• Tidak ada hasil yang ditemukan

masalah

untuk

Pemb

eli

Puas

dengan

biaya

Tidak

ada

Tingkat ketiga adalah orang-orang yang puas, namun mereka memikul biaya peralihan (switching cost) yaitu, biaya dalam waktu, uang atau resiko kinerja yang berhubungan dengan perpindahan ke suatu merek lain. Barangkali mereka telah melakukan investasi dalam mempelajari suatu sistem yang berkaitan dengan suatu merek. Untuk menarik minat para pembeli ini, para kompetitor perlu mengatasi biaya peralihan dengan menawarkan bujukan untuk beralih atau dengan tawaran suatu manfaat yang cukup besar sebagai kompensasi. Kelompok ini mungkin bisa disebut konsumen yang loyal terhadap biaya peralihan.

Tingkat keempat, kita temukan mereka yang sungguh-sungguh menyukai merek yang menganggap merek sebagai sahabat, dimana preferensi mereka mungkin didasarkan pada suatu asosiasi seperti simbol, pengalaman menggunakan merek tersebut, atau karena kualitas merk tersebut. Namun, rasa suka seringkali merupakan suatu perasaan yang umum yang tidak bisa ditelusuri dengan cermat untuk dikategorikan dalam sesuatu yang spesifik. Orang-orang tidak selalu sanggup untuk mengidentifikasikan mengapa mereka menyukai sesuatu, apalagi bila hubungan tersebut terbentuk dalam waktu lama. Berbagai segmen pada tingkat keempat ini disebut sebagai teman-teman dari merek (friends of the brand) karena terdapat perasaan emosional yang terikat.

Tingkat teratas adalah pembeli komit atau para konsumen yang setia. Mereka mempunyai suatu kebanggaan dalam menemukan atau menjadi pengguna dari suatu merek. Merek tersebut sangat penting bagi

mereka baik dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa mereka sebenarnya. Rasa percaya diri mereka termanisfestasi pada tindakan semacam rekomendasi merek tersebut pada orang lain. nilai dari kondisi yang berkomitmen tersebut tidaklah begitu besar pada perusahaan, tapi lebih pada tampak terhadap orang lain dan juga terhadap pasar itu sendiri.

2.2.8.2. Membangun Loyalitas Konsumen

Pada saat situasi krisis, perusahaan harus memperhatikan untuk mempertahankan konsumen yang sudah ada (existing customer) daripada harus mencari konsumen baru terus-menerus yang memerlukan biaya cukup besar. Perusahaan seharusnya mulai mengembangkan budaya loyalitas agar konsumen tetap setia, diantaranya dengan (Widjaja, 1999: 135) :

a. Mengukur tingkat loyalitas konsumen. Perusahaan dapat melakukan hal ini dengan melihat data yang dimiliki oleh setiap wiraniaga atau supervisor penjualan.

b. Mengevaluasi tingkat loyalitas setiap bulan. Ini dimaksudkan untuk memberikan penghargaan (reward) kepada konsumen yang sangat loyal.

c. Menggunakan berbagai taktik pemasaran. Hal ini dilakukan untuk menarik konsumen agar tetap loyal, misalkan program peduli “skin care class” yang dilakukan oleh Esther House of Beauty.

d. Mengingatkan pentingnya loyalitas konsumen kepada para bawahan sehingga mereka selalu berusaha untuk menomersatukan konsumen. e. Mengkaitkan tujuan membangun loyalitas konsumen terhadap prestasi

dan rencana kompensasi bawahan.

f. Mengajak bawahan terlibat dalam pengembangan dan

mempertahankan program loyalitas konsumen.

g. Mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan konsumen pindah ke pesaing. Misalkan, faktor harga, pelayanan, atau kualitas dan setelah itu dicoba untuk diperbaiki.

