• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia:

Sebuah Pemetaan Singkat dalam

Perspektif Norma Internasional

Oleh Eddie Sius �i�adi�i�adi

As we look back over the past 60 years of the history of human rights, there is much to celebrate but also much that remains of concern. Over recent years the business community has stepped into the debate in a real and direct way and I very much welcome this. The months and years ahead will not be easy but there is also a real opportunity to harness the entrepreneurial spirit, to create new economic opportunities around some of the environmental and social challenges that all our societies face.

(Mar� �obinson, International Seminar on Business and Human Rights, 4-5 Desember 2008, Paris)

Abstract

This article explains how human rights obligations will be applied to corporations. To elaborate the issue, this article will map the scope of human rights obligations in international law, standards, norms and pratices. Here I use the two important ethical principles which are ”do no harm principle”

and ”affirmative duty”. The two-in-one principles is then related to three

perspectives of corporations capacity in terms of human rights obligations,

which are viewing corporations as main violator, aider and abettor, and as

promoter and protector. This article will show that legal approach itself and alone is very limited to satisfy our thirst for human rights responsibilty. Thus, I suggest to move beyond conventional approach which gave too much focus on violations to another and new approach, which is called ”responsibility approach”.

Keywords: human rights obligation, do no harm principle, affirmative

duty, corporate social responsibility, international human rights law,

international law, international criminal law, aiding and abetting, human

(2)

I. Pendahuluan

Salah satu perubahan yang paling signifikan dalam diskursus dan praktik hak asasi manusia belakangan ini adalah soal keterkaitan antara bisnis dan hak asasi manusia. �emang sekilas sangat susah menemukan�emang sekilas sangat susah menemukan hubungan antara bisnis dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Namun demikian, dewasa ini keterkaitan itu semakin disadari baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Peningkatan ekonomi dunia sejak tahun 1970-an telah mendatangkan efisiensi dan produk-tivitas yang semakin besar dan merangsang globalisasi di satu sisi, tetapi di sisi lain mendatangkan masalah berupa degradasi sosial dan kerusakan lingkungan hidup di negara-negara berkembang. Keprihatinan terhadap dampak negatif globalisasi ekonomi ini tidak hanya membersit dari para aktivis dan organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam isu hak asasi manusia dan lingkungan, melainkan juga dari para pengambil keputusan dan pemimpin bisnis itu sendiri. Keadaan negatif itu dinilai telah merusak kepentingan bisnis itu sendiri dan pengembangan hidup manusia.1

Sistem hak asasi manusia didasarkan pada asumsi utama tentang kekuasaan negara sebagai penanggung jawab utama dan bergelut keras tentang bagaimana menangani aktor-aktor bukan negara (non-state actors) yang bisa melanggar hak-hak asasi manusia atau menghalangi pemenuhan hak-hak mereka. Aktor-aktor tersebut men-cakupi antara lain: (1) institusi-institusi multilateral yang menolak mengakui akuntabilitas mereka di bawah hukum hak asasi manusia, misalnya Bank Dunia, I�F, dll.; (2) entitas-entitas bisnis, khususnya perusahaan-perusahaan transnasional atau multinasional (TNCs – Transnational Corporations, �NCs – �ultinational Corporations,

1 Uraian ini sebagian besar didasarkan pada Alexandra J. C. Gatto, “The European Union and Corporate Social Responsibility: Can the EU Contribute to the Accountability of �ultinational Enterprises for Human Rights?”, Working Paper No. 32, September 2002, Institute for International

Law, K. U. Leuven Faculty of Law; John Ruggie, Business and Human Rights: Mapping International Standards of Responsibility and Accountability for Corporate Acts (Report of the Special RepresentativeReport of the Special Representative

(3)

�NEs – �ultinational Enterprises); (3) kelompok-kelompok bersenjata yang terlibat dalam perebutan sumber daya alam atau konflik; dan (4) yayasan-yayasan yang diyakini memiliki peran yang besar dalam penyediaan akses terhadap obat-obatan tetapi kurang memiliki akuntabilitas terhadap prinsip-prinsip non-diskriminasi. Satu pen-dekatan yang selama ini kerap digunakan adalah menekan pemerintah untuk menimpakan akuntabilitas pada aktor-aktor bukan negara itu ketika mereka melanggar hak asasi manusia. Yang lain adalah menemukan cara-cara untuk membuat aktor-aktor bukan negara itu akuntabel, misalnya dengan menetapkan akuntabilitas korporasi atas kepenyertaannya dalam pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia.2 Suatu sistem bisnis yang patut harus mengakui keutamaan hak asasi manusia. Prinsip pemenuhan yang progresif harus dipahami secara lebih baik lagi: apa pun dalam sebuah sistem bisnis yang patut harus meningkatkan kapasitas negara-negara untuk memenuhi hak asasi manusia secara progresif. Hak atas remedi yang efektif merupakan kunci. Ketika hak-hak dilanggar sebagai

akibat dari perjanjian-perjanjian bisnis, para pihak yang terkena akibat dan dampaknya itu perlu mendapat akses dan kemampuan untuk membuat tuntutan kepada badan judisial dan memperoleh remedi yang efektif. Hal ini menuntut transparensi tentang isi perjanjian bisnis, partisipasi orang-orang yang hidupnya dipengaruhi oleh perjanjian-perjanjian tersebut, dan akuntabilitas atas akibat dari perjanjian-perjanjian tersebut. Ada suatu kebutuhan akan penilaian yang kuat dan faktual mengenai dampak hak asasi manusia (human rights impact assessment). Hal ini menuntut akses

terhadap informasi dan kerja-kerja intensif bersama dan untuk orang-orang yang hidupnya terkena dampak dari perjanjian bisnis. Hasil-hasilnya perlu dipublikasikan sehingga polanya bisa dideteksi dan digunakan untuk mempengaruhi negosiasi di masa depan. Ada banyak resistensi terhadap penilaian mengenai dampak hak asasi manusia – ada pendapat

2 Widney Brown (Senior Director of International Law, Policy and Campaigns, Amnesty International, UK), “The Nature of State Obligations and Corresponding Responsibilities of the Private Sector”, “Reconciling Trade and Human Rights, the New Development Agenda”, Ottawa: CCIC dan Quebec:

Rights and Democracy, Conference Report, 28-29 �ei 2007, Ottawa, Kanada. Tentang akuntabilitas

(4)

bahwa hasil-hasilnya tak berbentuk dan susah ditentukan – tetapi fakta bahwa sesuatu diragukan atau diperdebatkan bukanlah alasan untuk tidak melakukannya.

Tulisan ini akan membahas bagaimana kewajiban-kewajiban hak asasi manusia diterapkan terhadap korporasi dengan memandangnya dari dua prinsip utama dalam diskursus tentang etika, khususnya etika bisnis dan etika lingkungan. Definisi ini biasanya dibatasi untuk mengidentifikasi sebuah kewajiban utama yang mengikat perusahaan-perusahaan yang di-nyatakan dalam bentuk negatif (dengan pernyataan “tidak boleh…”). Pertimbangan akan diberikan pada norma-norma hukum yang men-dorong korporasi untuk mengadopsi tanggung jawab hak asasi manusia melampaui kewajiban negatif (prinsip do no harm, negative duties) dan mengutamakan peran proaktif atau kewajiban positif (affirmative duties) dalam perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Untuk itu, bagian kedua tulisan ini akan membahas kewajiban korporasi di bawah hukum hak asasi manusia internasional. Di dalamnya akan dijelaskan hubungan korporasi dan hak asasi manusia yang memperlihatkan empat kapasitas korporasi, yang terkait dengan empat bentuk kewajiban hak asasi manusia, yaitu sebagai pelanggar (utama dan penyerta), pelindung, promotor dan pemenuh hak asasi manusia. Selain itu, bagian ini juga akan menjelaskan cakupan tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia berdasar -kan hukum internasional beserta keterbatasannya.

Bagian ketiga akan memaparkan secara lebih mendalam lagi soal pelanggaran korporasi terhadap hak asasi manusia dalam bentuk tindakan penyertaan dan pembantuan yang dilihat dalam dua ranah yaitu hukum pidana internasional dan hukum konvensi internasional. Dalam bagian ini dijelaskan keterterapan pendekatan hukum internasional dan hukum hak asasi manusia internasional pada korporasi serta keterbatasannya.

Berdasarkan itu, bagian keempat akan menguraikan gagasan yang melampaui keterbatasan legal dalam diskursus tentang pertanggung-jawaban korporasi terhadap hak asasi manusia. Dalam kaitan dengan itu, akan dibahas isu tentang bagaimana klaim-klaim perluasan jangkauan

(5)

tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibilty,CSR) dalam kerangka kewajiban legal. Kemudian dielaborasi lebih jauh bahwa hukum memiliki beberapa keterbatasan dalam menegakkan tanggung jawab korporasi di mana hak asasi manusia menjadi perhatian utama. Sebagai hasilnya, dianjurkan bahwa tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia akan diperluas agar bisa merangkum rangkaian kewajiban yang baru ini.

Dalam tulisan ini beberapa kata dipakai bergantian untuk maksud yang sama yaitu: bisnis, korporsi, perusahaan, TNCs (transnational coporations), �NCs (multinational corporations), �NEs (multinational enterprises).

