mencolok adalah muncul dan semakin kuatnya keberadaan audiens yang tak lagi diam sebagai objek pasif yang hanya menerima apapun pesan atau informasi dari media, melainkan sebagai subjek yang aktif dalam ikut membing- kai pesan dari media atau bahkan mem- produksi sendiri pesan dan mendistri- busikan langsung ke sesama khalayak. D a l a m c o n t o h k a s u s d i a t a s audiens tidak sekadar menerima infor- masi yang disampaikan media secara
taken for granted atau sebagaimana adanya. Mereka melalui komentar yang
dengan demikian membangun bingkai (f r a m e) t e r t e n t u b e r k a i t a n d e n g a n konten berita tersebut. Mereka tidak bisa dengan mudah digiring masuk dalam agenda setting media. Bahkan mereka juga mengkritisi institusi media dan ini berarti mereka berusaha masuk – meskipun secara tidak langsung – ke dalam proses produksi informasi atau berita. Pada kasus-kasus lain yang akan dibahas nanti kita melihat bahwa audiens bukan hanya sebagai kon- sumen, melainkan sekaligus juga bisa menjadi produsen dengan kemampuan penuh memproduksi informasi dan men- distribusikannya kepada publik.
Perubahan Relasi Media
dengan Audiens
Teknologi internet yang kemudian
“Jurnalisme dewasa ini
tak lagi sama dengan
jurnalisme pada sekitar
limabelas-duapuluh tahun
lalu. Jurnalisme dewasa ini
adalah jurnalisme yang
dimediasi oleh jaringan
komputer (internet) yang
bersifat interaktif.”
me oleh warga) merubah pola hubungan antara media, jurnalis dan audiens. Dalam media konvensional–cetak, radio dan tv–audiens adalah objek pasif. Audiens hanya menerima limpahan i n f o r m a s i d a r i m e d i a . M e s k i p u n sejumlah teori mengungkapkan adanya k e b e b a s a n a u d i e n s u n t u k m e m i l i h (institusi) media mana dan konten apa yang dikonsumsi, tetap saja kebebasan mereka berada dalam kerangka (frame) dan agenda setting institusi media sebagai produsen informasi, karena dalam hal ini audiens tetap saja sebagai konsumen.
Dalam paradigma yang mendasari era media konvensional, jurnalis adalah penentu agenda publik, pendefinisi apa yang seharusnya dibaca atau ditonton oleh publik dan karenanya berperan besar dalam mengarahkan opini publik. Jurnalis adalah penjaga gerbang ‘ruang publik’ (public sphere). Namun, Hanna Nikkanen menegaskan, public sphere
kini tidak lagi memiliki gerbang atau t e m b o k p e m b a t a s . D e w a s a i n i diperkirakan ada dua milyar pengguna i n t e r n e t d i d u n i a y a n g b i s a mempublikasikan pesan atau informasi tanpa meyakinkan pada jurnalis ‘si penjaga gerbang’ tentang penting dan u r g e n s i n y a p e s a n a t a u i n f o r m a s i tersebut. Mereka tidak lagi sebagai a u d i e n s y a n g p a s i f d a r i m e d i a profesional dan konvensional, tetapi s e b a g a i a u d i e n s y a n g a k t i f d a n sekaligus sebagai produsen pesan
melalui kegiatan citizen journalism. Kegiatan jurnalisme oleh warga atau citizen journalism yang semakin m e l u a s d i r a s a k a n m u l a i m e n j a d i pesaing bagi para jurnalis profesional yang bekerja di perusahaan-perusahaan media. Sejauh ini situs-situs yang mengunggah buah karya jurnalis non- profesional atau warga-pewarta (citizen j o u r n a l i s t) i t u m e m a n g b e l u m sepenuhnya bisa menggantikan karya para jurnalis profesional, tetapi setidak- tidaknya bisa menjadi alternatif atau pembanding terhadap isi media buah karya para jurnalis profesional. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu informasi yang diunggah oleh warga-pewarta lebih mampu menyedot perhatian publik dan m e n j a d i r u j u k a n b a g i j u r n a l i s profesional. Ini terjadi ketika publik menilai media profesional tidak mampu memenuhi rasa ingin tahu mereka.
