• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEMANDIRIAN TOKOH UTAMA PEREMPUAN

D. Kedudukan Perempuan dan Laki-laki

3. Bidang Budaya

Dalam bidang budaya Mutter Courage juga mendominasi laki-laki. Hal tersebut terlihat pada pemberian nama ketiga anaknya. Nama-nama ketiga anaknya ditentukan oleh Mutter Courage sendiri atau kekasih Mutter Courage bukan oleh ayah kandungnya. Hal tersebut menyebabkan tidak ada Familienname (nama keluarga) dari ayah kandung ketiga anaknya tersebut. Secara tidak langsung, Mutter Courage terlihat menentang budaya patriarki.

Hal tersebut dapat diketahui pada babak 1, ketika Feldwebel menanyakan identitas Mutter Courage. Kemudian Mutter Courage menjawab kalau nama

aslinya adalah Anna Fierling. Kemudian Feldwebel ingin memastikan apakah ketiga anakanya juga bernama Fierling seperti Mutter Courage.

Der Feldwebel

“Also dann heiβts ihr alle Fierling (Brecht, 1997: 544)?”

“Jadi, apakah semuanya bernama Fierling?”

Mutter Courage

“Wieso? Ich heiβ Fierling. Die nicht (Brecht, 1997: 544).”

“Bagaimana bisa? Namaku Fierling. Mereka tidak.”

Der Feldwebel

“Ich denk, das sind alles Kinder von dir (Brecht, 1997: 544)?”

“Aku pikir, mereka anakmu semua?”

Mutter Courage

“Sind auch, aber heiβen sie deshalb alle gleich? (Brecht, 1997: 544).”

“Memang, tapi apakah namanya harus sama.”

Mutter Courage menjawab pertanyaan Feldwebel dengan jelas. Ketiga orang di gerobaknya tersebut memang anak-anaknya, tapi nama keluarga (Familienname) mereka semuanya bukan Fierling, seperti Mutter Courage.

Kemudian Mutter Courage memberitahu Feldwebel nama masing-masing anaknya satu persatu, dimulai dari Eilif.

Mutter Courage

[...] “Contohnya ia bernama Eilif Nojocki, kenapa, ayahnya selalu berharap, ia bernama Kojocki atau Mojocki. Pemuda yang mempunyai ingatan yang

bagus, hanya, ia seorang yang berbeda, yang ia miliki dalam pikiran, seorang Perancis dengan janggut kambing. Tapi setidaknya ia telah diwarisi kecerdasan dari ayahnya.”

Mutter Courage mengatakan kalau nama anak pertamanya adalah Eilif Nojocki, nama yang berbeda dengan yang diinginkan ayahnya. Ayahnya menginginkan ia bernama Kojocki atau Mojocki, namun Mutter Courage justru menamainya dengan Nojocki. Terlihat dominasi Mutter Courage terhadap suaminya, atau ayah kandung Eilif. Saran dari ayah kandung Eilif tidak dipakai Mutter Courage, ia justru menamainya dengan nama yang berbeda. Bahkan nama asli Schweizerkas sama sekali bukan pemberian ayahnya.

Mutter Courage

[...] “Ein Schweizer, heiβt aber Fejos, ein Name, der nix mit seinem zu tun hat. Der hieβ ganz anders und war Festungsbaumeister, nur versoffen

“Wie kann er da Fejos heiβen (Brecht, 1997: 544)?”

“Bagaimana bisa ia bernama Fejos?”

Mutter Courage

[...] “Er heiβt natürlich Fejos, weil, als er kam, war ich mit einem Ungarn, dem wars gleich, er hatte schon den Nierenschwund, obwohl er nie einen Tropfen angerürht hat, ein sehr redlicher Mensch. Der Junge ist nach ihm geraten (Brecht, 1997: 544).”

[...] “Ia bernama Fejos, karena, ketika ia lahir, aku bersama seorang Hungaria, yang juga sama, ia sedang sakit gagal ginjal, walaupun ia belum pernah memakan obat, seorang yang jujur. Pemuda itu menyarankan namanya.”