II. Kewajiban Korporasi di Bawah Hukum HAM

Internasional

A. Hubungan Korporasi dan Hak Asasi Manusia

Hubungan antara korporasi dan hak asasi manusia tidak mudah dinilai. Perusahaan-perusahaan multinasional biasanya mendapatkan keuntungan dari standard-standard hak asasi manusia yang rendah atau sistem pemerintahan yang lemah ketika mereka beroperasi di negara-negara berkembang. Namun demikian, mereka juga bisa menerap -kan praktik terbaik dan melaku-kan pekerjaan dan pembangunan yang sangat dibutuhkan dan bermanfaat. Bagian ini berupaya memetakan kerumitan ini, yang muncul dari gagasan bahwa relasi antara korporasi dan hak asasi manusia dapat kita tatap dari tiga perspektif yang berbeda-beda tetapi saling terkait: sebagai pelanggar hak asasi manusia, sebagai komplotan dalam kejahatan hak asasi manusia tetapi juga sekaligus sebagai promotor dan protektor hak asasi manusia.4 Dua perspektif pertama berhubungan dengan prinsip “tidak merugikan” (do no harm) atau la�im disebut juga “kewajiban negatif” (negative duty), yang dalam terminologi kewajiban hak asasi manusia tercermin dalam bentuk

(6)

kewajiban untuk menghargai (obligation to respect). Sementara, perspektif

ketiga mencerminkan prinsip kewajiban positif (affirmative duties), yang dalam terminologi kewajiban hak asasi manusia diderivasikan menjadi tiga jenis kewajiban yaitu: kewajiban untuk melindungi (to protect), mem-promosikan (to promote) dan memenuhi (to fulfill). Hubungan itu dapat kita gambarkan dalam bentuk tabel berikut:

Tabel 1: Hubungan Korporasi dan HAM

Perspektif Kewajiban HAM Prinsip Etis

Korporasi sebagai pelanggar HA� (yang utama)

Kewajiban untuk menghargai Prinsip harm (negative do no duty)

Korporasi sebagai penyerta dalam pelanggaran HA� (yang dilakukan oleh Negara)

Korporasi sebagai promotor dan

protektor HA� Kewajiban untuk melindungi, mempromosikan, dan memenuhi Prinsip affirmative duty

Dibuat oleh Eddie Sius Riyadi @ 2008.

Korporasi sebagai Pelanggar Hak Asasi Manusia

Korporasi bisa melanggar hak-hak buruh dengan menyalahgunakan dan mengeksploitasi tenaga buruh, dengan mencegah terbentuknya serikat buruh, dengan mempekerjakan buruh anak-anak dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses perekruitannya. Korporasi bisa mendatangkan kerusakan lingkungan yang bisa berdampak pada hak atas kesehatan, hak hidup kaum minoritas dan hak atas penentuan nasib sendiri.5 Aturan-aturan yang tidak efisien terhadap keselamatan pekerja

5 Lihat misalnya Royal Dutch Shell dan British Petroleum yang menyebabkan kerusakan lingkungan di pemukiman Ogoni di Nigeria dan Colombia. Contoh-contoh ini dikutip dalam S. Joseph, “An Overview of the Human Rights Accountability of �ultinational Enterprises”, dalam �. T. Kamminga dan S. Zia Zafiri (eds.), Liability of Multinational Corporations under International Law, The Hague:

(7)

bisa mengancam hak buruh atas kesehatan atau hak atas hidup.6 Tentang

hal ini akan dielaborasi lebih detail pada bagian II.B di bawah.

Keikutsertaan Korporasi dalam Pelanggaran HAM yang

Dilakukan oleh Negara

Perusahaan-perusahaan juga bisa bertanggung jawab karena berperan serta dalam atau membantu pelanggaran yang dilakukan oleh pihak lain, khususnya aparat pemerintah dan kelompok-kelompok bersenjata. Dalam kasus-kasus seperti itu perusahaan dikatakan melakukan pelanggaran dengan melakukan tindakan penyertaan. Telah diidentifikasi empat cara di mana sebuah perusahaan mendukung sebuah rejim yang secara sistematis melakukan pelanggaran hak asasi manusia.7 Pertama,

perusahaan bisa meningkatkan kapasitas represif sebuah rejim dengan menghasilkan produk atau menyediakan sumber-sumber utama penerimaan atau infrastruktur – seperti jalan, yang digunakan oleh rejim yang meningkatkan kekuatan represifnya. Kedua, perusahaan juga bisa mendatangkan kepercayaan internasional terhadap sebuah rejim yang justru tidak dapat dipercayai. Selanjutnya, ketiga, pelanggaran pemerintah bisa menguntungkan perusahaan secara komersial dalam hal di mana pemerintah melakukan pelanggaran untuk menghasilkan infrastruk -tur yang dirancang untuk manfaat bisnis. �isalnya, Unocal di Burma8 dapat dikatakan mendapatkan keuntungan dari tenaga kerja paksa, yang dipakai untuk membangun infrastruktur bagi Yadana Pipeline.9

Keempat, pemerintah bisa menghasilkan pelanggaran untuk

memberi-kan perusahaan sumber-sumber yang diperlumemberi-kannya atau bisa

6 Sebagai contoh kasus Bhopal di India di mana karena ada lubang gas kecil dari sebuah pabrik Union Carbide, 2000 orang meninggal dan 200.000 orang mengalami luka-luka. Untuk penangangan kasus ini lihat International Council on Human Rights Policy, “Beyond Voluntarism-Human Rights and the Developing International Legal Obligations of Companies”, Februari 2002, hlm. 13 (dapat diunduh

di http://www.ichrp.org)

7 Pembedaan ini dianjurkan dalam C. Forcese, Putting Conscience into Commerce: Strategies for Making Human Rights Business as Usual, �ontreal: International Centre for Human Rights and Democratic

Development, 1997, hlm. 22-24 (dapat diunduh di http://www.ichrdd.ca/flash.html).

8 S. Bottomley, “Corporations and Human Rights”, dalam S. Bottomley dan D. Kinley (eds.), Commercial Law and Human Rights, Aldershot: Ashgate, 2002, hlm. 47-68, pada hlm. 49.

(8)

mengakomodasi kepentingan komersial perusahaan dengan melancar -kan represi dalam rangka mendahului kemungkinan adanya protes kaum buruh.10 Tentang hal ini akan dielaborasi lebih detail pada bagian III.

Korporasi sebagai Promotor dan Protektor Hak Asasi

Manusia

Sebuah perusahaan bisa bertindak sebagai protektor jika, misalnya, ia mengambil langkah-langkah untuk melindungi hak asasi manusia yang secara langsung terlibat dalam aktivitas bisnisnya, misalnya kaum buruh -nya. �isalnya, adanya penanganan dan monitoring terhadap kondisi buruh oleh pemilik atau pengelola perusahaan. Tanggung jawab yang paling besar bagi tindakan perusahaan berada pada tingkat pertama, yaitu untuk mencegah atau memperbaiki keadaan akibat pelanggaran hak asasi manusia yang muncul secara langsung dari akibat kerja-kerja bisnis sebuah perusahaan.11 Namun demikian, sebuah perusahaan juga bisa mengupayakan promosi hak asasi manusia dari seseorang yang berada di luar perusahaannya, yang tidak terkait secara langsung, atau bahkan tidak ada kaitan sama sekali, dengan pekerjaan atau kegiatan bisnis perusahaan. Ini adalah situasi di mana sebuah perusahaan menjadi sadar akan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, yang sama sekali tidak terkait dengan kegiatan bisnisnya, misalnya ketika sebuah perusahaan berada dan beroperasi di sebuah negara yang diperintah oleh rejim otoriter yang kejam. Selain itu, sebuah perusahaan juga bisa mempromosikan hak asasi manusia dengan misalnya membuat pernyataan publik tentang isu-isu hak asasi manusia, melobi pemerintah, membantu kegiatan-kegiatan LS� yang bekerja bagi isu-isu hak asasi manusia, memasukkan informasi dan pertimbangan tentang hak asasi manusia dalam proses pembuatan

10 Sebuah analisis yang mendalam tentang kolusi dan kepenyertaan antara kekuasaan bisnis dan negara, yang diterapkan dalam sebuah kasus real, dapat ditemukan dalam Laporan KKR Afrika Selatan,

Report of the South African Truth and Reconciliation Commission, vol. 4, Bab 2, Institutional Hearings,

Business and Labour, Cape Town: Juta Publication, 1998.

(9)

keputusan-keputusan bisnisnya.12 Tentang hal ini akan dielaborasi lebih

detail pada bagian IV di bawah.

B. Cakupan Tanggung Jawab Korporasi terhadap

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berdasarkan Hukum

Internasional

13

Diskursus tentang tanggung jawab perusahaan terhadap hak asasi manusia, terutama terhadap kejahatan hak asasi manusia internasional, terutama sekali didasarkan pada penerimaan yang semakin meningkat oleh banyak negara terhadap standard-standard internasional tentang tanggung jawab individu dalam kejahatan hak asasi manusia, yang merupakan warisan dari Pengadilan Nuremberg, dan sekarang diinkorporasikan secara lebih matang dalam Statuta Roma untuk �ahkamah Pidana Internasional (lihat bagian III di bawah). �eskipun demikian – sebagaimana diakui oleh John Ruggie, dalam laporannya sebagai utusan khusus Sekjen PBB tentang Bisnis dan HA� – persoalan ini tetap menjadi perdebatan yang besar, sehingga tidak heran bahwa instrumen-instrumen hukum yang mengikat secara kuat (hard law) belum terbentuk untuk hal ini. Di tingkat nasional, terdapat begitu banyak ragam kandungan dan begitu luas cakupan tanggung jawab legal perusahaan terhadap hak asasi manusia.14 Namun demikian, riset-riset awal belum

mengidentifikasi adanya praktik negara yang seragam dan konsisten yang mengokohkan tanggung jawab korporasi di bawah hukum kebiasaan internasional.15

Pandangan tradisional tentang instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional adalah bahwa mereka hanya berlaku secara tidak

12 R. Sullivan dan D. Hogan, “The Business Case for Human Rights – The Amnesty International Perspective”, dalam S. Bottomley dan D. Kinley (eds.), op. cit., hlm. 69-87, pada hlm. 74.

