• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIODATA SINGKAT Short Bios

Dalam dokumen . Conversations. Performances. Kampana (Halaman 44-55)

Ayu Permata Sari lahir di Kotabumi, Lampung Utara pada 1992. Dari 2010-2016, ia mendalami tari melalui jurusan penciptaan koreografi di Institut eni Indonesia (ISI) Yogyakarta, untuk gelar sarjana dan masternya. Ia terpilih untuk mengikuti residensi di Leuven dan Brussels (Belgia) sebagai bagian dari Monsson Europalia Festival. Pada 2018, salah satu karyanya berjudul Kami Bu-ta memenangkan penghargaan “Jasa Bakti” dari Asian Technology Festival di Johor, Malaysia. Karyanya berjudul TubuhDang TubuhDut masuk dalam program Kampana IDF tahun 2018, dan sudah dipentaskan di beberapa kota di Indonesia dan berbagai negara seperti, Singapura, Malaysia, dan Jerman. Ia pernah mendapatkan hibah seni dari Komunitas Salihara dengan karya X (2019) dan Presentasi tari : Ma Nam Ju Pan (2020). 2020-2021, Ayu berproses dengan kolektif produser, kurator, dan manajer seni dari Jepang dan Asia Tenggara dalam 3Cs Karakoa Project.

Ayu Utami adalah penulis Indonesia

berprestasi, penerima Prince Claus Award pada 2000 dan Penghargaan Ahmad Bakrie untuk Sastra tahun 2018. Selama rezim militer Indonesia, Ayu adalah seorang jurnalis dan aktivis kebebasan pers. Novel pertamanya Saman (1998), diterbitkan hanya beberapa hari sebelum Presiden Suharto lengser, mendapat pujian tinggi dari kritikus sastra dan menjadi buku terlaris sekaligus mercusuar kebebasan selama gerakan perubahan politik (Reformasi) di Indonesia. Menurutnya, dalam sistem politik demokrasi Indonesia, radikalisme agama merupakan tantangan utama kebebasan berekspresi. Untuk mengatasi tantangan ini, dia memfokuskan karyanya untuk menyebarluaskan apa yang dia sebut sebagai “spiritualisme kritis”. Konsep tersebut pertama kali diterapkan dalam novelnya Bilangan Fu (The Number Fu, 2008) dan telah meresap dalam semua karyanya sejak saat itu.

Berto Tukan

Ayu Permata Sari was born in Kotabumi,

Lampung Utara in 1992. From 2010–2016, she studied dance at the Department of Choreography Creation at the Indonesian Art Institute (ISI) Yogyakarta for her bachelor’s and master’s degrees. She was selected as a participant of Monsoon Europalia’s artist residency program in Leuven and Brussels (Belgium). In 2018, one of her works entitled Kami Bu-ta won the “Jasa Bakti” award from the Asian Technology Festival in Johor, Malaysia. Her work, entitled TubuhDang TubuhDut, was selected in the 2018 IDF Kampana program, and has been performed in several cities in Indonesia and various countries such as Singapore, Malaysia and Germany. She has received an art grant from Salihara Arts Center with the work X (2019) and Presentasi tari : Ma Nam Ju Pan (2020). In 2020–2021, Ayu is working with a collective of producers, curators and art managers from Japan and Southeast Asia in the 3Cs Karakoa Project.

Ayu Utami is an award-winning Indonesian

writer who was the laureate of the Prince Claus Award in 2000 and the Ahmad Bakrie Award for Literature in 2018. During Indonesia’s military regime, Ayu was a journalist and activist for freedom of the press.

er first novel Saman (1998), published just a few days before President Suharto stepped down, was highly acclaimed by literary critics and became a bestseller as well as a beacon of freedom during the movement for political change (Reformasi) in Indonesia. In Indonesia’s democratic political system, she believes that religious radicalism constitutes the main challenge to freedom of expression. To cope with this challenge, she focuses her works on the promotion of what she terms

critical spiritualism. This concept was first mentioned in her novel Bilangan Fu (The Number Fu, 2008) and has permeated all her works since then.

