• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biomassa meliputi semua bahan yang bersifat organik (semua makhluk yang hidup atau mengalami pertumbuhan dan juga residunya) (El Bassam dan Maegaard 2004). Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang paling serbaguna dibandingkan sumber energi terbarukan lainnya. Biomassa dapat menghasilkan bahan bakar untuk panas, listrik dan transportasi (Siemers 2006). Bahan yang termasuk biomassa antara lain sisa hasil hutan dan perkebunan, biji dan limbah pertanian, kayu dan limbah kayu, limbah hewan, tanaman air, tanaman kecil, dan limbah industri serta limbah pemukiman (Bergman dan Zerbe 2004).

Biomassa merupakan sumber energi yang bersih dan dapat diperbarui namun biomassa mempunyai kekurangan yaitu tidak dapat langsung dibakar karena sifat fisiknya yang buruk, seperti kerapatan energi yang rendah dan permasalahan penanganan, penyimpanan dan transportasi (Saptoadi 2006). Menurut Yamada et al. (2005), penggunaan bahan bakar biomassa secara langsung dan tanpa pengolahan akan menyebabkan timbulnya penyakit pernafasan yang disebabkan oleh karbon monooksida, sulfur dioksida (SO2) dan bahan partikulat. Matriks rantai penggunaan biomassa dapat dilihat pada gambar 4.

11 Bergman dan Zerbe (2004) menambahkan bahwa konversi biomassa menjadi bentuk yang lebih baik dapat meningkatkan kualitasnya sebagai bahan bakar. Konversi yang dilakukan dapat memudahkan dalam penanganan, transportasi, penyimpanan, peningkatan daya bakar, peningkatan efisiensi bakar, bentuk yang lebih seragam serta kerapatan energi yang lebih besar. Namun demikian, menurut Hill et al. (2006) konversi yang dilakukan terhadap bahan bakar biomassa harus memiliki keseimbangan energi yaitu energi yang dapat digunakan harus lebih besar daripada energi proses produksi.

Data dari Palz (1985) menunjukkan bahwa komposisi komponen organik bukan abu pada biomassa cenderung seragam. Komponen utama adalah karbon, oksigen dan hidrogen. Beberapa biomassa juga mengandung sebagian kecil nitrogen.

Perkebunan Bahan sisa Hasil samping Limbah (organik)

Pemanenan, Pengolahan, Transportasi, Penyimpanan

Pengolahan Pengarangan Liquifikasi Esterifikasi Gasifikasi Penguraian anaerob Fermentasi Biopelets Chip kayu Arang Tar Minyak pirolisis

Metanol Minyak nabatiBiodiesel

Gas sintetik Gas generator

Biogas

Bioetanol

Bahan bakar padat Bahan bakar cair Bahan bakar gas

Energi listrik Energi mekanis Energi panas

Gambar 4. Matriks rantai penggunaan biomassa. Sumber: Siemers (2006)

Pengolahan

12 Tabel 2. Komposisi unsur biomassa

Unsur Simbol Persen bobot (basis kering dan basis bebas abu) Karbon Hidrogen Oksigen Nitrogen Sulfur C H O N S 44 – 51 5,5 – 6,7 41 – 50 0,12 – 0,60 0,0 – 0,2 Sumber : Palz (1985)

Menurut White dan Paskett (1981) penggunaan biomassa sebagai bahan bakar memiliki kekurangan dibandingkan dengan bahan bakar fosil, karena :

• pada umumnya, biomassa memiliki kandungan panas yang lebih rendah jika dibandingkan kandungan panas bahan bakar fosil,

• biomassa mengandung kadar air yang tinggi yang dapat menghambat proses pembakaran, menyebabkan kehilangan energi selama pembakaran karena menjadi kalor laten uap dan biomassa mudah menyerap air selama penyimpanan jika penyimpanan tidak menggunakan wadah yang kedap air,

• biomassa memiliki densitas yang rendah dan berakibat pada peningkatan ukuran peralatan penanganan, penyimpanan dan pembakaran,

• biomassa memiliki bentuk yang tidak homogen sehingga menyulitkan untuk pemasukan otomatis ke dalam ruang pembakaran.

Densifikasi limbah pertanian dan kehutanan menjadi briket atau pelet adalah suatu metode pengembangan fungsi suatu sumberdaya. Densifikasi dapat meningkatkan kandungan energi tiap satuan volume dan juga dapat mengurangi biaya transportasi dan penanganan. Densitas briket biomassa berada di atas rentang densitas kayu yaitu antara 800–1.100 kg/m3 dan densitas kamba (untuk pengemasan dan pemuatan ke dalam alat transportasi) sekitar 600–800 kg/m3 (Leach dan Gowen 1987).