13 Berdasarkan pada Ruggie, op. cit. dan Gatto, op. cit.

14 Untuk sebuah studi terhadap tujuh jurisdiksi yang dilakukan untuk Wakil Khusus PBB, lihat AllensAllens Arthur Robinson, Brief on Corporations and Human Rights in the Asia Pacific Region (Agustus 2006), http://www.reports-and-materials.org/Legal-brief-on-Asia-Pacific-for-Ruggie-Aug-2006.pdf. 15 Untuk studi terbaru, lihat JenniferA. Zerk, Jennifer A. Zerk, Multinationals and Corporate Social Responsibility, Cambridge:

Cambridge University Press, 2006; juga lihat survei negara dalam A/HRC/4/35/Add.3; Lihat Ruggie,

(10)

langsung pada perusahaan, yaitu tanggung jawab yang dikenakan oleh

hukum domestik suatu negara yang dikaitkan dengan kewajiban internasional negara. Namun demikian, beberapa pakar menyatakan bahwa instrumen-instrumen tersebut sudah menimpakan tanggung jawab legal secara langsung pada korporasi namun masih sangat kurang dalam hal mekanisme akuntabilitas. �isalnya, Sub-Komisi PBB tentang Promosi dan Perlindungan HA�, yang menjelaskan bahwa norma-norma yang Sub-Komisi itu ajukan mencerminkan dan menegaskan hukum internasional yang sedang berlaku,16 memberlakukan keseluruhan

sepektrum kewajiban negara di bawah perjanjian-perjanjian internasional – yaitu untuk menghargai, melindungi, mempromosikan, dan memenuhi hak-hak asasi manusia – kepada korporasi dalam kaitan dengan daya jangkau pengaruhnya atau “kekuasaannya”.17

Korporasi serta individu-individu, sebagaimana halnya negara, mempunyai kewajiban hak asasi manusia yang terutama sekali dibingkai dalam rumusan negatif (“tidak boleh…”)18 yaitu tidak boleh melanggar hak-hak asasi manusia dari pihak lain dalam kegiatan-kegiatan mereka dalam pelbagai bentuknya. Karena menggunakan rumusan negatif berupaKarena menggunakan rumusan negatif berupa kata “tidak”, maka ia sering disebut sebagai “kewajiban negatif” (negative duty). Kewajiban negatif merupakan turunan dari prinsip

pertama dalam etika bisnis dan lingkungan yaitu “prinsip tidak me-rugikan” (do no harm principle). Kewajiban negatif inilah ekspresi dari

ke-wajiban pertama dalam diskursus hak asasi manusia yaitu “keke-wajiban untuk menghormati” (obligation to respect). Di pihak lain, sebagaimana

telah dijelaskan di atas, peran korporasi tidak bisa dibatasi hanya pada melihat mereka sebagai pelanggar hak asasi manusia (violators) tetapi juga

16 Lihat “Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights”, Commission on Human Rights, Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights, sesi ke-55, item Agenda 4; E/CN.4/Sub.2/2003/12/Rev.2, 26 Agustus 2003,yang diadopsi pada sidangnya yang ke-22 pada 13 Agustus 2003.

17 Lihat Ruggie, paragraf 35.

18 �. Junk, Defining the Scope of Business Responsibility for Human Rights Abroad, The Danish Centre for Human Rights, The Confederation of Danish Industries and Industriali�ation Found from Developing Countries, pada hlm. 6, yang dapat diunduh di http://www. humanrights.dk; �. K. Addo, “Human rights and Transnational Corporations”, dalam �. K. Addo (ed.), Human Rights Standards and the Responsibility of Transnational Corporations, The Hague: Kluwer Law International, 1999, hlm. 3-37

(11)

dapat dilihat, hingga pada taraf tertentu, sebagai protektor dan promotor hak asasi manusia. Sekarang ada sebuah kesadaran yang berkembang biak dan baik dalam komunitas bisnis maupun institusi-institusi internasional dan masyarakat luas bahwa pemahaman yang sempit tentang tanggung jawab tidak akan memuaskan harapan kita sekarang ini.

Dapat dikemukakan bahwa sekali ada jaminan bahwa tindakan-tindakan perusahaan tidak merugikan, maka sebagai anggota

dari suatu masyarakat, perusahaan harus dituntut untuk berpartisipasi secara positif dalam masyarakat itu dengan mendukung

kewajiban-kewajiban positif (affirmative duties) untuk melindungi (to protect), mem promosikan (to promote), dan memenuhi (to fulfill) hak asasi manusia. Kewajiban untuk melindungi menuntut pengampu kewajiban (duty holder) untuk harus mencegah sedemikian hingga pihak atau individu lain tidak menunda-nunda atau menghalangi pemenuhan sebuah hak. Kewajiban

mempromosikan mengandung makna bahwa pengampu kewajiban harus

mengambil langkah-langkah untuk memfasilitasi penikmatan hak oleh orang-orang yang terkait. Akhirnya, kewajiban untuk memenuhi meng-haruskan pemegang kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang tepat untuk pemenuhan hak secara penuh. Dengan demikian, secara umum terdapat penolakan terhadap pandangan bahwa perusahaan sebagai aktor privat tidak bisa diikat oleh keempat kewajiban hak asasi manusia – menghargai, melindungi, mempromosikan, dan memenuhi – sebagaimana negara juga terikat padanya, di mana negara tetap merupa -kan pengampu kewajiban yang paling utama.

(12)

perusahaan-perusahaan, turut serta dalam sistem hukum internasional dan telah diberikan kewajiban dan kekuasaan atas hak tertentu di bawah hukum internasional. Perusahaan dapat dipandang sebagai “orang” atau subjek hukum dalam hukum internasional, sama seperti individu juga adalah subjek dalam hukum internasional kontemporer, bukan hanya negara. Karena itu dapat dikatakan bahwa korporasi mempunyai kewajiban sama seperti yang dilimpahkan hukum internasional kepada individu. Perusahaan-perusahaan komersial telah berpartisipasi dalam hukum internasional sebagai penerima manfaat (beneficiary) dari hak-hak asasi manusia tertentu dan telah mendapatkan akses kepada pengadilan-pengadilan internasional.19

�eskipun kenyataannya bahwa hukum internasional tidak secara langsung menjatuhkan kewajiban hak asasi manusia kepada perusahaan-perusahaan, ada indikasi bahwa hal itu bisa segera berubah di masa depan.20 Dalam upaya mengidentifikasi kewajiban-kewajiban hak asasi manusia pada perusahaan, rujukan pertama-tama dari semuanya adalah Deklarasi Hak Asasi �anusia (DUHA�), yang dalam tatanan normatif internasional memiliki tempat yang unik. Bagian Pembukaan-nya mePembukaan-nyatakan bahwa “setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini, harus berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna mem-promosikan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dan dengan tindakan-tindakan progresif pada skala nasional dan internasional, untuk menjamin pengakuan dan penghormatannnya yang universal dan efektif ...”21 Definisi badan di dalam masyarakat (organ of

society)22 bisa juga mengacu pada perusahaan-perusahaan karena badan-badan itu memainkan sebuah peran ekonomi yang jelas dan peran sosial yang semakin meningkat dalam masyarakat.

19 Sebagai contoh, Pengadilan HA� Eropa (the European Court of Human Rights) telah mengakui bahwa perusahaan bisa menikmati hak-hak seperti hak atas pengadilan yang patut, privasi dan beberapa aspek kebebasan berekspresi. Lihat sebagai contoh Autronic AG v. Switzerland, Eur. Ct HR

Series a 178 (1990), 12 (1990) EHRR 485 para. 47.47.

20 International Council on Human Rights, International Council on Human Rights, op. cit.

21 Lihat Pembukaan DUHA�, paragraf terakhir. Diadopsi sebagai resolusi �ajelis Umum PBB No. 217 Lihat Pembukaan DUHA�, paragraf terakhir. Diadopsi sebagai resolusi �ajelis Umum PBB No. 217No. 217 (III), 10 Desember 1948. Penekanan ditambahkan.