Menurut Lele dan Sheth (1996: 47) loyalitas konsumen dapat dijabarkan oleh produsen dalam bentuk :

a. Sikap dan perilaku berkelanjutan mempersembahkan karya produk dan pelayanan bermutu terbaik demi kepuasan konsumen.

b. Fleksibilitas menyesuaikan mutu produk ke kebutuhan konsumen yang nyata.

c. Antusias menyambut dan memperhatikan customer complaint, bukan menghindarinya.

d. Berupaya tulus memperhatikan kepentingan setiap konsumen sebagai insan manusia, bukan sekedar data, nomer atau sumber siap dieksploitasi demi kepentingan profit produsen.

e. Kesadaran bahwa itu harus didukung suasana employees satisfaction. Loyalitas konsumen atau customer loyalty merupakan tiket menuju sukses semua bisnis. Strategi pemasaran yang sukses, termasuk mass

marketing yang didukung oelh customer oriented drive seyogyanya menghasilkan konsumen-konsumen yang loyal. Mereka yang dikategorikan sebagai konsumen setia ialah mereka yang sangat puas dengan produk tertentu sehingga mempunyai antusiasme untuk memperkenalkannya kepada siapapun yang mereka kenal. Selanjutnya pada tahap berikutnya konsumen yang loyal tersebut akan memperluas kesetiaan mereka kepada produk-produk lain buatan produsen yang sama. Pada akhirnya, mereka adalah konsumen yang setia kepada produsen tertentu untuk selamanya.

2.2.9. Pengaruh Kepercayaan terhadap Kepuasan

Menurut Mowen dan Minor (2002:312), “kepercayaan konsumen

(consumer beliefs) adalah semua pengetahuan yang dimiliki oleh

konsumen dan semua kesimpulan yang dibuat konsumen tentang objek, atribut, dan manfaatnya”. Sedangkan menurut Lau dan Lee (2007:344), “kepercayaan konsumen didefenisikan sebagai keinginan konsumen untuk bersandar pada sebuah merek pada resiko-resiko yang dihadapi karena ekspektasi terhadap merek itu akan menyebabkan hasil yang positif”. Kepercayaan atau trust didefinisikan sebagai persepsi akan keterhandalan dari sudut pandang konsumen didasarkan pada pengalaman,atau lebih pada urut-urutan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan akan kepuasan.

Kepuasan dan kepercayaan konsumen merupakan suatu hal yang sangat berharga demi mempertahankan eksistensi perusahaan dimasa yang akan datang. Layanan yang diberikan kepada konsumen akan memacu kepercayaan yang memunculkan puas tidaknya seseorang konsumen.. (Guspul, 2014:42)

Jadi hubungan antara kepercayaan konsumen dengan kepuasan adalah positif, maka kepercayaan yang tinggi akan meningkatkan kepuasan konsumen

2.2.10.Pengaruh Kepuasan terhadap Loyalitas Konsumen

Terdapat banyak definisi mengenai kepuasan konsumen. Kotler (2003) mendefinisikan kepuasan konsumen sebagai perasaan suka atau tidak suka seseorang terhadap suatu produk setelah membandingkan kinerja produk tersebut dengan yang diharapkan. Sementara Johnson and Fornell (1991) menyatakan bahwa kepuasan konsumen merupakan hasil evaluasi menyeluruh konsumen atas kinerja produk yang dikonsumsinya. Yi (1991) mengidentifikasi dua konsep kepuasan konsumen yang berbeda yaitu transaction-specific satisfaction dan overall satisfaction. Transaction- specific satisfaction merupakan konsep yang merujuk kepada penilaian kepuasan konsumen setelah melakukan pembelian produk atau merek tertentu. Sementara overall satisfaction adalah konsep yang mengukur kepuasan (ketidakpuasan) konsumen terhadap produk atau merek tertentu secara menyeluruh berdasarkan seluruh pengalamannya dalam

Dengan demikian overall satisfaction bias dipandang sebagai fungsi dari semua transaction-specific satisfaction yang terjadi sebelumnya. Dalam penelitian ini konsep kepuasan konsumen yang dipergunakan adalah kepuasan yang menyeluruh (overall customer satisfaction). Dalam beberapa dekade terakhir, kepuasan konsumen selalu menjadi focus perhatian para akademisi dan praktisi pemasaran. Perhatian tersebut berasal dari sebuah filosofi yang menyatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan perusahaan tergantung pada kemampuan perusahaan tersebut dalam memberikan apa yang diinginkan konsumennya.