Berto Tukan born in Larantuka, East Flores,

21 April 1985, he is a Jakarta-based freelance writer and researcher. His published works

Tidak Bercinta Ketika Bercinta Tidak Lama” (kumpulan puisi, 2018). Selain menulis se-jumlah esai dan meriset beberapa hal, ia aktif sebagai koordina tor subjek belajar di Gudskul: Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer.

Diane Butler telah banyak berkolaborasi dengan seniman dari berbagai macam budaya terutama Amerika, Eropa, dan Asia selama lebih dari 25 tahun. Ia hidup di desa Bedulu dan Tejakula, Bali sejak tahun 2001. Bersama Suprapto Suryodarmo, ia menginisiasi sebuah yayasan Dharma Nature Time untuk mendukung interkultural pada lingkungan budaya melalui seni, religi, dan alam.

Eka Wahyuni lahir di Tanjung Redeb, Berau 3 Maret 1989. Sehari-hari, ia bekerja sebagai penerjemah, arsiparis, dan di bidang manajemen produksi seni. Sejak tujuh tahun terakhir, ia mulai berkecimpung dalam dunia tari dan mengikuti sejumlah residensi yang dimentori oleh koreografer kenamaan Indonesia dan luar negeri. Sebagai penari, ia terlibat dalam Dance Heginbotham pada program DanceMotion USA, berkolaborasi dengan Citra Pratiwi untuk karya Gelora, terlibat dalam karya Masegit Rokateater dan Kalanari Theater Movement. Pada 2018, ia menerima hibah Yayasan Kelola untuk program Magang Nusantara.

Eko Supriyanto lahir di Astambul, Kalimantan Selatan, 26 November 1970, tetapi dibesarkan di Magelang, Jawa Tengah. Darah seni mengalir dari kakeknya, Djojoprayitno, penari wayang orang Sri Wedari (Solo) 1960-an. Eko masuk Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI 1990-1997) Surakarta mendalami tari Jawa. Dua kali ia tampil dalam Indonesian Dance Festival (IDF) dengan karya Lah (1994) dan Leleh (1996) yang mengantarkannya ke American Dance Festival (ADF 1997) di Durham, North Carolina dan sia acific erformance change (APPEX 1997) di Los Angeles, AS. Kemudian Eko melanjutkan kuliah di Department World Arts and Culture di UCLA, California (1998-2001). Kini ia telah meraih gelar doktor di Universitas Gajah Mada dan ISI Surakarta.

research, he is a coordinator of study subjects at Gudskul: Collective Studies and Ecosystems of Contemporary Art.

Diane Butler has collaborated with artists

from various cultures, especially America, Europe, and Asia for more than 25 years. She has lived in Bedulu and Tejakula villages, Bali, since 2001. Together with Suprapto Suryodarmo, she initiated the Dharma Nature TIme foundation to support interculturalism in the cultural environment through art, religion and nature.

Eka Wahyuni was born in Tanjung Redeb,

Berau, on March 3, 1989. On a day-to-day basis, she works as a translator, archivist, and production manager. In the last seven years, she has been involved in dance and has attended a number of residencies mentored by well-known Indonesian and foreign choreographers. As a dancer, she was involved in Dance Heginbotham in the DanceMotion USA program, collaborated with Citra Pratiwi in Gelora, and was involved in the works by Masegit Rokateater and Kalanari Theater Movement. In 2018, she received a Kelola Foundation grant for the National Internship program.

Eko Supriyanto born in Astambul, South

Kalimantan, 26 November 1970, he grew up in Magelang, Central Java. He inherited the talent in art from his grandfather, Djojoprayitno, a wayang orang dancer of Sri Wedari (Solo) in the 1960s. From 1990– 1997, Eko studied Javanese dance at the Indonesian Arts College (STSI) in Surakarta. He appeared twice at the Indonesian Dance Festival (IDF) with the works Lah (1994) and Leleh (1996) which led him to the American Dance Festival (ADF 1997) in Durham, North Carolina and the sia acific erformance Exchange (APPEX 1997) in Los Angeles, USA. Eko continued his studies at the Department of World Arts and Culture at UCLA, California (1998-2001). He earned doctoral degrees from the Gajah Mada University and the Indonesian Art Institute of Surakarta.