22 Sebuah “badan” dalam pengertian yang digunakan dalam pembukaan tersebut menunjuk pada

(13)

�eskipun pembukaan DUHA� tidak dipandang sebagai norma yang mengikat secara hukum, namun ia bisa digunakan untuk menafsir-kan bagian batang tubuh dari dokumen tersebut.2 Selain itu, ada pandangan bahwa entah mengikat secara hukum atau tidak, berkekuatan hukum atau tidak, Pembukaan DUHA� bisa diinterpretasikan dalam pengertian bahwa negara-negara yang mendrafnya, dengan memper-timbangkan perusahaan-perusahaan privat sebagai “badan di dalam masyarakat”, mendesak bisnis untuk menghargai hak asasi manusia yang sama seperti yang telah diakui untuk dihargai oleh negara-negara itu sendiri.24 Interpretasi ini kemudian didukung oleh konsensus luas yang telah didapatkan pada konferensi dunia yang diadakan oleh PBB tentang fakta bahwa perusahaan-perusahaan memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah terhadap Draf PBB tentang Aturan �ain Perusahaan Transnasional.25

Pasal 29 DUHA� menyatakan bahwa setiap orang mempunyai kewajiban terhadap komunitas dan pasal 30 berisi peringatan yang kuat terhadap individu untuk “tidak melakukan pengrusakan” (do no harm). Ketentuan ini, yang digemakan lebih lanjut oleh Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan pelbagai perjanjian hak asasi manusia regional, menyatakan bahwa “Tidak suatu hal pun di dalam Deklarasi ini boleh

ditafsirkan sebagai memberikan suatu Negara, kelompok ataupun seseorang hak untuk terlibat di dalam kegiatan apa pun atau melakukan

perbuatan yang bertujuan merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan

yang mana pun yang termaktub di dalam Deklarasi ini.” Dalam dukungan selanjutnya terhadap interpretasi semacam itu, beberapa instrumen internasional dan regional yang paling baru, misalnya Piagam Hak Asasi �anusia Asia, secara tegas mendesak perlunya korporasi untuk mengemban pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka.26

2 Telah diakui bahwa ketentuan-ketentuan dalam pembukaan dan dalam batang tubuh DUHA�

memiliki efek legal yang tidak langsung sebagai pedoman otoritatif bagi interpretasi atas pasal-pasal hak asasi manusia dalam Piagam PBB yang dengan itu pasal-pasal tersebut menciptakan kewajiban legal. Lihat Opini Dewan Penasihat tentang Namibia, ICJ Reports (1971), hlm. 16-345 pada hlm. 57. �ahkamah Internasional (The International Court of Justice, ICJ) menyatakan bahwa rejim apartheid Afrika Selatan telah melanggar Piagam PBB.

24 International Council on Human Rights Policy, op. cit., pada hlm. 61.

25 U.N. Code of Conduct on Transnational Corporations, 23 I.L.M. 626 (1984).

(14)

�eskipun kekuatan hukum dari DUHA� masih diperdebatkan, harus diakui bahwa beberapa dokumen telah mendesakkan kekuatan tersebut ke dalam hukum dan politik. Kekuatan hukum DUHA� telah dimasukkan ke dalam pembukaan setiap perjanjian hak asasi manusia, ke dalam hukum kebiasaan internasional, dan beberapa ketentuannya telah diinkorporasikan ke dalam konstitusi dan hukum di pelbagai negara. Selanjutnya, Deklarasi telah berkali-kali diterima dalam pelbagai resolusi politik dan konferensi dunia dari organisasi-organisasi semacam PBB. Pada tahun 1993, dalam Konferensi Dunia PBB di Wina, 171 Negara menguatkan kembali komitmen mereka terhadap tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam piagam PBB dan DUHA�.27

Namun pertanyaannya adalah apakah instrumen-instrumen tersebut menetapkan tanggung jawab legal secara langsung kepada perusahaan?

�emang ada pengakuan tentang tanggung jawab perusahaan yang dimasukkan ke dalam pembukaan instrumen legal internasional dan nasional, tetapi dengan demikian tidak mengikat secara hukum karena tidak ditempatkan dalam batang tubuh.28

�eskipun hampir tak satu pun dari instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional, regional, dan nasional menghalangi negara dari menimpakan secara langsung tanggung jawab internasional kepada

internasional dan negara untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak asasi manusia telah dilemahkan oleh proses globalisasi seiring makin menguatnya peralihan kekuasaan atas kebijakan ekonomi dan sosial dari negara ke korporasi-korporasi bisnis. Negara-Negara semakin ditawan oleh perusahaan keuangan dan perusahaan lain untuk mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang sempit dan berdaya jangkau pendek yang menyebabkan penderitaan yang begitu besar bagi banyak orang, sementara di sisi lain menambah kekayaan bagi segelintir orang. Korporasi bisnis bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak-hak asasi para pekerja, perempuan dan masyarakat adat. Karena itu perlu penguatan rejim hak dengan membuat perusahaan bertanggung jawab secara hukum atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia.” Lihat: http://www.tahr.org.tw/site/data/ahrc/index.html.

27 UN, World Conference on Human Rights, The Vienna Declaration and Programme of Action, 25 Juni 1993, UN Doc.A/ CONF. 157/23 (1993), dapat diunduh di http://unhcr.ch/udhr/index.htm.

28 Pasal umum 5(1) dari ICCPR (Kovenan Hak Sipil dan Politik) dan ICESCR (Kovenan Hak Ekonomi,ICCPR (Kovenan Hak Sipil dan Politik) dan ICESCR (Kovenan Hak Ekonomi,

Sosial dan Budaya) menyatakan bahwa (kedua) Kovenan ini tidak boleh diinterpretasikan untukuntuk memberikan hak “kepada suatu Negara, kelompok atau individu untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini atau untuk membatasinya lebih dari yang telah ditetapkan dalam Kovenan ini.” Namun ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk membangun kewajiban-kewajiban legal atas individu atau kelompok, badan-badan perjanjian juga tidak boleh menafsirkannya demikian. Lihat �anfred Nowak,�anfred Nowak, United Nations Covenant on Civil and Political Rights: CCPR Commentary, Arlington, VA: N.P. Engel, edisi revisiArlington, VA: N.P. Engel, edisi revisiedisi revisi

(15)

perusahaan, namun pertanyaannya adalah mengapa negara masih enggan melakukannya? Apakah karena tidak dinyatakan secara eksplisit maka negara mengartikannya sebagai negara tidak dapat secara langsung menimpakan tanggung jawab kepada perusahaan? Apakah karena instrumen hukum atau hak asasi manusia internasional tidak secara eksplisit menyatakannya maka itu berarti bahwa perusahaan tidak dapat

dimintakan pertanggungjawaban secara langsung atas kejahatannya? Perjanjian-perjanjian hak asasi manusia dengan tegas menyatakan bahwa negara mempunyai sebuah kewajiban untuk “menjamin peng-hargaan” dan “menjamin penikmatan” hak asasi manusia. Beberapa pakar berpendapat bahwa hal ini dengan sendirinya menimpakan tanggung jawab secara langsung pada semua aktor sosial, termasuk perusahaan, untuk menghargai hak-hak asasi manusia pada tempat pertama. Namun, sebagaimana dikatakan John Ruggie,29 bagaimana klaim

ini diuji? Satu cara adalah dengan memeriksa komentar-komentar dari badan-badan perjanjian, misalnya Komite HA� untuk Kovenan Hak Sipil dan Politik, mengingat badan-badan itu memang ditugaskan untuk membuat tafsiran yang otoritatif atas pelbagai ketentuan dalam rejim hak asasi manusia internasional. �eskipun mandat mereka adalah untuk menentukan tanggung jawab negara, namun beberapanya telah mem-perlihatkan minat yang terus meningkat pada peran bisnis itu sendiri dalam kaitan dengan hak asasi manusia.

Dengan dasar yang murni logis, sebuah argumen yang lebih kuat bisa dibuat untuk tanggung jawab langsung korporasi di bawah konvensi-konvensi utama ILO: ketentuan-ketentuan yang menjadi cakupannya dimaksudkan untuk semua tipe pengusaha termasuk perusahaannya; perusahaan secara umum mengakui tanggung jawab yang lebih besar untuk para karyawan mereka dari pada pemangku kepentingan (stakeholder) lain; dan mekanisme supervisi ILO dan prosedur

pengaduan menentukan peran-peran organisasi para pengusaha dan serikat buruh. Namun logika semata tidak dengan sendirinya

(16)

kan hukum, dan tanggung jawab legal korporasi di bawah konvensi ILO tetaplah tidak langsung.0

Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR) dalam Komentar Umum tentang Hak atas �akanan yang �emadai31 dan Hak

atas Kesehatan2 telah dengan tegas menimpakan tanggung jawab kepada subjek-subjek privat seperti perusahaan. Sebagai tambahan terhadap halSebagai tambahan terhadap hal ini, Panduan untuk Korporasi �ultinasional yang dikeluarkan oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (the OECDthe OECD Guidelines for �ultinational Corporations), Deklarasi Tripartit ILO tentang Prinsip-Prinsip Berkenaan dengan Perusahaan-Perusahaan �ultinasional (the ILO Tripartite Declaration of Principles Concerning �ultinational Enterprises) dan Draf Prinsip-Prinsip Hak-Hak Asasi �anusia yang Fundamental untuk Bisnis (Draft Fundamental Human Rights Principles for Business)4 menegaskan bahwa perusahaan harus menghargai prinsip-prinsip yang diarahkan pada perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Namun, dalam pelbagai perbincangan badan-badan perjanjian PBB tentang tanggung jawab korporasi, tetap tidak jelas apakah mereka mempertimbangkan hal itu sebagai tanggung jawab yang berhakikat legal.5 �isalnya, komentar umum yang paling baru dari CESCR tentang hak atas pekerjaan mengakui bahwa pelbagai aktor privat “mempunyai tanggung jawab berkenaan dengan pemwujudan (realization) hak atas

pekerjaan”, bahwa perusahaan-perusahaan privat baik nasional maupun multinasional “mempunyai peran khusus dalam penciptaan lapangan

0 Lihat Ruggie, ibid., paragraf 42.

31 CESCR (Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), General Comment 12, The Right to Adequate Food

(Pasal 11), 12 �ei 1999, para. 20 menyatakan bahwa “�eskipun hanya negara-negara yang menjadi pihak dalam Kovenan ini dan dengan demikian paling bertanggung jawab atas penegakannya, semua anggota individu masyarakat, organisasi lokal keluarga-keluarga, organisasi masyarakat sipil memiliki tanggung jawab dalam perealisasian hak atas pangan yang memadai. Sektor bisnis privat – nasional dan internasional – harus menjalankan kegiatannya dalam kerangka kerja aturan main yang kondusif dengan penghargaan terhadap hak atas pangan yang memadai…”

2 CESCR, General Comment 14, The Right to the Highest Attainable Standard of Health, (Pasal 12), Juli 2000, para. 42.

ILO Tripartite Declaration of Principles Concerning �ultinational Enterprises and Social Policies,

diadopsi oleh Governing Body ILO pada 16 November 1977, dalam N. Horn (ed.), Legal Problems of Codes of Conduct for Multinational Enterprises, Deventer: Kluwer, 1980, hlm. 479-491.