Dengan kata lain, kepuasan konsumen merupakan kunci sukses perusahaan (Kurtz and Clow, 1993). Lebih lanjut Shin and Elliot (1998) menjelaskan bahwa kepuasan konsumen menciptakan retensi konsumen (consumer retention) yang selanjutnya dapat meningkatkan keuntungan perusahaan, mengingat biaya untuk mempertahankan konsumen yang sudah ada lebih murah daripada biaya mencari konsumen baru. Berdasarkan temuan tersebut maka penelitian mengajukan hipotesa: emakin tinggi kepuasan konsumen maka semakin tinggi pula loyalitasnya

2.3. Kerangka Konseptual

2.4. Hipotesis

1. Kepercayaan pelanggan berpengaruh positif terhadap Kepuasan pelanggan

2. Kepuasan pelanggan berpengaruh positif terhadap Loyalitas pelanggan Kepercayaan Pelanggan (X) Kepuasan Pelanggan (Y) Loyalitas Pelanggan (Z)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Untuk mempermudah pengertian dan menghindari kesalahan persepsi maka penulis perlu menguraikan dimensi operasional dalam penelitian ini, yaitu :

X = Kepercayaan pelanggan adalah persepsi pelanggan sebagai respon tentang keyakinan timbal balik pada niat dan perilaku suatu perusahaan, dengan indikator (Winahyuningsih, 2011 : 4) :

1. Kepercayaan terhadap layanan pegawai percetakan 2. Kepercayaan terhadap fasilitas percetakan

3. Kepercayaan terhadap hasil dan kualitas percetakan

Y = Kepuasan pelanggan merupakan perasaan suka atau tidak suka seseorang terhadap produk setelah membandingkan kinerja produk yang diharapkan, dengan indicator (Winahyuningsih, 2011 : 7) : 1. Kualitas yang diberikan sesuai dengan yang dijanjikan.

2. Pelayanan yang baik dan memberikan kepuasan bagi pelanggan. 3. Kepuasan bagi setiap pelanggan yang mencetak di percetakan Z = Loyalitas pelanggan adalah suatu komitmen untuk membeli kembali

suatu barang atau jasa secara konsisten di masa yang akan datang dengan indicator (Ishak, 2011 : 60) :

1. Merekomendasikan produk yang dipakai saat ini kepada orang-orang dengan menceritakan keunggulan

2. Akan terus menggunakan produk tersebut dengan membeli secara terus menerus.

3.1.1. Pengukuran Variabel

Tipe skala yang digunakan dalam mengukur variabel tersebut, baik itu variabel bebas maupun variabel terkait adalah menggunakan skala likert, dengan skala 5 point dari sangat sangat tidak setuju – sangat setuju. Dengan pola pertanyaan sebagai berikut :

Sangat Tidak Setuju

Tidak Setuju Netral Setuju Sangat Setuju

1 2 3 4 5

Tanggapan atau pendapat tersebut dinyatakan dengan memberi skor yang berada dalam rating nilai 1 sampai dengan 5 pada masing-masing skala, dimana nilai 1 menunjukan nilai terendah dan nilai 5 nilai tertinggi. 3.2. Populasi dan Sampel Penelitian

3.2.1. Populasi

Populasi merupakan kelompok subyek / obyek yang memiliki ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik tertentu yang berbeda dengan kelompok subyek / obyek yang lain, dan kelompok tersebut akan dikenai generalisasi dari hasil penelitian (Sumarsono, 2004: 44). Populasi dalam penelitian ini adalah pelanggan Linograph Offset sebanyak 113 pelanggan.

