V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.2 Bilangan Kurva dan Impervious Area
mengembangkan indeks yang disebut run off curve number, atau yang lebih dikenal dengan bilangan kurva (CN). Bilangan ini menyatakan pengaruh hidrologi bersama antara tanah, penggunaan lahan, perlakuan terhadap tanah, keadaan hidrologi, dan kandungan air sebelumnya terhadap pendugaan volume aliran permukaan.
Penggunaan lahan di DAS Ciliwung bagian hulu dibagi dalam lima jenis penggunaan lahan yaitu hutan, tegalan, kebun, sawah dan pemukiman. Kemudian Fakhrudin (2003) mengklasifikasikan penggunaan lahan tersebut berdasarkan klasifikasi U.S Soil Conservation Service (1971) sehingga didapatkan pengelompokan sebagai berikut:
1. Hutan pinus dan hutan rakyat diklasifikasi kedalam hutan kondisi hidrologi buruk.
Tabel 5.2 Total curah hujan 5 hari sebelum kejadian hujan terpilih di DAS Ciliwung bagian hulu
Curah Hujan (mm) SubDAS
Hasil perhitungan, data dari Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung-Cisadane 2004
2. Kebun atau kebun campuran yang ditanami nangka, mangga, kelapa, bambu, kaliandra, lamtoro dan sejenisnya diklasifikasikan ke dalam leguminosa ditanam rapat atau pergiliran tanaman padang rumput menurut kontur dan berkondisi hidrologi buruk.
3. Pemukiman DAS Ciliwung bagian hulu disetarakan dengan pemukiman yang rata-rata kedap air 65%.
4. Sawah berteras menurut kontur diklasifikasikan ke dalam padi-padian berteras baik.
5. Tegalan dengan tanaman semusim yang ditanami jagung, singkong, padi gogo diklasifikasikan ke dalam tanaman semusim menurut lereng dengan kondisi buruk.
Kondisi hidrologi tanah ditunjukkan berdasarkan pembagian kelompok hidrologi tanah (HSG) yang ditentukan dari jenis tanah.
Berdasarkan peta tanah semi detail 1992, kelompok hidrologi tanah di DAS Ciliwung bagian hulu ditentukan dengan mengikuti pengelompokkan menurut Fakhrudin (2003).
Kondisi kandungan air tanah (KAT) sebelumnya ditentukan berdasarkan jumlah curah hujan pada lima hari sebelum kasus kejadian hujan terpilih (Tabel 5.2) dan dianggap berlangsung pada musim tumbuh.
Nilai bilangan kurva pada masing-masing subDAS dihitung berdasarkan bobot luas setiap bentuk penggunaan lahan menurut kelompok hidrologi tanahnya. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata bilangan kurva di DAS Ciliwung bagian hulu pada tahun 2004 sebesar 72,14 pada kondisi rata-rata atau KAT II.
Selain bilangan kurva, luas daerah impervious juga mempengaruhi volume limpasan dari suatu DAS. Berdasarkan faktor imperviousness pada Tabel 3.4, DAS Ciliwung bagian hulu memiliki luas wilayah impervious sebesar 10,3% atau sekitar 15,24 km2. Tabel
5.3 menunjukkan nilai bilangan kurva dan imperviousness pada tiap subDAS di DAS Ciliwung bagian hulu pada kondisi KAT I, II dan III.
Tabel 5.3 Nilai bilangan kurva dan imperviousness tiap SubDAS di DAS Ciliwung bagian hulu tahun 2004
SubDAS CN Cibogo 68,06 83,53 92,11 12,73 Ciesek 59,97 78,11 89,14 10,78 Cisarua 41,35 62,67 79,43 10,60 Cisukabirus 41,71 63,01 79,67 8,50 Ciseuseupan 64,78 81,41 90,97 12,41 Tugu 48,88 69,48 83,96 8,96
Hasil perhitungan
5.3 Penyusunan Basin Model
Penyusunan basin model merupakan salah satu tahap penting dalam analisa sistem hidrologi menggunakan HEC-HMS. Dalam basin model, perlu disusun konfigurasi yang menggambarkan representasi fisik dari suatu DAS berdasarkan elemen-elemen hidrologi.