4 UN document E/ CN. 4/ Sub.2: 2002�/Add, E/CN. 4/Sub/2002/wg; 2/wp; 1/Add. Diunduh di http://UN document E/ CN. 4/ Sub.2: 2002�/Add, E/CN. 4/Sub/2002/wg; 2/wp; 1/Add. Diunduh di http://

www.1umn.edu/humanrights/lnks/principles 11-18-200 htm.recognise pada 15 �ei 2002.

(17)

kerja, kebijakan pengangkatan karyawan dan akses yang non-diskriminatif atas pekerjaan”.36 Namun kemudian dalam komentar yang sama, Komite

tersebut tampaknya menegaskan ulang pandangan tradisional bahwa perusahaan-perusahaan seperti itu “tidak terikat” oleh Kovenan yang dimaksud (dalam hal ini Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Demikian juga, komentar umum yang paling baru dari Komite Hak Asasi �anusia (HRC, Komite untuk hak sipil dan politik) menyimpulkan bahwa kewajiban perjanjian (treaty obligation) “tidak memiliki … efek hori�ontal

yang langsung sebagai sebuah persoalan hukum internasional” – yaitu, kewajiban-kewajiban itu berpengaruh di antara aktor-aktor bukan negara

hanya berdasarkan undang-undang atau hukum domestik.37

Singkatnya, perjanjian-perjanjian hukum dan hak asasi manusia internasional tidak secara eksplisit menetapkan tentang tanggung jawab legal korporasi secara langsung. Sementara, komentar-komentar umumSementara, komentar-komentar umum badan-badan perjanjiannya (komite-komitenya) tentang masalah ini sangat ambigu. Namun demikian, perhatian yang semakin meningkat dari Komite-Komite setiap perjanjian untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia oleh korporasi memperlihatkan pengakuan bahwa bisnis memang mampu baik untuk melanggar hak asasi manusia maupun untuk berkontribusi pada perlindungannya.8

Pada bagian berikut, kita akan mencoba bergerak melampaui keterbatasan-keterbatasan sistem hukum hak asasi manusia internasional ini, tetapi tetap dengan menggunakan kerangka legal, yaitu dengan meng -gunakan konsep tindak pidana melalui kepenyertaan (complicity).

36 CESCR, General Comment 18, 2007, para. 52. Untuk komentar serupa lihat CESCR, General Comments52. Untuk komentar serupa lihat CESCR, General Comments 14, 2007, para. 42 dan 12, para. 20. Lihat juga CRC (Komite Hak Anak), General Comment 5, 2007, para. 56, yang menyatakan bahwa kewajiban negara untuk menghargai “dalam praktiknya meluas” kepada organisasi bukan negara.

37 HRC (Komite Hak Sipil dan Politk), General Comment 31, 2007, para. 8. Penekanan ditambahkan.HRC (Komite Hak Sipil dan Politk), General Comment 31, 2007, para. 8. Penekanan ditambahkan.

8 Sebagai tambahan, panel-panel Dewan Keamanan yang menilai efektivitas sanksi telah secara

(18)

III. Standard Hukum Kebiasaan Internasional untuk

Pertanggung jawaban Hukum Korporasi atas Tindakan

Pen�ertaan dan Pembantuan

39

Dalam diskursus hak asasi manusia internasional, salah satu bentuk pe-langgaran adalah berupa tindakan penyertaan dan pembantuan (aiding and

abetting) oleh pelbagai entitas baik aktor negara maupun bukan negara. Norma hukum internasional yang menentang tindakan penyertaan dan pembantuan dalam pelanggaran hak asasi manusia diderivasikan dari norma-norma yang menentang pelanggaran atau kejahatan utama hak asasi manusia. Karena itu, untuk kepentingan kita di sini yaitu meme-takan standard-standard hukum internasional yang mungkin untuk mengidentifikasi pelanggaran hak asasi manusia oleh korporasi, tidaklah begitu penting untuk melakukan analisis yang mendalam tentang apa

kewajiban hak asasi manusia yang utama yang mungkin dan dapat diampu

oleh korporasi. Yang lebih penting untuk dicamkan adalah bahwa korporasi memiliki status sebagai subjek hukum (legal personality) dan hak

serta kewajiban-kewajiban di bawah hukum internasional. Dan dengan demikian, sebagaimana aktor-aktor internasional lainnya, korporasi dilarang membantu pelanggaran terencana terhadap hukum internasional seperti pelanggaran atau kejahatan hak asasi manusia. Sebagaimana ter-cermin dalam Pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi �anusia (DUHA�), komunitas internasional sudah lama mengakui bahwa “setiap

orang dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat

Deklarasi ini, harus berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna mempromosikan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dan dengan tindakan-tindakan progresif pada skala nasional dan internasional, untuk menjamin pengakuan dan penghormatannya yang universal dan efektif ...”40 �eskipun hukum hak asasi manusia internasional secara umum berfokus pada perlindungan individu dari pelanggaran yang dilakukan oleh negara, namun telah

39 Lihat secara umum �an�ella, dkk., Lihat secara umum �an�ella, dkk., op. cit.

40 Lihat Pembukaan DUHA�, paragraf terakhir. Diadopsi sebagi resolusi �ajelis Umum PBB No. 217 Lihat Pembukaan DUHA�, paragraf terakhir. Diadopsi sebagi resolusi �ajelis Umum PBB No. 217Diadopsi sebagi resolusi �ajelis Umum PBB No. 217No. 217

(19)

diakui bahwa paling tidak sejak Pengadilan Nuremberg semua aktor, termasuk aktor bukan negara memiliki kewajiban untuk menghindar dari tindakan membantu negara dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran yang dilarang itu. Rejim hukum internasional yang berlaku sekarang ini mengandung suatu justifikasi yang tidak terbantahkan yaitu bahwa supaya hukum internasional efektif dalam melindungi hak asasi manusia, setiap orang harus dilarang membantu pemerintah di negara mana pun dalam melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut.41

Sumber-sumber hukum internasional, sebagaimana terartikulasi dalam statuta �ahkamah Internasional (International Court of Justice, ICJ), telah diakui dan dikenal luas, dan mencakupi konvensi-konvensi internasional, kebiasaan internasional (praktik umum yang diterima oleh hukum dan prinsip-prinsip hukum umum yang dikenal oleh bangsa-bangsa beradab) sebagai sumber pertama, dan keputusan-keputusan judisial dan karya-karya dari pakar-pakar berkualifikasi tinggi dari pelbagai bangsa sebagai sumber-sumber kedua. Pandangan umum tentang hukum kebiasaan internasional (customary international law) adalah bahwa “ada dua elemen esensial dari kebiasaan, yaitu praktik dan

opinio juris”, di mana negara meyakini bahwa pelaksanaannya diperlukan

oleh kewajiban legal.42 Norma-norma hak asasi manusia berkembang seperti halnya norma-norma hukum kebiasaan internasional lainnya. Namun praktik negara yang relevan di sini biasanya jatuh ke dalam dua kategori: respons terhadap pelanggaran terhadap norma-norma tersebut, dan pengembangan perjanjian yang sesuai atau yang mendukung norma-norma tersebut.4 Aksi-aksi negara di PBB atau forum-forum

41 A. Clapham, Human Rights Obligations of Non-State Actors, Oxford: Oxford University Press, 2006, hlm.

80.

42 R.JenningsdanA.Watts(eds.), R. Jennings dan A. Watts (eds.), Oppenheim’s International Law, ed. ke-9, London: Longman, 1992, hlm. 27

4 A. D�Amato, “Human Rights as Part of Customary International Law: A Plea for Change of A. D�Amato, “Human Rights as Part of Customary International Law: A Plea for Change of

Paradigms”, 25 Ga. J. Int’l & Comp. L. 47, hlm. 81-98 (1995-1996); lihat juga I. Brownlie, Principles of Public International Law, ed. ke-7, New York: Oxford University Press, 2008 (terbit pertama kali

(20)

internasional lainnya, khususnya dalam memaafkan atau menyalahkan kegiatan-kegiatan tertentu, dapat dianggap sebagai bukti dari opinio juris.44

Terdapat cukup bukti tentang norma hukum kebiasaan internasional menyangkut penyertaan dan pembantuan, yang secara mengagumkan juga dipraktikkan secara konsisten dalam prinsip-prinsip hukum domestik banyak bangsa. Berikut ini kita melihat dua pilar otoritas utama yang menjadi dasar dari norma tersebut, yaitu: (1) hukum pidana internasional, yang merepresentasikan satu bentuk respons negara dan komunitas internasional terhadap tindakan penyertaan dan pembantuan dalam pelanggaran hak asasi manusia; (2) sekumpulan konvensi terkait yang konsisten dengan norma tersebut. Kedua pilar ini mengarah kepada suatu standard hukum yang diterima umum yaitu bahwa, sama seperti aktor-aktor lain, sebuah korporasi bertanggung jawab atas penyertaan dan pembantuannya dalam pelanggaran hak asasi manusia ketika ia menyediakan bantuan substansial kepada pelanggar utama hak asasi manusia, dengan pengetahuan bahwa tindakannya akan membantu atau

mendorong terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

A. Hukum Pidana Internasional

Paling kurang sejak sidang-sidang Pengadilan Nuremberg, hukum pidana internasional telah mengakui dan mendefinisikan tanggung jawab individu dan korporasi atas tindakan penyertaan dan pembantuan ter-hadap pelanggaran hak asasi manusia. Setelah itu, Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY) dan Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda (ICTR), dan juga badan-badan lain, telah memperkuat standard-standard tindakan penyertaan dan pembantuan dalam kejahatan.