Eun-Me Ahn merupakan seorang tokoh penting di dunia seni pertunjukan Korea Selatan. Ia belajar tari kontemporer di Ehwa Women’s University, Seoul. Kemudian, ia mendirikan Ahn Eun-Me Company pada 1988 sebelum pindah ke New York pada 1991 untuk menuntut ilmu di Tish School of the Arts. Pada 2001 ia kembali ke Korea Selatan sebagai koreografer dan penampil yang menengok kembali karya klasik negaranya (Princess Bari), menyelidiki isu sosial seperti isu generasi (Dancing Grandmothers, Dancing Teen, Dancing Middle-aged Men), atau keberpihakan khusus (Ahnsim Dance dengan penderita tuna netra, Daeshin Dance dengan penderita dwarfisme . Ia telah menggubah lebih dari 150 nomor tari dan mendapat pengakuan internasional melalui karya Symphoca Princess Bari, Let Me Change Your Name dan Dancing Grandmothers, yang tampil di panggung-panggung ternama di dunia.

Eyi Lesar lahir di Manado, 13 Februari 1993, adalah seorang penari dan koreografer, alumnus Jurusan Seni Tari, Institut Kesenian Jakarta. Ia terlatih oleh sejumlah genre tari, seperti break dance, tradisi, modern, dan hip-hop, yang kemudian mempengaruhi koreografinya. elain berkolaborasi dengan sejumlah koreografer kenamaan Indonesia dan mancanegara, seperti Hartati, Eko

upriyanto, ola ulfianti, Tom Ibnur, eter Wilsgon, Kaptonczai Erika, Arno Schuitmaker, ia telah menghasilkan sejumlah karya sebagai koreografer dan tampil di sejumlah festival penting Indonesia antara lain, Sanguin (Sejumlah Tempat di Jakarta, 2005), Tomorrow (Jakarta Dance Meet Up 2017), Who Are You (Hibah Seni Kelola 2018), dan Adinterim (HelaTari Salihara 2019).

Gege Diaz lahir di Larantuka 34 tahun yang lalu, merupakan lulusan Institut Kesenian Jakarta. Sejak 2006, ia bergabung dengan grup JeckosDANCE serta grup StreetpasS. Ia pernah ikut pentas bersama JeckosDance di gedung Esplanade, Singapore pada 2007,

Eun-Me Ahn is an important figure in the

South Korean performing arts. She studied contemporary dance at Ehwa Women’s University, Seoul. Later, she founded the Eun-Me Ahn Company in 1988 before moving to New York in 1991 to attend the Tisch School of the Arts. In 2001 she returned to South Korea as a choreographer and performer revisiting classics of her country (Princess Bari), and investigating social issues such as generational issues (Dancing Grandmothers, Dancing Teen, Dancing Middle-aged Men), and special alignments (Ahnsim with the blinds, Daeshin Dance with people with dwarfism . he has composed more than 1 dance numbers and has received international acclaim through the works Symphoca Princess Bari, Let Me Change Your Name and Dancing Grandmothers, which were performed on world-renowned stages.

Eyi Lesar, born in Manado, February 13,

1993, is a dancer and choreographer, the alumni of the Department of Dance of the Jakarta Arts Institute.He learned a number of dance genres, such as break dancing, traditional, modern, and hip-hop, which later influenced his choreography. In addition to collaborating with a number of well-known Indonesian and international choreographers, such as artati, ko upriyanto, ola ulfianti, Tom Ibnur, Peter Wilsgon, Kaptonczai Erika, Arno Schuitmaker, he has produced a number of works as a choreographer and appeared at several important Indonesian festivals, among others Sanguin (2005 Sejumlah Tempat di Jakarta), Tomorrow (2017 Jakarta Dance Meet Up), Who Are You (2018 Kelola Foundation Art Grant), and Adinterim (2019 HelaTari Salihara).

