• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bergerak Melampaui Pendekatan “Pelanggaran Hak Asasi Manusia” kepada Pendekatan ”Tanggung Jawab

Dalam dokumen Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi (Halaman 38-48)

C. Keterterapann�a pada Korporasi: Jangkauan �ang Lebih Luas dari Tanggung Jawab Bisnis terhadap HAM79

IV. Bergerak Melampaui Pendekatan “Pelanggaran Hak Asasi Manusia” kepada Pendekatan ”Tanggung Jawab

Korporasi”

112

Sebagaimana telah dilihat pada contoh-contoh di atas, terdapat beberapa kekurangan umum terkait dengan fakta bahwa hukum internasional yang pada awalnya dialamatkan pada aktor-aktor negara bisa menghadirkan kesulitan-kesulitan ketika diterapkan pada aktor-aktor bukan negara. Perusahaan sering kali mencoba mengabaikan hukum hak asasi manusia karena hukum-hukum itu ditulis untuk pemerintahan atau negara. Jika kewajiban hak asasi manusia untuk negara telah dinyatakan secara jelas (terutama belakangan ini) sebagai hal yang mencakupi baik kewajiban negatif untuk menghargai dengan tidak melakukan pelanggaran – atau sekurang-kurangnya menghindari pelanggaran – terhadap sebuah hak maupun kewajiban positif untuk melindungi, mempromosikan dan memenuhi

sebuah hak, hal yang sama tidak dapat dikatakan jelas untuk aktor bukan negara yang selama ini tampak terikat oleh kewajiban negatif “untuk tidak

melakukan pelanggaran” (do no harm).

Terhadap batasan-batasan umum ini, perihal khusus tentang

111 Ibid., U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/2003/38/Rev.2 (2003) Penekanan ditambahkan. 112 Lihat secara umum Gatto, op. cit.

keterlibatan bisnis dalam pelanggaran hak asasi manusia harus ditambah-kan. Rentang pelanggaran hak asasi manusia yang bisa dilakukan oleh bisnis sangatlah besar. Hal ini tergantung tidak hanya pada tingkatan-tingkatan berbeda dari keikutsertaan sebuah perusahaan secara suka rela tetapi juga berkaitan dengan sektor kegiatan bisnis, asal muasal etis, dan kedekatan. �engingat bahwa sektor privat ditentukan oleh prinsip ke-bebasan bertindak (freedom of action), sulit untuk menyatakan kepada sebuah perusahaan yaitu kepada siapa ia harus memilih atau menjadikan dirinya sebagai subkontraktor atau kepada siapa ia harus menjual produknya (misalnya pasukan polisi atau kelompok pemberontak) dan untuk campur tangan dalam keputusan-keputusan manajemen lainnya.113

Hal ini sangat terbukti dalam contoh tentang keterlibatan sistem perbankan dalam rejim apartheid, sebagaimana telah dibahas di atas, dan memuncul-kan pertanyaan tentang jangkauan tanggung jawab dan keterlibatan bisnis. Dalam kasus korporasi, problem-problem yang terkait dengan pengkhususan (individuation) legislasi dan jurisdiksi yang tepat dan biaya tuntutan dengan penghalangan akses terhadap keadilan kemudian mengurangi efektivitas upaya-upaya penyelesaian hukum.

Tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia tidak sepenuhnya dicakup oleh ketentuan-ketentuan hukum. Pada saat yang sama ada suatu kesadaran yang bertumbuh baik dalam masyarakat maupun dalam komunitas bisnis114 bahwa suatu pemahaman yang sempit tentang tanggung jawab korporasi tidak memenuhi tuntutan dan harapan kita dewasa ini, khususnya dalam situasi di mana hanya ada sedikit kepercayaan terhadap kekuatan keamanan.115

Sebagaimana ditunjukkan dalam contoh-contoh di atas, di Afrika

113 J. Parkinson, “The Socially Responsible Company”, dalam �. K. Addo (ed.), op. cit., hlm. 56. 114 Sir Geoffrey Chandler (Ketua Amnesty International UK, mantan eksekutif senior Royal Dutch/

Shell Group) “Diam atau tidak melakukan apa-apa akan dilihat sebagai perbuatan melanggengkan penindasan dan dapat dituduh sebagai tindakan penyertaan. Diam itu sendiri bukanlah sesuatu yang netral. Tidak melakukan apa pun bukanlah sebuah pilihan.” (Silence or inaction will be seen to provide comfort to oppression and may be adjudged complicity. Silence is not neutrality. To do nothing is not an option.) Dikutip dalam C. Avery, op. cit.

