• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bitung: Sengketa Lahan KEK, Harapan Masyarakat, dan Peran Aktif

Dalam dokumen Final Laporan Pragis New (Halaman 46-51)

Berbeda dengan Batam dan Bontang dimana keduanya termasuk kawasan yang sudah tumbuh dengan berbagai masalah yang timbul setelah pertumbuhannya, Kota Bitung merupakan wilayah yang telah lama dipersiapkan menjadi pusat pertumbuhan baru di Indonesia Tengah. Bitung dulunya adalah sebuah kota pelabuhan yang terletak tidak jauh dari kota Manado. Kota pelabuhan ini pernah sangat aktif pada tahun 1960an, namun mengalami penurunan aktivitas pada dekade berikutnya karena adanya beberapa aturan pemerintah yang membuat kapal-kapal asing tidak lagi bersandar di Bitung, langsung ke Jakarta atau ke Surabaya. Dengan begitu, Bitung sebenarnya telah memiliki sejarah sebagai kota yang terbuka dan terbiasa menerima kehadiran orang asing. Ketika peran pelabuhan Bitung menurun, kota ini kemudian lebih terkenal sebagai kota perikanan.

32 Gambar 3.2: Tampak suana Pelabuhan di Bitung

Letak geografis Bitung sangat strategis. Letaknya yang pas berada di bibir Pasifik membuat kota ini selalu dilihat sebagai peluang oleh pemerintah. Bitung terus menerus dijanjikan untuk berkembang melalui berbagai program, seperti Zona Industri Sulawesi Utara atau Kawasan Berikat di Kauditan Bitung- Kema (KABIMA), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), dan terakhir KEK. Bitung sedianya menjadi KEK industri pengolahan berbasis perikanan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 2014. Lokasi KEK Bitung berdekatan dengan pelabuhan yang telah ada dan rencananya akan diperbesar.

Saat ini masih terdapat konflik terkait lahan KEK di Bitung. Masih ada warga yang tinggal di kawasan tersebut dan mendirikan pemukiman liar, lihat Gambar 3.3. Akses jalan ke lokasi KEK sudah dibuka, meski belum seluruhnya diaspal. Dari hasil peninjauan lapangan juga belum terlihat adanya pembangunan infrastruktur yang memadai. Bahkan kantor pengelola kawasan ini juga belum ada.

33

Gambar 3.3: Salah satu suana pemukiman warga di kawasan KEK Bitung

Dari segi sosial kemasyarakatan, Bitung yang baru dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan baru memiliki penduduk yang heterogen. Etnis mayoritasnya adalah Minahasa, dan penduduk beragama Kristen berjumlah lebih besar dibanding penganut agama lainnya. Sehingga menarik untuk melihat kesiapan masyarakat Bitung dan institusi yang ada di dalamnya dalam menerima perubahan yang segera datang melalui KEK di wilayah itu.

Dari pembangunan SDM, Bitung terlihat cukup siap karena pendidikan menjadi salah satu prioritas pemerintah daerah yang ditopang oleh Gereja. Di luar sekolah negeri, Bitung memiliki banyak sekolah yang berada di bawah Yayasan Gereja Masehi Injili di Minahasa (Yayasan GMIM) dan diakui memiliki kualitas yang baik. Selain itu, juga terdapat sekolah tinggi dan politeknik kelautan yang SDM-nya dapat mendukung KEK industri pengolahan berbasis perikanan bila benar-benar terwujud. Secara umum masyarakat tidak resisten terhadap rencana KEK, setelah diberi pemahaman oleh para elit politik lokal Bitung seperti tokoh agama tentang kemajuan yang dihasilkan melalui pembangunan tersebut. Pendeta Petrus mengakui hal itu dengan mengatakan:

“Pemerintah dan masyarakat Bitung sudah sangat siap dengan pembangunan KEK, tetapi selama puluhan tahun masyarakat dan pemerintah Bitung justru ‘dirugikan’, karena ada bentang lahan yang tak terfungsikan dengan baik. Namun sudah puluhan tahun masyarakat Bitung seolah-olah diberikan janji kosong, dengan proyek-proyek

34

KABIMA, KAPET, dan sekarang KEK, namun tidak pernah terealisasi. Sebenarnya tidak ada satu kelompok masyarakat pun di Bitung yang menolak KEK.” 16

Sosialisasi dan pemahaman tentang KEK di Bitung dilakukan bukan saja oleh pemerintah, tetapi juga oleh elemen gereja dalam mempersiapkan masyarakat untuk mampu berkompetisi ketika KEK diwujudkan. Keikutsertaan gereja dalam upaya sosialisasi dan mempersiapkan SDM setempat dikemukakan oleh Pendeta Frenky dengan mengatakan:

“...(Gereja) konsisten menjalankan. Bagaimana kita mempersiapkan diri, bagaimana supaya kita tidak menjadi penonton, bagaimana kita secara SDM mampu bersaing. Dan juga sambutan-sambutan pemerintah menjelaskan itu sering. Pemerintah hadir di gereja, jelaskan. Tapi yang jadi soal, yang kayak tadi itu, sejauh mana pemerintah akan mengelola KEK itu untuk kesejahteraan masyarakat lokal. Sejauh mana masyarakat lokal itu diberdayakan dan diberi peluang.” 17

