• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOGRAFI DAN KARYA ILMIAH JALALUDDIN RUMI

A. RIWAYAT HIDUP JALALUDDIN RUMI

Beliau adalah seorang lelaki bernama Muhamad, dan mendapat julukan Jalaluddin. Murid-murid dan para sahabatnya memanggil beliau dengan pnggilan Maulana (Tuanku) yang searti dengan kata Khawaja dalam bahasa Persia, Sebuah penghargaan maknawi dan sosial. Kata Maulana sendiri adalah terjamahan dari bahasa Persia Khudawanda Kar, yang mana julukan ini pertama kali diberikan oleh ayahnya. Dalam literatur Persia modern, dia dikenal dengan sebutan Mevlevi. Terkadang disematkan pula julukan Rumi atau Maulana Rumi karena dia hidup di sebuah negeri Romawi, tepatnya di daerah Asia kecil atau Anatolia yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Turki, sementara tempat tinggal ayah dan ibunya berada di kota Konya. Di negara Barat, dia dikenal dengan sebutan Rumi. (Rumi,terj.Latif, 2015: 4).

Rumi dilahirkan pada tanggal 6 Rabiul Awal 604 H sama dengan 30 September 1207 M di Balkh, Afganistan sekarang. Ketika itu wilayah tersebut merupakan bagian dari wilayah kerajaan Khwarizmi yang beribu kota di Bukhara, Transoksiana. Ayah Rumi, Muhamad ibn Husyain al- Khatibi alias Bahauddin Walad, adalah seorang ulama terkemuka dari Balkh, Afganistan sekarang. Pada abad ke-12 dan 13 M Balkh merupakan bagian dari wilayah kerajaan Khwarizmi, di Transoksiana Asia Tengah, dengan ibu kotanya Bukhara. Pada tahun 1210 M, sebelum Khwarizmi diserbu tentara

15

Jengis Khan Bahauddin Walad bersama keluarganya meninggalkan Balkh alasan yang jelas. Ada yang mengatakan disebabkan persoalan politik. Raja Khawarizmi ketika itu, Muhamad Khawarizmi-syah, menentang keberadaan

thariqat kubrawiyah yang dipimpin oleh Bahauddin Walad. Pendapat lain

yang tidak sedap karena Bahauddin Walad kuatir terhadap serbuan tentara Mongol yang ketika itu telah menghampiri wilayah kerajaan Khwarizmi. Tetapi pendapat ini tidak didasarkan alasan yang kuat, sebab pasukan Jengis khan pada tahun 1210 M masih bersusah payah menaklukan bagian-bagian utara dari negeri Cina yang merupakan jembatan menuju ke Asia Tengah. (https://info- biografi.blogspot. co.id.).

Diketahui juga dari beberapa riwayat bahwa Baha’walad sering berdiskusi dan beradu argumentasi dengan pembesar Khawarizmi, bahkan dengan Imam Fakhrurrazi. Beliau pernah berkata: “ Kalian adalah tawanan materai yang tak berharga dan kalian terhalang untuk mencapai hakikat”. Namun pergulatan Baha’ walad dengan mereka tidak berlangsung lama dan terputus setelah serangan Mongol mempersempit ruang gerak ayah Rumi di Khurasan. Hingga ia dan keluarganya harus hijrah menuju Asia Kecil, sebuah tempat perlindungan yang dihiasi oleh para ulama, pemikir dan orang-orang bijak. Sampai beberapa tahun sebelum mereka berhijrah, Baha’ Walad tidak menetap di kota Balkh, namun ia lebih sering berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di wilayah Khurasan, seperti Wakhsy, Tirmidz dan Samarkand. (Rumi,terj.Latif, 2015:5).