Menurut Saptoadi (2006), proses pemampatan biomassa menjadi briket atau pelet dilakukan untuk :

• meningkatkan kerapatan energi bahan,

• meningkatkan kapasitas panas (kemampuan untuk menghasilkan panas dalam waktu lebih lama dan mencapai suhu yang lebih tinggi),

13 Densifikasi, menurut Ramsay (1982), juga menghasilkan keuntungan pada bahan bakar diantaranya ukuran yang menjadi lebih seragam, produk yang kering, serta kemudahan transportasi dan penyimpanannya.

Menurut Leach dan Gowen (1987), metode densifikasi untuk pembuatan pelet atau briket dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu sistem tekanan rendah seperti mesin pengempa manual dan mekanis serta sistem tekanan tinggi seperti

roller, pistonatauscrew extrusion.

Pelet merupakan salah satu bentuk energi biomassa, yang diproduksi pertama kali di Swedia pada tahun 1980-an. Pelet digunakan sebagai pemanas ruang untuk ruang skala kecil dan menengah. Pelet dibuat dari hasil samping terutama serbuk kayu. Pelet kayu digunakan sebagai penghasil panas bagi pemukiman atau industri skala kecil. Di Swedia, pelet memiliki ukuran diameter 6–12 mm serta panjang 10–20 mm (NUTEK 1996, dalam Jonsson 2006).

Pelet merupakan hasil pengempaan biomassa yang memiliki tekanan yang lebih besar jika dibandingkan dengan briket (60 kg/m3, kadar abu 1% dan kadar air kurang dari 10%) (El Bassam dan Maegaard 2004). Pelet memiliki kadar air yang rendah sehingga dapat lebih meningkatkan efektivitas pembakaran (VE 2006). Bahan bakar pelet memiliki diameter antara 3-12 mm dan panjang bervariasi antara 6–25 mm. Pelet diproduksi oleh suatu alat dengan mekanisme pemasukan bahan secara terus-menerus serta mendorong bahan yang telah dikeringkan dan termampatkan melewati lingkaran baja dengan beberapa lubang yang memiliki ukuran tertentu. Proses pemampatan ini menghasilkan bahan yang padat dan akan patah ketika mencapai panjang yang diinginkan (Ramsay 1982).

Menurut Ramsay (1982), proses pembuatan pelet menghasilkan panas akibat gesekan alat yang memudahkan proses pengikatan bahan dan penurunan kadar air bahan hingga mencapai 5–10%. Panas juga menyebabkan suhu pelet ketika keluar mencapai 60–65°C sehingga dibutuhkan pendinginan.

Metode pembuatan pelet yang lain dilakukan oleh Livington pada tahun 1977 (Livingtondalam Ramsay 1982) dan telah dipatenkan di US Patent. Proses

pembuatan pelet dilakukan dari bahan organik dengan kadar air antara 16–28%. Proses berlangsung pada suhu 163°C dan tekanan pada lempeng baja sebesar 178 kN. Pelet yang dihasilkan memiliki ukuran diameter 3 mm serta panjang 13 mm.

14 Pelet kemudian dikeringkan dengan udara panas dan menghasilkan kadar air 7–8 % serta bobot jenis lebih dari 1,0.

Tabel 3 memperlihatkan perbandingan standar biopelet di beberapa negara. Tabel 3. Perbandingan standar biopelet

Kualitas Biopelet unit ÖNorm M 7135 (Austria)(a) DIN 51731 (Jerman) (a) DIN plus (Pelet Association Germany) (a) Pelet Fuel Institute(b) ITEBE(c) (2001 – 2007) Diameter mm 4 – 10 4 – 10 - 6,35 – 7,94 6 – 16 Panjang mm 5 x D(1) < 50 5 x D(1) < 38,1 10 – 50 Densitas kg/dm³ > 1,12 1,0 – 1,4 > 1,12 > 0,64 > 1,15 Kadar Air % < 10 < 12 < 10 - 15

Kadar Abu % < 0,50 < 1,50 < 0,50 < 3 (standar)

< 1 (premium) 6 Nilai Kalor MJ/kg > 18 17,5 – 19,5 > 18 > 19,08 > 16,9 Sulfur % < 0,04 < 0,08 < 0,04 - < 0,10 Nitrogen % < 0,3 < 0,3 < 0,3 - 0,5 Klorin % < 0,02 < 0,03 < 0,02 < 0,03 < 0,07 Abrasi % < 2,3 - < 2,3 - - Bahan tambahan % < 2 -(2) < 2 - 2

(1) tidak lebih dari 20% Bio-Pelets berukuran 7,5 x Diameter (2) DIN melarang penggunaan bahan tambahan

Sumber:(a)

HEZO (2006);(b) PFI (2007a);(c) Douard (2007)

Keunggulan utama pemakaian bahan bakar pelet biomassa adalah penggunaan kembali bahan limbah seperti serbuk kayu yang biasanya dibuang begitu saja. Serbuk kayu yang terbuang begitu saja dapat teroksidasi dibawah kondisi yang tak terkendali akan membentuk gas metana atau gas rumah kaca (Cook 2007).