Gege Diaz, born 34 years ago, is an alumni

of the Jakarta Arts Institute. Since 2006, he has been a member of JeckosDANCE and StreetpaS dance groups. He has performed with JeckosDANCE in Esplanade, Singapore in 2007; Japan (Nagoya, Yokohama, Fukuoka); Jerman (Frankfurt) and Rusia (Shoci). In 2017, he performed his work

Gisèle Vienne adalah seorang seniman,

koreografer, dan sutradara Perancis-Austria. Setelah menamatkan studi di bidang Filsafat, ia mempelajari pertunjukan boneka di Ecole Supérieure Nationale des Arts de la Marionnette. Ia pernah berkolaborasi dengan penulis Dennis Cooper dan musisi Peter Rehberg dan Stephen O’Malley. Karya-karyanya telah dipentaskan di penjuru Eropa, Asia, dan Amerika, antara lain I Apologize (2004), Kindertotenlieder (2007), Jerk (2008), This is how you will disappear (2010), LAST SPRING: A Prequel (2011), The Ventriloquists Convention (2015) dan Crowd (2017). Ia beberapa kali menggelar pameran fotografi di se umlah museum karya tulisnya telah dipublikasikan secara luas, antara lain JERK/Through Their Tears dan 40 PORTRAITS 2003–2006; Sementara musik latar pertunjukannya telah tergabung dalam sejumlah album lagu. Saat ini ia menggarap sebuah pertunjukan yang dikembangkan dari cerita pendek Der Teich karya Robert Walser, akan tampil pertama kali November 2020 di TNB, Rennes.

Gymnastik Emporium adalah proyek

kolektif eniman dari berbagai disiplin untuk mengerjakan karya yang membongkar batasan antara seni dan bidang-bidang lain. Ia diniatkan sebagai proyek panjang, khususnya melihat aspek-aspek pertunjukan pada bidang olahraga, seperti aspek ketubuhan dan aspek kepenontonan. Gymnastik Emporium berbasis di Yogyakarta, terdiri dari Abdi Karya, Ari Dwianto,

Irfanuddien Ghozali, Kurnia Yaumil Fajar, Muhammad AB, Vandy Rizaldy, yang masing-masing punya rekam jejak yang panjang pada kerja-kerja pertunjukan nasional maupun internasional.

Irfan Setiawan lahir di Belinyu, Kepulauan Bangka Belitung, dan telah menekuni dunia tari sejak usia 11 tahun. Ia adalah alumni Jurusan Seni Tari, Institut Kesenian Jakarta dan telah melalui banyak proses kreatif dengan berbagai koreografer Indonesia maupun internasional.Ia pernah menjuarai se umlah festival koreografi, memperoleh hibah Ruang Kreatif dari Djarum Foundation & Garin Workshop, dan menjadi salah satu asisten koreografer Eko Supriyanto dalam acara Opening Ceremony Asian Games 2018.

Gisèle Vienne is a Franco-Austrian artist,

choreographer and director. After graduating in Philosophy, she studied at the puppeteering school Ecole Supérieure Nationale des Arts de la Marionnette. She works regularly with, among others, the writer Dennis Cooper and the musicians Peter Rehberg and Stephen O’Malley. Her work has been touring in Europe and regularly performed in Asia and in America, among which, I Apologize (2004), Kindertotenlieder (2007), Jerk (2008), This is how you will disappear (2010), LAST SPRING: A Prequel (2011), The Ventriloquists Convention (2015) and Crowd (2017) Gisèle Vienne has frequently been exhibiting her photographs in museums, her published books including JERK/Through Their Tears and 40 PORTRAITS 2003–2006 has led to various publications; and the original music of her shows to several albums. She is now working on a show based on Robert Walser’s short story Der Teich, that will premiere in November 2020 at the TNB in Rennes.

