• Tidak ada hasil yang ditemukan

BABBIIB TEORIBDASARB

II.6.5.1. BKuatBgeserB–BnormalB

B Kuat geser nominal, Vn pelat badan dari profil simetri tunggal atau ganda atau profil UNP, yang direncanakan tanpa memanfaatkan kekuatan pasca-tekuk, ditentukan dari kondisi batas akibat leleh dan tekuk akibat geser sebagai berikut : Vn = T,6 Fy Aw Cv

Aw = d tw adalah luas total pelat badan. Adapun koefisien geser pelat badan, Cv pada dasarnya adalah factor reduksi untuk mengantisipasi terjadinya tekuk di pelat badan, sebagai berikut :

a. Pelat badan profil I hot-rolled jika h/tw≤ 2,24 ( )1/2 maka ∅v = 1.T dan Cv = 1.T

b. Profil yang tidak memenuhi persyaratan diatas, tetapi simetri ganda atau tunggal maka Cv ditentukan dari kelangsingan pelat badan atau rasio h/tw dalam tiga kategori

Jika h/tw ≤ 1.1T (kvE/Fy)1/2 maka kuat geser nominal dibatasi adanya leleh pada pelat badan, tidak ada pengaruh tekuk.

Cv = 1.T

Jika 1.1T (kvE/Fy)1/2 < h/tw ≤ 1,37 (kvE/Fy)1/2 maka kuat geser nominal mulai dipengaruhi oleh tekuk yang terjadi pada pelat badan.

Cv = 1,1T (kvE/Fy)1/2 : (h/tw)

Jika h/tw > 1,37 (kvE/Fy)1/2 maka kuat geser nominal ditentukan oleh terjadinya tekuk elastic pada pelat badan.

Cv = y w v F t h)k2 E ( 51 ,1

Adapun h adalah jarak bersih antara pelat-pelat sayap dari profil I built up, jika profil I hot rolled dikurangi lagi dengan tebal fillet. Koefisien tekuk pelat, kv, untuk profil I tanpa pelat pengaku tegak dan kelangsingan pelat badannya h/tw < 26T, maka kv = 5.T. Jika ada pelat pengaku tegak untuk tiap jarak a dengan syarat a/h ≤ 3, maka koefisien tekuk pelat menjadi :

Kv = 5 + 2 ) / ( 5 h a

Khusus untuk profil Tee dengan syap satu sisi saja, maka tahanan pelat badan terhadap tekuk berkurang, sehingga kv = 1.2. Pengaruh kelangsingan pelat badan h/tw terhadap koefisien geser pelat badan, Cv yang pada dasarnya factor reduksi mengatisipasi tekuk, dapat dilihat pada kurva berikut.

Gambar II.6.5.1.1. Pengaruh kelangsingan terhadap nilai Cv

Nilai Cv berkorelasi langsung dengan kuat geser nominal, jika terlalu langsing pengaruh tekuk menjadi dominan sehingga terlihat pada kurva kekuatannya drop, tidak efisien jika didesain menurut AISC 2T1T. Untuk itu sebaiknya mengikuti ketentuan section G3 (AISC 2T1T) yang memanfaatkan fenomena “tension field action” pasca tekuk pelat untuk kinerja lebih baik.

**PersyaratanBpelatBpengakuBtegakB–BTransverse Stiffeners**

Untuk h/tw ≤ 2,46 (E/Fy)1/2 atau jika Vn menurut Section G.2 dengan kv = 5 telah mencukupi, yaitu Vu < ∅ Vn, maka tidak diperlukan pemasangan pelat pengaku tegak.

Jika persyaratan tidak terpenuhi, khususnya jika pelat badannya relative langsing, kuat geser nominal dapat ditingkatkan memakai pelat pengaku tegak dengan jarak a, dan a/h ≤ 3 agar nilai kv > 5, sehingga nilai Cv akan meningkat pula. Meskipun demikian pelat pengaku tegak tidak boleh sembarangan, harus punya kekakuan atau momen inersia minimum agar efektif kerjanya, yaitu :

Ist≥ b tw2 j Dimana : J = ( ), - 2 ≥ T,5

Ist = momen inersia pelat pengaku. Jika dua sisi (ganda) dihitung terhadap sumbu tengah pelat badan, jika satu sisi (tunggal) dihitung pada bidang kontak terhadap pelat badan.

Pelat pengaku tegak (transverse stiffeneri) dipasang pada titik-titik di antara tumpuan, disebut juga intermediate transverse stiffener. Bentuk detail pelat pengaku tegak usulan Kulak – Gronding (2TT2), seperti pada Gambar II.6.3.1.2. Untuk pelat pengaku yang tepat diatas tumpuan, meskipun bentuk mirip tetapi berbeda prinsip kerjanya. Oleh karena itu perlu dibahas secara tersendiri.

Gambar II.6.5.1.2. Alternatif detail pelat pengaku tegak

Pelat pengaku tegak dapat dipasang pada satu sisi atau keduanya. Adapun momen inersianya dihitung pada sumbu netral berbeda. Pelat pengaku satu sisi umum dipilih jika akan dipasang pengaku memanjang (longitudinal stiffener), yang menerus (tak terpotong), seperti pelat sayap, tetapi itu tidak ada ketentuan di AISC (2T1T) bahkan AASHTO (2T1T) juga telah mengabaikannya (White 2T12).