16

Perjalanan panjang ke Konya beserta keluarganya dimulai pada tahun 616 atau 617 H, seiring dengan gempuran tentara Moghul ke kota-kota Khurasan. Sebenarnya dalam perjalanan itu Baha’ Walad hendak melaksanakan ibadah haji ke kota Makkah al-Mukarromah, tetapi niat itu baru terlaksana setalah ia dan keluarganya menetap di Konya. Keluarga Baha’ Walad juga sempat singgah ke kota Naisabur, pasangan dari kota Khurasan, dan disambut oleh Syekh Fariduddin al-Attar, seorang bijak dan penyair besar yang berada di pasar tempat para penjual di kota itu. Ia tinggal di sebuah bilik yang saat ini dikenal dengan apotek. Di sana ia mengobati orang-orang dengan obat racikannya sendiri, disamping itu ia juga sering mengubah syair Irfani dan mengarang berbagai kitab yang berharga. (Rumi,terj.Latif, 2015:5- 6).

Menurut tradisi nenek moyangnya, Rumi tergolong masih muda ketika mulai mempelajari ilmu-ilmu eksoterik. Dia mempelajari berbagai bidang keilmuan, meliputi tata bahasa Arab, ilmu perpajakan, Al- Qur’ an, fiqih, ushul fiqih, tafsir, sejarah, ilmu tentang doktrin-doktrin atau asas-asas keagamaan, teologi, logika, filsafat, matematika, dan astronomi. Pada saat ayahnya meninggal dunia 9628 H/ 1231 M) dia telah menguasai semua bidang keilmuan tersebut. Namanya ketika itu sudah dapat dijumpai dalam deretan nama-nama ahli hukum Islam. Karena ke ilmuannya tersebut, tidak mengherankan jika pada usia 24 tahun, dia telah meminta untuk menggantikan tugas-tugas ayahnya sebagai pendakwah sekaligus ahli hukum Islam. (Chittick,terj.Ismail dan Nidjam, 2000: 3).

17

Sekitar satu tahun setelah wafatnya ayah Rumi, Burhanuddin Tirmidzi, salah seorang murid Bahauddin datang ke Konya untuk memberikan beberapa petunjuk baru kepada Rumi. Atas saran Burhannuddin inilah Rumi meneruskan pendidikannya di Aleppo. Di sini Rumi berdiam di Madrasah Halawiyah dan menerima bimbingan lebih lanjut dari Kama Din bin Al-Azhim. Dari Aleppo, Rumi pindah ke Damaskus dan tinggal di Madrasah Maqdisiyah. Di sini ia memperoleh kesempatan berharga untuk berdiskusi dengan tokoh- tokoh agung seperti Muhyi Al-Din Ibnu ‘Arabi, Sa’ad Al-Din Al-Hanawi, Utsman Al-Rumi, Awhad Al-Din Al- Kirmani dan Sadr Al-Din Al-Qunyawi.( Kartanegara,2004: 5).

Kemudian Rumi kembali ke Konya menggeluti pelajaran dan memberikan bimbingan spiritual hingga gurunya, Burhannudin wafat. Rumi terus mengajar di Madrasah Khudavandgar yang menarik perhatian murid- murid dari berbagai penjuru. Pada akhir Oktober 1244, sesuatu yang tidak terduga terjadi, pada perjalanan pulang dari Madrasah, Jalaluddin Rumi dengan seseorang yang tidak dikenalnya mengajukan pertanyaan kepadanya, sebuah pertanyaan yang membuat guru besar ini pingsan. Menurut sumber yang dapat dipercaya, orang yang tidak dikenal itu menanyakan kepadanya bahwa antara Muhammad Rasullulah dan Abu yazid Busthomi seseorang Sufi dari Persia, siapa yang lebih agung. (Schimmel,terj. Damono dkk, 2000: 26) Peristiwa inilah yang mendorong Rumi meninggalkan ketenaran dan mengubahnya dari seorang teolog terkemuka menjadi seorang penyair mistik. Karena kuatnya pesona kepribadian Syamsuddin Tabriz, Rumi lebih

18

memilih untuk menghentikan aktifitasnya sebagai guru profesional dan pendakwah. Hal ini dilakukan semata-mata demi memperkuat persahabatannya dengan darwish. Bagi Rumi, Syamsuddin Tabriz adalah matahari yang luar biasa, matahari yang mengubah seluruh hidupnya, membuatnya menyala dan membawanya ke dalam cinta yang sempurna (Kartanegara,2004: 6).

