A. Latar Belakang Habib Abdullah Al-Haddad
Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad tinggal di sebuah tempat bernama Al-Hawi. Al-Hawi adalah sebuah kawasan yang berdekatan dengan Tarim, ia menetap disana(Al-Hawi) pada tahun 1099H. Sayyid Muhammad bin Ahmad Al-Syathiri (Sejarawan dari Hadlramaut) berkata: ”Sesungguhnya Al-Habib Abdullah Al-Haddad mendirikan Al-Hawi semata-mata untuk mempunyai tapak yang berdiri sendiri untuknya dan ahli keluarganya serta para pengikutnya,dan tidak tertakluk kepada pentadbiran(pemikiran) Qadli Tarim pada masa itu. Ia merupakan tempat yang strategi untuk mendapatkan segala yang baik dari pada Tarim, dan kawasan yang terlindung dari segala fitnah dan kejahatan dari tempat itu”. Dengan demikian Al-Hawi menjadi kawasan yang selamat lagi dihormati.
Al-Habib Abdullah Al-Haddad membangun rumahnya di Al- Hawi pada tahun1074 H, lalu berpindah dari Subair kesana pada tahun 1099H. Ia membangun masjidnya berhampiran dengan rumahnya, dan mengajar disana selepas shalat ashar setiap hari, serta hadlrah (rebana) pada setiap malam Jum‟at selepas salat isya‟. Maka dengan berbagai aktivititas, Al-Hawi menjadi tumpuan kepada para ulama‟, dan
orang-15
orang shaleh, serta tempat perlindungan bagi kaum fakir miskin ,dan merupakan zona selamat, aman, dan tenteram (AlBadawi, 1994: 161).
Al-Habib Abdullah Al-Haddad, dalam menyusun kitab ini memiliki berbagai alasan, tujuan, dan latar belakang. Ia mengatakan bahwa alasan yang mendorongnya untuk menulis kitab ini adalah untuk melaksanakan perintah agung, perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, dan berusaha meraih janji yang mulia yaitu untuk memperoleh janji yang benar (alWa‟ddual Shaadiqu) yang dijanjikan bagi mereka yang menyeru kepada jalan kebaikan dan menyebarkan ilmu, disamping juga untuk mengingatkan dan menasehati seluruh umat muslim (Al Haddad, 2010: 3).
Selain dengan alasan itu semua, memang juga karena masyarakat yang hidup pada masa itu, sedang dalam kondisi minus akhlak, banyak kerajaan-kerajaan yang melancarkan peperangan, berebut kekuasaan, dan masyarakatnya kurang mendapat perhatian dari penguasanya, yang menyebabkan satu sama lain dari mereka berbuat hal-hal yang diluar tuntunan syari‟at islam. Akibat kurangnya tuntunan dari pemimpinnya (Abu Bakar, 1996:132).
B. Riwayat Hidup Al-Habib Abdullah AlHaddad
1. Kelahiran dan Nasab
Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad dilahirkan di Tarim ( sebuah kota yang terletak di Hadlramaut,Yaman)
16
pada malam senin tanggal 5 Shafar tahun 1044 H/30 Juli tahun 1634 M.Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al Haddad adalah keturunan dari Sayyid Alwi bin Muhammad Al-Haddad, yang dikenal sebagai seorang yang shaleh, serta diyakini sudah mencapai derajad Al-Arifin (ma‟rifat) dan Syarifah Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi, yang juga dikenal sebagai wanita yang shalehah. (Al-Badawi, 1994: 39-40).
Adapun nasab beliau sampai pada Rasullullah SAW. Apabila ditulis secara keseluruhan maka nasab beliau yaitu Abdullah bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Faqih bin Abdurrahman bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin isa bin Muhammad bin Ali bin Jaafar Al-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainul Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dan juga putra Fathimah Putri dari Rasulullah Muhammad (Abu Bakar, 1996:366).
2. Tempat Tinggal
Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad tinggal disebuah tempat bernama Al-Hawi. Al-Hawi adalah sebuah kawasan yang berdekatan dengan Tarim, ia menetap disana (Al-Hawi) pada tahun 1099 H. Sayyid Muhammad bin Ahmad Al-Syathiri
17
Abdullah Al-Haddad mendirikan Al-Hawi semata-mata untuk mempunyai tapak yang berdiri sendiri untuknya dan ahli keluarganya serta para pengikutnya, dan tidak tertakluk kepada pentadbiran(pemikiran) Qadli Tarim pada masa itu.