3.2.2. Sampel

sampel harus merupakan representatif dari sebuah populasi, (Sumarsono, 2002 : 44). Dalam melakukan penarikan sampel, digunakan metode

“Simple Random Sampling” yaitu teknik penarikan sampel dimana setiap

anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk ditarik sebagai sampel, dan setiap anggota diberikan nomor, selanjutnya sampel ditarik secara random dengan mempergunakan undian atau tabel bilangan random. Agar jumlah sampel bisa mewakili jumlah populasi yang ada, maka dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin dalam Umar (1997:94) yaitu sebagai berikut :

n = 2 N.e 1 N + Keterangan : n = ukuran sampel N = ukuran populasi

e = persen kelonggaran tingkat kesalahan 5% Maka pengambilan sampelnya adalah sebagai berikut :

n = 2 N.e 1 N + = 2 .(5%) 13 1 1 113 + = 1,2825 95 = 60

Dari hasil tersebut jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 60 pelanggan pada Linograph Offset.

3.3. Teknik Pengumpulan Data 3.3.1. J enis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian dengan kuesioner.

3.3.2. Sumber Data

Dalam penelitian ini sumber datanya diperoleh dari pelanggan Linograph Offset.

3.3.3. Pengumpulan Data

1). Studi Pustaka, yaitu studi pendahuluan yang diperoleh dari literatur tentang variabel penelitian yang akan digunakan dan menentukan teori-teori yang tepat sebagai landasan teori-teori.

2). Studi Lapangan, yaitu studi langsung pada tempat penelitian dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Wawancara, yaitu teknik pegumpulan data dalam metode survei yang menggunakan pertanyaan secara lisan kepada subyek penelitian guna melengkapi data dalam penelitian ini

b. Kuesioner, yaitu metode pengumpulan data dengan cara membagikan lembar pertanyaan yang harus diisi oleh responden guna melengkapi data untuk uji PLS.

3.4. Teknik Analisis Dan Uji Hipotesis 3.4.1. Teknik Analisis

Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode SEM berbasis komponen dengan menggunakan PLS dipilih sbeagai alat analisis pada penelitian ini. Teknik Partial Least Square (PLS) dipilih karena perangkat ini banyak dipakai untuk analisis kausal – prediktif yang rumit dan merupakan teknik yang sesuai untuk digunakan dalam aplikasi prediksi dan pengembangan teori seperti pada penelitian ini.

PLS merupakan pendekatan yang lebih tepat untuk tujuan prediksi, hal ini terutama pada kondisi dimana indikator bersifat formatif. Dengan variabel laten berupa kombinasi linier dari indikatornya, maka prediksi nilai dari variabel laten dapat dengan mudah diperoleh, sehingga prediksi nilai terhadap variabel laten yang dipengaruhinya juga dapat dengan mudah diperoleh, sehingga prediksi terhadap variabel laten yang dipengaruhi juga dapat dengan mudah dilakukan.

SEM berbasis kovarian membutuhkan banyak asumsi parametrik, misalnya variabel yang diobservasi harus memiliki multivariate normal distribution yang dapat terpenuhi jika ukuran sampel yang digunakan besar (antara 200-800). Dengan ukuran sampel yang kecil akan memberikan hasil parameter dan model statistik yang tidak baik (Ghozali, 2008)

PLS tidak membutuhkan banyak asumsi. Data tidak harus berdistribusi normal multivariate dan jumlah sampel tidak harus besar (Ghozali merekomendasikan antara 30 – 100). Karena jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini kecil (<100) maka digunakan PLS sebagai alat analisisnya.

Untuk melakukan pengujian dengan SEM berbasis komponen atau PLS, digunakan dengan bantuan SmartPLS. PLS mengenal dua macam komponen dalam model kausal yaitu model pengukuran (measurement models) dan model struktural (structural model).

Melalui pendekatan ini, diasumsikan bahwa semua varian yang dihitung merupakan varian yang berguna untuk penjelasan. Pendekatan pendugaan variabel laten dalam PLS adalah sebagai exact kombinasi linear dari indikator, sehingga mampu menghindari masalah indeterminacy dan menghasilkan skor komponen yang tepat. Dengan menggunakan algoritma iteratif yang terdiri dari beberapa analisis dengan metode kuadrat kecil biasa (ordinary least square) maka persoalan identifikasi tidak menjadi masalah, karena model bersifat rekursif.