Umum PBB”).

44 Jennings dan Watts, op. cit., hlm. 28; Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, Dordrecht/

(21)

Standard sebagaimana Didefinisikan dalam

Furundzija

Rumusan yang paling sering dirujuk dalam hal proses hukum terhadap tindakan penyertaan dan pembantuan diambil dari putusan ICTY 1998 dalam Penuntut vs. Furundzija. �eskipun statuta ICTY memasukkan sebuah larangan tentang kejahatan “penyertaan dan pembantuan”, namun ia tidak mendefinisikan apa itu “penyertaan dan pembantuan”. Karena itu, ICTY dalam sidang Penuntut vs. Furundzija “memeriksa hukum ke-biasaan internasional” untuk menentukan standard yang tepat.45 Setelah menyelidiki praktik hukum internasional selama 50 tahun tentang per-soalan tersebut, ICTY kemudian menyimpulkan bahwa standard ke-biasaan tentang penyertaan dan pembantuan mengandung unsur-unsur berikut: (1) actus reus (perbuatan yang diprasyaratkan) dalam

tindakan-tindakan perbantuan, dorongan, atau dukungan moral, yang memiliki efek substansial pada pelaksanaan kejahatan hak asasi manusia;46 (2) mens rea

(unsur niat yang diprasyaratkan, mental state) yang diketahui bahwa

per-buatan seseorang akan mendorong perper-buatan pelanggaran yang di -maksud.47 ICTY kemudian mengulangi standard tersebut, yang

menetap-kan para terdakwa bertanggung jawab atas tindamenetap-kan penyertaan dan pem-bantuan di mana dengan sepengetahuan mereka sendiri mereka melaku-kan tindamelaku-kan-tindamelaku-kan berupa bantuan praktis, dorongan, atau dukungan moral kepada pelaku utama.48

Actus Reus

Persyaratan actus reus bagi pertanggungjawaban atas tindakan penyertaan

dan pembantuan dalam hukum pidana internasional dipenuhi oleh pelbagai tindakan atau perbuatan yang secara sengaja dan “langsung mengakibatkan pelaksanaan kejahatan itu sendiri”.49 Bantuan tersebut 45 Prosecutor v. Furundzija, ICTY Case No. IT-95-17/1-T (Trial Chamber Dec. 10, 1998), hlm. 191, tersedia

dihttp://www.un.org/icty/furund�ija/trialc2/judgement/index.htm.

46 Ibid., hlm. 22-5.

47 Ibid., hlm. 24.

48 Prosecutor v. Blagojevic and Jokic, ICTY Case No. IT-02-60 (Trial Chamber Jan. 17, 2005), 726, tersedia di

http://www.un.org/icty/blagojevic/trialc/judgement/index.htm.

(22)

tidak perlu menyebabkan tindakan pelaku utama, tetapi ia harus memiliki “efek substansial” pada perbuatan kejahatan yang dimaksud. Bantuan itu bisa saja diberikan berupa sebuah tindakan atau perbuatan, dan bisa saja terjadi sebelum, selama atau setelah tindakan pelaku utama.50

Untuk memahami persoalan ini secara lebih dalam lagi, konsep ke -penyertaan harus dibagi ke dalam tiga kategori: ke-penyertaan langsung, tidak langsung, dan diam-diri. Kepenyertaan langsung (direct complicity) adalah bentuk bantuan yang paling aktif dan paling jelas. �isalnya, sebuah perusahaan yang mendorong, atau membantu, relokasi paksa ter-hadap orang-orang di lingkungan-lingkungan tertentu yang menyebab-kan pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia internasional bisa dianggap telah terlibat secara langsung dalam pelanggaran yang dimaksud.51

Setelah Perang Dunia II, Pengadilan Nuremberg menemukan bahwa tindakan langsung mencakupi tindakan-tindakan seperti me-rampas properti dan mesin-mesin dari kaum Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan, dengan cara yang sedemikian rupa sehingga membantu dan mendukung agresi Jerman yang ilegal itu.52 Pengadilan Nuremberg menemukan bahwa direktur perusahaan pabrik Krupp bertanggung jawab karena membantu rejim Na�i di mana para terdakwa telah me-rampok dan merusak properti penduduk di wilayah-wilayah pendudukan,

www.un.org/icty/tadic/trialc2/judgement/index.htm; lihat jugaA. Clapham dan S. Jerbi, “Categories of Corporate Complicity in Human Rights Abuses”, 24 Hastings Int’l & Comp. L. Rev. 339, 341 (2001).

50 Blagojevic and Jokic, op. cit., hlm. 726; lihat juga Tadic, ibid., hlm. 23, 689, 691-92 (yang menyatakan

bahwa tindakan salah mencakupi “partisipasi [yang] secara langsung dan substansial mempengaruhi pelaksanaan kejahatan tersebut dengan mendukung pelaksanaannya yang aktual sebelum, selama, atau setelah kejadian tersebut”).

51 Clapham & Jerbi, op. cit., hlm. 42.

52 The Farben Case, �ilitary Tribunal VI, Case 6: U.S. v. Krauch, dalam8 Trials of War Criminals under Control Council Law No. 10, hlm. 1169 (1948) (Para terdakwa adalah direktur-direktur dari IG Farben,

(23)

dan mendeportasi dan menggunakan para tahanan perang dan kawanan kamp konsentrasi sebagai pekerja paksa.5

Kepenyertaan tidak langsung (indirect complicity) bisa dikenakan

pada pelbagai tindakan yang memiliki efek substansial pada pelanggaran, meskipun si penyerta (aider) dan pembantu (abettor) tidak memiliki peran langsung. �isalnya, Pengadilan Nuremberg mendakwa para pegawai perusahaan karena membantu dan mendukung penjualan gas beracun ke kamp-kamp konsentrasi dengan sepengetahuan mereka sendiri bahwa gas-gas beracun itu akan digunakan untuk menjalankan pembunuhan massal, terlepas dari fakta bahwa mereka tidak mempunyai kekuatan untuk mengawasi cara-cara penggunaan gas tersebut.54 Kasus Flick juga menemukan pertanggung jawaban hukum soal penyertaan dan pem-bantuan dalam ketiadaan kontrol terhadap pelaku sebenarnya; dalam kasus itu, seorang terdakwa (Steinbrinck) didakwa “di bawah prinsip-prinsip hukum yang mapan” karena dengan pengetahuannya sendiri ia menyumbangkan uang kepada sebuah organisasi Na�i, terlepas dari fakta bahwa ia tidak memiliki kekuatan untuk mengawasi organisasi tersebut dan walaupun “tidak terpikirkan” bahwa ia akan “dengan rela menjadi pihak” dalam kejahatan tersebut.55 Demikian juga, pengadilan ICTY me-netapkan seorang terdakwa lain (Flick) bertanggung jawab atas sebuah program perbudakan buruh yang diinisiasi dan dijalankan oleh kaum Na�i, setelah ia meminta produksi yang meningkat dengan pengetahuan bahwa buruh-budak akan dipekerjakan untuk memenuhi kuota mereka yang lebih tinggi itu. Pengadilan Nuremberg menemukan bahwa ia ber-tanggung jawab secara hukum meskipun pengadilan mengakui bahwa ia (Flick) tidak “menimbulkan pengaruh atau mengambil bagian dalam formasi, pelaksanaan atau keberlanjutan dari program buruh-budak itu.”56

5 The Krupp Case, �ilitary Tribunal IV, Case 10: U.S. v. Alfried Krupp et al., Juli 31, 1948, dalam9 Trials of War Criminals under Control Council Law No. 10, hlm. 4 (1948) (Dua belas mantan direktur Krupp Group

didakwa karena membantu pasokan senjata untuk tentara Jerman dan dengan demikian membantu Na�i dalam mempersiapkan perang yang agresif, selain juga karena menggunakan buruh-budak di perusahaan-perusahaan mereka.)

