• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anestesi sub-tenon dapat dijadikan pilihan karena memberikan beberapa keuntungan, seperti risiko anestesi yang sangat minimal dibandingkan teknik retrobulbar, serta jumlah obat anestesi yang digunakan sangat sedikit, hanya 1-2 cc. Persiapan penderita sebelum dilakukan anestesi sub-tenon adalah dengan pemberian anestesi topikal lidocaine 4%, yaitu sebanyak satu tetes tiap 10 menit selama 20 menit menjelang operasi. Setelah pasien berada di meja operasi dan dilakukan tindakan asepsis, dilakukan insisi pada konjungtiva inferior bagian nasal sekitar 3 mm dari limbus, menggunakan gunting konjungtiva sampai kelihatan bagian sklera. Jika terjadi perdarahan, diatasi dengan kauterisasi.

17

Melalui luka insisi tersebut dimasukkan kanula sub-tenon menyusuri dinding bola mata sampai mencapai daerah ekuator, lalu disuntikkan sebanyak 1 cc larutan anestesi campuran lidocaine 2% dan bupivacaine hydrochloride 0,75%. Tunggu 3-5 menit agar laruran anestesi ini mengalami difusi ke seluruh lingkaran ekuator untuk memberikan efek anestesi dan akinesia yang baik (Tighe, et al, 2012).

Gambar 2.3 Blok Sub-Tenon (Tighe, et al, 2012) 2.8 Ablasio Retina Regmatogenosa

2.8.1 Definisi

Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Pada ablasio retina regmatogenosa, terjadi robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid (Feltgen & Walter, 2014).

2.8.2 Epidemiologi

Angka kejadian ablasio retina adalah 1 dari 15.000 orang. Ablasio retina paling sering dikaitkan dengan miopia, afakia, pseudofakia, dan trauma. Sekitar 40-50% dari semua pasien dengan ablasio memiliki miopia tinggi (>6 dioptri), 30-35% pernah menjalani operasi pengangkatan katarak, dan 10-20% pernah mengalami trauma okuli (Feltgen & Walter, 2014).

18 2.8.3 Diagnosis

Ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang. Gejala umum pada ablasio retina yang sering dikeluhkan penderita adalah (Fraser & Steel 2010):

a. Floaters (terlihat benda melayang-layang) yang terjadi karena adanya kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau degenerasi vitreus.

b. Fotopsi (kilatan cahaya), tanpa adanya sumber cahaya di sekitarnya, yang umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap.

c. Penurunan tajam penglihatan, penderita mengeluh penglihatannya sebagian seperti tertutup tirai yang semakin lama semakian luas. Pada keadaan yang telah lanjut, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan yang berat.

Pada ablasio regmatogenosa, pada tahap awal masih relatif terlokalisir, tetapi jika hal tersebut tidak diperhatikan oleh penderita maka akan berkembang menjadi lebih berat jika berlangsung sedikit demi sedikit menuju ke arah makula. Keadaan ini juga tidak menimbulkan rasa sakit. Kehilangan penglihatan dapat tiba-tiba terjadi ketika kerusakannya sudah parah. Pasien biasanya mengeluhkan adanya awan gelap atau tirai di depan mata (Fraser & Steel 2010).

Selain itu perlu dianamnesa adanya faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya ablasio retina seperti adanya riwayat trauma, riwayat pembedahan sebelumnya seperti ekstraksi katarak, pengangkatan corpus alienum intraokuler, riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis, perdarahan vitreus, ambliopia, glaukoma, dan retinopati diabetik). Riwayat keluarga dengan sakit mata yang sama serta riwayat penyakit yang berhubungan dengan ablasio retina (diabetes mellitus, tumor, eklamsia, dan prematuritas) (Fraser & Steel 2010).

Adapun tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pemeriksaan oftalmologi antara lain (Feltgen & Walter, 2014):

1. Pemeriksaan visus. Dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat terlibatnya makula lutea atau kekeruhan media refrakta atau badan kaca yang

19

menghambat sinar masuk. Tajam penglihatan akan sangat terganggu bila makula lutea ikut terangkat.

2. Tekanan intraokuler biasanya sedikit lebih tinggi, normal, atau rendah.

3. Pemeriksaan funduskopi. Merupakan salah satu cara terbaik untuk mendiagnosa ablasio retina dengan menggunakan oftalmoskop inderek binokuler. Pada pemeriksaan ini retina yang mengalami ablasio tampak sebagai membran abu-abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid. Jika terdapat akumulasi cairan pada ruang subretina, didapatkan pergerakan undulasi retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah retina yang terlepas dari dasarnya berwarna gelap, berkelok-kelok dan membengkok di tepi ablasio. Pada retina yang terjadi ablasio telihat lipatan-lipatan halus. Satu robekan pada retina terlihat agak merah muda karena terdapat pembuluh koroid dibawahnya.