Pendekatan PLS didasarkan pada pergeseran analisis dari pengukuran estimasi parameter model menjadi pengukuran prediksi yang relevan. Sehingga fokus analisis bergeser dari hanya estimasi dan penafsiran signifikan parameter menjadi validitas dan akurasi prediksi.

Didalam PLS variabel laten bisa berupa hasil pencerminan indikatornya, diistilahkan dengan indikator refleksif (reflective indicator). Disamping itu, juga bisa konstruk dibentuk (formatif) oleh indikatornya, diistilahkan dengan indikator formatif (formative indicator).

3.4.2 Model Indikator Refleksif Dan Indikator Formatif 3.4.2.1 Model Indikator Refleksif

Dikembangkan berdasarkan pada classical test theory yang mengasumsikan bahwa variasi skor pengukuran konstruk merupakan fungsi dari true score ditambah error. Jadi konstruk laten seolah-olah mempengaruhi variasi pengukuran dan asumsi hubungan kausalitas dari konstruk ke indikator. Model refleksif sering juga disebut principal factor model dimana kovarian pengukuran indikator seolah-olah dipengaruhi oleh konstruk laten atau mencerminkan variasi dari konstruk laten.

Pada model refleksif, konstruk (unidimensional) digambarkan dengan bentuk ellips dengan beberapa anak panah dari konstruk ke indikator. Model ini menghipotesiskan bahwa perubahan pada konstruk laten akan mempengaruhi perubahan pada indikator. Model indikator refleksif harus memiliki internal konsistensi karena semua indikator diasumsikan mengukur satu konstruk, sehingga dua indikator yang sama reliabilitasnya dapat saling dipertukarkan. Walaupun reliabilitas (Cronbach Alpha) suatu konstruk akan rendah jika hanya ada sedikit indikator, tetapi validitas konstruk tidak akan berubah jika satu indikator dihilangkan.

Contoh model indikator refleksif adalah konstruk yang berkaitan dengan sikap (attitude) dan niat membeli (purchase intention). Sikap umumnya dipandang sebagi jawaban dalam bentuk favorable (positif) atau unfavorable (negatif) terhadap suatu obyek dan biasanya diukur dengan skala multi item dalam bentuk semantik differences seperti, good-bad, like-dislike, dan favorableunfavorable.

Sedangkan niat membeli umumnya diukur dengan ukuran subyektif seperti how likely-unlikely, probable-improbable, dan/atau possible-impossible.

Ciri-ciri model indikator reflektif adalah:

• Arah hubungan kausalitas seolah-olah dari konstruk ke indikator. • Antar indikator diarapkan saling berkorelasi (memiliki internal

consitency Reliability).

• Menghilangkan satu indikator dari model pengukuran tidak akan merubah makna dan arti konstruk.

• Menghitung adanya kesalahan pengukuran (error) pada tingkat indikator.

3.4.2.2 Model Indikator For matif

Konstruk dengan indikator formatif mempunyai karakteristik berupa komposit, seperti yang digunakan dalam literatur ekonomi yaitu index of sustainable economics welfare, the human development index, dan the quality of life index. Asal usul model formatif dapat ditelusuri kembali pada “operational definition”, dan berdasarkan definisi operasional, maka dapat dinyatakan tepat menggunakan model formatif atau refleksif. Jika η menggambarkan suatu variabel laten dan x adalah indikator, maka: η = x

