• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III IBNU SINA SEBAGAI ILMUAN

A. Bidang Filsafat

Kelahiran ilmu filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam.1 Usaha ini melahirkan sejumlah filsuf besar muslim. Usaha penerjemahan naskah-naskah dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat telah dilakukan pada masa klasik Islam, dari berbagai bahasa, seperti bahasa Siryani, Yunani, Persia, dan India, ke dalam bahasa Arab. Usaha penerjemahan tersebut berlangsung selama tidak kurang dari satu setengah abad di zaman klasik Islam (abad ke-1 hingga ke-7 H), dan berlangsung secara besar-besaran di Baghdad sejak masa pemerintahan al-Mansur (137-159 H/754-775 M), serta mencapai puncaknya pada masa pemerintahan al-Makmun (198-218 H/813-833 M).2

Filsafat bukanlah ilmu karena ilmu adalah a posteriori (kesimpulan-kesimpulannya ditarik setelah pengujian berulang-ulang; untuk ilmu tertentu, melalui percobaan-percobaan), sedangkan filsafat adalah a priori (kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian ilmiah). Bahkan, cabang-cabang filsafat seperti metafisika, estetika dan etika sukar diuji kebenarannya, sedangkan ilmu

1

Pada mulanya, kaum Muslimin menerjemahkan karya-karya filsafat Thales (624-546 SM), pythagoras (530-495 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (4277-327 SM), Aristoteles (384-322 SM), Theophratos (371-287 SM), Klaudios Ptolemaios (87-168 M), Klaudios Galenos (129-199 M), serta filsuf-filsuf Yunani lainnya. Lihat buku S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), Cet.3, h. 80.

2

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve, 2002), h.195.

31

bersifat empirik, filsafat bersifat spekulatif kontemplatif (merenung dan bersamadi). Dengan demikian, filsafat mempunyai kaitan erat dan saling berpengaruh dengan ilmu.3

Dalam pemikiran klasik, falsafah atau filsafat merupakan induk segala ilmu pengetahuan. Darinya segala jenis ilmu itu berasal. Konsep ini berasal dari pemikiran Yunani, terutama dari Aristoteles. Dari sini kemudian Aristoteles mempengaruhi para pemikir Islam, termasuk Ibnu Sina.4

Jika dilihat dari sisi zaman, maka ilmu yang beragam jenis itu menurut Ibnu Sina dapat dibagi 2 bagian : pertama, ilmu yang hanya berlaku pada zaman tertentu saja karena sering berubah-ubah, dan kedua, ilmu yang tidak terkait dengan zaman berlaku sepanjang masa. Ilmu inilah yang disebut “ilmu hikmah”.5

Adapun ilmu hikmah itu, ia terdiri dari : ilmu dasar dan ilmu cabang, seperti: kedokteran, pertanian, ilmu nujum dan lain-lain. Ilmu dasar merupakan bagian yang terpenting dalam ilmu hikmah, dan Ibnu Sina membaginya kepada dua bagian: ilmu mantik (ilmu alat dalam berpikir) dan ilmu yang bukan alat yang digunakan dalam hal-hal yang empiris dan metafisis, dan ini terdiri dari dua bagian :6

a. Ilmu teoritis yang bertujuan untuk membersihkan jiwa melalui makrifah.

b. Ilmu praktis yang bertujuan untuk beramal sesuai dengan makrifat.

3

S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, h. 79.

4

Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, h. 70.

5Ibid. 6Ibid.

Yang pertama berupaya untuk mengetahui kebenaran, dan yang kedua untuk mengetahui kebaikan.

Selanjutnya ilmu teoritis itu dibagi kepada empat bagian : fisika, matematika, ketuhanan dan ilmu kulli yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan materi, seperti kesatuan, kebanyakan, bagian, seluruh dan sebab-akibat. Demikian pula ilmu praktis dibagi kepada empat bagian : akhlak, mengatur rumah tangga, mengatur negara dan kenabian.7

Dengan ilmu hikmah, manusia akan memperoleh kesempurnaan itu akan diperoleh tidak hanya sekedar mengetahui hal-hal teoritis, tetapi ia juga harus bekerja dan berusaha agar hidupnya sesuai dengan apa yang diketahuinya.

Adapun pemikiran filsafat Ibnu Sina, diantaranya : 1. Filsafat Jiwa

Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut paham pancaran. Dari Tuhan memancar Akal Pertama, dan dari Akal pertama memancar Akal Kedua dan Langit Pertama; demikian seterusnya sehingga tercapai Akal Kesepuluh dan bumi. Dari Akal Kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril.8

Berlainan dengan Al-Farabi, Ibnu Sina berpendapat bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat :9

7Ibid

, h. 70.

8

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 23.