115 Sebuah pembahasan yang mendalam tentang peran bisnis yang berubah sebagai respons terhadap

pelbagai tekanan dapat ditemukan dalam C. Avery, ibid. Tentang hal ini, lihat juga S. Bottomley, “Corporations and Human Rights” dalam Bottomley S. dan Kinley D. (eds.), Commercial Law and Human Rights, Ashgate: Aldershot, 2002. hlm. 47-67.

Selatan beberapa perusahaan secara publik menyampaikan perminta -an maaf di hadap-an Komisi Kebenar-an d-an Rekonsiliasi atas tindak-an- tindakan-tindakan yang tidak akan memadai kalau dimintai pertanggungjawaban berdasarkan hukum pidana atau pertanggungjawaban perdata. Ini tampak mengungkapkan eksistensi dari sebuah area tentang tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia yang, meskipun tidak dicakupi oleh suatu definisi legal, bagaimanapun diakui oleh komunitas bisnis dan masyarakat luas sekurang-kurangnya dengan dasar moral dan politik. Eksistensi dari area yang terdefinisi secara buruk tentang tanggung jawab ini kemudian didukung oleh sejumlah gugatan (misalnya,

Doe v. Unocal)116 yang tidak sukses dibawa ke pengadilan menentang pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan korporasi, yang disebab -kan oleh kesulitan yang dihadapi dalam menentu-kan jangkauan tanggung jawab.

Perluasan tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia ini dapat digambarkan sebagai suatu pergerakan yang perlahan dari sebuah pendekatan pelanggaran (violation approach) – pendekatan yang ter-batas – pada hak asasi manusia kepada sebuah pendekatan tanggung jawab (responsibility approach) – pendekatan yang lebih luas – terhadap hak asasi manusia. Sebagaimana telah dibahas di depan, perusahaan-perusahaan serta individu memiliki kewajiban hak asasi yang terutama sekali di-bingkai dalam pengertian atau rumusan negatif, yaitu tidak melanggar hak-hak orang atau pihak lain melalui kegiatan-kegiatan mereka (prinsip

do no harm). Akan tetapi, harapan-harapan dewasa ini mendesak perusahaan untuk melampaui kewajiban utama ini dengan meminta korporasi untuk bukan hanya tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga untuk bertindak secara positif memastikan peng-hargaan mereka terhadap hak asasi manusia dan memastikan pelaksana-annya dalam masyarakat di mana mereka menjalankan bisnisnya. Pada dasarnya, ketika mereka membuktikan bahwa tindakan mereka tidak me -rusak, sebagai anggota masyarakat mereka bisa dikatakan berpartisipasi secara positif dalam suatu masyarakat dan dengan berbuat demikian

mereka mendukung kewajiban positif untuk mempromosikan, melindungi

dan memenuhi hak asasi manusia. Dapat dikatakan bahwa kewajiban-kewajiban ini sudah merupakan bagian dari kewajiban-kewajiban etis atau moral

meskipun masih kurang dipandang dari kaca mata legal dan dalam hal mekanisme pemberdayaannya.

Kenyataan ini pertama sekali menuntut adanya sebuah pen-dekatan baru dalam pengimplementasian hak asasi manusia yang bergerak melampaui interpretasi tradisional yang memandang negara sebagai pemegang tanggung jawab utama dan satu-satunya atas hak asasi manusia dan harus mulai mempertimbangkan hingga pada taraf mana aktor-aktor bukan negara bisa mengampu tanggung jawab atas hak asasi manusia. Kedua, hal ini mengarah pada suatu pergerakan dari sebuah pendekatan pelanggaran yang terbatas pada hak asasi manusia kepada sebuah pendekatan tanggung jawab117 yang lebih luas terhadap hak asasi manusia. Ini mencakupi komitmen korporasi untuk bukan hanya tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia tetapi juga untuk bertindak secara positif untuk memastikan penghargaan dan implementasi hak asasi manusia dalam masyarakat di mana pun bisnis atau korporasi beroperasi.