Gymnastik Emporium is a collective project

of artists from various disciplines to create works that break down the boundaries between art and other fields. It is intended as a long project, especially to observe the aspects of performance in the field of sports, including the physical and being a spectator. Gymnastik Emporium is based in Yogyakarta, with Abdi Karya, Ari Dwianto, Irfanuddien Ghozali, Kurnia Yaumil Fajar, Muhammad AB, and Vandy Rizaldy, each of whom has a long track record in national and international performance works, as its members.

Irfan Setiawan was born in Belinyu, Bangka

Belitung and has been learning to dance since the age of 11 years old. He graduated from the Department of Dance of the Jakarta Arts Institute and has gone through many creative processes with various Indonesian and international choreographers. He has won a number of choreography festivals, received a Creative Space grant from the Djarum Foundation & Garin Workshop, and was selected as one of Eko Supriyanto’s assistant choreographers at the 2018 Asian Games Opening Ceremony. Some of his works include 1 dari 10 (2015), Encang Encot (2016), Bala (2017), Sun Ali (2018), Impact (2019), and many more. During 2019–

Beberapa karyanya adalah 1 dari 10 (2015), Encang Encot (2016), Bala (2017), Sun Ali (2018), Impact (2019), dan banyak lainnya. Dalam rentang 2019-2021, ia berpartisipasi dalam Dance Tour Eropa “SIKAP” bersama Cie X-Press (Prancis).

Jeannie Park berimigrasi dari Amerika

Serikat ke Yogyakarta pada 1996 karena terpikat oleh warisan budaya Jawa di Indonesia. Jeannie menjadi praktisi tari Jawa di Kraton Yogyakarta sejak tahun 1998, dan menjadi penari asing pertama yang menari bedhaya di Bangsal Suryo Kencono, Kraton Yogyakarta. Ia telah berpartisipasi dalam berbagai program residensi sebagai produser kreatif independen dan manajer seni melalui BAM, New York; Kennedy Center for Performing Arts, Washington, D.C.; Asian Cultural Council; dan Japan Foundation. Jeannie pernah menjadi staf program Yayasan Kelola, organisasi layanan pertama di Indonesia untuk seni; dan pernah menjabat sebagai Direktur Kohn Turner Gallery, Los Angeles, AS. Kini, Jeannie turut mengembangkan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja sebagai Direktur Eksekutif.

Jennifer Lindsay pertama kali datang ke Indonesia pada 1970, dan sejak saat itu Indonesia menjadi bagian penting dalam hidupnya. Selama di Indonesia, ia bekerja sebagai Cultural Counsellor di Kedutaan Besar Australia (1989 - 1992), Program O cer di ord oundation, dan pembuatan naskah proyek dan katalogisasi manuskrip di istana Sultan di Yogyakarta. Selain berposisi pengajar dan peneliti di University of Sydney dan National University of Singapore, ia mengedit, menerjemahkan, dan berkontribusi untuk banyak jurnal akademik, menulis tentang kebijakan budaya, sejarah budaya, kinerja, media, dan bahasa.Dia juga mengarahkan film dokumenter tentang misi budaya Indonesia selama periode Soekarno.

Josh Marcy adalah seniman tari yang

berbasis di Jakarta, Indonesia. Ia memulai

2021, he is participating in the European Dance Tour “ATTITUDE” with Cie X-Press (France).

Jeannie Park immigrated to Yogyakarta

from the United States in 1996, driven by her interest in Indonesia’s Javanese cultural heritage. Jeannie has been a Javanese dance practitioner at the Yogyakarta Royal

alace since 199 , and became the first foreign dancer to dance bedhaya at Bangsal Suryo Kencono, Kraton Yogyakarta. She has participated in various residency programs as an independent creative producer and arts manager through BAM, New York; Kennedy Center for Performing Arts, Washington, D.C.; Asian Cultural Council; and the Japan

oundation. eannie was a program o cer for elola oundation, Indonesia’s first service organization for the arts; and has served as Director of the Kohn Turner Gallery, Los Angeles, USA. Currently, Jeannie serves as Executive Director of the Padepokan Seni Bagong Kussudiardja.