Tarim merupakan tempat yang strategi untuk mendapatkan segala yang baik daripada Tarim, dan kawasan yang terlindung dari segala fitnah dan kejahatan dari tempat tersebut”. Dengan demikian Al -Hawi menjadi kawasan yang selamat lagi dihormati . (Al-Badawi, 1994: 139).
3. Ahli keluarga Imam Al Haddad
Ayah beliau bernama Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad, seorang yang saleh yang tergolong dalam golongan Al‟Arifin. Imam
Al-Haddad sendiri pernah berkata: “sesungguhnya ayahku ini suci dan
mensucikan”. Sakit menimpa ayahanda Imam Al-Haddad sehingga beliau
wafat pada malam senin awal bulan rajab setelah mengucap kalimah tauhid.
Setelah 5 hari ayahanda Imam Al-Haddad meninggal dunia, ibu beliau Syarifah Salma sakit selama lebih kurang 20 hari, lalu kemudian meninggal dunia setelah mengucap syahadat pada hari rabu 24 Rajab 1072 H. Olehnya, berkata Imam Al-Haddad : “Aku memuji dan
bersyukur kepada Allah karena mereka berdua (yakni kedua ibu bapanya)
18
Imam Al-Haddad mempunyai 3 orang saudara, mereka adalah: Omar, Ali, dan Hamid. Beliau kerap menulis surat kepada mereka yang dipenuhi dengan nasihat-nasihat dan pengajaran-pengajaran. Akan tetapi, surat-menyurat beliau kepada Hamid (saudaranya) lebih kerap, hal ini mungkin disebabkan oleh karena jauhnya jarak antara mereka berdua, oleh kerana beliau (Habib Hamid) tinggal di India dan meninggal dunia di sana pada 1107H. Dari isi kandungan surat-surat itu tampak satu pertalian hubungan persaudaraan yang menggambarkan akan kesungguhan kasih sayang dan kecintaan di antara mereka.
Imam Al-Haddad mempunyai 6 orang anak lelaki, mereka adalah:
Hasan, Alwi, Muhammad, Salim, Husain, dan Zain.
Beliau seorang ayah yang penyayang terhadap anak-anaknya, beliau memberikan gelaran-gelaran terhadap mereka. Seperti gelaran Ameer (pemimpin) untuk Husain, Sholeh (orang yang banyak amal ibadahnya) untuk Alwi, Hakim (sifat bijaksana) untuk Hasan, dan Sheikh (guru besar)
untuk Zain. Berkata imam Al-Haddad tentang anaknya
Muhammad:“sesungguhnya anakku Muhammad telah mendapat derajat
wilayah yang sempurna” .Sehingga dengan demikian beliau dipilih untuk
menggantikan ayahandanya di dalam penghubung antara kabilah-kabilah untuk mendamaikan antara puak-puak yang berselisih
Adapun Hasan dan Alwi dikenali dengan keilmuannya, dan mereka menggantikan kedudukan ayahanda mereka dalam tugasan mengajar ilmu-ilmu, dan memberi makan fakir miskin, menerima tamu-tamu asing ataupun tamu-tamu-tamu-tamu khas yang datang dari luar. Imam
Al-19
Haddad pernah berdoa untuk anaknya Hasan: “Hasan (artinya yang baik.)
semoga Allah membaikkan di belakangmu”. Dengan doa itu beliau
mempunyai dzuriat yang baik dan banyak dari kalangan ulama. Beliau (Hasan) meninggal dunia di Tarim pada tahun 1188H, adapaun Alwi meninggal dunia di Mekkah setelah menunaikan ibadah haji, dan dimakamkan berhampiran dengan kubur Siti Khadijah R.A pada tahun 1153 H.
Zain telah berhijrah ke Iraq setelah ayahandanya meninggal dunia, beliau sangat dihormati di negeri itu disebabkan oleh kerana pengaruh ayahandanya yang begitu luas sehingga ke negeri Iraq. Beliau meninggal dunia di negeri Oman bertepatan dengan perkampungan Sheer, pada tahun 1157H.
Adapun Salim, beliau menetap di negeri Misyqash dan mempunyai dzuriat di sana, lalu kemudian kembali ke kampung halamannya Tarim dan meninggal dunia di sana pada tahun 1165 H. (AlBadawi, 1994: 187).
