• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Bleaching

Bahan bleaching yang biasa digunakan dalam kedokteran gigi antara lain cairan hidrogen peroksida, karbamid peroksida dan natrium perborat. Bahan tersebut dapat berperan sebagai oksidator atau reduktor dan kebanyakan

adalah oksidator. Hidrogen peroksida dan karbamid peroksida terutama diindikasikan untuk pemutihan secara eksternal, sedangkan natrium perborat dipakai untuk pemutihan secara internal (Walton dan Torabinejad, 2008). Contoh produk hidrogen peroksida yang ada di pasaran adalah Superoxol,

bahan ini mengandung hidrogen peroksida sebesar 30%. Dan bahan ini dapat menyebabkan luka pada kulit (Sidauruk, dkk., 2009).

Bleaching mempunyai 2 efek samping yang paling sering dijumpai, yaitu gigi sensitif dan iritasi gingiva. Selain itu bisa juga menyebabkan sakit tenggorokan, rasa perih pada jaringan rongga mulut dan sakit kepala(Jenssen dan Tran, 2011).

Secara umum, iritasi gingiva dapat menyebabkan cedera pada sel. Penyebab cedera sel sangat bervariasi, mulai dari kekerasan fisik eksternal dan penyebab endogen atau internal. Penyebab cedera sel dapat dikelompokkan dalam kategori seperti kekurangan oksigen, faktor fisik, kimiawi, dan biologis, reaksi imunologis, kelainan genetik dan ketidakseimbangan nutrisi (Syamsuhidayat, dkk., 2012). Salah satu zat kimia yang dapat menyebabkan cedera pada sel yang terkandung dalam bahan

bleaching adalah hidrogen peroksida 35%. Bahan tersebut merupakan bahan yang tajam dan dapat menyebabkan gingiva terbakar dan mengelupas. Apabila bahan kimia yang kuat ini dipakai pada jaringan lunak, harus dilapisi dengan menggunakan pasta pelindung (Walton dan Torabinejad, 2008). Luka yang timbul mengakibatkan gangguan pada struktur jaringan yang utuh dan dapat mengakibatkan hilangnya struktur jaringan (Hermanto dan Taufiqurrahman,

2005). Adanya luka pada gingiva menyebabkan terganggunya perlindungan gingiva terhadap infeksi maupun kerusakan mekanis akibat hilangnya kontinuitas jaringan sehingga integritas jaringan tulang yang berada dibawah gingiva dapat terancam (Abrams, 1994). Selain itu luka yang biasa disebabkan oleh zat kimia adalah luka bakar (Syamsuhidayat, dkk. 2012).

Penyembuhan luka yang paling sederhana dapat dilakukan secara alami oleh tubuh. Seperti pada insisi pembedahan, yang tepi lukanya dapat saling didekatkan untuk dimulainya proses penyembuhan. Penyembuhan semacam itu disebut penyembuhan primer (Price & Wilson, 2006). Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase, meliputi fase inflamasi, fase poliferatif, dan fase remodeling (Syamsuhidayat, dkk., 2012). Dalam fase inflamasi terdapat sel limfosit yang umumnya terdapat di dalam eksudat dalam jumlah yang sangat sedikit hingga waktu yang cukup lama, yaitu sampai reaksi-reaksi peradangan menjadi kronis. Karena fungsi-fungsi limfosit yang diketahui semuanya berada dalam bidang imunologik (Price dan Wilson, 2006).

Selain hal tersebut pada proses inflamasi terdapat kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang (Ganiswara, 2005). Leukosit atau sel darah putih terdiri dari beberapa jenis Sel seperti neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, monosit yang berinterkasi satu sama lain dalam proses inflamasi (Effendi, 2003).

Limfosit adalah leukosit mononuklear yang berdiameter antara 7-20 μm, memiliki inti berwarna gelap yang mengandung kromatin tebal dan sitoplasma

yang berwarna biru pucat. Pada prose peradangan sel limfosit muncul sebagai reseptor antigen yang pada kondisi tepat menginduksi suatu respon imunospesifik dan bereaksi dengan produk produk respon tersebut (Dorland, 2002). Limfosit dapat menjadi lebih sensitif selama stadium seluler lebih lanjut. Sensitifitas ini dapat muncul pada saat sel plasma memproduksi antibodi atau pada saat limfosit T memproduksi limfokin untuk mempermudah proses peradangan (Saraf, 2006).