Oleh karena itu, pada model formatif variabel komposit seolah-olah dipengaruhi (ditentukan) oleh indikatornya. Jadi arah hubungan kausalitas seolaholah dari indikator ke variabel laten. Dalam model formatif, perubahan pada indikator dihipotesakan mempengaruhi perubahan dalam konstruk (variabel

laten). Tidak seperti pada model refleksif, model formatif tidak mengasumsikan bahwa indikator dipengaruhi oleh konstruk tetapi mengasumsikan bahwa semua indikator mempengaruhi single konstruk. Arah hubungan kausalitas seolah-olah mengalir dari indikator ke konstruk laten dan indikator sebagai group secara bersama-sama menentukan konsep, konstruk atau laten.Oleh karena, diasumsikan bahwa indikator seolah-olah mempengaruhi konstruk laten, maka ada kemungkinan antar indikator saling berkorelasi, tetapi model formatif tidak mengasumsikan perlunya korelasi antar indikator secara konsisten. Sebagai misal komposit konstruk yang diukur oleh indikator yang saling mutually exclusive, adalah konstruk Status Sosial Ekonomi diukur dengan indikator antara lain Pendidikan, Pekerjaan dan Tempat Tinggal.

Oleh karena diasumsikan bahwa antar indikator tidak saling berkorelasi maka ukuran internal konsistensi reliabilitas (Alpha Cronbach) tidak diperlukan untuk menguji reliabilitas konstruk formatif. Kausalitas hubungan antar indikator tidak menjadi rendah nilai validitasnya hanya karena memiliki internal konsistensi yang rendah. Untuk menilai validitas konstruk perlu dilihat vaiabel lain yang mempengaruhi konstruk laten. Jadi untuk menguji validitas dari konstruk laten, peneliti harus menekankan pada nimological dan atau criterion-related validity.

Implikasi lainnya dari model formatif adalah dengan menghilangkan (dropping) satu indikator dalam model akan menimbulkan persoalan serius. Menurut para ahli psikometri indikator formatif memerlukan semua indikator yang membentuk konstruk. Jadi menghilangkan satu indikator akan menghilangkan bagian yang unik dari konstruk laten dan merubah makna dari

konstruk. Komposit variabel laten memasukkan error term dalam model, hanya error term diletakkan pada konstruk laten dan bukan pada indikator.

Model formatif memandang (secara matematis) indikator seolah-olah sebagai variabel yang mempengaruhi variabel laten, dalam hal ini memang berbeda dengan model analisis faktor, jika salah satu indikator meningkat, tidak harus diikuti oleh peningkatan indikator lainnya dalam satu konstruk, tapi jelas akan meningkatkan variabel latennya.

Model refleksif mengasumsikan semua indikator seolah-olah dipengaruhi oleh variabel konstruk, oleh karena itu menghendaki antar indikator saling berkorelasi satu sama lain. Dalam hal ini konstruk diperoleh menggunakan analis faktor. Sedangkan, model formatif (konstruk diperoleh melalui analisis komponen utama) tidak mengasumsikan perlunya korelasi antar indikator, atau secara konsisten berasumsi tidak ada hubungan antar indikator. Oleh karena itu, internal konsisten (Alpha Cronbach) kadang-kadang tidak diperlukan untuk menguji reliabilitas konstruk formatif.

Ciri-ciri model indikator formatif adalah:

• Arah hubungan kausalitas dari indikator ke konstruk.

• Antara indikator diasumsikan tidak berkorelasi (tidak diperlukan uji konsistensi internal atau cronbach alpha ).

• Menghilangkan satu indikator berakibat merubah makna dari konstruk • Kesalahan pengukuran diletakkan pada tingkat konstruk (zeta)

• Konstruk mempunyai makna “surplus” • Skala skor tidak menggambarkan konstruk

3.4.3 Kegunaan Metode Partial Least Square (PLS)

Kegunaan PLS adalah untuk mendapatkan model struktural yang powerfull untuk tujuan prediksi. Pada PLS, penduga bobot (weight estimate) untuk menghasilkan skor variabel laten dari indikatornya dispesifikasikan dalam outer model, sedangkan inner model adalah model struktural yang menghubungkan antar variabel laten.

3.4.4 Pengukuran Metode Partial Least Square (PLS)

Pendugaan parameter di dalam PLS meliputi 3 hal, yaitu :

1. Weight estimate yang digunakan untuk menciptakan skor variabel laten.

2. Estimasi jalur (path estimate) yang menghubungkan antar variabel laten dan estimasi loading antara variabel laten dengan indikatornya.