4. Peristiwa Wafatnya
Al-Habib Abdullah Al-Haddad menghabiskan umurnya untuk menuntut ilmu dan mengajar, berdakwah dan mencontohkannya dalam kehidupan. Hari kamis 27 Ramadhan 1132 H, dia sakit tidak ikut salat ashar berjama‟ah di masjid dan pengajian rutin sore. Ia
memerintahkan orang-orang untuk tetap melangsungkan pengajian seperti biasa dan ikut mendengarkan dari dalam rumah. Malam
20
harinya, ia salat isya berjama‟ah dan tarawih. Keesokan harinya ia
tidak bisa menghadiri salat jum'at. Sejak hari itu, penyakitnya semakin parah. Ia sakit selama 40 hari sampai akhirnya pada malam selasa, 7
Dzul-qo‟dah 1132 H / 10 September 1712 M, ia kembali menghadap Yang
Kuasa di Al-Hawi, disaksikan anaknya, Hasan. Ia wafat dalam usia 89 tahun. Ia meninggalkan banyak murid, karya dan nama harum di dunia. Di kota tarim, di pemakaman Zanbal ia dimakamkan (AlBadawi, 1994: 171-172).
C. Madzhab Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad
Al-Habib Abdullah Al-Haddad dalam sejarah Islam, ia dikenal sebagai penganut aqidah Sunni Asy‟ariyah, dan pengikut
madzhab Syafi‟i. Al-Habib Abdullah sangat memahami kitab-kitab
madzhab Imam Syafi‟i. Sehingga yang dahulu menjadi gurunya beliau,
kemudian menjadi muridnya. Salah satunya yaitu Sheikh Bajubair, dimana Al-Habib Abdullah Al-Haddad dulunya telah berguru kepada Sheikh Bajubair dalam ilmu Fiqh, dan ia telah belajar kitab Al Minhaj (kitab Fiqh madzhab Imam Syafi‟i) dari Sheikh Bajubair.
Sheikh Bajubair merantau ke negeri India, setelah beberapa lama berada di sana, lalu kemudian ia kembali ke Hadlramaut. Setelah di
Hadlramaut ia belajar kitab Ihya „Ulumuddin Karya Imam Al-Ghozali
kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Hal ini menunjukkan akan keluasan ilmu Al-Habib Abdullah yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya(AlBadawi, 1994: 231).
21
D. Guru-guru Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad
Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang baik, ia mendapat didikan awal dari ayahandanya Al-Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad dan ibundanya Syarifah Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi. Di masa kecilnya, ia menyibukkan diri untuk menghafal Al-Qur‟an, dan
bermujahadah untuk mencari ilmu, sehingga berjaya mendahului rekan rekannya. Al-Habib Abdullah Al-Haddad sangat gemar menuntut ilmu.
Kegemarannya ini membuatnya seringkali melakukan perjalanan berkeliling ke berbagai kota di Hadlromaut, menjumpai kaum shalihin(orang-orang yang saleh) untuk menuntut ilmu dan mengambil berkah dari mereka. Telah dicatatkan bahwa, jumlah bilangan guru-guru Al-Habib Abdullah melebihi 140 guru, ia telah mengambil ilmu dan berkah dari para guru-gurunya itu. Di antara guru-guru dari Al Habib Abdullah Al-Haddad adalah sebagai berikut:
1. Al-Mukarromah Al-Habib Muhammad bin Alwi bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Bakar bin Abdurrahman Asseqaf yang tinggal di Mekkah (1002–1071 H).
2. Sayyidi Syaikh Al-Habib Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman bin
Muhammad bin Syaikh Al-„Arif Billah Ahmad bin Quthbil Aqthob Husein bin Syaikh Quthb Robbani Abu Bakar bin Abdullah Al-Idrus (1035-1112 H),
3. Al-Allamah Al-Habib Abdurrahman bin Syekh Maula Aidid Ba'Alawy (wafat: 1068 H),
22
4. Al-Quthb Anfas Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-„Athos bin Aqil
bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Asseqaf (wafat: 1072 H),
5. Al-Mukarromah Al-Habib Muhammad bin Alwi bin Abu Bakar binAhmad bin Abu Bakar bin Abdurrahman Asseqaf yang tinggal di Mekkah (1002–
1071 H).
Dari guru-gurunya itulah Al-Habib Abdullah Al-Haddad menerima banyak ilmu hingga menekuni tasawwuf, dan dari guru-gurunya tersebut dengan kajiannya yang mendalam diberbagai ilmu keislaman menjadikannya benar-benar menjadi orang yang `alim, menguasai seluk beluk syari`at dan hakikat, memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi dalam bidang tasawwuf, sampai ia menyusun sebuah Ratib (wirid-wirid perisai diri, keluarga dan harta) yang kini dikenal di seluruh penjuru dunia (http://darulmurtadza.com/imamabdullah-bin-alwi-al-haddad/diunduh pada 10 mei pukul 00.30).