Limfosit umumnya terdapat pada eksudat dalam jumlah yang sangat kecil untuk waktu yang cukup lama yaitu sampai reaksi peradangan menjadi kronik (Price dan Wilson, 2005). Menurut Bellanti (1993) pada proses keradangan, limfosit berfungsi memberikan respons imunologik untuk melawan agen asing dengan fenomena humoral dan seluler spesifik. Limfosit memiliki peranan fungsional yang berbeda, yang semuanya berhubungan dengan reaksi imunitas dalam bertahan terhadap serangan mikroorganisme, makromolekul asing dan sel kanker. Limfosit T secara langsung menghancurkan sel-sel sasaran spesifik, suatu proses yang dikenal sebagai respon imun yang diperantarai sel hidup (respon imun seluler). Sel yang menjadi sasaran limfosit T mencakup sel-sel tubuh yang dimasuki oleh virus dan sel kanker (Sherwood, 2001).

Menurut Savage dan McCullough, (2005) pengobatan untuk penyembuhan luka pada mukosa mulut bisa menggunakan topikal kortikosteroid. Topikal kortikosteroid berfungsi sebagai agen anti-inflamasi. Beberapa obat topikal kortikosteroid adalah triamcinolone acetonide 0,1%,

kenalog in orabase, salep hydrocortisone acetate 1% dan salep bethamethasone dipropionate 0,05%.Obat kimia merupakan upaya untuk mempercepat proses penyembuhan luka, seperti penggunaan topikal kortikosteroid yang dianjurkan untuk pengobatanulserasi pada mukosa mulut. Kenalog® merupakan jenis topical kortikosteroid yang sudah banyak digunakan sebagai agen anti inflamasi untuk mengobati luka pada mukosa mulut (Krasteva,dkk., 2010). Menurut Skidmore–Roth (2014), triamcinolone acetonide memiliki kontraindikasi terhadap infeksi jamur, virus, atau bakteri pada mulut dan tenggorokan. Hal tersebut perlu diperhatikan karena penggunaan kortikosteroid pada masa infeksi aktif dapat menekan sistem imun tubuh (McGee dan Hirschmann, 2008). Salah satu efek samping kortikosteroid topikal pada mukosa oral adalah meningkatnya pertumbuhan Candida sp. dalam rongga mulut yang dapat menyebabkan kandidiasis (Eisen dan Lynch, 2001; Savage dan McCullough, 2005). Adanya kontraindikasi dan efek samping yang tinggi akibat penggunaan obat antiinflamasi golongan steroid, maka saat ini banyak dikembangkan pengobatan yang berasal dari bahan alami seperti suplemen dan obat herbal sebagai pereda rasa nyeri dan inflamasi (Maroon dkk., 2010).

Indonesia mempunyai lebih dari 20.000 jenis tumbuhan obatdan 300 jenis diantaranya sudah dimanfaatkan sebagai obat herbal. Pepaya (Carica papaya) adalah salah satu tanaman berkhasiat yang bisa dijadikan obat. Salah satu bagian dari tanaman pepaya yang berkhasiat obat ialah daunnya. Daun pepaya sering dijadikan bahan makanan sehari-hari walaupun rasanya pahit

(Yapian, dkk., 2013).Daun papaya memiliki kandungan senyawa aktif berupa enzim papain dan flavonoid sebagai anti inflamasi. Ekstrak daun pepaya mempunyai efek antiinflamasi berupa penurunan jumlah sel makrofag (Aldelina, dkk., 2013).

Berbagai macam tumbuhan herbal yang ada dibumi memiliki banyak manfaat dan pada dasarnya semua tumbuhan yang ada dibumi itu baik, sesuai dalam Al-Quran surat Asy-Syuara ayat 7 yang berbunyi :

مي ك جْ ّلك ْ م ا يف ا ْتبْ أ ْمك ضْ ْْا ىلإ اْ ي ْمل أ

Artinya, “Dan apakah mereka tidak memperlihatkan bumi, betapa kami tumbuhkan di bumi itu berbagai macam (tumbuh-tumbuhan) yang baik”.

Penggunaan sumber daya yang ada dibumi harus dimanfaatkan dengan bijaksana dan maksimal sesuai manfaatnya, sesuai dalam surat Al-Quran surat Al-Isra ayat 27 :