Pemasangan pelat pengaku umumnya memakai las, yang relative praktis dan ekonomis, dibandingkan baut. Tetapi penggunaan las mempunyai dampak negative jika tidak dilakukan control seksama dan ketat. Panas yang diakibatkannya menimbulkan risiko fatiq, yaitu timbulnya fraktur pada tegangan yang relative rendah ketika dibebani beban siklik, suatu hal yang umum pada konstruksi jembatan. Ditelaah lebih lanjut, fatiq terjadi pada daerah adengan tegangan tarik transien. Itu

alasannya, megapa detail pelat pengaku tegak diberi jarak terhadap pelat sayap tarik (Kulak_ Gronding 2TT2).

Gambar II.6.5.1.3 Balok dengan pelat pengaku tegak

Pemasangan pelat pengaku tegak pada balok umumnya digunakan juga sebagai pelat sambung untuk system pertambatan lateralnya. Jadi banyaknya lubang- lubang pada Gambar 6.3.1.3 adalah untuk itu.

II.6.5.2.BKuatBgeserB–BbadanBlangsingB

Persyaratan khusus agar ketentuan ini berlaku adalah tersedianya “bingkai” pada pelat badan, yaitu sisi horizontal oleh keberadaan pelat sayap dan sisi vertical oleh pengaku tegak. Tetapi tetap tidak boleh diterapkan jika ketentuan berikut terjadi, yaitu :

 Panel-panel ujung elemen batang dengan pelat pengaku tegak  Jika a/h >3 atau a/h [26T/(h/tw)]2

 Jika 2Aw / (Afc + Aft) > 2,5 atau  Jika h/bfc atau h/bft > 6,T Dimana :

Afc = luas pelat sayap tekan Aft = luas pelat sayap tarik bfc = lebar pelat sayap tekan bft = lebar pelat sayap tarik

Jika hal-hal tersebut dijumpai maka ketentuan Section G3 ini tidak bisa digunakan. Balok harus direncanakan berdasarkan ketentuan Section G2 (AISC 2T1T) yang lebih konservatif.

Balok yang dapat memanfaatkan fenomena pasca tekuk tension field action, maka pengalihan beban ke tumpuan mekanisenya ekivalen dengan struktur rangka batang (truss). Pelat pengaku bekerja sebgai batang tekan, dan diagonal tension field action menjadi batang tariknya, seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar II.6.5.2.1 Mekanisme kerja tension field action

Ingat, mekanisme tension field action baru akan bekerja jika pelat badan mengalami tekuk. Jika pelat relative kaku dan tidak terjadi tekuk, maka kondisi batas material yang menentukan (leleh). Oleh karena itu, batas atas kuat geser nominal pelat badan profil-I dengan tambahan pelat pengaku, adalah sama dan tidak lebih besar dari kuat geser nominal profil I, tanpa pelat pengaku Lihat, persamaan G2-1 dengan Cv = 1 dan G3-1 memberi hasil yang sama.

Pelat badan relative kaku, jika h/tw≤ 1.1T (kvE/fy)1/2- maka kuat geser nominal dibatasi oleh adanya leleh pelat badan, tidak ada tekuk :

Vn = T,6 Fy Aw

Jika langsing, h/tw > 1.1T (kvE/Fy)1/12 maka pengaruh tekuk dominan sehingga mechanism tension field action timbul dan dimanfaatkan.

= 0,6 + , ( ( / ))

Nilai Cv diambil sama seperti pada Section G2 (AISC 2T1T) dimana untuk kondisi 1,1T (kvE/Fy)1/2 < h/tw≤ 1,37 (kvE/Fy)1/2 maka :

Cv = 1,1T (kvE/Fy)1/2 : (h/tw)

Sedangkan untuk h/tw > 1,37 (kvE/Fy)1/2 maka : Cv = y w v F t h)k2 E ( 51 ,1 B

*SyaratBtambahanBpelatBpengakuBtegakB–BTransverse Stiffeners **B

Pelat pengaku tegak pada mekanisme tension field action, selain didasarkan ketentuan G2-7 (AISC 2T1T), harus memenuhi syarat terhadap batasan kelangsingan dan kekakuan. Itu terjadi karena pelat akan menerima gaya tekan, yang berisiko menjadi tekuk. (b/t)st≤ T,56 yst F E Ist≥ Ist1 + (Ist2 – Ist1) [ ] 2 cq c cq r V V V V   Dimana :

 (b/t)st sebagai rasio lebar tebal pelat pengaku  Fyst sebagai tegangan leleh minimum pelat pengaku

 Ist adalah momen inersia pelat pengaku. Jika dua sisi (ganda) dihitung terhadap sumbu tengah pelat badan, jika satu sisi (tunggal) dihitung pada bidang kontak terhadap pelat badan.

 Ist1 adalah momen inersia minimum pelat pengaku terhadap terjadinya tekuk geser atau Ist1 = xtw2j (persamaan G2-7)

 Ist2 adalah momen inersia minimum pelat pengaku terhadap terjadinya tekuk geser dan sekaligus tension field action, yaitu L

Ist = ( )1,5 4T 3 , 1 E F p he st yw

Dokumen terkait