• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Teori Bersyukur

4. Bersyukur menurut Kajian Islam

Syukur menurut bahasa berarti berterimkasih. Bersyukur kepada Allah berarti berterimakasih kepada Allah atas segala nikmat dan karunia yang telah dianugerahkan Allah kepada kita, para hamba-Nya, seperti nikmat penciptaan kita dari yang sebelumnya kita tiada menjadi ada. Untuk itu kita bersyukur kepada Allah SWT. Alhamdulillahi Robbil „Alamin „segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam (Yasin, A.H., 2010).

Bersyukur adalah bentuk rasa syukur terhadap nikmat Allah SWT yang telah diberikan baik itu berbentuk fisik maupun batin (hati yang tenang) seperti yang telah dikatakan oleh Al-Khawwash yaitu bahwa syukur pada umumnya

terjadi kepada makanan, pakaian dan minuman, tapi syukur yang khusus adalah tertuju kepada sampainya hati (Ghazali, I., 1970).

Imam Ghazali dalam bukunya Ihya‟ Ulumuddin mendefinisikan syukur dengan memanfaatkan potensi anugerah yang Allah berikan bagi terlaksananya amal kebaikan dan tercegahnya kemungkaran.

Imam Al-Jurjani (dalam Yasin, A.H., 2010) menyebutkan dalam kitab at-Ta‟rifat-nya bahwa “Syukur adalah suatu ungkapan pernyataan menerima nikmat, baik dengan lisan, badan, maupun dengan hati.” Dalam definisi lain disebutkan, syukur adalah pujian kepada pihak yang memberi kebaikan dengan menyebutkan kebaikannya. Seorang hamba bersyukur kepada Allah, berarti hamba itu memuji Allah dengan menyebut kebaikan-Nya yaitu nikmat. Jika Allah memuji hamba-Nya dengan menerima kebaikan hamba-hamba-Nya, yaitu karena ketaatannya. Imam Al-Jurjani membagi syukur pada dua bagian, syukur al-„urf (kebiasaan) dan syukur lughawi (syukur bahasa). Syukur al-„urf adalah hamba yang menggunakan semua apa yang Allah berikan padanya baik berupa pendengaran, penglihatan, maupun lainnya, sesuai dengan semestinya. Syukur lughawi adalah ungkapan/bentuk kebaikan terhadap keagungan dan kemuliaan (pemberi nikmat) atas nikmat (yang diberikan) baik dengan lisan, hati, maupun dengan anggota badan.

Imam Ar-Raghib menjelaskan syukur nikmat adalah senantiasa mengingat dan mengungkapkan nikmat, yaitu mengaplikasikan dengan bentuk yang diridhai Allah SWT. Sebaliknya kufur nikmat adalah melupakan atau menutupi nikmat. Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, ulama abad kelima hijriyah,

menjelaskan bahwa salah satu keutamaan syukur adalah Allah SWT menyebutkan kata syukur beriringan dengan kata zikir di dalam al-qur‟an. Allah berfirman,

(...ٌشَجْوَأ ِاللهُشْوِزٌََٚ 54

Artinya: “...Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain)..” (QS. Al-„Ankabut:45)

Syekh Sa‟id Hawa menulis, syukur merupakan salah satu maqam (posisi) di antara banya maqam bagi salihin „orang-orang yang menempuh jalan rohani, ahli tasawuf. Syukur itu tersusun dari tiga perangkat, yaitu ilmu, hal, dan amal perbuatan. Ilmu adalah dasar yang bisa melahirkan hal (kondisi spiritual), sedangkan hal mampu melahirkan amal perbuatan. Ilmu mampu mengetahui Zat yang memberi nikmat, yaitu Allah SWT, sedangkan hal kegembiraan yang terjadi karena pemberian nikmat tersebut, sementara amal perbuatan melaksanakan apa yang menjadi tujuan si pemberi nikmat dan segala apa yang memang di cintai-Nya. Dan amal perbuatan tersebut berkaitan dengan hati, anggota badan, dan lisan (Yasin, A.H., 2010).

Hadits riwayat Imam Muslim menyatakan bahwa orang yang bersyukur adalah yang merasa cukup atas rezeki yang diperolehnya dan dia berserah diri kepada Allah (menerima keadaannya) (dalam Al-Bantanie, Syafi‟i., 2009). Dasar dari tujuan syukur yang dibedakan menjadi dua, yakni syukur dengan personal, hubungannya dengan orang lain (Hablumminannas) dan syukur transpersonal, yang ditujukan pada Allah SWT (Hablumminaallah) (dalam Hasanah, H., 2014).