ّ إ ي ّ ب ْلاا اك ا ْخإ يطايّشلاۖ اك اطْيّشلا ّب لً فكا

Artinya, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah

saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. Berdasarkan ayat diatas peneliti memaknai bahwa Allah SWT menciptakan semua tumbuhan di dunia ini baik dan mempunyai manfaat, kita harus memaksimalkan pemanfaatan dari tumbuhan tersebut agar kita tidak termasuk orang yang boros. Bahan uji seperti obat yang akan dimanfaatkan pada manusia harus lolos dari pengujian laboratorium secara tuntas dan dilanjutkan dengan penelitian pada hewan percobaan untuk mengetahui kelayakan dan keamanannya. Hewan percobaan diperlukan untuk mengamati

dan mengkaji seluruh reaksi dan interaksi bahan uji yang diberikan, serta dampak yang dihasilkan secara utuh dan mendalam (EndiRidwan, 2013). Pemanfaatan daun papaya (Carica Papaya L ) masih jarang, terutama dalam bidang kedokteran gigi. Berdasarkan latarbelakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang efektifitas gel ekstrak daun papaya

(Carica Papaya L.) terhadap penyembuhan luka gingiva akibat bahan

bleachin gyaitu hidrogen peroksida melalui pengamatan penurunan diameter luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley jantan

Menurut Adiyati (2011), hewan coba merupakan hewan yang dikembang biakkan untuk digunakan sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada berbagai macam penelitian medis selama bertahun - tahun. Hal ini disebabkan karena tikus memiliki karakteristik genetik yang unik, mudah berkembang biak, murah serta mudah untuk mendapatkannya. Pada penelitian ini menggunakan tikus putih Sprague Dawley jantan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu apakah gel ekstrak daun papaya (Carica Papaya L.) konsentrasi 75% efektif mempercepat penyembuhan luka yang diakibatkan oleh hidrogen peroksida konsentrasi 35% sebagai bahan

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan umum

Mengetahui efektifitas gel ekstrak daun papaya (Carica Papaya L.)

konsentrasi 75% dalam mempercepat proses penyembuhan luka gingiva yang diakibatkan oleh hidrogen peroksida konsentrasi 35% sebagai bahan

bleaching pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley

jantan.

2. Tujuan khusus

Mengetahui efektifitas gel ekstrak daun papaya (Carica Papaya L.) konsentrasi 75% terhadap penurunan diameter luka dan jumlah sel limfositpada proses penyembuhan luka gingiva yang diakibatkan oleh hidrogen peroksida konsentrasi 35% sebagai bahan bleaching pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley jantan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi peneliti

Menambah pengalaman dan mendapat informasi baru mengenai manfaat gel ekstrak daun papaya (Carica Papaya L.) sebagai terapi alternatif dalam penyembuhan luka gingiva yang diakibatkan oleh hidrogen peroksida sebagai bahan bleaching pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley jantan melalui pengamatan penurunan diameter luka dan jumlah sel limfosit.

2. Bagi masyarakat

Menambah wawasan publik tentang terapi alternatif dalam upaya peningkatan durasi penyembuhan luka gingiva dan menambah nilai ekonomis dari daun pepaya.

3. Bagi ilmu pengetahuan

Memberikan informasi baru dalam ilmu kedokteran khususnya kedokteran gigi dan diharapkan penelitian ini menjadi acuan dalam melakukan penelitian selanjutnya mengenai terapi alternatif dalam penyembuhan luka gingiva yang diakibatkan oleh iritasi hidrogen peroksida sebagai bahan bleaching.

E. KeaslianPenelitian

Terdapat beberapa penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya yaitu: 1. Efek Ekstrak Etanol Daun Awar-Awar (Ficus Septica Burm.F) terhadap

Kemampuan Epitelisasi pada Tikus (Rattus Norvegicus). Oleh Rahman, dkk. pada tahun 2013. Penelitian tersebut menggunakan ekstrak etanol daun awar-awar pada konsentrasi 0,5%, 1% dan 1,5%. Pada perlukaandilakukandengan menempelkan logam panas (1000C) selama 2 detik pada daerah kulit punggung tikus.Ekstrak etanol daun awar-awar memiliki kemampuan epitelisasi pada tikus putih dan pada konsentrasi 1.5 % sangat signifikan sebagai obat untuk penyembuhan. Perbedaannya dengan penelitian saya adalah bahan yang digunakan berupa daun pepaya dan perlukaannya menggunakan bahan bleaching hidrogen peroksida

35%. Persamaannya adalah variabel yang diamati yaitu penurunan diameter luka sebagai indikator penyembuhan.

2. Pengaruh Ekstrak Daun Pepaya Terhadap Jumlah Sel Limfosit Pada Gingiva Tikus Wistar Jantan Yang Mengalami Periodontitis. Oleh Bramanto dkk tahun 2014.