54 Trial of Bruno Tesch and Two Others, 1 Law Reports of Trials of War Criminals 93 (Brit. �il. Ct. 1947).

55 U.S. v. Friederich Flick, dalam6 Trials of War Criminals Before the Nuremberg Military Tribunals under Control Council Law No.10, hlm. 1217, 1222 (1947) (Para terdakwanya adalah Friedrich Flick dan lima

(24)

Kepenyertaan diam-diri (silent complicity) dapat ditemukan, dalam keadaan-keadaan yang tepat, dari sikap diam (omission) semata. Seperti kepenyertaan langsung dan tidak langsung, jika kediam-dirian di hadap-an pelhadap-anggarhadap-an hak asasi mhadap-anusia yhadap-ang mengerikhadap-an setara denghadap-an “sumbangan langsung dan substansial terhadap pelaksanaan sebuah kejahatan”, sikap seperti itu bisa dijadikan dasar bagi pertanggung-jawaban hukum atas tindakan penyertaan dan pembantuan terhadap kejahatan.57 Hal ini bisa disebabkan oleh, misalnya, kehadiran terdakwa

yang memiliki otoritas, di mana terdakwa menolak menggunakan otoritas tersebut.58 Dalam kasus Furundzija, seorang komandan militer meng-interogasi seorang perempuan sementara bawahannya memperkosa dan menyiksa perempuan tersebut. ICTY menyatakan bahwa “dalam keadaan tertentu, penyertaan dan pembantuan tidak perlu kentara (tangible), tetapi bisa berupa dukungan moral atau dorongan kepada pelaku utama dalam pelaksanaan kejahatan mereka.”59 �eskipun ICTY tidak

menemu-kan bahwa terdakwa memberimenemu-kan dorongan secara verbal terhadap pemerkosaan dan penyiksaan itu, namun toleransinya terhadap praktik interogasinya yang berlanjut memperlihatkan sebuah dukungan moral dan dorongan yang tidak kentara. Putusan ini mengikuti kasus-kasus serupa dari Perang Dunia II yang menyatakan komandan Na�i bersalah karena hadir di mana kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi atau ber -langsung.60 Jurisprudensi dari ICTR juga mendukung pemahaman bahwa jika seorang individu berada dalam posisi sebagai seorang pemegang kekuasaan atau memiliki otoritas, sikap diam-dirinya yang terus-menerus bisa bermakna sebagai tindakan memberikan dorongan.61

57 Prosecutor v. Akayesu, ICTR Case No. ICTR-96-4-T (Trial Chamber Sep. 2, 1998), 477, 548, tersedia di

http://69.94.11.53/ENGLISH/cases/Akayesu/judgement/akay001.htm.

58 Lihat, misalnya, Prosecutor v. Aleksovski, ICTY Case No. IT-95-14/1 (Trial Chamber �ay 30, 2001), hlm.

65, tersedia dihttp://www.un.org/icty/aleksovski/appeal/judgement/nob-aj010530e.htm. 59 Furundzija, op. cit., hlm. 199.

60 Lihat Furundzija, ibid., hlm. 205; lihat juga Tadic, op. cit.; Akayesu, op. cit.

61 Prosecutor v. Kayishema and Ruzindana, ICTR Case No. ICTR-95-1-T (Trial Chamber �ay 21, 1999), hlm.

202, tersedia di http://69.94.11.53/ENGLISH/cases/KayRu�/judgement/index.htm; Prosecutor v. Galic,

(25)

Mens Rea

�eskipun tindakan langsung, tindakan tidak langsung, dan sikap diam-diri semuanya bisa mengarah kepada pertanggungjawaban hukum atas tindakan penyertaan dan pembantuan di bawah standard pidana innasional, pertanggungjawaban hukum seperti itu hanya mungkin ter-laksana kalau unsur niat yang diprasyaratkan terpenuhi. Pengadilan

Nuremberg menetapkan bahwa barang siapa yang “dengan se-pengetahuannya oleh pengaruh dan uangnya berkontribusi pada dukungannya harus … dinyatakan secara tegas sebagai, jika bukan pelaku utama, pelaku pembantu dalam kejahatan tersebut.”62 Berdasarkan

preseden dan praktik hukum internasional selama puluhan tahun, ICTY dalam Furundzija menemukan bahwa unsur pengetahuan adalah unsur

mens rea (unsur niat) yang tepat, yang secara tegas menolak pemikiran

bahwa seorang penyerta dan pembantu harus memaksudkan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut terjadi.63 Sidang Banding dalam

Vasiljevic kemudian mempertegas, “Pengetahuan di pihak penyerta dan

pembantu bahwa tindakannya itu akan membantu pelaksanaan kejahatan pelaku utama sudah cukup untuk memenuhi persyaratan mens rea dalam bentuk partisipasi ini.”64

Kepenyertaan tidak perlu “memiliki mens rea yang sama dengan pelaku, dalam pengertian niat tertentu untuk melakukan sebuah ke-jahatan”.65 Jadi, kepenyertaan tidak memerlukan adanya keinginan bahwa

kejahatan pelaku utama akan dilakukan; cukup saja penyerta mengetahui adanya efek sejenis dari bantuannya.66 Dalam Prosecutor vs. Delalic, ICTY

menegaskan kembali standard ini, dan lebih lanjut mencatat, “Tindakan

62 Flick, op. cit.

63 Furundzija, op. cit., hlm. 252; lihat juga Tadic, op. cit., hlm. 689, 691-92 (yang menyatakan bahwa

“terdakwa akan ditemukan bersalah atas tindakan apa pun jika ditentukan bahwa ia dengan mengetahuinya berpartisipasi dalam pelaksanaan sebuah kejahatan yang melanggar hukum humaniter internasional.”)

64 Prosecutor v. Vasiljevic, ICTY Case No. IT-98-32 (Appeal Chamber Feb. 25, 2004), hlm. 102, tersedia di

http://www.un.org/icty/vasiljevic/appeal/judgement/index.htm. 65 Furundzija, op. cit., hlm. 245.

66 LihatClapham dan Jerbi, op. cit., hlm. 342 (yang membahas kasus Akeyasu dan menyatakan bahwa

(26)

bantuan yang relevan dapat ditiadakan pada waktu dan tempat tertentu dari tindakan kejahatan yang aktual.”67 Lebih lanjut, ICTY secara khusus

menyimpulkan bahwa standard-standard tentang tindakan penyertaan dan pembantuan merupakan prinsip-prinsip hukum kebiasaan inter-nasional.68 Selanjutnya, pengetahuan tentang kejahatan tertentu yang sedang difasilitasi bukanlah unsur yang diharuskan; alih-alih, per-tanggungjawaban secara hukum menjadi penting ketika aktor mengetahui bahwa tindakannya itu akan memfasilitasi (memungkinkan) salah satu dari pelbagai kejahatan yang mungkin itu dilakukan.69

B. Hukum Konvensi Internasional

Sejumlah perjanjian-perjanjian multilateral termasuk draf-draf instrumen yang mencerminkan pandangan komunitas internasional bersesuaian dengan interpretasi pengadilan kasus Furundzija terhadap prinsip-prinsip hukum kebiasaan internasional tentang pertanggungjawaban hukum atas tindakan penyertaan dan pembantuan terhadap tindak kejahatan. Per-tanggungjawaban hukum atas tindakan penyertaan dan pembantuan dan bentuk lain kepenyertaan diberikan, meskipun tidak didefinisikan, dalam pelbagai statuta pengadilan pidana pasca-Perang Dunia II,70 dalam Konvensi Genosida 1948,71 dan dalam ICTY,72 ICTR,73dan statuta

67 Prosecutor v. Delalic, ICTY Case No. IT-96-21 (Trial Chamber Nov. 16, 1998), hlm. 327, tersedia dihttp://

www.un.org/icty/celebici/trialc2/judgement/index.htm. 68 Ibid., hlm. 321.

69 Dalam kasus Farben, Pengadilan menemukan bahwa kekhilafan beritikad baik seperti keyakinan dari

beberapa industrialis tertentu bahwa gas beracun yang dijual kepada Na�i akan digunakan hanya untuk tujuan-tujuan remeh temeh bisa memperjelas individu-individu dari pertanggungjawaban atas tindakan penyertaan dan pembantuan. U.S. v. Krauch, op. cit., hlm. 1169.

70 LihatCharter of the International �ilitary Tribunal for the Far East, 19 Januari 1946, pasal 5 ayat 2,

T.I.A.S. No. 1589; Nuremberg Tribunal Charter, pasal 6, 59 Stat. at 1547; Allied Control Council Law No. 10, “Punishment of Persons Guilty of War Crimes, Crimes Against Peace and Against Humanity”, Dec. 20, 1945, pasal II ayat 2.

71 Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 9 Desember1948, pasal 3(e), 78 U.N.T.S. 277.

72 Statute of the International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of Humanitarian Law Committed in the Territory of the Former Yugoslavia, 25 �ei 1993, S.C. Res. 827, U.N. SCOR, 48th Sess., 3217th mtg., U.N. Doc. S/RES/827 (1993), dicetak ulang dalam2 I.L.M.

1159 (1993).

(27)

Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone.74 Lebih khusus lagi, Draf Kode

tentang Kejahatan �enentang Perdamaian dan Keamanan �anusia tahun 1996 (Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of �ankind) menyatakan bahwa seorang individu bertanggung jawab jika ia “secara mengetahui membantu, menolong atau menyertai, secara langsung dan secara substansial, dalam pelaksanaan suatu kejahatan, termasuk menye-diakan wahana untuk pelaksanaannya.”75 Sebagaimana telah ditekankan oleh pengadilan Furundzija, Draf Kode tersebut merupakan “sebuah instrumen internasional yang otoritatif” yang sekurang-kurangnya “merupakan pandangan legal tentang para publisis yang sangat ber-kualitas yang merepresentasikan sistem-sistem hukum utama di dunia.”76

Demikian juga, Statuta Roma untuk �ahkamah Pidana Inter-nasional, yang mulai berlaku tahun 2002, menyediakan suatu definisi yang lebih detail tentang kategori kepenyertaan. Secara khusus, Pasal 25(3) menyediakan pertanggungjawaban untuk siapa pun yang, antara lain, “berkontribusi pada pelaksanaan atau percobaan pelaksanaan … suatu kejahatan oleh sebuah kelompok orang-orang yang bertindak dengan suatu tujuan bersama,” sepanjang kontribusi tersebut bersifat “intensional” dan dibuat entah dengan “tujuan untuk meneruskan kegiatan kejahatan atau tujuan kriminal dari kelompok tersebut,” atau entah “dengan pengetahuan akan intensi (niat) dari kelompok tersebut untuk melakukan kejahatan yang dimaksud.”77 �eskipun Statuta Roma

jelas-jelas mensyaratkan “niat” (intent), definisinya tentang “niat”

memperjelas bahwa unsur ini terpenuhi dengan adanya kesadaran

(pengetahuan) bahwa suatu konsekuensi partikular “akan terjadi dalam

74 Statute of the Special Court for Sierra Leone, 16 Januari 2002, tersedia dihttp://www.specialcourt. org/documents/Statute.html.