Jalaluddin Rumi dan Syamsuddin Tabriz tidak terpisahkan lagi mereka menghabiskan hari-hari bersama. Menurut riwayat selama berbulan-berbulan mereka dapat hidup tanpa kebutuhan dasar manusia, ketika bersama-sama menuju cinta Tuhan. Hubungan ini menyebabkan rasa ingin tahu dan kecemburuan pada murid Rumi yang telah terputus sepenuhnya dari bimbingan dan diskusi dengan gurunya. Akibatnya, mereka menyerang Syams dengan celaan dan ancaman kekerasan. Hal ini segera dirasakan oleh Syams sehingga ia meninggalkan Rumi setelah tinggal di Konya selama enam belas bulan menuju Damaskus.( Kartanegara,2004: 6).

Betapa menderitanya Rumi atas kepergian sahabatnya, Syams. Perpisahan ini menyakitkan Rumi dan melukai perasaannya. Namun pada saat inilah dia mulai berubah, dia menjadi seorang penyair, mulai mendengarkan musik, bernyanyi, berputar-putar selama berjam-jam. Dia sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi. Dia menulis beberapa surat dan pesan kepada Syams yang ada di Damaskus, dia mengutus anaknya, Sultan Walad untuk meminta Syams kembali ke Konya. (Schimmel,terj. Damono dkk, 2000: 398)

19

Dalam perjumpaannya di Konya, mereka saling berpelukan dan saling berlutut di hadapan temannya, sehingga tidak ada yang tahu siapa sang kekasih dan siapa yang terkasih. Keakraban hubungan mereka tumbuh sekali lagi dan begitu meluap-luap sehingga beberapa murid Rumi, dengan bantuan putra Rumi, Alauddin memutuskan untuk mengirimkan Syams ke tempat yang tidak ada jalan kembali. Suatu malam mereka memanggilnya keluar dari rumah Jalaluddin Rumi. Setelah menusuknya mereka membuangnya di sumur dekat itu. Ketika ayahnya tidur, mereka cepat-cepat menguburkan badan Syams yang di ambilnya dari dalam sumur, menutupi kuburan itu dengan semen yang dipersiapkan dengan tergesa-gesa. Sultan Walad mencoba menenangkan kecemasan ayahnya, dengan mengatakan bahwa setiap orang mencari Syams. (Schimmel,terj. Damono dkk, 2000: 398).

Karena dibakar rasa rindu yang tak tertahankan lagi, Rumi akhirnya memutuskan untuk pergi sendiri ke Damaskus, dengan harapan utuk menemukannya, ia kembali ke Konya dan mengangkat Syaikh Salah Al-Din Fariddun Zarkub, seorang darwis dan tukang emas untuk menjadi Khalifah yang menggantikan Syams.

Ketika Salah Al-Din wafat, Rumi kemudian menunjuk Sayid Husam Al-Din untuk menggantikannya. Dengan khalifah baru inilah Rumi menemukan sumber inspirasi dalam penulisan Matsnawi. (Kartanegara,2004: 9)

Segera setelah ia kembali ke Damaskus, Rumi mendirikan thariqot sendiri yang disebut Maulawi, nama yang diambil dari gelar kehormatannya“

20

Maulana” (Guru kami), yang diberikan oleh para muridnya kepada sang guru

tercinta, Rumi. Sementara itu ia masih meneruskan penulisan Matsnawi atas permintaan Husam Al-Din selama lebih dari 15 tahun. Tidak lama setelah pekerjaan itu selesai kesehatan Rumi memburuk dan jatuh sakit. Selama berhari-hari terakhir hidupnya, Syaikh Sadr Al-Din Al- Qunyawi dan sejumlah darwis lainnya mengunjungi Rumi. Dalam salah satu percakapan dengan Rumi, Syaikh Sadr Al-Din mengatakan bahwa semoga Allah segera menyembuhkanmu, kemudian Rumi menjawab, ketika antara yang mencinta dan yang dicinta tinggal sehelai pakaian tipis, tidakkah engkau menginginkan cahaya bersatu dengan cahaya( Kartanegara,2004: 9).

