• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Biofouling

Biofouling merupakan istilah umum yang digunakan untuk semua jenis organisme laut yang hidup menempel pada permukaan substrat, organisme penempel pada umumnya menempel hanya pada substrat yang disukainya (Wahl 1989). Organisme penempel atau yang biasa disebut biofouling ini akan menempel pada semua benda padat yang terendam di laut, terutama yang tidak dilapisi oleh lapisan antifouling. Benda–benda padat tersebut dapat berupa bahan kayu, besi atau logam, fiber, dan beton.

Proses penempelan organisme laut pada substrat keras ini dapat dibagi menjadi lima tahapan (Delauney et al. 2009), yaitu: (1) Terjadinya proses turbulensi massa air yang mengakibatkan adanya adsorbsi bahan organik dan inorganik pada permukaan substrat; (2) Bahan organik dan inorganik yang teradsorbsi di permukaan substrat tersebut mengandung sel mikroba, baik itu bakteri ataupun jamur, serta mampu menjadi media yang baik untuk pertumbuhan mikrobakteri tersebut; (3) Pertumbuhan mikroba yang terus berkembang akan membentuk koloni sehingga terbentuklah lapisan biofilm; (4) Lapisan biofilm yang terbentuk akan memicu adanya penempelan spora alga dan larva organisme bentik; (5) Pada fase inilah larva dan spora akan berkembang dengan pesat sehingga permukaan substrat akan penuh ditempeli oleh biofouling. Ilustrasi proses penempelan biofouling pada substrat padat di laut dapat dilihat pada Gambar 3.

39

Gambar 3 Proses penempelan biofouling pada substrat padat di laut

Biofouling dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu mikrofouling dan makrofouling. Boesono (2008) menjelaskan bahwa organisme penempel pada substrat kayu jati dan kayu bangkirai yang direndam di laut selama 2 bulan didominasi oleh makrofouling, yaitu organisme filum crustacea dan moluska, seperti Balanus, Bankia, dan Ligia. Mikrofouling pada umumnya merupakan susunan koloni bakteri, jamur, diatom, cyanobacter, dan jenis uniseluler alga yang lainnya. Koloni diatom, cyanobacter, dan uniseluler alga biasa disebut sebagai peryphyton, sementara koloni jamur dan bakteri umum disebut sebagai biofilm.

2.4.1. Makrofouling

Makrofouling oleh Callow dan Callow (2002) dibedakan menjadi dua macam, yaitu makrofouling lunak dan keras. Makrofouling lunak contohnya soft coral, spons, anemon, tunikata, dan hydroid, sementara contoh yang keras adalah bernakel, kerang, dan cacing tabung.

Kerang hijau menempel pada substrat dengan bantuan senyawa yang disekresikan oleh tubuhnya. Senyawa tersebut lengket seperti lem, disebut sebagai protein dyhidroxypenylalanine yang masuk pada golongan polipeptida (Callow dan Callow 2002). Bernakel, juga mampu mensekresikan senyawa dengan sifat yang sama, namun diketahui sebagai senyawa hydrophobic protein (Callow dan Callow 2002). Larva bernakel (cyprid) memiliki cambuk dan berenang bebas, kemudian akan memilih lokasi yang baik untuk melekat dengan

menggunakan antennules. Salah satu bagian organ larva, yang umum disebut antennules tersebut menghasilkan cairan untuk menandai lokasi lalu kemudian menempel. Callow dan Callow (2002) memaparkan Enthemorpha, merupakan salah satu jenis golongan makroalga yang menempel pada substrat dilaut sejak fase spora. Spora makroalga tersebut memiliki cambuk yang dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk menempel pada substrat, karena mengeluarkan glycoprotein, yaitu senyawa yang disekresikan dari bagian apparatus golgi spora alga.

2.4.2. Mikrofouling

Mikrofouling merupakan susunan koloni bakteri, jamur, diatom, cyanobacter, dan jenis uniseluler alga yang lainnya. Koloni diatom, cyanobacter, dan uniseluler alga biasa disebut sebagai peryphyton, sementara koloni jamur dan bakteri umum disebut sebagai biofilm. Biofilm pada umumnya didominasi oleh bakteri yang memiliki kemampuan untuk menempel pada substrat keras di laut. Penempelan biofilm pada permukaan substrat di laut juga melewati beberapa fase, yaitu (1) pelekatan bakteri yang bersifat planktonik di permukaan substrat, dengan menggunakan bulu atau cambuknya (flagel); (2) pembentukan koloni sederhana antara bakteri bakteri sejenis; (3) pembentukan koloni bakteri biofilm yang semakin besar dan kondisi individu bakteri lebih matang (Armitage 2005). Tahapan penempelan bakteri biofilm tersebut ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Tahapan penempelan bakteri biofilm pada substrat di laut