Terdapat Firman Allah SWT tentang syukur, dalam QS. Saba‟ ayat 15 yang berbunyi:

ِٝف ٍبَجَغٌِ َْبَو ْذَمٌَ ۚ ۥٌَُٗ ۟اُٚشُىْشاَٚ ُُْىِّثَس ِقْصِّس ِِٓ ۟اٍُُٛو ۖ ٍيبَِّشَٚ ٍٓ١َِّ٠ َٓع ِْبَزََّٕخ ۖ ٌخَ٠اَء َُِِْٕٙىْغَِ

:بجع﴿ ٌسُٛفَغ ٌّةَسَٚ ٌخَجِّ١َط ٌحَذٍَْث ٔ٘

Artinya: “Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun" (QS. Saba‟:15)

Yang mengandung maksud bahwa kita harus menerima apa yang telah diberikan oleh-Nya dan jangan sekali-kali lupa untuk berterima kasih kepadanya dengan mengucap Asma-asma-Nya, juga dalam QS. Ibrahim ayat 7 yang berbunyi:

ٌَ ُُْىُّثَس ََّْرَؤَر ْرِاَٚ :ُ١٘اشثا﴿ ٌذ٠ِذَشٌَ ِٝثاَزَع َِّْا ُُْرْشَفَو ِٓئٌََٚ ۖ ُُْىََّٔذ٠ِصَ َلأ ُُْرْشَىَش ِٓئ

٧

Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim:7)

Maknanya bahwa jika hamba-Nya mampu bersyukur akan ditambahkan nikmat dari-Nya, namun jika kufur (mengingkari Allah) / tidak bersyukur maka Allah akan memberikan siksa yang sangat pedih (dalam Masyhur, K., 1987).

Orang yang tidak bersyukur maka akan muncul perasaan-perasaan dan pikiran negatif pada dirinya, seperti halnya ia yang kurang mampu bersyukur

karena melihat barang milik orang lain lebih bagus, ini yang menyebabkan orang merasa iri yaitu gejala gangguan hati terhadap apa yang dimiliki orang lain. Iri ini dapat mengarah kepositif/sehat (munafasah) juga negatif/tidak sehat (al-hiqd wal hasad). Iri sehat merupakan kompetisi sehat untuk meniru hal-hal positif yang dimiliki orang lain tanpa didasari oleh interes jahat dalam rangka fastabiqul khairat. Iri dalam jenis ini merupakan sesuatu yang diharuskan bagi setiap muslim berdasarkan firman Allah yang berbunyi:

َحٌْبِث َتٰزِىٌْا َهْ١ٌَِا إٌََْٓضَٔأَٚ آَِّث َُُْٕٙ١َث ُُىْحبَف ۖ ِْٗ١ٍََع بًِّْٕ١ََُِٙٚ ِتٰزِىٌْا َِِٓ ِْٗ٠َذَ٠ َْٓ١َث بٌَِّّ بًلِّذَصُِ ِّك ًخبََِِْٕٙٚ ًخَع ْشِش ُُْىِِٕ بٍََْٕعَخ ًٍُّىٌِ ۚ ِّكَحٌْا َِِٓ َنَءآَخ بََّّع َُُْ٘ءآََْٛ٘أ ْعِجَّزَر َلاَٚ ۖ ُٗـٌٍَّا َيَضَٔأ ٌََْٛٚ ۚ ب ٌَ ُٗـٌٍَّا َءآَش ِٗـٌٍَّا ٌَِٝا ۚ ِد ٰشْ١َخٌْا ۟اُٛمِجَزْعبَف ۖ ُُْىٰىَراَء آَِ ِٝف ُُْوٍَُْٛجَ١ٌِّ ِٓىٌَٰٚ ًحَذِح ٰٚ ًخَُِّأ ُُْىٍََعَد :حذئبٌّا﴿ َُْٛفٍَِزْخَر ِٗ١ِف ُُْزُٕو بَِّث ُُىُئِّجَُٕ١َف بًع١َِّخ ُُْىُعِخْشَِ ٗ١

Artinya: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara

kamu[422], Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya

Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu

diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,”. (QS. Al-Maidah: 48).

Sementara iri tidak sehat lebih didasari oleh rasa benci terhadap apa-apa yang dimiliki oleh orang lain, baik yang berkaitan dengan materi maupun yang berhubungan dengan jabatan/kedudukan. Iri dalam kategori ini, menurut As-Syarqawi cenderung melahirkan sikap permusuhan terhadap orang lain. Kemunculannya lebih disebabkan oleh rasa sombong, bangga, riya‟, dan rasa takut kehilangan kedudukan (dalam Zainuddin, M., 2015).

Dokumen terkait