Dan akhirnya di malam terakhir sebelum beliau meninggal, Rumi terkena demam parah. Namun tak sedikitpun terlihat di wajahnya ada tanda- tanda sakaratul maut. Bahkan beliau masih sempat menyenandungkan lagu- lagu ghazal dan menampakan kebahagiaan di wajahnya. Ia juga melarang para sahabatnya sedih atas kepergiannya.

“Di malam sebelumnya aku bermimpi Melihat seorang syekh di pelataran rindu

Ia menudingkan tangannya padaku” dan berkata: “Bersiap-siaplah untuk bertemu denganku”.

Konon, syair di atas adalah bait terakhir yang digubah oleh Rumi. Akhirnya pada Ahad, 5 Jumadil Akhir 672 H/ 16 Desember 1237 M di Kunya. ketika siang telah mengumandangkan adzan perpisahan dan senja

21

harinya dua matahari terbenam sekaligus di ufuk Barat, yang salah satunya adalah sang surya Maulana Jalaluddin Rumi. (Rumi,terj.Latif, 2015: 14).

B. BEBERAPA KARYA DAN PEMIKIRAN JALALUDDIN RUMI

Beliau Jalaluddin Rumi tidak menulis buku dengan cara konvensional sebagaimana orang lain melakukannya. Prosa dan satra Rumi pada saat ini di samping berasal dari karya-karya yang dicatat oleh pengikutnya ketika Rumi menyampaikannya secara lisan dan hasil pendiktean yang kemudian dia periksa lagi seperti dalam Matsnawi dan Diwan, juga karya- karya yang dicatat oleh pengikutnya dari ingatan mereka atau dari catatan-catatan Rumi sendiri setelah kematiannya. (Rumi,terj.Anwar Khalid, 2002: 14-16).

Setiap pandangan yang diungkapkan oleh Rumi baik dalam puisi- puisinya maupun dalam bentuk prosa, diarahkan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual manusia. Kecerdasan spiritual yang dimaksudkan Rumi adalah kecerdasan yang bersumber dari hati nurani yang suci yang mencerminkan sifat-sifat Ilahi. Oleh karena itu kecerdasan spiritual dalam konsep Rumi sangat erat dengan nilai-nilai religius dan perilaku yang mulia. Sehingga orang yang memiliki kecerdasan spiritual dalam pandangan Rumi merupakan hamba-hamba Allah yang bertakwa.

Sebagai ulama serta tokoh Pendidikan yang menguasai berbagai bidang disiplin ilmu keagamaan dan juga merupakan sastrawan serta tokoh tasawuf Islam, karyaJalaluddin Rumitak lepas dari proses perjalanan spritualnya, mencari gurunya Syamsudin Tabriz untuk mendalami tasawuf. Ketika proses

22

pencarian gurunya tersebut, membuat bakatnya sebagai penyair hidup kembali. Maka lahirlah syair-syair yang indah dari tangannya bertemakan cinta dan kerinduan mistikal. Cintanya pada gurunya yang tak kunjung ditemuinya lagi sejak perpisahannya yang terakhir, kini berubah menjadi cinta trandesental, yaitu cinta Ilahiyah. (Kartanegara,2004: 10-11).

Maka kebanyakan karya tersebut disajikan dalam bentuk prosa atau sastra, sehingga karya-karyanya tidak hanya diminati oleh masyarakat Muslim saja melainkan seluruh umat manusia. Karya-karya yang utama adalah sebagai berikut :

1. Maqalat- I Syams- I Tabriz (Percakapan Syams Tabriz)

Karya ini dianggap sebagai buah persahabatan intim Rumi dan sahabatnya, Syams Al- Din Tabriz. Karya ini berisikan beberapa dialog mistik antara Syams sebagai guru dan Rumi sebagai murid. Sekalipun karya tersebut menjelaskan perihal kehidupan, namun menurut Nicholson lebih jauh lagi ia menerangkan beberapa ide dan doktrin sang penyair. (Kartanegara,2004: 10-11).