Penelitian tersebut dilakukan dengan memberikn induksi P. gingivalis dengan jumlah bakteri 3 x 106 (McFarlan) dan dipasang ligature pada regio molar kiri rahang bawah pada tikus. Dan dekapitulasi rahang tikus untuk menghitung jumlah sel limfosit pada mikroskop. Hasil penelitian membuktikan bahwa terjadi penurunan jumlah sel limfosit pada gingiva tikus wistar jantan yang mengalami periodontitis setelah diberikan ekstrak daun pepaya. Konsentrasi ekstrak daun pepaya yang paling efektif adalah 75%. Perbedaan dengan penelitian saya adalah, induksi luka yang digunakan yaitu menggunakan bahan hidrogen Peroksida sebagai bahan bleaching 35%. Persamaannya adalah yang diamati yaitu sel radang limfosit melalui mikroskop.

3. Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya) terhadap Jumlah Sel Makrofag pada Gingiva Tikus Wistar yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis. Oleh Aldelina, dkk. pada tahun 2013. Penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat efek anti inflamasi ekstrak daun pepaya berupa penurunan jumlah sel makrofag. Peradangan (inflamasi) dilakukan dengan menginduksikan Porphyromonas gingivalis dengan konsentrasi 3x106 pada sulkus gingiva. Penelitian tersebut menggunakan ekstrak daun

papaya konsentrasi 25%, 50% dan 75%.Konsentrasi 75% mempunyai efek terbesar dalam menurunkan jumlah sel makrofag. Perbedaan dengan penelitian saya adalah indicator penyembuhan luka yang diamati berupa penurunan diameter luka dan induksi lukanya menggunakan bahan

bleaching hidrogen peroksida 35%. Persamaannya adalah menggunakan ektrak daun pepaya sebagai perlakuannya.

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah pustaka 1. Gigi

a. Warna gigi normal

Warna normal gigi sulung adalah putih kebiru-biruan. Sedangkan, warna normal gigi permanen adalah kuning keabu-abuan, putih keabu-abuan, atau putih kekuning-kuningan. Warna gigi ditentukan oleh transluensi dan ketebalan email, ketebalan dan warna dentin yang melapisi dibawahnya, dan juga warna pulpa. Perubahan dalam warna dapat bersifat fisiologik dan patologik atau eksogenus dan endogenus. (Grossman, dkk., 1995).

Semakin meningkatnya usia, email manusia menjadi lebih tipis karena abrasi atau erosi, dan dentin menjadi lebih tebal karena deposisi dentin sekunder dan reparatif, yang menghasilkan perubahan warna pada gigi seseorang. Dan pada orang tua biasanya gigi berwarna lebih kuning atau keabu-abuan dibandingkan dengan gigi orang muda. (Grossman, dkk., 1995).

b. Diskolorisasi gigi

Diskolorisasi gigi adalah suatu kondisi perubahan warna gigi dengan etiologi multifaktorial yang diklasifikasikan sebagai ekstrinsik dan intrinsik, dan dapat terjadi karena sejumlah penyakit metabolik,

kondisi sistemik dan faktor lokal seperti luka (Kermanshah, dkk., 2013).

Klasifikasi Diskolorisasi gigi menurut (Jenssen dan Tran, 2011) diklasifikasikan menjadi:

1) Diskolorisasi ekstrinsik

Diskolorisasi ekstrinsik biasa ditemukan pada permukaan luar gigi dan bersifat lokal, contohnya adalah noda/stain tembakau. Beberapa kasus diskolorisasi ekstrinsik seperti noda teh atau tembakau dapat dihilangkan dengan scalling dan pemolesan. 2) Diskolorisasi intrinsik

Pada dislorisasi intrisik komposisi struktural pada jaringan keras gigi berubah. Diskolorisasi intrinsik dibagi lagi menjadi dua yaitu; a) Sistemik, seperti genetik atau dari obat-obatan dan ke b) Lokal, seperti pendarahan pulpa atau resorbsi akar.

Menurut (Walton dan Torabinejad, 2008), penyebab perubahan warna gigi atau diskolorisasi disebabkan oleh:

1) Noda alamiah atau didapat : a) Nekrosis Pulpa

b) Pendarahan Intrapulpa c) Metamorfosis kalsium

d) Defek perkembangan: Obat obatan sistemik, defek dalam pembentukan gigi, kelainan darah dan faktor lain

2) Perubahan warna Iatrogenik

Perubahan warna karena perawatan Endodonsi: Material obturasi, sisa-sisa jaringan pulpa, obat-obatan intrakanal dan restorasi korona.

2. Bleaching

a. Definisi bleaching

Bleaching bukan hal yang baru lagi dalam dunia kedokteran gigi.