Karena beberapa keterbatasan yang dimiliki, media profesional tidak selalu bisa memenuhi rasa ingin tahu audiens. Misalnya keterbatasan teknis berupa kekurangan jumlah personel (tim liputan) dan peralatan, lokasi geografis s u m b e r i n f o r m a s i y a n g j a u h d a r i jangkauan awak media, atau ketiadaaan anggaran untuk melakukan peliputan. S e l a i n i t u m e d i a p r o f e s i o n a l j u g a menghadapi persoalan yang bersumber p a d a k e p e n t i n g a n i n s t i t u s i m e d i a , h u b u n g a n p e m i l i k m e d i a d e n g a n kalangan birokrasi, tokoh politik, dan lembaga-lembaga bisnis tertentu.
Ketika lembaga-lembaga media profesional menghadapi jalan buntu s e p e r t i i t u , p u b l i k a k a n m e l i r i k informasi yang bertebaran di ruang p u b l i k i n t e r n e t , k h u s u s n y a y a n g diunggah oleh para pelaku citizen journalism.
Dalam kasus-kasus ketika terjadi bencana alam atau kecelakaan besar j u r n a l i s p r o f e s i o n a l s e r i n g h a r u s b e r l o m b a d e n g a n w a r g a d a l a m menyampaikan informasi ke khalayak. Tak jarang media dan para jurnalis profesional kalah cepat, karena dengan perangkat kamera pada telepon seluler warga bisa mengambil gambar–bukan hanya foto tapi juga video–dan menye- barkannya melalui jaringan internet se- belum awak media profesional sampai di lokasi kejadian. Dalam kasus seperti ini warga adalah mereka yang secara kebetulan berada di lokasi kejadian, sebagai saksi langsung atau mungkin korban yang selamat dalam peristiwa tersebut.
Bagi media profesional informasi dari warga yang secara kebetulan terlibat dalam suatu kejadian tersebut masih agak mudah diakomodasi. Media profesional bisa membeli informasi dari warga tersebut kemudian mempublika- sikannya melalui saluran media mereka. Tentu saja para awak media profesional itu lebih jauh perlu mengkonfirmasi atau memverifikasi informasi dari warga ke p i h a k - p i h a k y a n g b e r k o m p e t e n .
taktis dan elegan dalam mengatasi ke- terbatasan mereka untuk memperoleh sumber informasi paling awal dan mem- publikasikan secara cepat. Tetapi ma- salahnya, warga tidak selalu bersedia menjual atau memberikan informasi mereka ke media profesional. Karena alasan tertentu mereka lebih suka menyebarkan langsung ke jaringan internet melalui sarana yang mereka miliki: blog dan media sosial seperti
facebook,youtube atau twitter.
Beberapa waktu lalu para pengguna internet di tanah air dihebohkan oleh tayangan video yang diungah di youtube
tentang seorang polisi lalu lintas di Bali yang terang-terangan meminta uang kepada seorang pelanggar lalu lintas. Tayangan video tersebut juga disiarkan oleh beberapa stasiun tv nasional dan d i t u l i s o l e h s e j u m l a h s u r a t k a b a r sebagai berita, sehingga memancing tanggapan otoritas resmi kepolisian.
D a l a m k a s u s l a i n , b e r k a i t a n dengan perkara politik terutama ketika media-media profesional dan konven- sional (cetak, radio, tv) telah terkooptasi oleh kepentingan politik penguasa ataupun partai politik tertentu, warga bergerilya mengunggah informasi yang penting untuk diketahui publik melalui internet.
Kasus paling mencolok dan mu- takhir yaitu aktivitas citizen journalism
yang berlangsung di Mesir yang berhasil membangun kesadaran kritis warga
Melalui blog dan media sosial warga mengirim informasi tentang tindak kekerasan aparat militer dan tindakan represif lain yang tidak bisa dipublika- sikan melalui media profesional dan konvensional. Kalangan pengamat m e y a k i n i , p a r a b l o g e r d a n c i t i z e n journalist mempunyai andil besar dalam “Revolusi Mesir” yang berhasil menum- bangkan rezim otoriter Hosni Mubarak pada tahun 2011. Dalam kasus ini media sosial dan blog telah memainkan peran sebagai pilar ke-empat demokrasi yang selama ini diemban oleh media- media konvensional. Media sosial dan blog mengambil alih peran tersebut ketika media konvensional dan profe- sional menghadapi jalan buntu saat berhadapan dengan kekuasaan otori- tarian yang kuat.