3. Means dan lokasi parameter (nilai konstanta regresi, intersep) untuk indikator dan variabel laten.

Untuk memperoleh ketiga estimasi ini, PLS menggunakan proses iterasi tiga tahap dan setiap tahap iterasi menghasilkan estimasi. Tahap pertama menghasilkan penduga bobot (weight estimate), tahap kedua menghasilkan estimasi untuk inner model dan outer model, dan tahap ketiga menghasilkan estimasi means dan lokasi (konstanta). Pada dua tahap pertama proses iterasi dilakukan dengan pendekatan deviasi (penyimpangan) dari nilai means (rata-rata). Pada tahap ketiga, estimasi bisa didasarkan pada matriks data asli dan taua hasil

penduga bobot dan koefisien jalur pada tahap kedua, tujuannya untuk menghitung means dan lokasi parameter.

3.4.5 Langkah-langkah PLS

1. Langkah Pertama: Merancang Model Struktural (inner model)

Inner model atau model stuktural menggambarkan hubungan antar variabel laten

Berdasarkan pada substantive theory perancangan model struktural hubungan antar variabel laten didasarkan pada rumusan masalah atau hipotesis penelitihan.

2. Langkah Kedua: Merancang Model Pengukuran (outer model)

Outler Model atau model pengukuran mendefinisikan bagaimana setiap blok indikator berhubungan dengan variabel latenya. Perancangan model menentukan sifat indikator dari masing-masing variabel laten, apakah refleksi atau formatif, berdasarkan devinisi oprasional variabel.

3. Langkah Ketiga: Mengkonstruksi Diagram Jalur

a. . Model persamaan dasar dari inner model dapat di tulis sebagai berikut:

N = β0 + β ŋ + Γ + ξ

Nj = ∑i βji ŋi + ∑i yjb b + ξj

b. . Model persamaan dasar Outer Model dapat di tulis sebagi berikut: Χ = Λ x + ɛx Y = Λy ŋ + ɛy

4. Langkah Keempat: Estimasi: Weight, koofesien jalur, dan loading

Metode pendugaan parameter (estimasi) di dalam PLS adalah metode kuadrat terkecil (Least squere methods). Proses perhitngan dilakukan dengan cara iterasi, dimana iterasi akan berhenti jika telah tercapai kondisi kenvargen. Penduga parameter di dalam PLS meliputi 3 hal , yaitu:

• Weight estimasi yang digunakan untuk menghitung data variabel laten.

• Path estimasi yang menghubungkan antar variabel laten dan estimasi loading antara variabel laten dan indikatornya.

• Means dan Parameter lokasi (nilai konstanta regresi, intersep) untuk indikator dan variabel laten.

5. Langkah Keenam: Goodness of Fit

Goodness of Fit Model diukur menggunakan R2 variabel laten dipenden dengan interpretasi yang sama dengan regresi. Q2 predictive relevance untuk model struktural mengukur seberapa baik nilai observasi dihasilkan oleh model dan juga estimasi parameternya.

Q2 = 1-(1-R22) (1-R22)...(1-Rp2)

Besarnya memiliki nilai dengan rentang 0 < > 2 pada analisis jalur ( Path Analisis ).

6. Langkah Ketujuh: Pengujian Hipotesis (Resampling Bootstraping)

Pengujian hipotesi (β, Y, dan Λ ) dilakukan dengan metode resampling boostrap yang dikembangkan oleh geisser dan stone statistik uji yang digunakan adalah statistik t atau uji t. Penerapan metode resampling,

memungkinkan berlakunya data terdistribusi bebas (distribution free) tidak memerlukan asumsi distribusi normal, serta tidak memerlukan sampel yang besar (direkomendasikan sampel minimum 30). Pengujian dilakukan dengan t-test, bilamana diperoleh p-value < >

3.4.6 Asumsi PLS

Asumsi pada PLS hanya berkait dengan pemodelan persamaan struktural, dan tidak terkait dengan pengujian hipotesis, yaitu:

1) Hubungan antar variabel laten dalam inner model adalah linier dan aditif

Dokumen terkait