
Fasilitas diskonto adalah kebijakan moneter bank sentral untuk mempengaruhi
jumlah uang beredar melalui penetapan diskonto pinjaman bank sentral
kepada bank-bank. Dengan menetapkan tingkat diskonto yang tinggi
diharapkan bank-bank akan mengurangi permintaan kredit dari bank sentral,
yang pada gilirannya akan mengurangi jumlah uang beredar. Sebaliknya
penetapan diskonto yang rendah akan mendorong bank-bank meningkatkan
permintaan pinjaman bank sentral yang selanjutnya akan menambah jumlah
uang beredar.
4. Foreign Exchange Intervention
Intervensi valuta asing adalah kebijakan bank sentral untuk mempengaruhi
jumlah uang beredar atau likuiditas di pasar uang melalui jual beli valuta
asing atau cadangan devisa. Dalam hal bank sentral ingin mengetatkan
likuiditas rupiah di pasar uang, bank sentral akan menjual cadangan
devisanya. Sebaliknya, pembelian valuta asing oleh bank sentral akan
meningkatkan likuiditas rupiah di pasar uang.
5. Moral Suasion
Selain instrumen diatas, bank sentral juga dapat melakukan imbauan kepada
bank-bank untuk melakukan kebijakan tertentu. Imbauan ini bersifat tidak
mengikat, tetapi sebagai lembaga yang kredibel imbauan bank sentral
biasanya memiliki dampak yang cukup efektif dalam kebijakan moneter.
2.5. Teori inflasi
2.5.1. Menurut Keynes
Keynes dalam Atmadja (1999) mengatakan dasar pemikiran model inflasi ini
adalah bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan
ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap
barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia
(penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah
persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek
kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan
permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist,
Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi
dalam jangka pendek. Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada di
masyarakat tidak sama (heretogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi
barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang relatif
rendah kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar.
Kejadian ini akan terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti
hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak
lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga yang
berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi
melebihi supply barang (inflationarygap menghilang).
2.5.2. Teori Kuantitas
Teori ini juga membahas tentang inflasi, dalam perkembangannya teori ini
mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga
teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini
menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat
mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi.
Inti dari teori ini adalah inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan
volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral dan laju inflasi juga ditentukan
oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat
mengenai kenaikan harga di masa mendatang.
2.5.3. Mark-up Model
Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen,
yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponen
ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut :
Price = Cost + Profit Margin ... (2.2)
Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu
prosentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat
dijabarkan menjadi :
Price = Cost + ( a% x Cost) ...(2.3)
Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen
yang menyusun cost of production dan atau penaikan pada profit margin akan
menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar (Atmadja, 1999).
2.5.4. Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang
Banyak studi mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan
bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga
merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena
struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak
agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya
gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana
alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar
negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta
asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural
yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di
negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural
bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :
1.Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis.
Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih
menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi
supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan
permintaannya.
2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang
lebih kecil daripada pembiayaan impor.
Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk
mengimpor barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang
sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum
lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan
perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan
sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat
mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.
3. Pengeluaran pemerintah terbatas. ...
Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak
cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja,
sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun
mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printingof money).
Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di
negara berkembang dalam jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam
jangka waktu yang pendek. Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi
sebagai fenomena moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor
moneter akibat dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist
menekankan pada struktur sektor keuangan. Dasar pemikiran ini adalah pengaruh
uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi.
Menurut pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu faktor
penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi
melimpah, harga uang (suku bunga) akan murah, volume investasi akan meningkat.
Dengan meningkatnya volume investasi, volume produksi juga akan meningkat.
Sehingga, penawaran barang meningkat, yang pada gilirannya akan menekan tingkat
inflasi. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini, timbul pendapat bahwa deregulasi di
sektor finansial dan peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong laju
pertumbuhan ekonomi seraya menekan inflasi. Kaum strukturalis berpendapat, bahwa
selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara
berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini
disebabkan antara lain oleh harga barang-barang impor yang meningkat di daerah
asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor.
2.5.5. Inflasi dan Tingkat Bunga
Tingkat bunga adalah harga yang menghubungkan masa kini dan masa depan.