E. Murid-murid Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad AlHaddad
Murid-murid utama Imam Al Haddad adalah terdiri dari ahli keluarganya sendiri, terutama anak-anak beliau. Adapun dari selain ahli keluarga beliau mereka adalah: Habib Ahmad bin Zain Al Habshi, Habib Muhammad bin Zain bin Semait, Habib Omar bin Zain bin Semait, Habib Omar bin Abdurrahman Al Baar, Habib Abdurrahman bin Andullah Ba Al-Faqih, Habib Muhammad bin Omar bin Taha Al-Seggaf, dll( http://darulmurtadza.com/imamabdullah-bin-alwi-al-haddad/diunduh pada 10 mei pukul 00.30).
23
F. Karya-karya Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad AlHaddad
Selain dikenal sebagai seorang yang ahli dalam berdakwah, AlHabib Abdullah Al-Haddad juga dikenal sebagai salah seorang penulis yang produktif. Ia mulai menulis ketika berumur 25 tahun dan karya terakhirnya ditulis pada waktu usianya 86 tahun. Keindahan susunan bahasa serta mutiara-mutiara nasehat yang terdapat dalam karya-karyanya, menunjukkan akan keahliannya dalam berbagai ilmu agama. Bukan hanya kaum awam saja yang
membaca dan menggemarinya, akan tetapi sebagian ulama‟pun menjadikannya
sebagai pegangan dalam berdakwah. (Albadawi, 1994: 163).
Keistimewaan dari karya-karya Al-Habib Abdullah adalah mudah difahami oleh semua kalangan, mengikut kefahaman masing-masing. Sehingga buku-bukunya telah dicetak beberapa kali dan sudah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa.
Adapun karya-karya Al-Habib Abdullah Al-Haddad diantaranya adalah sebagai berikut:
1. An-Nashoihuddiniyah wa al-Washoya al-Imaniyah. Kitab ini mendapat
pujian dari para ulama‟ karena isinya merupakan suatu ringkasan
daripada kitab Ihya „Ulumudin ( karangan Imam Al Ghozali ). Kata-kata di
dalam kitab ini mudah, kalimatnya jelas, pembahasannya sederhana dan disertai dengan dalil yang kukuh (Albadawi, 1994: 165).
2. Risalah al-Mu‟aawanah wa al-Mudzaaharah wa al-Mu`aazirah li ar Raghibin minal Mu‟minin fi Suluki Thoriqil Akhirah. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1069 H, sewaktu Al-Habib Abdullah berusia 26 tahun.
24
Dan ditulis atas permintaan Habib Ahmad bin Hasyim Al-Habsyi. (Al-Badawi, 1994: 165-166).
3. Risalah Al-Mudzaakarah Ma‟a Al-Ikhwan Al-Muhibbin Min Ahl AlKhair Wa Ad-Din. Berisi tentang definisi takwa, cinta menuju jalan akhirat, zuhud dari dunia, kitab ini sangat cocok untuk menerangkan hati. Kitab ini selesai ditulis oleh Al-Habib Abdullah pada hari ahad sebelum waktu dhuhur, akhir bulan Jumadil Awwal tahun 1069 H. (Al-Badawi, 1994: 163).
4. Risalah Aadab Suluk al-Murid. Tentang kewajiban bagi seorang murid (orang yang mencari Allah dan kehidupan akhirat) meliputi adab dan amal lahir dan batin. Kitab ini selesai penulisannya pada tanggal 7 atau 8 Ramadhan, tahun 1071 H. (Al-Badawi, 1994: 164).
5. Ithaf as-Saail bi Jawaab al-Masaail.Kitab ini selesai ditulis pada hari
Jum‟at, 15 Muharram 1072 H, Ketika itu Al-Habib Abdullah berumur 28
tahun. Kitab ini adalah merupakan kumpulan jawaban atas berbagai persoalan yang diajukan kepadanya oleh Syaikh Abdurrahman Ba
„Abbad Asy-Syibaami. Kitab itu ditulis sewaktu ia berkunjung ke Dau „an
pada tahun 1072 H. Kitab ini mengandung 15 pertanyaan dengan jawaban
dan ulasan yang mendalam darinya. Selesai ditulis pada hari Jum‟at, 15
Muharram 1072 H. (Al-Badawi, 1994: 165).