33

a. sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran Allah (Neccessary by virtue of the Necessary Being)

b. dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya (Possible in essence).

Dengan demikian Ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.

Jiwa manusia, sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :10

I. Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya : 1. makan

2. tumbuh

3. berkembang biak

Jadi, jiwa pada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makan, tumbuh, dan berkembang biak.

II. Jiwa binatang dengan daya-daya : 1. gerak

2. menangkap, dengan dua bagian : a. gerak

10

b. menangkap, dengan dua bagian : (1) menangkap dari luar dengan panca indera, dan (2) menangkap dari dalam dengan indera-indera batin, yang terdiri atas lima indra, yaitu :11

i. Indera bersama, yang menerima segala apa yang ditangkap oleh indera luar. Contohnya kucing yang disiram air.

ii. Indra khayyal (representasi), yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama. Contohnya kucing dapat mengetahui keberadaan tikus karena pengalaman yang direkam di dalam ingatannya.

iii. Imajinasi, yang menyusun apa yang disimpan dan khayyal.

iv. Estimasi, yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya umpamanya keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala.

v. Indera pemeliharaan (rekoleksi), yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.

Dengan demikian, jiwa binatang lebih tinggi fungsinya daripada jiwa tumbuh-tumbuhan, bukan hanya sekedar makan, tumbuh, dan berkembang biak, tetapi telah dapat bekerja dan bertindak serta telah merasakan sakit dan senang seperti manusia.

III. Jiwa Manusia, mempunyai dua daya :

1. Praktis, yang berhubungannya dengan badan.

11

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof & Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pres, 2010), h. 105.

35

2. Teoritis, yang hubungannya dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkat :

i. Akal materiil, yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.

ii. Akal al-malakat, yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.

iii. Akal Aktual, yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak. iv. Akal Mustafad, yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang

hal-hal abstrak tanpa perlu pada daya upaya. Akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif12

Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat pada kesempurnaan.

Dalam hal ini daya praktis mempunyai kedudukan penting. Daya inilah yang berusaha mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat dalam badan tidak menjadi halangan bagi daya teoritis untuk membawa manusia kepada tingkatan yang tinggi dalam usaha mencapai kesempurnaan. Menurut pendapat Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan

12

mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, jiwa masih bersahajat dengan badan. Karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berpikir.13

Pancaindera yang lima dan daya-daya batin dari jiwa binatanglah seperti indera bersama, estimasi, dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Apabila jiwa telah mencapai kesempurnaannya maka badan tidak diperlukan lagi bahkan menjadi penghalang mewujudkan kesempurnaan. Sejalan dengan terpisahnya antara badan dengan jiwa tersebut, maka jiwa manusia tidak mesti hancur dengan dengan hancurnya badan. Tetapi jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang yang terdapat dalam diri manusia, maka hanya mempunyai fungsi-fungsi yang bersifat fisik yang akan mati dengan matinya badan dan tak kan dihidupkan kembali di akhirat. Balasannya untuk kedua jiwa ini pun dicukupkan di dunia saja. Berbeda denga jiwa manusia yang bertujuan pada hal-hal yang abstrak yang akan dihidupkan kelak di akhirat.14

Pemikirannnya yang intens terhadap jiwa menyebabkan Ibnu Sina sampai pada kesimpulan bahwa jiwa bersifat kekal (abadi). Menurut Ibnu Sina, hanya dengan keabadian jiwalh nikmat surga dan siksaat neraka dapat terlaksana,

13

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h. 32.

14 Ibid.

37

seperti dijelaskan oleh ayat al-Qur‟an (QS. Al-Baqarah : 25 dan 39).15 Kelanjutannya ialah bahwa yang berbangkit pada hari kiamat hanya jiwa, tanpa badan.16

2. Filsafat Kenabian

Dalam teori kenabian, Menurut Ibnu Sina sebagian manusia dianugrahi Tuhan akal potensial/material yang sedemikian kuat, yang oleh Ibnu Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi (daya luar biasa) atau al-quwwah al-qudsiyyah (daya suci). Daya yang ada pada akal potensial seperti ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat menerima cahaya kebenaran atau wahyu Tuhan melalui akal aktif.17 Akal yang seperti ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, dan terdapat hanya pada nabi-nabi.18

Dalam buku Hasyimsyah Nasution, sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibnu Sina membagi manusia ke dalam empat kelompok: mereka yang kecakapan teoritisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa

15

QS. Al-Baqaroh ayat 25 tersebut artinya : “...Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnyaada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”.

Sedangkan, QS Al-Baqaroh ayat 39 tersebut artinya : “...Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.

16

Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet. 1, h.138

17

Akal Aktif diidentifikasi sebagai Jibril, malaikat pembawa wahyu. Lihat : Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama : Filsafat Islam, h. 80.