Tingkat bunga dibagi menjadi dua yaitu tingkat bunga nominal dan tingkat bunga riil
(Mankiw, 2007). Tingkat bunga yang dibayar bank adalah tingkat bunga nominal (i)
dan kenaikan daya beli adalah tingkat bunga riil (r). Jika adalah inflasi maka
hubungan antara tingkat bunga nominal, tingkat bunga riil dan inflasi adalah sebagai
berikut :
i = r + ... (2.4)
Persamaan diatas disebut persamaan Fisher yang menunjukkan bahwa tingkat infasi
bisa berubah karena perubahan dalam tingkat bunga.
2.5.6. Jenis Inflasi
Dalam ilmu ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam
pengelompokan tertentu, dan pengelompokan yang akan dipakai akan sangat
bergantung pada tujuan yang hendak dicapai.
Jenis inflasi :
1. Menurut Derajatnya
a. Inflasi ringan dibawah 10% (single digid)
b. Inflasi sedang 10% - 30%
c. Inflasi tinggi 30% - 100%
d. Hyperinflasion di atas 100%
Laju inflasi tersebut bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat
mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu wilayah
tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan golongan
masyarakat manakah yang terkena imbas ( yang menderita ) dari inflasi yang sedang
terjadi.
2. Menurut Penyebabnya
Rahardja (2004) megatakan ada beberapa penyebab terjadinya inflasi yaitu:
a. Demand pull inflation yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya
peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil
produksi di pasar barang. Akibatnya, akan menarik (pull) kurva permintaan
agregat ke arah kanan atas, sehingga terjadi excess demand , yang merupakan
inflationary gap. Dan dalam kasus inflasi jenis ini, kenaikan harga-harga
barang biasanya akan selalu diikuti dengan peningkatan output (GNP riil)
dengan asumsi bila perekonomian masih belum mencapai kondisi
full-employment. Pengertian kenaikkan aggregate demand seringkali ditafsirkan
berbeda oleh para ahli ekonomi. Golongan moneterist menganggap aggregate
demand mengalami kenaikkan akibat dari ekspansi jumlah uang yang beredar
di masyarakat.
Sedangkan, menurut golongan Keynesian kenaikkan aggregate
demand dapat disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi,
investasi, government expenditures, atau net export, walaupun tidak terjadi
ekspansi jumlah uang beredar.
P
AS
P1
P0
AD1
AD0
Y0 Y1 Y
Gambar 2.2. Demand Full Inflation
b. Cost push inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan bergesernya aggregate
supply curve ke arah kiri atas. Faktor-faktor yang menyebabkan aggregate
supply curve bergeser tersebut adalah meningkatnya harga faktor-faktor
produksi (baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri) di
pasar faktor produksi, sehingga menyebabkan kenaikkan harga komoditi di
pasar komoditi. Dalam kasus cost push inflation kenaikan harga seringkali
diikuti oleh kelesuan usaha.
P AS1
AS0
P1
P0
AD
Y1 Y0
Gambar 2.3. Cost Push Inflation
3. Menurut Asalnya
Domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan
pengelolaan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter di
dalam negeri oleh para pelaku ekonomi dan masyarakat. Imported inflation,
yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga-harga komoditi di
luar negeri (di negara asing yang memiliki hubungan perdagangan dengan
negara yang bersangkutan). Inflasi ini hanya dapat terjadi pada negara yang
menganut sistem perekonomian terbuka (open economy system). Dan, inflasi
ini dapat ‘menular’ baik melalui harga barang-barang impor maupun harga
barang-barang ekspor.
Terlepas dari pengelompokan-pengelompokan tersebut, pada kenyataannya
inflasi yang terjadi di suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak
ada) yang disebabkan oleh satu macam / jenis inflasi, tetapi acapkali karena
kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini dikarenakan tidak ada faktor-faktor
ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki hubungan yang
independen dalam suatu sistem perekonomian negara. Contoh : imported inflation
seringkali diikuti oleh cost push inflation, domestic inflation diikuti dengan demand
pull inflation.
2.5.7. Inflation Targetting Framework
Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tujuan Bank Indonesia adalah mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Amanat ini memberikan kejelasan
peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya Bank
Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian single objective -nya.
Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang
terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu
tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dalam hal
ini, BI hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal
dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam,
musim kemarau, distribusi tidak lancar) sepenuhnya berada diluar pengendalian BI.
Oleh karena itu, untuk dapat mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan
stabil, diperlukan adanya kerjasama dan komitmen dari seluruh pelaku ekonomi, baik
pemerintah maupun swasta. Tanpa dukungan dan komitmen tersebut niscaya tingkat
inflasi yang sangat tinggi selama ini akan sulit dikendalikan. Selanjutnya nilai tukar
rupiah sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan panawaran yang terjadi
di pasar. Apa yang dapat dilakukan oleh BI adalah menjaga agar nilai rupiah tidak
terlalu berfluktuasi secara tajam.
2.5.7.1. Pentingnya kestabilan harga
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi
yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial
ekonomi masyarakat. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil
masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan
akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin. Kedua,
inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku
ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa
inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan
konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan
pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding
dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil
menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.
Inflation Targetting Framework adalah sebuah kerangka kebijakan moneter
yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang
hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa
inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter.
2.5.7.2. Keuntungan ITF
Keuntungan dilaksanaannya ITF antara lain :
1. Sukses dalam membantu negara menurunkan inflasi,
2. Kebijakan moneter lebih secara jelas terfokus
3. Komunikasi, transparansi, dan akuntabilitas secara bersama diperkuat,
4. Membantu dalam menurunkan dan mengarahkan ekspektasi inflasi dan lebih
baik dalam mengatasi kejutan inflasi,
5. Membantu dalam menurunkan volatilitas output dalam jangka menengah,
6. Teruji terhadap kejutan ekonomi yang kurang menguntungkan,
7. Kebijakan moneter relatif fleksibel dalam mengakomodasi kejutan inflasi
temporer yang tidak mengganggu pencapaian sasaran inflasi jangka
menengah, dan
8. Independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter diperkuat.
2.6. Penelitian Sebelumnya
Adapun penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini dan dapat
dijadikan referensi adalah :
1. Soebagyo (2007) melakukan analisis pengaruh kebijakan moneter dan
kebijakan fiskal regional terhadap stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi
regional di Jawa Timur pada periode 1995 – 2004. Hasilnya naiknya
pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan dana pihak ketiga, bunga
memiliki pengaruh negatif terhadap inflasi. Demikian juga pengeluaran rutin
pemerintah dan kredit tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
inflasi di Jawa Timur. Pada periode setelah krisis pertumbuhan pengeluaran
rutin pemerintah, dana pihak ketiga dan bunga memiliki pengaruh signifikan
terhadap inflasi regional, sedangkan pengeluran pembangunan pemerintah dan
kredit tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi.
2. Devi (2006) melakukan analisis terhadap inflasi di Indonesia dengan
menggunakan variabel PDB, nilai tukar dan jumlah uang beredar. Hasilnya
PDB, nilai tukar dan jumlah uang beredar berpengaruh secara signifikan
terhadap inflasi di Indonesia. Secara partial , nilai tukar , jumlah uang beredar
mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap
inflasi. PDB mempunyai hubungan negatif dan berpengaruh secara signifikan
terhadap inflasi.
3. Hutabarat (2005) menganalisis faktor determinan inflasi di Indonesia dan
menyimpulkan determinan utama inflasi adalah ekspektasi inflasi yang terkait
dengan pola pembentukan ekspektasi inflasi yang masih didominasi oleh
inflasi masa lalu (ekspektasi adaptif). Perilaku ini menimbulkan persistensi
inflasi karena riwayat inflasi Indonesia yang banyak dipicu oleh inflasi
cost-push atau supply shocks yang signifikan dan sering terjadi, seperti kejutan
harga minyak, kenaikan harga BBM, devaluasi dan fluktuasi berlebihan nilai
tukar Rupiah. Karakteristik inflasi tersebut tidak mengalami perbaikan pada
pasca krisis, baik secara time series, distribusi lintas komoditi pembentuk
inflasi, maupun perbandingan dengan negara lain. Berdasarkan pemahaman
akan sumber-sumber pembentuk tekanan inflasi, maka untuk menurunkan
persistensi inflasi diperlukan perpaduan antara kebijakan moneter, kebijakan
nilai tukar dan koordinasi dengan kebijakan pemerintah (policy mix).