Terdapat tujuh elemen hidrologi yang tersedia dalam HEC-HMS, yaitu Subbasin, Reach, Reservoir, Junction, Diversion, Source, dan Sink.
Pada penelitian ini elemen hidrologi yang digunakan untuk mengkonfigurasi DAS Ciliwung bagian hulu terdiri dari 6 subbasin, 4 reach, 4 junction dan 1 sink, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.1.
Penyusunan basin model juga mencakup perhitungan pada 4 submodel utama, yaitu loss model, direct runoff model, baseflow model, serta routing model. Metode dan parameter yang diperlukan sebagai masukan basin model tertera pada Tabel 5.4. Semua parameter masukan HEC-HMS dihitung pada masing-masing subDAS untuk setiap kasus kejadian hujan terpilih.
Gambar 5.1 Konfigurasi DAS Ciliwung bagian hulu dalam basin model HEC-HMS
Tabel 5.4 Metode dan parameter masukan HEC-HMS Model Metode Parameter
Initial abstraction Bilangan kurva Loss SCS Loss
Model
Imperviousness Time lag Snyder Snyder UH
Koefisien puncak SCS UH Time lag SCS
Waktu konsentrasi Direct
Runoff
Clark UH Koefisien simpanan Aliran dasar awal Konstanta resesi Baseflow Baseflow
Recession
Aliran threshold Travel time Routing Muskingum
routing Faktor pembobot
1) Loss Model
Curah hujan yang jatuh pada suatu DAS akan mengalami proses infiltrasi, intersepsi, evaporasi dan bentuk kehilangan lainnya sebelum menjadi limpasan. Loss model menghitung besar curah hujan efektif dari pengurangan total curah hujan yang turun dengan precipitation loss. Penelitian ini menggunakan metode SCS, dimana merupakan metode yang sederhana, terukur, serta stabil (USACE 2000). Bedient dan Huber (1988) menyatakan bahwa pendekatan SCS sudah diterapkan dengan baik di beberapa negara, karena metode ini mempertimbangkan bentuk penggunaan lahan, sifat hidrologi tanah dan
dapat dilakukan pada daerah yang tidak terukur.
Parameter SCS yang diperlukan sebagai masukan dalam loss model adalah initial abstraction, bilangan kurva, dan persentase imperviousness. Initial abstraction (Ia) merupakan fungsi dari penggunaan dan penutupan lahan serta kondisi hidrologi seperti intersepsi, infiltrasi, depression storage serta kelembaban tanah terdahulu. Dalam metode SCS, nilai Ia dihitung berdasarkan potential maximum retention dan bilangan kurva.
Penentuan bilangan kurva dan luas daerah impervious mengikuti perhitungan seperti pada Bab 5.2. Hasil perhitungan parameter loss model pada setiap kejadian hujan terpilih disajikan dalam Lampiran 5.
2) Direct Runoff Model
Tiga metode hidrograf sintetik, Snyder, SCS dan Clark, dipilih dalam penelitian ini untuk direct runoff model. Ini dilakukan agar terlihat perbandingan antar hidrograf aliran model yang dihasilkan ketiga metode hidrograf satuan. Rekapitulasi hasil perhitungan parameter direct runoff model masing-masing subDAS tertera pada Tabel 5.5.
Parameter masukan yang diperlukan untuk metode Snyder meliputi time lag (tl) dan koefisien puncak (Cp). Time lag diartikan sebagai interval waktu antara pusat massa hujan dengan saat terjadinya debit puncak.
Berdasarkan hasil perhitungan, time lag Snyder rata-rata tiap subDAS sebesar 3,4 jam.
Koefisien Cp diperoleh dengan cara trial-error Nama Elemen
pada saat kalibrasi. Nilai awal yang digunakan adalah 0,8.