Proses awal pelekatan biofilm pada substrat keras dipengaruhi oleh dua hal, yaitu (1) sifat fisika bahan sehingga terjadi reaksi kohesi dan adhesi morfologi bakteri dengan struktur substrat; (2) respon fisiologis bekteri terhadap

41

nutrisi yang tersedia (Czaczyk dan Myszka 2007). Respon fisiologis tersebut berupa sekresi Ekstracelluler Polysakaruda Substance (EPS) oleh bakteri melalui satu atau dua katub memanjang yang terdapat di bagian ujung tubuhnya. EPS telah diketahui sebagai penyusun utama koloni bakteri biofilm, yang mengandung protein, nukleid acid, lipid, dan hampir 97% polysakarida (Vu et al. 2009). Vu et al. (2009) memaparkan setiap bakteri penyusun biofilm memiliki kemampuan untuk mensekresikan EPS yang berbeda berdasarkan komposisi dan sifat kimianya. Asam kolanat merupakan salah satu jenis EPS fleksibel yang diproduksi oleh bakteri biofilm Pseudomonas aeruginosa, sementara Vibrio cholera diketahui mensekresikan EPS berupa senyawa galaktoglukan (Vu et al. 2009).

Salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses koloni bakteri biofilm, selain EPS adalah adanya quorum sensing. Quorum sensing merupakan mekanisme komunikasi antar sel yang dimiliki bakteri untuk memastikan kecukupan jumlah sel sebelum melakukan respon biologi tertentu (Hentzer et al. 2002). Hentzer et al. (2002) memaparkan quorum sensing setiap sel bakteri dapat bersamaan menghasilkan molekul sinyal, sehingga bakteri dengan molekul sinyal yang sama dapat saling mendekat, kemudian membentuk koloni dan membentuk biofilm.

Vibrio spp. adalah jenis bakteri yang bersifat halofil, sehingga umum ditemukan di laut dan merupakan salah satu jenis bakteri biofilm yang mampu menghasilkan EPS. Bakteri ini dapat hidup optimal pada salinitas 20-40 ppm, pH 4-9, serta bersifat anaerobik fakultatif (Hikmah 2011). Toleransi terhadap selang salinitas yang lebar tersebut, membuat Vibrio spp. menjadi jenis bakteri kosmopolitan di laut.

Vibrio spp. diketahui sebagai bakteri gram negatif, dengan bentuk sel batang, dan ukuran sekitar 2-3 µm, serta bergerak dengan menggunakan cambuk di salah satu ujung selnya (Feliatra 1999). Vibrio diketahui memiliki kemampuan menghasilkan biofilm, dan kemampuan tersebut dipengaruhi oleh struktur morfologi sel dan komponen regulator sel (Yildiz and Visick 2009). Morfologi sel yang mempengaruhi, adalah keberadaan dan fungsi flagel, pili serta kemampuan sintetis EPS, sedangkan komponen regulator sel, meliputi quorum

sensing dan sinyal C-di-GMP (Yildiz and Visick 2009). Yildiz and Visick (2009) mengungkapkan, keberadaan flagel dan pili membantu pergerakan bakteri untuk membentuk koloni antar bakteri, flagel dan pili kemudian membantu koloni untuk menemukan substrat yang cocok untuk menempel. Pada saat koloni bakteri tersebut menempel di permukaan, flagel dan pili lepas, kemudian bakteri mulai membentuk biofilm.

Komunikasi antar bakteri terjadi dengan mekanisme quorum sensing, sehingga terjadi sekresi enzim yang mendeteksi autoinduncer sesama jenis Vibrio (Waters et al. 2008). Vibrio cholera mengandung enzim yang dihasilkan ketika mekanisme quorum sensing terjadi adalah CAI-1, (5)-3-hydroxytridecan-1-one dan AL-2, (25,45)-metyl 2,3,4 –tetrahydroxy tetrahydrofuranborate (Waters et al. 2008). Waters et al. (2008) juga menjelaskan, protein 3’ 5’ cyclic diguanylic acid (c-di-GMP) merupakan salah satu komponen yang membantu komunikasi intraseluler, yang membawa pesan mengenai kondisi lingkungan disekitar sel. C-di-GMP pada Vibrio diketahui mampu memicu peningkatan densitas sel dalam koloni, serta mengontrol pembentukan biofilm.

Dokumen terkait