Kekhawatiran masyarakat Bitung terhadap keseriusan pemerintah dalam mengelola KEK tampaknya cukup beralasan. Sebab, diakui atau tidak diakui oleh pemerintah terdapat potensi konflik primordial (konflik horizontal) yang bersifat laten antara penduduk asli dan penduduk pendatang yang sewaktu-waktu bisa meledak bila tidak dikelola dengan baik. Pendeta Franky Kalalo membenarkan hal itu dengan mengatakan:

“.... Jadi kita kan baru 2 kali ada kejadian yang hampir kerusuhan. Terakhir yang bulan Juli lalu. Jadi pada waktu itu memang agak lebih dari biasanya skalanya.... Pendatang melakukan pemukulan kepada masyarakat lokal. Itu kemudian memicu. Keesokan harinya kemudian terjadi demo. Hampir terjadi penyerangan dari pihak ormas-ormas adat. Tapi kemudian berhasil dikendalikan, dikomunikasikan. Tokoh agama turun dan selesai. Gubernur juga turun tangan dan selesai.”18

Selain itu, terdapat pula sejumlah masalah yang belum sepenuhnya pendapat perhatian serius dari pemerintah, seperti konflik lahan, infra struktur politik yang tidak fungsional, kemacetan, dan lain-lain. Ferry menjelaskan hal tersebut secara panjang lebar dengan mengatakan:

“Beberapa permasalahan yang mulai muncul adalah masalah kemacetan, karena semakin meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor. Konflik lainnya terkait alih fungsi lahan. Banyak lahan pertanian beralih menjadi lahan industri. Saluran aspirasi publik melalui media massa terbatas. Karena media cetak didominasi oleh media pemerintah, sehingga tidak ada ruang suara publik. Sudah banyak media di-

Pernyataan Pendeta Petrus tersebut disampaikan dalam FGD yang dilaksanakan di kantor Bappeda Bitung pada tanaggal Oktober .

Pernyataan Pendeta Frenky tersebut disampaikan dalam FGD yang dilaksanakan di kantor Bappeda Bitung pada tanggal Oktober .

Pernyataan Franky Kalalo tersebut disampaikan dalam wawancara mendalam yang dilaksanakan di Manado pada tanggal Oktober .

35

APBD-kan. Sehingga mengurangi kekritisannya. Banyak juga media yang bukannya menyuarakan suara publik, namun malah mengejar sumber kekuasaan. Harusnya penyampaian aspirasi itu bukan sekedar penyampaian informasi, tapi bagaimana ada respon tindakan dari pemerintah. Sayangnya saat ini media kurang peka dalam menyuarakan aspirasi masyarakat. Saluran lain dengan penyampaian langsung kepada pemda atau wakil di DPRD juga terkendala dengan trust dari masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap pemda atau wakil-wakil DPRD sekarang rendah karena biasanya pemda dan DPRD tidak bisa memberikan respon tindakan yang sesuai harapan masyarakat.” 19

Terkait infra struktur politik terutama media yang tidak fungsional di Bitung, hal itu disebabkan karena media khususnya media cetak kebanyakan telah berafiliasi dengan pemerintah. Keterbatasan penggunaan media sebagai sarana penyaluran aspirasi politik diakui oleh Risat dengan mengatakan bahwa saluran yang mendominasi di Bitung adalah melalui lembaga agama, dan telah menjadi kearifan lokal di Bitung dimana penggunaan media massa dan demonstrasi masih jarang dilakukan.20

Meskipun kondisi masyarakat Bitung tampak cukup siap dan tidak resisten terhadap KEK di wilayahnya, namun permasalahan yang potensial menjadi hambatan bagi KEK adalah potensi konflik akibat pembebasan lahan KEK dan konflik lahan antara masyarakat asli dan pendatang. Potensi konflik itu bahkan bisa benar-benar menjadi aktual, karena Pemerintah Bitung tampknya belum memiliki rencana pembangunan yang antisipatif terhadap masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Untuk mengatasi masalah atau konflik yang muncul dalam masyarakat, serta melakukan sosialisasi KEK, pemerintah sangat mengandalkan institusi gereja, karena memang fungsi institusi ini sangat sentral dalam masyarakat Bitung, termasuk juga sebagai media penyaluran aspirasi masyarakat. Media massa di bitung disebut sebagai pemberi informasi saja, bukan penyalur aspirasi bagi masyarakat, karena hampir semua media di Bitung telah “di-APBD-kan”, sehingga independensinya diragukan.

Wawancara dengan Ferry, dosen F)S)P Universitas Samratulangi di Kantor Bappeda Bitung pada tanggal Oktober

Pernyataan Risat, wakil media dari pengurus Persatuan Wartawan )ndonesia tersebut disampaikan dalam FGD yang dilaksanakan di Kantor Bappeda Bitung pada tanggal Oktober

36

3.4. Maloy: Political Will Pemerintah Daerah dan Keinginan Pemekaran

Dalam dokumen Final Laporan Pragis New (Halaman 46-51)

Dokumen terkait