Selain perhitungan hujan efektif, SCS juga mengembangkan hidrograf satuan sintetik yang didasarkan atas hidrograf tak berdimensi (dimensionless). Dalam HEC-HMS, metode SCS hanya memerlukan paramater time lag sebagai masukan. Berdasarkan hasil perhitungan, time lag SCS rata-rata tiap subDAS sebesar 1,9 jam.
Metode hidrograf satuan Clark memerlukan waktu konsentrasi (Tc) dan koefisien simpanan (R) sebagai parameter masukan. Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan gelombang air untuk mengalir dari titik terjauh dalam DAS menuju outlet, atau disebut juga waktu ekuilibrium dimana aliran keluar sama dengan aliran yang masuk ke dalam DAS. Berdasarkan persamaan waktu konsentrasi menurut Johnston & Cross (1949, dalam USACE 2000), nilai Tc rata-rata tiap subDAS diperoleh sebesar 3,8 jam.
Parameter R dapat dihitung sebagai aliran di titik inflection point pada bagian falling limb dari suatu hidrograf dibagi dengan fungsi waktu terhadap aliran. Berdasarkan hidrograf aliran dari stasiun debit Katulampa, didapatkan rata-rata R sebesar 3,38. Nilai R pada masing-masing subdas diasumsikan proporsional dengan luas tiap subdas.
Tabel 5.5 Nilai parameter direct runoff model pada masing-masing subDAS Ciseuseupan 3,27 0,8 2,12 4,15 0,51 Tugu 3,66 0,8 1,92 4,24 1,09
Hasil perhitungan
3) Baseflow Model
Parameter aliran dasar awal, konstanta resesi dan aliran threshold pada baseflow model, ditentukan berdasarkan hidrograf aliran pengamatan dari SPAS Katulampa. Kontribusi aliran dasar dan konstanta resesi pada masing-masing subDAS diasumsikan proporsional dengan luas tiap subDAS. Persamaan yang digunakan untuk konstanta resesi, k adalah:
⎟⎠
dengan Qt adalah aliran dasar pada periode t, dan Qo adalah aliran dasar awal (pada t=0).
Dari hidrograf pengamatan Katulampa pada kejadian hujan terpilih, didapatkan nilai k rata-rata sebesar 0,96.
Aliran threshold merupakan aliran saat dimulainya kurva resesi pada sisi yang menurun dari sebuah hidrograf. Pada HEC-HMS, aliran threshold ditetapkan sebagai perbandingan terhadap aliran puncak (ratio to peak). Ratio to peak dari hidrograf pengamatan Katulampa berkisar antara 0,18 sampai 0,69 dengan rata-rata sebesar 0,38.
4) Routing Model
Perhitungan rambatan gelombang aliran sungai (routing) dalam HEC-HMS dituangkan pada routing model (channel flow model).
Penelitian ini menggunakan metode Muskingum. Parameter yang diperlukan adalah travel time dan faktor pembobot. Travel time (k) atau waktu tempuh aliran dari titik inlet sampai outlet, ditentukan melalui hubungan antara kecepatan aliran dengan panjang sungai.
Berdasarkan konfigurasi DAS Ciliwung bagian hulu, proses routing terbagi menjadi 4 elemen atau reach, yaitu 1, 2, 3 dan R-4. Keempat elemen tersebut berada pada satu subDAS Ciseuseupan. Menurut penelitian Irianto (2000), rata-rata lebar atas permukaan saluran subDAS Ciseuseupan sebesar 24,3 m.
Slope rating curve di SPAS Katulampa diketahui sebesar 30,35 sehingga kecepatan aliran untuk keempat reach diperkirakan sebesar 1,25 m/s. Berdasarkan data tersebut, parameter k untuk R-1, R-2, R-3 dan R-4 berturut-turut adalah 0,4, 0,29, 0,23 dan 0,98 jam.
Faktor pembobot (x) dalam metode Muskingum berkisar antara 0 sampai 0,5 dengan rata-rata 0,2 untuk aliran alami. Pada penelitian, penentuan nilai x diperoleh dari hasil trial-error pada saat kalibrasi, dengan menggunakan nilai rata-rata sebagai nilai masukan awal.