18

manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang dan berkemampuan untuk menimbulkan gejala-gejala aneh di atas dunia. Kemudian mereka yang memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang-orang yang daya teoritisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang-orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.19

Dalam tulisannya yang khusus untuk mengukuhkan adanya kenabian, Risalah fi Isbat an-Nubuwwah, Ibnu Sina berupaya menunjukkan adanya perbedaan keunggulan atau keutamaan pada segenap wujud, pada akhirnya menegaskan bahwa para nabi, yang akal teoritis mereka mengaktual dengan sempurna secara langsung, lebih utama dari mereka (para filsuf), yang akal teoritis mereka mengaktual dengan sempurna secara tidak laangsung (yakni dengan perantara, seperti latihan dan belajar keras). Uraian Ibnu Sina mengenai hal ini adalah sebagai berikut :20

Ada wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam materi dan ada pula yang berada dalam materi, maka yang pertama lebih unggul daripada yang kedua.21

19

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 75.

20

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, h. 201-202.

21Ibid

39

Selanjutnya ada pula bentuk bersama materi (yakni tubuh materi) yang bersifat tumbuh (organik) dan ada pula yang tidak tumbuh (yakni benda mati), maka yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Yang organik ada yang berupa binatang dan ada pula yang tidak, maka yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Manusia ada yang memiliki akal bi al-malakah dan ada pula yang tidak, maka yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada pula manusia yang akal bi al-malakah-nya meningkat menjadi akal aktual dan ada pula yang tidak meningkat, maka yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Selanjutnya ada manusiayang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa latihan, tanpa studi keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan atau studi keras), maka yang pertama, yakni para nabi, lebih unggul daripada yang kedua, yakni para filsuf. Para nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-makhluk material, karena yang lebih unggul harus memimpin segenap manusia yang diunggulinya.22

Demikianlah uraian Ibnu Sina dan dengan demikian ia bukan saja mengakui adanya nabi dan rasul serta kenabian dan kerasulan, melainkan juga menegaskan bahwa nabi dan rasul lebih unggul dari filsuf.

3. Filsafat Wujud

Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun esensi sendiri. Esensi, dalam paham

Ibnu Sina, terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat diluar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari esensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan sifat wujudiyah atau eksistensialisme dari filosof-filosof lain.

Kalau dikombinasikan, esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :23

1. Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina, mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. 2. Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya ialah alam ini yang pada awalnya tidak ada, kemuadian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.

3. Esensi yang boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud; esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al-wujud inilah mewujudkan mumkin al-wujud. Hubungan Wajib al-wujud dengan mumkin al-wujudbersifat emanasionistis.

23

41

Dengan argumen ini Ibnu Sina ingin membuktikan adanya Tuhan menurut logika. Dengan demikian, Tuhan adalah unik dalam arti, Dia adalah kemaujudan yang Mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan Tuhan. Kemaujudan yang Mesti itu harus satu. Nyatanya, walaupun di dalam Kemaujudan ini tak boleh terdapat kelipatan sifat-sifat-Nya, tetapi Tuhan memiliki esensi lain, tak ada atribut-atribut lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa esensi Tuhan identik dengan keberadaan-Nya yang mesti itu. Karena Tuhan tidak beresensi, maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat didefinisikan.

Ibnu Sina menganut paham emanasi. Teori emanasi Ibnu Sina hampir tidak berbeda dengan teori emanasi yang telah lebih dahulu dikemukakan al-Farabi. Dari Tuhan memancarkan 10 akal (akal I sampai dengan akal X), 10 jiwa (9 jiwa langit dan 1 jiwa bumi), dan 10 raga (9 raga langit dan 1 raga bumi). Emanasi itu adalah akibat aktivitas mengetahui atau berpikir.24

Ia berpendapat bahwa dari Tuhan berpikir tentang diri-Nya, maka memancarkan Akal I. Sekalipun Tuhan terdahulu dari segi zat, namun Tuhan dan Akal Pertama adalah sama-sama azali. Selanjutnya Ibnu Sina berpendapat, bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (

دوجولا بجاو

هتادل

dan

هرىغل دوجولا بجاو

atau Necerssary by Virtue of the Necssary Being dan Possible in Essence). Dengan demikian ini mempunyai tiga obyek pemikiran : (i) berpikir tentang Tuhan, (ii) berpikir tentang dirinya sebagai wajib wujudnya dan

24

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, h. 198.