6. Al-Fushul al-„Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hikamiyah.Terdiri dari 40 fasal. Kitab ini selesai ditulis pada 12 Shafar tahun 1130 H, ketika Al-Habib Abdullah berusia 86 tahun, yaitu 2 tahun sebelum kewafatannya. (Al-Badawi, 1994: 167).
25
7. Sabil al-Iddikar wa al-I‟tibaar bima Yamurru bi al-Insan wa Yanqadhi lahu min al-‟A‟maar.Terdapat perbedaan pendapat mengenai usia Imam Al-Haddad pada saat menulis kitab ini. Ada yang mengatakan pada ketika ia berusia 67 tahun (1110 H). dan ada yang mengatakan kitab
ini diselesaikan pada hari Ahad 29 Sya‟ban 1110 H. Kitab ini
membahaskan mengenai fasa-fasa hidup manusia. (Al-Badawi, 1994: 166). 8. Ad-Da‟wah at-Tammah wa at-Tadzkirah al-„Ammah. Kitab ini
diselesaikan oleh Al-Habib Abdullah pada saat usianya 70 tahun.
Selesai ditulis pada jum‟at pagi 27 atau 28 Muharram tahun 1114 H.
(Al-Badawi, 1994: 166).
9. An-Nafais al-„Uluwiyyah fi al-Masaail as-Shufiyyah. Kitab ini selesai
ditulis pada hari kamis, bulan Dzulqo‟dah tahun 1125 H. Usia Al
-Habib Abdullah pada waktu itu adalah 81 tahun. Kitab ini membahas masalah yang berkaitan dengan sufi.
Diakui oleh para sufi, bahwa ada ketinggian dan keindahan spiritualitas yang tinggi pada kesufian Al-Habib Abdullah. Dapat dilihat dari karya-karyanya tersebut betapa sejuk dan indahnya bertasawwuf. Tasawwuf bagi Al-Habib Abdullah adalah ibadah, zuhud, akhlak, dan dzikir, suatu jalan
membina dan memperkuat kemandirian menuju kepada Allah SWT (http://www.
Darulmurtadza .com/riwayat-hidup-imam-abdullahbin-alwi-al.html diunduh pada 10 mei 00.30).
G. Sistematika Kitab Nashoihud Diniyyah
Pada tahun 1089 H/ 1678 M, Al-Habib Abdullah Al-Haddad menyelesaikan karya yang dikategorikan sebagai master piece-nya yang diberi
26
judul An-Nashoihuddiniyah wa al-Washoya al-Imaniyah. Kitab ini diselesaikan
dalam jangka waktu yang agak lama. Separuh babnya
ditulis sebelum kepergiannya ke Madinah dan dibacakan ketika
berada di Makkah dan Madinah. Kemudian kitab An-Nashoihuddiniyah wa al-Washoya al-Imaniyah tersebut disempurnakan oleh -Habib Abdullah Al-Haddad sekembalinya ia ke Tarim tepatnya pada tahun 1089 H/ 1689 M.
Kitab ini mendapat pujian dari para ulama‟ karena isinya merupakan
suatu ringkasan daripada kitab Ihya „Ulumudin ( karangan Imam Al Ghozali ).
Kata-kata di dalam kitab ini mudah, kalimatnya jelas, pembahasannya sederhana dan disertai dengan dalil yang kukuh (Albadawi, 1994: 165).
Kitab Nashoihud Diniyyah adalah sebuah kitab yang berisi Nashihat-nashihat keagamaan yang isinya sangat luar biasa bagi kita umat islam untuk menjaga keimanan kita dan juga menjadi penyemangat kita dalam berbuat kebaikan. Kitab Nashoihud Diniyyahberjudul lengkap "Nashoihud Diniyyah Wal Washoya Al Imaniyyah" atau jika diterjemahkan kurang lebih "Nasehat-nasehat keagamaan dan wasiat-wasiat keimanan"(Mahzumi, 2012:10)
Isi dari Kitab Nashoihud Diniyyah di antaranya adalah:
1. Bab Taqwa 2. Bab Shalat 3. Bab Zakat 4. Bab Puasa 5. Bab Haji 6. Membaca Al Qur‟an
27
8. Bab Amar Ma‟ruf Nahi Mungkar
9. Bab Jihad
10.Bab Kehakiman
11.Bab Nikah
12.Bab Haram, Syubhat, dan Halal
13.Bab Perkara-Perkara Yang Menyelamatkan
28
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN AL-HABIB ABDULLAH BIN ALWI BIN