2. Diwan- syamsi-i- Tabriz

Diwan adalah semacam sajak-sajak pujian seperti qosidah dalam sastra Arab. Dalam sastra Sufi dan keagamaan yang dipuji ialah sifat, kepribadian, akhlak, dan ilmu pengetahuan yng dimiliki seseorang tokoh. Dalam bunga rampainya ini, Rumi mulai mengungkapkan pengalaman dan gagasannya tentang cinta transendental yang diraihnya pada jalan tasawuf.

23

Kitab ini terdiri atas 36.000 bait puisi yang indah, sebagaian besar ditulis dalam bentuk Ghazal. (Rumi,2006: xvii).

3. Matsnawi-i- Ma’nawi

Karangan bersajak tentang makna-makna atau rahasia terdalam ajaran agama. Ini merupakan karya Rumi yang terbesar, tebalnya sekitar 2000 halaman yang dibagi menjadi 6 jilid. Kitab ini juga disebut Husami-nama ( Kitab Husam). Kitab ini selesai dikerjakan selama 12 tahun sejak dituturkan Rumi kepada Husamaddin. (Rumi,2006: xvii- xviii).

Menurut Anand Krishna (2001: 21-22), Matsnawi bukanlah sekedar text book, tetapi work book (buku kerja, kerja nyata) bila kita memperlakukan sebagai buku saja, maka kita tidak akan memperoleh apa-apa dari Matsnawi, kecuali hanya mendapatkan beberapa kisah baru saja tapi jika diperlukan sebagai work book, Matsnawi bisa menjadi teman hidup kita dan harus di praktekkan dalam hidup sehari- hari.

4. Fihi Ma Fihi ( Di dalamnya adalah Apa yang di dalamnya)

Karya prosa ini mencakup ucapan-ucapan Rumi yang ditulis oleh putranya yang paling tua, Sultan Walad. Eva de Vitray Meyerovich yang menterjemahkannya ke dalam bahasa perancis, menggambarkannya sebagai karya yang benar-benar menarik, bukan saja untuk memahami pikiran Sang Guru dan Sufisme pada umumnya, tapi juga karena kedalaman dan keunggulan analisis isinya, yang menjadikan inisiasi tentang dirinya sendiri. Seperti Matsnawi,Fihi Ma Fihi sangat bersifat didaktif (pengajaran). (Kartanegara,2004: 12- 13).

24

Jalaluddin Rumi dalam karyanya Fihi Ma Fihi yang digunakan sebagai buku-buku rujukan para Sufi ini menjelaskan lebih jauh tentang tiga jenjang yang dilewati manusia.Pada jenjang pertama, manusia menyembah apa saja; manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi tanah atau batu. Kemudian ketika sedikit lebih maju, manusia menyembah Tuhan,” maupun “Aku tidak menyembah Tuhan”. Karena pada tahap ini ia telah melewati tahap yang ketiga. (Shah, 2000: 158).

5. Ruba’ iyyat

Bunga rampai ini terdiri atas 3.318 bait puisi. Melalui kitab ini, Rumi memperlihatkan dirinya sebagai salah seorang penyair lirik yang agung, bukan saja dalam sejarah sastra Persia, melainkan juga dalam sejarah satra dunia. (Rumi,2006: xix).

6. Maktubat (Surat Menyurat)

Berisikan 145 surat yang rata-rata sepanjang 2 halaman. Menurut William C Chittick. Kebanyakan surat-surat ini ditujukan kepada pangeran-pangeran dan para bangsawan Konya. Namun demikian, surat-surat itu tidak semata-mata berkaitan dengan ajaran spiritual Jalaluddin Rumi, namun termasuk juga surat-surat rekomendasi atau surat-surat yang ditulis atas nama murid atau sahabatnya karena permintaan untuk berbagi tujuan. (Shah, 2000: 13- 14).

7. Majlis Sab’ ah ( Tujuh Pembahasan)

Karya ini berisi kumpulan nasihat-nasihat dan khotbah yang di sampaikan Rumi di atas mimbar-mimbar. Adapun Isinya merupakan hasil

25

dari pengembaraan hidup Rumi yang mempertemukan dirinya dengan sang guru, Syamsuddin al-Tabriz. (Rumi,terj.Latif, 2015: 16).