(iii) dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul jiwa-jiwa, dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.25

Akibat aktivitas berpikir akal I, memancar akal II. Sebagai akibat aktivitas berpikir kedua, memancarkan jiwa, dan langit pertama. dan sebagai akibat aktivitas ketiga, memancarkan raga langit pertama. Akal II juga memiliki tiga aktivitas seperti tersebut diatas. Dan akibatnya juga tiga, muncul akal III, jiwa langit kedua, dan raga langit kedua. Demikian seterusnya hingga Akal X, jiwa langit kesembilan (bulan), dan raganya (planet). Dari Akal X hanya memancar jiwa, raga dan bumi. Akal X tidak cukup kuat untuk memancarkan akal berikutnya. Pada bumi banyak muncul raga-raga tumbuhan, binatang, dan manusia, yang masing-masing raga itu ditempati oleh satu jiwa individual.26

Akal-akal adalah para malaikat, Akal I adalah malaikat tertinggi dan akal X adalah Malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya. Akal bersifat tetap dan terasing dari falak, sedangkan jiwa berhubungan langsung dengan falak (gerakan alam di langit). Tuhan adalah al-Khair al-Mutlak (Tuhan sendiri)27 dan Akal hanyalah al-Khair yang menjadi tujuan dari segala gerakan falak untuk kesempurnaan dirinya. Kerinduan Jiwa falak kepada al-Khair disebut Isyq

25

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 70.

26

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, h. 198.

27

Tuhan menjadi tujuan tiap-tiap jiwa manusia, sebagaimana juga Dia menjadi tujuan segala gerakan alam di langit (falak). Falak itu bergerak secara beredar menaati Khair al-Mutlak. Gerakan falak itu merupakan gerakan jiwa (nafs), sebab falak itu menyerupai manusia.

43

Mutlak. Rindu inilah yang menyebabkan terjadinya bermacam-macam peristiwa dan berlangsungnya berbagai macam hal.28

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel emanasi Ibnu Sina di bawah ini.29

(Subjek) Akal yang ke Sifat Allah sebagai Wajib al-Wujud menghasil kan Dirinya sendiri sebagai Wajib wujud li ghairihi, menghasilk an Dirinya sendiri mumkin wujud lizathihi Keterangan I Wajib al-Wujud Akal II Jiwa I yang menggerakk an Langit Pertama Masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet karena (immateri) tidak bisa langsung menggerakkan jisim (materi), II Mumki n al-Wujud Akal III Jiwa II yang menggerakk an Bintang-bintang

III Sda Akal IV

Jiwa III yang menggerakk an Saturnus IV Sda Akal V Jiwa IV yang menggerakk an Yupiter V Sda Akal VI Jiwa V yang menggerakk an Mars

VI Sda Akal VII

Jiwa VI yang menggerakk

an

Matahari

VII Sda Akal VIII

Jiwa VII menggerakk

an

Venus

VIII Sda Akal IX

Jiwa VIII yang menggerakk Merkuri 28 Hasyimsyah Nasution, h. 70. 29

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof & Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pres, 2010), h. 101.

an IX Sda Akal X Jiwa IX yang menggerakk an Bulan X Sda - Jiwa X yang menggerakk an Bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur (udara, api, air, dan tanah). Akal X tidak lagi memancarkan akal-akal berikutnya karena kekuatannyasud ah lemah.

Akal-akal dan planet-planet dalam emanasi di atas dipancarkan (diciptakan) Allah secara hierarkies. Keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqqul Allah tentang zat-Nya sebagai sumber energi dan menghasilkan energi yang mendahsyat. Ta’aqqul Allah tentang zat-Nya adalah ilmu Allah tentang diri-Nya dan ilmu itu adalah daya (al-qudrat) yang menciptakan segalanya. Agar sesuatu itu tercipta, cukup sesuatu itu diketahui Allah. Dari hasil ta’aqqul Allah terhadap zat-Nya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-akal, jiwa-jiwa, dan yang lainnya memadat menjadi planet-planet.30

Filsuf yang mendukung pemikiran Aristoteles beranggapan bahwa Tuhan tidak tersibukkan dengan sesuatu yang ada di luar diri-Nya. Tuhan hanya memikirkan diri-Nya karena Dia adalah „aql. Dengan kata lain, Tuhan adalah

30

45

subjek sekaligus objek pemikiran. Karena itu, Tuhan tidak perlu tahu hal-hal yang bersifat partikular. Hal-hal yang bersifat partikular adalah khusus bagi yang terbatas yang terpengaruh dengan berbagai kejadian dan objek pengetahuan setelah terjadi. Pendapat tersebut tidak dapat diterima oleh Ibnu Sina. Baginya, Tuhan Maha Mengetahui segala yang sudah atau yang akan terjadi dalam kekuasaan-Nya sejak azali. Jadi, pengetahuan-Nya itu bukanlah karena sesuatu itu sudah terjadi, bahkan pengetahuan-Nya itulah yang menjadi sebab bagi terjadinya segala sesuatu.31

Dokumen terkait