• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

C. Feminisme

2. Kritik Sastra Feminis

Kritik sastra merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaiannnya (Wellek melalui Pradopo, 2008: 92). Wiyatmi (2012: 28) menjelaskan bahwa proses analisisnya adalah interpretasi (penafsiran), analisis (penguraian), dan yang terakhir penilaian (evaluasi).

Kritik sastra feminis menurut Ruthven (1984: 4) berasal dari istilah kritik sastra feminis yang dibagi ke dalam 3 frasa “kritik” “sastra” “feminis”. Kritik merupakan praktik diskursif yang bertujuan untuk menjelaskan dan mengevaluasi

karya sastra. Sastra merupakan kumpulan teks yang memiliki nilai kesastraan.

Oleh karena itu, istilah kritik sastra feminis yang dijelaskan melalui pemahaman

“kritik” “sastra” “feminis” lebih jelas karena mengandung makna sebagai bentuk sekunder yang mengevaluasi dan menilai bentuk primer berlandaskan suatu teori.

Ruthven (1984: 24) menyatakan bahwa kritik sastra feminis adalah suatu alat untuk mengamati dalam sebuah pengetahuan baru yang dikonsep dengan mengembalikan komponen yang tidak tampak dari gender dalam semua tulisan yang dihasilkan manusia dalam ilmu pengetahuan sosial. Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya- karya sastranya (Wiyatmi, 2012: 28). Sugihastuti&Suharto (2010: 61) mengungkapkan bahwa kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respons atas berkembangnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Penggunaan pendekatan kritik sastra feminis diharapkan dapat membuka pandangan baru terutama yang berkaitan dengan bagaimana karakter- karakter perempuan diwakili melalui tokoh dan penokohan dalam karya sastra.

Tujuan kritik sastra feminis menurut Kolodny (melalui Djajanegara, 2000:

23- 24) antara lain sebagai berikut.

a. Kritik sastra feminis merupakan alat baru dalam mengkaji dan mendekati suatu teks. Dengan kritik sastra feminis kita mampu menafsirkan kembali serta menilai kembali seluruh karya sastra yang dihasilkan di abad- abad silam.

b. Membantu memahami, menafsirkan serta menilai cerita- cerita rekaan penulis perempuan.

c. Menilai cara penilaian, dengan kritik sastra feminis pengkritik sastra feminis mempertanyakan keabsahan serta kelengkapan cara- cara penilaian tradisional.

Kritik sastra feminis merupakan pengaruh dari gerakan sosial politik di akhir 1960- an dan awal 1970- an, terutama di Eropa Barat dan Amerika.

Kebangkitan ini diikuti oleh beberapa negara- negara berkembang seperti Jepang, Filipina, dan Indonesia. Semenjak itu, feminisme menjadi gerakan internasional dan berkembanglah peran karya sastra. Keduanya berhubungan karena penulisan karya sastra sebelumnya telah merekam penekanan terhadap perempuan. Hal ini disebabkan karena nilai- nilai dan konvensi sastra telah dibentuk oleh laki- laki.

Penulis laki- laki menunjukan tulisan kepada pembacanya seolah- olah mereka semuanya adalah laki- laki sehingga terdapat kekaburan mengenai perspektif perempuan dalam karya sastra. Sementara, pendapat yang sama menyebutkan bahwa kritik sastra feminis mendapat kontribusi dari pemikiran gerakan feminis.

Kate Millet dalam Sexual Politics (melalui Humm, 1986: 4) memilih untuk melawan patriarki dengan kritik sastra feminis dengan melihat representasi perempuan dalam karya sastra. Paham kritik sastra feminis ini menyangkut soal

“politik” dalam sistem komunikasi sastra (Millet melalui Sugihastuti, 2000: 39).

Sebuah politik yang langsung mengubah hubungan kekuatan kehidupan antara wanita dan pria dalam sistem komunikasi sastra.

Dalam ilmu sastra, feminisme berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat ialah laki- laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca wanita membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya (Showalter melalui Sugihastuti, 2000: 37). Dalam perkembangannya ada beberapa macam kritik sastra feminis. Showalter (melalui Wiyatmi, 2012: 25) membedakan kritik sastra feminis menjadi dua, yaitu 1) kritik sastra feminis yang melihat perempuan sebagai pembaca (the woman as reader/ feminist critique), dan 2) kritik sastra feminis yang melihat perempuan sebagai penulis (the woman as writer/ gynocritics).

Kedua ragam kritik sastra feminis tersebut sangat bertolak belakang dalam penerapannya. Woman as reader memfokuskan kajian pada citra dan stereotipe perempuan dalam sastra, pengabaian dan kesalahpahaman tentang perempuan dalam kritik sebelumnya, dan celah- celah dalam sejarah sastra yang dibentuk oleh laki- laki, sedangkan woman as writer meneliti sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, struktur tulisan perempuan, kreativitas penulis perempuan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis perempuan (Showalter melalui Wiyatmi, 2012: 25).

Sementara itu, Jonathan Culler (melalui Humm, 1986: 13) membatasi bahwa kritik sastra feminis hanya pada reading as woman (membaca sebagai perempuan). Ia menyimpulkan bahwa konsep reading as woman adalah memainkan sebuah peran, di mana kritikus, baik laki- laki maupun perempuan

mampu membangun hipotesis- hipotesis dari permbaca perempuan. Culler juga menegaskan, ketika laki- laki membaca sebagai feminis, ia sama sekali bukan kritikus feminis. Hal tersebut dikarenakan pembaca laki- laki akan menjauhi analisis- analisis yang berkaitan dengan maskulinitas dan patriarki (Humm, 1986:

13). Hal tersebut membuktikan bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra.

Kritik sastra feminis yang diartikan membaca sebagai perempuan berpandangan bahwa kritik ini tidak mencari metodologi atau konseptual tunggal, tetapi bahkan sebaliknya menjadi pluralis dalam teori dan praktiknya, menggunakan kebebasan dalam metodologi dan pendekatan yang dapat membantu pelaksanaan kritiknya. Cara ini berpijak dari sudut pandang yang mapan dan mempertahankannya secara konsisten kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan jenis kelamin yang mempengaruhi dunia sastra (Sugihastuti&Suharto, 2010: 10). Selain itu, reading as woman bertalian dengan faktor sosial budaya pembacanya (Sugihastuti, 2000: 38). Dalam hal ini sikap menjadi faktor penting.

Peran pembaca dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari sikap bacanya.

Pembaca perempuan dianggap berpengaruh dalam pemahamannya atas karya sastra. Ada asumsi bahwa perempuan memiliki persepsi yang berbeda dari laki- laki dalam melihat dunia.