Semua karya-karya satra Rumi ini merupakan ciri khas karunia atau barokah yang keluar dari kehidupan Rumi yang mendasari pembentukan

Thariqat Maulawi, yang secara luas dianut oleh para Sufi yang masih

hidup.(Rumi,terj.Latif, 2015: 16).

Sebagai seorang Sufi, karya, pemikiran dan ajaran Jalaluddin Rumi sarat dengan muatan spiritual yang dalam. Dia sangat menekankan aspek spiritual dalam melihat suatu persoalan. Banyak sekali ajaran Jalaluddin Rumi yang berkenaan dengan aspek tersebut, antara lain yang berkenaan dengan ma’rifat, cinta dan kebebasan manusia. Ma’rifat, merupakan pengetahuan sejati sebagai satu-satunya jalan pengetahuan yang dapat menembus rintangan-rintangan yang tidak dapat di atasi oleh pendekatan intelektual, teologi, filsafat dan sebagainya. Pengetahuan spiritual (ma’rifat) menggantikannya dengan pengetahuan intuitif yang bersumber dari dalam diri kita sendiri sebagai karunia dari Allah swt. Ma’rifat, telah dilukiskan Rumi sebagai “ mutiara” di laut:

“Telah datang seorang kelaut. Ia tidak mendapatkan apa- apa kecuali air asin, paus dan ikan- ikan lainnya. Ia bertanya : ”Di manakah gerangan mutiara itu?”Mungkin tidak ada. Tapi kapankah ditemukan mutiara hanya dengan melihat laut saja? Jika orang itu menimba seribu ember air dari laut, mutiara itu tidak akan ditemukan. Kita membutuhkan seorang penyelam dasar laut untuk menemukan mutiara itu. Tapi juga tidak semua penyelam,

26

melainkan penyelam yang benar-benar ulung dan beruntung. Banyak ilmu dan seni yang serupa dengan menimba air laut dengan ember. Adapun cara menemukan mutiara merupakan suatu yang lain lagi”. ( Kartanegara,2004: 69).

Untuk memahami alam pikiran Rumi kita perlu mengenal adanya dunia makna dan dunia bentuk. Rumi di berbagai puisinya seringkali menerangkan bahwa apa yang nampak dalam pandangan sebenarnya hanyalah selubung yang menutupi hakikat yang tersembunyi. Jadi, dunia yang Nampak di depan hanyalah bentuk semesta, jadi itu bukan makna sesungguhnya. Karena menurut Rumi, dunia itu merupakan selubung atau tirai dari makna-makna yang tersembunyi. Jadi perlu dipahami adanya dikotomi antara bentuk dan makna. Bentuk adalah penampakan luar (aspek luar), sedangkan makna adalah hakikat sejati yang berada diseberang bentuk (aspek dalam). Rumi merasa sedih bahwa manusia seringkali terlalu menganggap penting dunia bentuk, ketimbang dunia makna. Padahal yang utama itu sesungguhnya maknanya, karena makna adalah hakikat atau intisarinya. (https://rumisufi,blogspot.co.id.).

Mengapa manusia lebih memilih dunia bentuk? Sebab kebanyakan manusia terselubung oleh kabut kegelapan berupa nafsu rendahnya. Jadi yang lebih dominan menempati pusat kesadarannya adalah nafsu rendahnya sehingga ia tak mampu menembus atau memahami makna yang tersembunyi dalam bentuk-bentuk luarnya. Rumi melalui puisinya atau ajarannya senatiasa mengingatkan agar manusia tidak terkelabui oleh segala macam bentuk.

27

Mereka hendaknya belajar untuk memahami hakikat atau makna tersembunyi. Dengan demikian manusia akan mampu memahami nilai-nilai kesejatiannya dan mampu memahami makna dari kehidupan yang hakiki. (https://rumisufi,blogspot.co.id.).

Di antara pemikiran Jalaluddin Rumi seperti yang disebutkan diatas, adalah sebagai berikut :

1. Kesatuan Wujud

Meski konsep kesatuan wujud menemukan banyak varian dari para penggagasnya, bukan berarti menjadi asing untuk dicari dimensi lain yang memungkinkan pembaharuan dari teori kesatuan wujud tersebut. (Chittick,terj.Ismail dan Nidjam, 2000: 16).