Kalau pendekatan pelanggaran lebih berdimensi legal (semata), maka pendekatan tanggung jawab lebih luas dari itu; ia mencakupi, selain tanggung jawab legal, tanggung jawab ekonomi, etis dan diskresionis (filantropik). Keempat dimensi ini, dalam etika bisnis, sering disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR). 118 Tanggung jawab ekonomis mencerminkan keyakinan bahwa perusahaan memiliki kewajiban untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan konsumen dan dalam prosesnya akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan itu sendiri dan para pegawainya. Tanggung jawab legal menunjukkan bahwa perusahaan diharapkan memenuhi tanggung jawab ekonominya dalam tuntutan hukum tertulis. Tanggung

117 Avery, op. cit., hlm. 45.

118 A. B. Carroll, “A Three-Dimensional Conceptual �odel of Corporate Social Performance”, Academy of Management Review, Vol. 4 No. 4, 1979, hlm. 497-505; lihat juga “The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the �oral �anagement of Organi�ational Stakeholders”, Business Horizons,

jawab etis menunjukkan sebuah perhatian bahwa perusahaan memenuhi harapan masyarakat tentang tindakan bisnis yang tidak dikodifikasikan ke dalam hukum, tetapi lebih sebagai yang dicerminkan di dalam standard, norma, nilai-nilai yang tidak tertulis yang secara implisit diturunkan dari masyarakat. Tanggung jawab diskresionaris perusahaan bersifat filantropik atau sukarela, dalam arti bahwa tanggung jawab ini merepresentasikan peran suka rela dari perusahaan terhadap harapan masyarakat yang tidak sejelas dalam tanggung jawab etis. Tanggung jawab etis dan diskresionaris melibatkan tanggung jawab yang lebih untuk melakukan apa yang baik (affirmative duty) dan menghindari cidera atau kerusakan (negative duty).

Pendekatan pelanggaran terhadap tanggung jawab korporasi ter-hadap hak asasi manusia lebih terkait dengan kapasitasnya sebagai pelanggar (violator) baik sebagai pelanggar utama maupun sebagai pelanggar penyerta atau pembantu. Kewajiban hak asasi manusia yang terkait dengan kapasitasnya sebagai pelanggar adalah kewajiban untuk

menghargai. Sifatnya adalah kewajiban negatif, yang terkait dengan prinsip etis do no harm atau prinsip non-malificence, yaitu prinsip tidak boleh men-datangkan kerugian atau nestapa bagi pihak lain. Dalam diskursus CSR, pendekatan ini menuntut adanya tanggung jawab legal (semata). Sementara, pendekatan tanggung jawab lebih melihat korporasi dalam kapasitasnya sebagai promotor dan protektor hak asasi manusia. Kewajiban hak asasi manusia yang terkait dengan kapasitasnya sebagai promotor dan protektor adalah kewajiban melindungi, mempromosikan, dan memenuhi. Sifatnya adalah kewajiban positif, yang terkait dengan prinsip etis affirmative duty. Pendekatan ini beririsan dengan ketiga jenis tanggung jawab lain dalam konsep CSR yaitu tanggung jawab ekonomis, etis, dan diskresionis (filantropik), dan tentu saja dengan tanggung jawab legal.

Bentuk dan sifat hubungan tanggung jawab bisnis terhadap hak asasi manusia dengan konsep CSR dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 2: Tanggung Jawab Bisnis terhadap HAM Perspektif Bentuk Pelanggaran HAM Pendekatan Kewajiban HAM Prinsip Etis Irisan dengan Komponen CS� Korporasi sebagai pelanggar HA� (yang utama) �elakukan (Commission) Pelanggaran Kewajiban negatif: kewajiban untuk menghargai Prinsip I: do no harm; prasyarat bagi Prinsip II Tanggung jawab: legal Korporasi sebagai penyerta dalam pelanggaran HA� (yang dilakukan oleh Negara) Commission dan Omission Korporasi sebagai promotor dan protektor HA� Diam-diri (Omission) Tanggung jawab Kewajiban positif: kewajiban untuk melindungi, mempromosikan dan memenuhi Prinsip II: affirmative duty; pemberi signifikasi bagi Prinsip I Tanggung jawab: ekonomis, legal, etis, dan diskresionis

Dibuat oleh Eddie Sius Riyadi @ 2008.