Der Feldwebel

“Aber er war doch gar nicht der Vater (Brecht, 1997: 544)?”

“Tapi ia sama sekali bukan ayahnya?”

Mutter Courage

“Aber nach ihm ist er geraten. Ich heiβ ihn Schweizerkas, warum, er ist gut im Wagenziehen (Brecht, 1997: 544).”

“Tapi ia menyarankan namanya. Aku menamainya Schweizerkas, kenapa, karena ia pandai memindahkan gerobak.”

Mutter Courage mengatakan kalau nama Schweizerkas sebenarnya Fejos.

Kemudian Feldwebel ingin mengetahui bagaimana ia bisa bernama Fejos, sedang ayahnya adalah seorang Swiss. Mutter Courage menjawab, ketika Schweizerkas lahir, ia sedang bersama seorang Hungaria yang juga sedang sakit. Pemuda Hungaria tersebut sangat jujur. Kemudian pemuda tersebut menyarankan, agar bayi tersebut dinamai Fejos. Mengetahui hal tersebut Feldwebel terkejut, karena ternyata nama Fejos sama sekali bukan pemberian ayah kandungnya. Feldwebel juga memastikan pada Mutter Courage, bahwa yang memberikan nama tersebut bukan ayah dari Schweizerkas. Mutter Courage mengiyakan hal tersebut dengan mengatakan kalau orang tersebut yang menyarankan nama Fejos. Mutter Courage menamainya Schweizerkas, karena ia pandai memindahkan gerobak. Namun Mutter Courage tidak menjelaskan kaitan nama Schweizerkas dengan kepandaiannya memindahkan gerobak. Untuk Kattrin Mutter Courage tidak banyak menjelaskan. Ia hanya menyebut kalau Kattrin keturunan Jerman.

Mutter Courage

[...] Auf ihre Tochter deutend : “Die heiβt Kattrin Haupt, eine halbe Deutsche (Brecht, 1997: 544).”

[...] Pada anak perempuannya : “Ini namanya Kattrin Haupt, setengah Jerman.”

Melalui penamaan-penaman ketiga anaknya terlihat dominasi Mutter Courage terhadap suami-suaminya. Selain itu dapat dilihat bagaimana Mutter Courage menentang budaya patriarki yang tercermin dengan adanya

Familienname (nama keluarga) pada keturunannya. Penentangan terhadap budaya patriarki juga merupakan agenda dari gerakan feminisme. Hal tersebut dikarenakan budaya patriarkilah yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan (Hollows, 2010: 11). Selain itu budaya patriarki merupakan suatu sistem dominasi laki- laki yang menyebabkan laki- laki menjadi pusat dan perempuan hanyalah subordinat. Mutter Courage ingin menghindari hal tersebut, yaitu dengan tidak menggunakan Familienname pada anak- anaknya.

Dominasi Mutter Courage terhadap laki-laki merupakan cara Brecht untuk membuat tokoh Mutter Courage menjadi asing bagi penonton. Drama Mutter Courage und ihre Kinder karya Bertolt Brecht berlatar perang di abad 17. Brecht keluar dari konvensi masyarakat tentang perang. Masyarakat berpendapat, bahwa perang merupakan suatu keadaan yang didominasi laki- laki. Perang melibatkan suatu kesatuan militer dengan mayoritas jajarannya diduduki oleh laki- laki.

Brecht tidak menghindari kenyataan itu. Laki- laki tetap menduduki sebuah pangkat kemiliteran, bukan perempuan. Meskipun demikian, Brecht tidak menggambarkan sosok perempuan sebagai tokoh utama yang ditindas oleh laki- laki yang mempunyai jabatan dalam perang tersebut. Brecht justru menggambarkan tokoh utama perempuannya sebagai sosok yang mandiri dan mendominasi laki- laki. Melalui penggambaran tokoh perempuan tersebut, Brecht berharap agar penonton mempelajari (studiert) tindakan- tindakan tokoh perempuan tersebut. Dengan penonton yang mempelajari mengakibatkan penonton hanya menjadi pengamat (Betrachter), bukan ikut ambil bagian atau mengalami (miterlebt) tindakan- tindakannya.