Tuhan adalah sumber ilmu, baik ilmu tentang alam, manusia dan Tuhan sendiri, yang dilimpahkannya melalui wahyu: Al- Qur’an dan Hadits. Di samping itu Tuhan juga melimpahkan ilmu-Nya melalui ilham, “penyingkapan” biasanya hanya dialami oleh para sufi, yang sebenarnya dengannya mereka dapat melihat hakikat segala sesuatu. Untuk memperoleh penyingkapan usaha-usaha guna membersihkan kediriannya untuk menerima ketersingkapan. Hal ini sudah diantisipasi sebelumnya oleh Rumi, dengan dasar cinta manusia akan mampu menatap persoalan apapun dengan lapang dada dan engan jalan yang lebih afirmatif. Kemudian hal ini disokong lagi dengan mendorong manusia agar mampu melewati “bentuk-bentuk” guna menemukan hakikat makna yang sesungguhnya. Akan tetapi yang menonjol dalam tradisi Sufi Rumi adalah,

28

ia tidak meninggalkan syari’ah untuk bisa menemukan hakikat. Sebab

syari’ah mempunyai perannya sendiri sebagai penghantar manusia untuk

dapat menemukan hakikat. (Chittick,terj.Ismail dan Nidjam, 2000: 16). Untuk menapaki kesatuan wujud dengan Tuhan, tentu harus mau menaati semua perintah dan larangan Tuhan. Secara lebih dalam melalui sejati berarti mengikuti keteladanan Nabi yang kita tahu tidak pernah meninggalkan syari’ah untuk melakukan penyatuan wujud dalam bertemu Tuhan. (Kartanegara, 2004: 48- 57).

Cara pandang Sufi terhadap wujud agak berbeda dari kaum teologi

(muttakallimun). Bagi kaum Sufi, wujud berarti kenyataan dan tiada

kecuali kenyataan/kebenaran tertinggi. Rumi menyajikan pandangannya sendiri dalam kaitannya dengan penafsiran ungkapan terkenal al-Hallaj,

Anal al- haqq, (aku adalah kebenaran). Orang-orang mengira ungkapan

anal al- haqq adalah ungkapan kesombongan, padahal mengatakan ana

al-abd, aku hamba Allah, itulah yang sebenarnya merupakan ungkapan kesombongan, anal al-haqq adalah ekspresi kerendahan hati yang besar. Manusia mengatakan ana al- abd dua wujudnya dan Tuhan, sementara orang yang mengatakan ana al- haqq telah meniadakan dan telah menyerahkan dirinya seraya berkata “Akulah Tuhan”, yakni aku tidak ada, Dia-lah segalanya: tiada sesuatu kecuali Tuhan. Inilah kerendahan hati yang luar biasa besarnya. Ayat Al-Qur’an (Q.S. 75:3) mengungkap lebih jauh tentang konsepsi Rumi mengenai kesatuan wujud. “ Dia yang pertama dan terakhir” berarti bahwa kenyatan kebenaran tertinggi (al-

29

Haqq) adalah prinsip segala makhluk dan mereka pasti kembali, sementara

“Dia yang lahir, Dia yang batin”, mengisyaratkan transedensi- Nya. (Kartanegara, 2004: 48- 57).

2. Cinta Universal

Menurut Rumi, yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan adalah cinta. Dari sinilah rumi mengajukan sebuah spekulasi-filosofis yang sangat cemerlang dengan memandang cinta sebagai kekuatan kreatif fundamental. Cinta itulah yang bertanggung jawab atas pertumbuhan alam dari tingkat rendah ke tingkat lain yang lebih tinggi. Cintalah yang memberikan yang memberikan kesatuan pada partikel-partikel materi, cinta juga yang membuat tumbuh-tumbuhan berkembang dan yang menyebabkan hewan bergerak dan berkembang biak.( Kartanegara, 2004: 54- 55).

Dalam pandangan Rumi, Tuhan adalah pencipta semesta yang

Dokumen terkait