Jika keempat dimensi tanggung jawab sosial perusahaan ini diterima sebagai satu kesatuan, itu berarti kita menolak hakikat CSR yang semata-mata bersifat voluntaristik (suka rela), sebagaimana diyakini dalam teori klasik tentang CSR. Kemenyatuan keempat hal itu dalam aplikasinyaKemenyatuan keempat hal itu dalam aplikasinya paling tidak dapat dijelaskan sebagai berikut.119

Pertama, pengakuan terhadap komponen legal dari CSR mencegah kita dari melihat CSR sebagai hal yang bertentangan dengan, atau bisa mensubstitusikan, peraturan perundang-undangan. Ia menawarkan basis untuk menggabungkan pendekatan “ pengaturan-diri” (self-regulatory) dan “pengaturan dari luar” (regulatory) terhadap akuntabilitas TNCs. Komponen legal yang signifikan dalam perusahaan harus bersesuaian dengan hukum yang memayungi seluruh aktivitas dan operasi perusahaan atau bisnis. Lebih lanjut, penggabungan antara kedua hal itu

secara ekonomi berarti mengurangi biaya dan dengan demikian mem-berikan kontribusi pada komponen ekonomi dari CSR.

Kedua, CSR juga mengandung komponen etis yang kuat. Hukum memiliki kekurangan dalam hal mengantisipasi keadaan atau per-kembangan yang baru atau tidak biasa. Hukum cenderung lebih bersifat responsif ketimbang antisipatif. Karena itu, selalu ada kesenjangan waktu antara pengenalan terhadap problem dan kapasitas hukum yang meng-kontrolnya. Dalam konteks ini, CSR perlu menjadi lebih fleksibel dalam menangani kebutuhan-kebutuhan yang mencuat dari perubahan-perubahan sosial dan menyatupadukan kewajiban-kewajiban etis tersebut, yaitu kewajiban-kewajiban yang tetap tidak tertampung dalam terminologi kewajiban legal, melainkan yang didasarkan pada kebutuhan dan klaim atau tuntutan-tuntutan real masyarakat. Komponen etis dari CSR dapat dipandang sebagai komponen yang menyatupadukan seluruh wilayah yang luas dari tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia. Selain itu ia juga dapat mengisi celah legislasi dengan menangani semua area tanggung jawab korporasi yang sulit atau tidak bisa ditangani dalam kerangka hukum.

Akhirnya, CSR tampaknya memiliki potensi untuk mengintroduksi diskursus hak asasi manusia dengan menggunakan bahasa bisnis. CSR berasal muasal dari dunia bisnis, tetapi secara progresif merangkum pelbagai persoalan etis yang lebih luas. Pengembangan tanggung jawab TNCs terhadap hak asasi manusia secara efektif didasarkan pada sebuah pemahaman bersama tentang cakupan dan sasaran tanggung jawab bisnis terhadap hak asasi manusia. CSR bisa menyediakan sebuah alat untuk dialog antara aktor-aktor utama yang terlibat (LS�, masyarakat sipil dari negara-negara berkembang dan pelbagai perusahaan atau bisnis) dan ber -kontribusi menjembatani jurang antara hak asasi manusia dan komunitas bisnis.

CSR dapat dipandang sebagai solusi yang cepat dan fleksibel terhadap defisit akuntablitas korporasi dewasa ini. Namun demikian, ini tidak berarti menolak pertimbangan-pertimbangan yang diwajibkan oleh hukum. Sebaliknya, CSR dilihat sebagai pelengkap terhadap

aturan-aturan hukum positif dalam cakrawala sebagai strategi menyeluruh untuk membuat TNCs bertanggung jawab. Dasar-dasar konsensus yang lebih luas yang diciptakan oleh CSR kemudian bisa diterjemahkan ke dalam kewajiban-kewajiban legal. Pengembangan kewajiban legal terhadap masalah-masalah lingkungan merupakan sebuah contoh yang baik untuk bagaimana masalah-masalah sosial dapat dimasukkan menjadi kewajiban-kewajiban legal. Dahulu hanya sedikit orang yang percaya bahwa isu-isu lingkungan bisa menjadi masalah penting dalam konteks operasi korporasi, sementara sekarang kenyataannya justru sebaliknya, di mana kepedulian terhadap lingkungan telah menjadi kewajiban legal bagi perusahaan. Demikian juga halnya terhadap hak asasi manusia, yang sekarang ini mungkin belum menjadi perhatian utama, tetapi suatu hari jika diperjuangkan terus akan menjadi prioritas utama bagi operasi bisnis.