4. Rohman (2005) melakukan analisis faktor yang mempengaruhi laju inflasi di
Indonesia tahun 1979 – 2003 dengan menggunakan variabel konsumsi,
investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor. Hasilnya secara
bersama-sama variabel konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor
dan impor mempunyai pengaruh yang signifikan. Sedangkan secara individual
ekspor dan investasi berpengaruh positif terhadap inflasi, variabel impor,
pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap inflasi.
5. Sitepu (2003) melakukan analisis faktor yang mempengaruhi inflasi di Sumut
dengan menggunakan variabel pengeluaran pemerintah, investasi, jumlah
kredit yang disalurkan bank umum, eksport netto, kurs (Rp/US$) dan
ekpektasi masyarakat. Hasilnya total pengeluaran pemerintah, kredit yang
disalurkan oleh bank umum, ekspor netto dan kurs rupiah terhadap dolar AS
mempunyai pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap perkembangan
inflasi di Sumut. Sedangkan total investasi dan inflasi tahun sebelumnya tidak
memberikan pengaruh yang signifian secara statistik.
6. Ball dan Sheridan (2003) mengatakan dalam studinya tidak ada bukti bahwa
inflation targetting mendorong performan ekonomi suatu negara. Karena bagi
negara menerapkan IT dan tidak sama sama menggunakan volatilitas tingkat
bunga. Aspek formal dan institusional IT seperti pengumuman target kepada
publik, laporan inflasi, tingkat kemandirian bank sentral menjadi tidak
penting. Karena IT diterapkan lebih pada alasan politik daripada ekonomi. IT
bisa jadi akan mendorong kemajuan ekonomi di masa yang akan datang.
7. Mishkin dan Posen (1998) menunjukkan setelah meneliti tiga negara yang
pertama menerapkan inflation targetting yaitu New Zealand, Kanada dan
Inggris telah berhasil meningkatkan transparansi dari kebijakan moneter dan
menurunkan secara signifikan tingkat inflasi tanpa adanya efek negatif kepada
tingkat output. Mishkin dan Posen menyampaikan Jerman telah menargetkan
inflasi dan mempunyai sasaran inflasi dalam angka secara eksplisit. Kunci
keberhasilan itu terletak pada fleksibilitas dan transparansi yang diterapkan
oleh Jerman.
8. Froyen (1987) melakukan studi untuk mengukur ketidakpastian harga agregat
di empat negara industri yaitu Kanada, Jerman, Inggris dan Amerika. Studi
dilakukan untuk menilai variabel yang memberikan kontribusi peningkatan
ketidakpastian harga yaitu tingkat inflasi, jenis inflasi dan tingkat
ketidakpastian harga. Di Kanada, Inggris dan Amerika menunjukkan ada
hubungan positif dan signifikan antara tingkat ketidakpastian harga dengan
tingkat dan jenis inflasi. Di Jerman tidak ada hubungan yang signifikan antara
tingkat ketidakpastian harga dengan perubahan tingkat inflasi. Hal ini karena
ada faktor tekanan harga minyak yang terjadi di Jerman tahun 1974.
2.7.Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teori yang telah disebutkan dalam kerangka teori diatas,
maka kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut
Perekonomian Indonesia
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran
2.8. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas dan kajian empiris yang dilakukan
sebelumnya, maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:
Sektor Pemerintah (Fiskal)
Sektor Riil Sektor Moneter
APBN
Investasi
Masalah Makro Ekonomi Pengeluaran
(Belanja Pegawai) Jumlah Uang Beredar
Inflasi
1. Belanja pegawai pemerintah mempunyai pengaruh positif terhadap inflasi
Indonesia
2. Investasi mempunyai pengaruh positif terhadap inflasi
3. Jumlah uang beredar mempunyai pengaruh positif terhadap inflasi
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan ruang lingkup Indonesia menggunakan
variabel belanja pegawai, investasi , jumlah uang beredar dan inflasi.
3.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder time series 1985 s.d. 2007 yang
bersumber dari Departemen Keuangan, Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia.