75 Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind, U.N. GAOR, Int�l Law Comm�n, 48th Sess.,

pasal 2(3)(d), U.N. Doc. A/CN.4/L.533 (1996), tersedia dihttp://untreaty.un.org/ilc/documentation/ english/a_cn4_l532.pdf.

76 Furundzija, op. cit., hlm. 227; lihat jugaReg. No. 2000/15 on the Establishment of Panels with Exclusive

Jurisdiction over Serious Criminal Offences, U.N. Transitional Administration in East Timor, 14.3, U.N.Doc.UNTAET/REG/2000/15 (2000), tersedia di http://www.un.org/peace/etimor/untaetR/ Reg0015E.pdf; Statute of the Iraqi Special Tribunal, 10 Desember 2003, pasal 15(b), tersedia dihttp:// www.cpa-iraq.org/human_rights/Statute.htm.

77 Rome Statute of the International Criminal Court, 17 Juli 1998, pasal 25(3), U.N. Doc. A/CONF.183/9, 37 I.L.M. 999 (mulai berlaku pada 1 Juli 2002), tersedia dihttp://www.un.org/law/icc/statute/romefra.

(28)

cara yang biasa”, maka unsur niat menjadi terpenuhi. Dengan demikian,Dengan demikian, Statuta Roma, sama seperti Draf Kode, bersesuaian dengan standard

Furundzija dan bukti lebih lanjut bahwa standard ini merupakan ungkapan dari hukum kebiasaan internasional.78

C. Keterterapann�a pada Korporasi: Jangkauan �ang Lebih Luas dari Tanggung Jawab Bisnis terhadap HAM79

Sebuah tanda tentang perluasan tanggung jawab korporasi terhadap per-syaratan minimum oleh hukum dapat dilihat baik pada pernyataan yang dikeluarkan oleh komunitas bisnis80 dan dari kasus-kasus tentang penyertaan atau keikutsertaan di dalam pelanggaran hak asasi manusia di mana beberapa tindakan dipandang tidak dapat diterima berdasarkan pertimbangan etis, meskipun tindakan-tindakan itu tidak dilarang oleh hukum. Contoh-contoh yang dikenal luas dapat ditemukan dalam ke-terlibatan Shell di Nigeria dan dalam kasus-kasus kepenyertaan korporasi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Negara.

Kasus-kasus pidana internasional, dengan bersandar pada hukum kebiasaan internasional, menunjukkan bahwa korporasi juga memiliki kapasitas dan kemampuan untuk melanggar hukum internasional dan secara khusus larangan tentang pelanggaran-pelanggaran dengan tindakan penyertaan dan pembantuan. Pengadilan Nuremberg, kendati kurang memiliki jurisdiksi untuk menghukum korporasi secara langsung, benar-benar memiliki otoritas untuk menetapkan sebuah entitas tertentu sebagai organisasi yang jahat,81 dan berupaya keras untuk menegaskan bahwa korporasi yang para pegawainya didakwa atas kejahatan hak asasi

78 Lihat �. Shinn, “The 2005 Business and Human Rights Seminar Report: Exploring Responsibility and Complicity” 8 Desember 2005, London, 2 (2005), tersedia di http://www.bhrseminar.org/ BusinessHumanRightsSeminarReport2005.pdf (yang melaporkan bahwa Luis �oreno-Ocampo, Ketua Penuntut untuk �ahkamah Pidana Internasional, menyatakan bahwa perusahaan yang ikut serta dalam kejahatan internasional yang serius dapat diselidiki olehnya).

79 Berdasarkan Gatto, Berdasarkan Gatto, op. cit.; �an�ella dkk., op. cit.; Ruggie, op. cit.

80 C. Avery, “Business and Human Rights in a Time of Change”, dalam �. T Kamminga dan S. Zia

Zarifi (eds.), Liability of Multinational Corporations under International Law, The Hague: Kluwer Law

International, 2000, hlm.17-73 pada hlm. 19-25.

(29)

manusia pada dasarnya dapat dikenakan pertanggungjawaban secara hukum. Dalam kasus I.G. Farben, Pengadilan Nuremberg menemukan

“bukti … melampaui sebuah keraguan yang masuk akal bahwa kejahatan-kejahatan terhadap properti … dilakukan oleh Farben…. Tindakan Farben dan para wakilnya, di bawah keadaan-keadaan ini, tidak dapat diperlaku-kan berbeda dari tindadiperlaku-kan-tindadiperlaku-kan perampodiperlaku-kan dan perampasan yang dilakukan oleh para perwira, prajurit, atau pegawai-pegawai publik dari Kekaisaran Jerman,” dan “menetapkan sebuah pelanggaran terhadap Peraturan-Peraturan Denhag (the Hague Regulations)” pada waktu perang.82 Secara khusus berkaitan dengan pertanggungjawaban hukum terhadap tindakan penyertaan dan pembantuan, Pengadilan Nuremberg menegaskan bahwa ketika para “pebisnis” bekerja sama dalam kegiatan-kegiatan yang berakibat pada kejahatan hak asasi manusia, “dengan mengetahuinya”, maka mereka bersalah sama seperti pelaku utama.8 Dalam sebuah kasus yang melibatkan perbudakan para tahanan perang oleh sebuah perusahaan tambang Jepang, “dapat disimpulkan” dari opini Pengadilan Tokyo bahwa Pengadilan, “menetapkan perusahaan tambang tersebut bertanggung jawab secara hukum atas kematian, luka, dan penderitaan para tahanan perang”.84

Dalam kaitan dengan hal ini, perusahaan-perusahaan transnasional atau multinasional (TNCs/�NCs/�NEs) tidaklah berbeda dari individu atau aktor-aktor lain. Ada banyak kajian terhadap hak dan kewajiban TNCs di bawah perjanjian-perjanjian internasional, yang semuanya memperkuat pandangan bahwa TNCs memiliki status yang memadai sebagai subjek hukum internasional yang memiliki hak-hak sebagaimana ia juga

82 Ibid.

8 The Nuremberg Trials (U.S. v. Goering), 6 F.R.D. 69, 112 (Int�l �il. Trib. 1946).

84 A. Ramasastry, “Corporate Complicity: From Nuremberg to Rangoon, An Examination of Forced

Labor Cases and Their Impact on the Liability of �ultinational Corporations”, 20 Berkeley J. Int’l L.

91, 114 (2002) (yang membahas pengadilan Pertambangan Kinkaseki, di mana sembilan karyawan dari Nippon �ining Company dihukum karena memperlakukan para tahanan perang untuk menjadi pekerja paksa di sebuah pertambangan di wilayah pendudukan China; delapan orang dari sembilan didakwa, termasuk manajer perusahaan pertambangan tersebut dan supervisornya, yang tidak secara langsung berpartisipasi dalam pelanggaran terhadap para tahanan perang tersebut). Lihat juga Laporan KKR Afrika Selatan, op. cit. (yang menggambarkan penolakan Komisi atas klaim

Gambar

Tabel 1: Hubungan Korporasi dan HAM
Tabel 2: Tanggung Jawab Bisnis terhadap HAM

Referensi

Dokumen terkait

Dalam makalah sebelumnya (7), telah dilaporkan kinetika radiasi kopolimerisasi tempel DMAEA dengan film LDPE, berikut ini dilaporkan beberapa sifat daD karakte-ristik dari

Kegiatan wisata alam, khususnya dalam hubungan dengan pengamatan burung Kakatua Maluku ( Cacatua molucensis ) merupakan keg- iatan yang telah dilakukan dan diketahui oleh se-

[r]

Namun ada beberapa cara yang dapat dilaksanakan oleh guru agar peserta didik menjadi aktif dan termotivasi dalam belajar sehingga memperoleh hasil belajar kognitif dan

3.7 Teknik Analisis Data Pada penelitian ini, juga dilakukan uji hipotesis untuk menentukan ada tidaknya pengaruh dari kepribadian merek X sebagai variabel bebas independent

Verrattuna lapsuudessaan vuokralla asuneisiin, miehillä lapsuuden omistusasuminen kasvattaa aikuisiän omistusasumisen todennäköisyyttä enemmän kuin naisilla (taulukko

MENINGKATKAN PEMAHAMAN PERILAKU GREEN CONSUMER PESERTA DIDIK MELALUI PROJECT-BASED LEARNING DALAM PEMBELAJARAN IPS. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Penelitian ini akan mengusulkan penggunaan learning machine Naive Bayes (NB) dengan mengintegrasikan antara teknik SMOTE dan Bagging serta algoritma Information