Bleaching adalah upaya awal untuk mencerahkan gigi dengan bahan pemutih sudah berlangsung lebih dari satu abad yang lalu. Bahan pemutih dapat diaplikasikan langsung pada permukaan gigi, atau diaplikasikan secara tidak langsung ke dalam gigi non vital. (Goldstein dan Garber, 1995)

Bleaching dalam kedokteran gigi biasanya ditujukan pada bahan-bahan yang mengandung Hidrogen Peroksida untuk pemutihan gigi. Peroxide merupakan bahan bleaching yang paling sering digunakan untuk membutuhkan waktu singkat. Kemampuan pemutihan gigi seringkali ditunjukkan dari jumlah persentase peroxide didalamnya (Goldstein & Garber, 1995).

b. Teknik bleaching

1) Teknik internal

Prosedur bleaching internal atau “Walking Bleach”, teknik ini dapat digunakan untuk diskolorisasi gigi yang berasal dari dalam gigi. Teknik ini dilakukan dengan aplikasi dari pasta yang

terdiri dari natrium perborate dan air atau 3% hidrogen peroksida ( H2O2 ) masing-masing dalam ruang pulpa. Tetapi penyataan tersebut diatas dari teknik Walking bleach dengan campuran sodium perborate dan air disebutkan dalam laporan kongres oleh Marsh dan diterbitkanoleh Salvas ,Nutting dan Poe, dan menganjurkan untuk penggunaan 30% Hidrogen Peroksida tidak dengan air. (Navageni, dkk., 2011)

2) Teknik eksternal

Prosedur bleaching eksternal, atau teknik pemutihan vital merupakan aplikasi oksidator pada permukaan email dari gigi dengan pulpa yang masih vital. Tetapi dengan teknik eksternal mempunyai kekurangan karena lebih banyak menggunakan variabel daripada teknik internal. Bahan pemutih yang diletakkan pada email yang relatif tidak permiabel, sehingga lebih sedikit peluangnya untuk mencapai daerah yang terjadi diskolorisasi (Walton dan Torabinejad, 2008).

c. Bahan bleaching

1) Carbamide peroxide (CH6N2O3)

Dalam 10% larutan encer Carbamide Peroxide paling banyak digunakan pada home bleaching. Bahan ini dipecah lagi menjadi 3,35% larutan Hidrogen peroksida dan 6,65% larutan urea (CH4N2O). 15% dan 20% larutan carbamide peroxide juga

digunakan oleh dokter gigi untuk prosedur home bleaching. (Jenssen dan Tran, 2011)

2) Hidrogen peroksida (H2O2)

Menurut (Kihn, 2007), hidrogen peroksida adalah agen pengoksidasi yang berdifusi ke gigi dan pecah menghasilkan radikal bebas yang tidak stabil. Radikal bebas yang tidak stabil menyerang molekul pigmen organik di ruang antara garam anorganik yang berada pada enamel gigi bagian dalam. sehingga unsur molekul yang berpigmem lebih kecil. Molekul kecil mencerminkan kurang cahaya , sehingga menciptakan efek pemutihan.

Konsentrasi hidrogen peroksida yang biasa dipakai pada in office bleaching adalah 30-35%. Dan makin besar konsentrasi hidrogen peroksida, makin baik efek dalam proses oksidasi. (Goldstein dan Garber, 1995)

d. Efek samping bleaching

1) Gigi sensitif

Salah satu faktor yang dapat menyebabkan gigi sensitif itu adalah penggunaan bahan glycerin yang terkandung di dalam bahan pemutih gigi. Bahan tersebut menyebabkan penyerapan air dari tekanan yang lebih rendah. Dalam hal ini dari email, tubulus dentin, dan lapisan epitel mukosa atau gusi. Proses dehidrasi

tersebut menyebabkan rasa ngilu dan sensitif. (Jenssen dan Tran, 2011)

2) Iritasi gingiva

Selama proses bleaching jarigan gingiva dapat mengalami iritasi. Iritasi gingiva dapat meluas dihubungkan dengan konsetrasi peroksida yang ditemukan pada bahan bleaching. Bisa juga dikarenakan tray yang mendorong melawan gingiva selama proses

bleaching dan dapat menyebabkan trauma mekanis (Jenssen dan Tran,2011).

Dua bahan bleaching yang sering dipakai adalah Sodium Perborate dan hidrogen peroksida konsentrasi 30-35%. Bahan ini dipakai sudah hampir selama 30 tahun. Tetapi hidrogen peroksida memiliki dua kali lipat efek oksidator dibandingkan dengan sodium perborate. Bahan ini memiliki efek yang lebih reaktif pada bleaching tetapi memliki efek samping membakar jaringan lebih besar pula. (Goldstein dan Garber, 1995)

Dokumen terkait