Dimensi “sosial” dari tanggung jawab bisnis ini didasarkan pada suatu konsep atau pengandaian sosiologis tertentu. �enurut “teori kontrak sosial” yang dikembangkan Thomas Donaldson, korporasi sebagai organisasi produktif terikat dalam sebuah kontrak dengan masyarakat,120

yang berimplikasi pada adanya serangkaian kewajiban resiprokal antara bisnis dan masyarakat. Pada gilirannya, masyarakat akan menuntut TNCs untuk menjalankan aktivitas mereka agar sesuai dengan norma-norma fundamental. �engingat daya pengaruh aktivitas sebuah TNC berjangkau internasional, maka norma-norma fundamental tersebut juga terdapat dalam hak asasi manusia yang juga bersifat, dan telah diterima secara, internasional dan universal. Karena itu, hak asasi manusia menyediakan standard untuk mengukur dan menilai tindakan �NEs dan menjadi alat untuk memediasi konflik potensial antara norma-norma di negara operasi (host state) dan negara asal (home state) sebuah TNC.121

Saya sendiri berpendapat bahwa konsep “sosial” dalam diskursus CSR sangat rentan disalahtafsirkan, dan karena itu watak voluntaristik-nya tetap kental. Kalau CSR hendak dikentalkan sebagai benar-benar tanggung jawab, terutama kewajiban terhadap hak asasi manusia, maka

120 Th. Donaldson, The Ethics of International Business, Oxford: Oxford University Press, 1989, pada hlm. 44-64.

syarat pertamanya adalah melihat entitas bisnis sebagai entitas politik.122

Kalau dalam hukum pidana internasional korporasi telah dilihat dan dipandang sebagai subjek hukum, mengapa ia tidak dipandang sebagai subjek politik juga? Ia dipandang sebagai subjek politik terutama dilihat dari prinsip operasionalnya yang bersifat voluntas (kehendak bebas), yang mana merupakan prinsip yang sama bagi subjek politik yang lain juga.

Syarat kedua adalah mengubah paradigma tanggung jawab politik. Pertanggungjawaban politik tidak lagi semata bersifat diametris.ertanggungjawaban politik tidak lagi semata bersifat diametris. Artinya, institusi atau aktor politik bertanggung jawab bukan semata karena mendapatkan kekuasaan formal dari rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan, tetapi terutama karena praktik penggunaan kekuasaan real di lapangan. Dengan demikian, kalaupun sebuah perusahaan tetap di-pandang sebagai institusi bisnis semata dan bukan merupakan entitas politik, tetapi kekuasaan ekonominya memiliki implikasi politik yang amat signifikan bagi masyarakat – misalnya kehadiran dan kegiatannya menyebabkan terampasnya hak-hak sosial dan politik komunitas tertentu di mana perusahaan itu beroperasi – apalagi jika perusahaan itu terlibat dalam kampanye, kegiatan dan dukungan politik baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, maka ia akan sah secara politik dimintai pertanggungjawaban.

Terkait advokasi hak asasi manusia, kewajiban yang diminta dari pelaku bisnis bukan lagi moralis, sosial, filantropis, voluntary, tetapi politik. Kewajiban dalam konsep hak asasi manusia – melampaui pengerti-an ypengerti-ang berlaku selama ini ypengerti-ang hpengerti-anya mengedeppengerti-ankpengerti-an kewajibpengerti-an legal, yang sudah saatnya dikritik – adalah kewajiban politik, yang mencakupi dimensi legal, ekonomi, sosial, etis, dan filantropis. Artinya, hak asasi manusia telah menjadi standar legitimasi kekuasaan. Jika itu diabaikan, legitimasi pemegang kekuasaan menjadi goyah. Demikian juga halnya dengan bisnis. Jika ia tidak menghargai dan mempromosikan hak asasi manusia dalam kegiatannya, maka legitimasi politiknya runtuh. Tidak ada tempat bagi yang apolitis dalam masyarakat karena masyarakat selalu sudah politis. Bisnis yang tidak mengindahkan dimensi politiknya tidak

122 Tentang tanggung jawab “politik” bisnis terhadap hak asasi manusia, telah diintroduksi dengan sangat singkat namun padat dalam tulisan saya. Lihat Riyadi, op. cit.

etis secara politik untuk hadir di sebuah masyarakat, terlepas dari fakta ia sudah mengantongi i�in legal atau tidak. Atas nama politik – tentu saja dengan konsep politik yang ditawarkan di sini – sekalipun belum ada hukum yang mengaturnya, bisnis tetap ditagih pertanggungjawabannya terhadap hak asasi manusia, baik yang bersifat negatif (kewajiban meng-hargai) maupun yang positif (melindungi, mempromosikan, dan me-menuhi).

Daftar Rujukan

Dalam dokumen Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi (Halaman 38-48)

Dokumen terkait