Menurut PFI (2007b), pelet memiliki konsistensi dan efisiensi bakar yang dapat menghasilkan emisi yang lebih rendah dari kayu. Bahan bakar pelet menghasilkan emisi bahan partikulat yang paling rendah dibandingkan jenis lainnya. Arsenik, karbon monoksida, sulfur, dan gas karbondioksida merupakan sedikit polutan air dan udara yang dihasilkan oleh penggunaan minyak sebagai bahan bakar.

Sistem pemanasan dengan pelet menghasilkan emisi CO2 yang rendah karena jumlah CO2 yang dikeluarkan selama pembakaran setara dengan CO2 yang diserap tanaman ketika tumbuh, sehingga tidak membahayakan lingkungan. Dengan efisiensi bakar yang tinggi, jenis emisi lain seperti NOx dan bahan organik yang mudah menguap juga dapat diturunkan. Masalah yang masih tersisa adalah emisi debu akibat peningkatan penggunaan sistem pemanasan dengan pelets

15 (Anonim 2007b). Gambar 5 menunjukkan alat boiler yang menggunakan bahan bakar biopelet.

Berdasarkan PFI (2007a), terdapat 2 jenis kualitas bahan bakar pelet yang diproduksi yaitu premium dan standar. Perbedaan keduanya adalah pada kadar abu. Jenis standar memiliki kadar abu maksimal 3%, sedangkan jenis premium memiliki kadar abu tidak lebih dari 1%. Perbedaan ini merupakan hasil dari perbedaan kandungan pelet. Pelet jenis standar dibuat dari bahan yang menghasilkan residu abu, seperti kulit kayu dan limbah pertanian. Sedangkan pelet jenis premium dibuat dari serbuk kayu keras dan kayu lunak yang tidak mengandung kulit kayu. Pelet jenis standar hanya dapat dibakar di instalasi pembakaran yang dirancang untuk pelet yang mengandung kadar abu tinggi.

White dan Paskett (1981) menambahkan bahwa pengendalian ukuran partikel bahan baku juga sangat penting karena berpengaruh terhadap tingkat reaksi. Ukuran partikel yang homogen (baik diatas ataupun dibawah standar) lebih efisien daripada ukuran partikel yang heterogen. Menurut Saptoadi (2006), dimensi pelet harus semakin kecil namun dengan ukuran partikel semakin kasar. Kombinasi ini akan memberikan sifat yang lebih sempurna pada pelet sebagai bahan bakar. Gambar 6 memperlihatkan bentuk dan ukuran biopelet dari bungkil jarak.

Gambar 5. Boiler berbahan bakar biopelet. Sumber: CCRE (2000)

16 Pembakaran biomassa secara langsung atau pengubahan bentuk menjadi pelet maupun briket dipilih berdasarkan beberapa parameter bahan bakar tersebut yaitu kadar air, densitas, nilai kalor serta bentuk fisik yang berhubungan dengan penanganan mekanis. Kadar abu juga merupakan parameter yang penting karena bahan bakar tanpa abu (seperti minyak dan gas) memiliki sifat pembakaran yang lebih baik (White dan Paskett 1981). Analisis proksimat bahan bakar padat digunakan untuk menentukan kandungan bahan volatil, karbon terikat dan abu (Ramsay 1982).

Abu merupakan komponen yang tidak diinginkan pada bahan bakar. Abu tidak dapat bereaksi dan terbakar dan akan menumpuk di dasar boiler atau terbang bersamaan dengan gas. Abu cenderung bertentangan dengan proses pembakaran karena keberadaannya dapat menyebabkan karat (Ramsay 1982).

Pembatasan kadar air selama pengeringan awal dan proses densifikasi akan menguntungkan selama proses pembakaran, selain menghasilkan nilai kalor yang lebih besar juga memudahkan pengendalian pembakaran, penurunan loss produk,

dan berdampak pada peningkatan efisiensi pembakaran. Kadar air suatu bahan bakar yang tinggi akan menyebabkan proses pembakaran yang lambat dan temperatur api yang rendah. Hal ini berdampak pada pengurangan produksisteam

pada boiler. Kadar air yang tinggi juga akan meningkatkan kecepatan gas pada zona bakar, mengurangi waktu tinggalnya, dan meningkatkan kadar partikulat yang berakibat pada peningkatan polusi udara (Ramsay 1982).

17 Keteguhan tekan menunjukkan daya tahan atau kekompakan briket terhadap tekanan luar sehingga mengakibatkan hancurnya briket. Semakin besar keteguhan tekan akan meningkatkan daya tahan atau kekompakan briket. Hal ini diperlukan untuk proses penanganan dan distribusi (Hendra dan Darmawan 2000).

D. Sludge

Sludge adalah residu semi-solid yang berasal dari proses filtrasi minyak jarak. Sludge akan mengalami proses pressing kembali yang nantinya akan

menghasilkan minyak dan padatan. Bentuk padat dari sludge ini akan dijadikan bahan tambahan untuk membuat biopelet. Penambahan sludge ini bertujuan untuk meningkatkan nilai kalor pembakaran dari biopelet.

Dokumen terkait