Jennifer Lindsay first came to Indonesia

in 1970, and since then, Indonesia has become an important part of her life. While in Indonesia, she worked as Cultural Counselor at the Australian Embassy (1989-1992),

rogram O cer at the ord oundation, and participated in cataloging manuscript projects at the Sultan’s palace in Yogyakarta. In addition to serving as lecturer and researcher at the University of Sydney and the National University of Singapore, she edits, translates and contributes to numerous academic journals; and writes on cultural policy, cultural history, performance, media and languages.

he also directed documentary films about Indonesia’s cultural mission during Soekarno’s presidency.

Josh Marcy is an independent dance

artist based in Jakarta, Indonesia. Josh early trained in hip hop before expanding to contemporary dance practice.He just earned his master’s on Urban Arts from the Jakarta

karya, ia melakukan banyak riset guna melihat lebih dalam hubungan antara “apa itu tubuh” dengan “apa itu ruang”, dan bagaimana interaksi antar keduanya membentuk realita. Karya-karya Josh, antara lain, Pedestrian di Jakarta Dance Meet Up Reguler and Jakarta Dance Meet Up selection (2017-2018), Spasial di Komunitas Salihara (2018), The Meeting di Jakarta Dance Extravaganza (2019), Side To side, In Scale di Bintaro Design District (2019).

Kadek Puspasari Lahir di Bali, 1979, kemudian besar di kota Solo. Ia menekuni tari tradisi Bali dan Jawa, baik secara informal maupun formal melalui Institut Seni Indonesia Surakarta. Ia banyak terlibat dalam karya, baik pentas dalam negeri maupun mancanegara. Sejak tahun 2010, ia tinggal di Perancis dan melanjutkan karier sebagai guru tari, penari, dan koreografer tradisi dan kontemporer.Saat ini ia menjadi Koreografer di fondasi tari kontemporer Abbey Royaumont, dan terpilih dalam program Incubateur chorégraphe dengan La fabrique de la danse Paris. Bersama suaminya sejak tahun 2014, ia mendirikan sanggar/company tari musik-gamelan dengan nama Association Pantcha Indra di Paris, yang saat ini memiliki 40 orang lebih anggota.

Linda Mayasari merupakan Direktur

Cemeti—Institut untuk Seni dan Masyarakat, dan anggota tim kurator Indonesian Dance Festival 2020.Saat ini ia tengah menyelesaikan studi Magister Kajian Budaya di Universitas Sanata Dharma, sambil melakukan penelitian pribadi dan menjelajahi persimpangan seni, politik, dan pascakolonialisme dalam konteks budaya dan sejarah Indonesia. TEROPONG ARSIP: MABUK AMERIKA DAN IDENTITAS NASIONAL - Arsip Tari Bagong Kussudiardjo & Wisnu Wardhana tahun 1950an-1960an adalah proyek penelitian yang ia garap bersama dengan Muhammad AB dan Suluh Senja Romana, dipresentasikan sebagai bagian “Jejak-旅 Tabi Exchange: Wandering Asian Contemporary Performance”, Yogyakarta 2018.

Martin Suryajaya meraih juara pertama dalam Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013.Karya terbarunya

at the Regular Jakarta Dance Meet-Up and the Jakarta Dance Meet-Up selection (2017-2018); Spasial, at the Salihara Arts Center (2018), The Meeting at the Jakarta Dance Extravaganza (2019); Side To Side, In Scale at the Bintaro Design District (2019).

Kadek Puspasari was born in Bali in

1979 and grew up in Solo. She pursued traditional Balinese and Javanese dance, both in informal and formal settings at the Surakarta Indonesian Art Institute. She has been frequently working on national and international stages. Since 2010, she has lived in France and has continued her career as a dance teacher, dancer and choreographer for both traditional and contemporary dance.She is currently a

Dalam dokumen . Conversations. Performances. Kampana (Halaman 44-55)

Dokumen terkait