Adapun data yang dimaksud antara lain belanja pegawai pemerintah, investasi ,
jumlah uang beredar dan inflasi.
3.3. Model Analisis
Penelitian yang digunakan adalah penelitian yang menjelaskan variabel
penelitian, yaitu variabel terikat adalah inflasi dan variabel bebas adalah belanja
pegawai pemerintah, investasi dan jumlah uang beredar. Penelitian ini untuk menguji
hipotesis yang dirumuskan dan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
INF t = f (BPPt , JUBt, INVt) ... (3.1)
Kemudian bentuk dasar fungsi tersebut diatas dibuat dalam bentuk linear
sebagai berikut:
INF t = bo + b1 BPPt + b2 INVt + b3 JUB t + µ t ... (3.2.)
Dimana :
INF t = Inflasi pada tahun t (%)
BPPt = Belanja Pegawai Pemerintah tahun t (rupiah)
INVt = Investasi tahun t (rupiah)
JUB t = Jumlah uang beredar tahun t (rupiah)
bo = Intercept
b1 – b3 = Koefisien regresi
µ t = Variable pengganggu
3.4. Metode Analisis
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di negara
Indonesia digunakan persamaan regrasi linear berganda (multiple linier regresión)
dengan variabel terikatnya (dependent variable) adalah inflasi. Sebagai variabel
bebas (independet variable) dalam persamaan tersebut adalah belanja pegawai
pemerintah , investasi dan jumlah uang beredar.
Estimasi terhadap model dengan menggunakan metode Ordinary Least Square
(OLS). Pengujian statistik dilakukan dengan menggunakan uji statistik, yaitu uji – t (t
test) dan uji – F (F test). Nilai parameter yang digunakan dalam model diharapkan
bertanda positif (+) dan signifikan untuk semua nilai parameter.
Uji-t dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik regresi secara
parsial dan uji-F untuk mengetahui signifikansi statistik secara bersama.
3.5. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
Ada beberapa permasalahan yang bisa terjadi dalam model regresi linier, yang
secara statistik permasalahan tersebut dapat mengganggu model yang telah
ditentukan, bahkan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang
terbentuk. Untuk itu perlu dilakukan uji penyimpangan asumsi klasik, yang terdiri
dari :
a. Multikolinieritas
Interpretasi dari persamaan regresi linier secara implisit bergantung pada
asumsi bahwa variabel-variabel bebas (belanja pegawai tahun berjalan, investasi dan
jumlah uang beredar) dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi. Jika dalam
sebuah persamaan terdapat multikolinieritas maka akan menimbulkan beberapa
akibat. Untuk itu perlu dideteksi multikolinieritas dengan besaran-besaran regresi
yang didapat, yakni :
a. variabel besar (dari taksiran OLS)
b. interval kepercayaan lebar (karena variasi besar maka standar error besar
sehingga interval kepercayaan lebar)
c. uji-t (t rasio) tidak signifikan. Suatu variabel bebas yang signifikan baik
secara substansi maupun secara statistik jika dibuat regresi sederhana,
bisa tidak signifikan karena variasi besar akibat kolinieritas. Bila standar
error terlalu besar maka besar pula kemungkinan taksiran koefisien
regresi ( b1 – b3) tidak signifikan.
d. R 2 tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari uji-t
e. Terkadang nilai taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai
yang tidak sesuai dengan substansi, sehingga dapat menyesatkan
interpretasi.
b. Autokorelasi
Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian
observasi yang diurutkan menurut waktu. Dalam konteks regresi, model regresi linier
klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi
atau penggunaan µ i.
Dengan menggunakan lambang E (µ i, µ j) = 0 ; i ≠ j. Secara sederhana dapat
dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan
dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang
berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun.
Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model penelitian ini dilakukan
uji Lagrange Multiplier Test (LM test). Dengan membandingkan nilai x 2 hitung
dengan x 2 tabel, dengan kriteria penilaian sebagai berikut :
a. Jika nilai x 2 hitung > x 2 tabel, maka hipotesis yang dinyatakan bahwa
tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan ditolak.
b. Jika nilai x 2 hitung < x 2 tabel, maka hipotesis yang dinyatakan bahwa
tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan tidak dapat
ditolak.