4. Electroretinography (ERG) adalah dibawah normal atau tidak ada. 5. Ultrasonography mengkonfirmasikan diagnosis.

2.8.4 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan. Pada pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara (Moisseiev, et al, 2017) :

a. Scleral buckle

Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa terutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Tujuan skleral buckling adalah untuk melepaskan tarikan vitreus pada robekan retina, mengubah arus cairan intraokuler, dan melekatkan kembali retina ke epitel pigmen retina. Prosedur meliputi lokalisasi posisi robekan retina, menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan skleral buckle (sabuk). Pertama-tama dilakukan cryoprobe atau laser untuk memperkuat perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen retina. Sabuk dijahit mengelilingi sklera dengan jahitan tipe matras pada sklera, sehingga terjadi tekanan pada robekan retina sehingga terjadi penutupan pada robekan tersebut. Penutupan retina ini akan menyebabkan cairan subretinal menghilang secara spontan dalam waktu 1-2 hari.

20 b. Retinopeksi pneumatik

Retinopati pneumatik merupakan metode yang sering digunakan pada ablasio retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada bagian superior retina. Tujuan dari retinopeksi pneumatik adalah untuk menutup kerusakan pada retina dengan gelembung gas intraokular dalam jangka waktu yang cukup lama hingga cairan subretina direabsorbsi. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas (SF6 atau C3F8) ke dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina dan mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui robekan. Jika robekan dapat ditutupi oleh gelembung gas, cairan subretinal biasanya akan hilang dalam 1-2 hari. c. Vitrektomi

Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus atau perdarahan vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil pada dinding bola mata kemudian memasukkan instrumen pada ruang vitreous melalui pars plana. Setelah itu dilakukan vitrektomi dengan vitreous cutter untuk menghilangkan berkas badan kaca, membran, dan perlengketan- perlengketan. Teknik dan instrumen yang digunakan tergantung tipe dan penyebab ablasio.

2.8.5 Prognosis

Penatalaksanaan bedah berhasil pada 80% pasien ablasio retina. Hasil akhir perbaikan pada penglihatan tergantung dari beberapa faktor, misalnya keterlibatan makula. Dalam keadaan dimana ablasio telah melibatkan makula, ketajaman penglihatan jarang kembali normal. Lubang, robekan, atau tarikan baru mungkin terjadi dan menyebabkan ablasio retina yang baru. Suatu penelitian telah melaporkan bahkan setelah pemberian terapi preventif pada robekan retina, 5% - 9% pasien dapat mengalami robekan baru pada retina (Fraser & Steel 2010).

21 BAB III LAPORAN KASUS

Identitas : IKWW/ L/ 51 tahun/ 19003194 Alamat : Lombok

MRS : 20/03/2019

DPJP Bedah : dr. Putu Budhiastra, Sp. M DPJP Anestesi : dr. Gede Budiarta Sp. An

Diagnosis : OD Rhegmatogenous Retinal Detachment

Tindakan : OD Pro Scleral Buckle + Vitrectomi Pars Plana + EL + SO/Gas Status fisik : Status Fisik ASA I

Anamnesis :

Pasien datang dengan keluhan mata kana kabur sejak 2 bulan yang lalu setelah terkena percikan batu saat sedang memotong rumput dengan mesin potong rumput. Awalnya keluhan disertai mata bengkak hingga pasien tidak bisa membuka mata. Setelah bengkak berkurang dan mampu membuka mata pasien merasa pandangan mata kanannya kabur dan makin hari makin memburuk dan meneteap hingga saat ini. Pasien merupak seorang pelukis yang saat tidak dapat melukis akibat keluhannya.

Riwayat alergi tidak ada

Riwayat penyakit asma, Diabetes mellitus, hipertensi tidak ada Riwayat merokok, alcohol dan obat terlarang disangkal

Pemeriksaan Fisik:

BB: 83 kg TB: 170 cm BMI: 27,85 kg/m2 Suhu aksilla: 36,5 oC NRS diam: 0/10 NRS gerak: 0/10

Susunan saraf pusat : Compos mentis E4V5M6

Respirasi : Frekuensi nafas 14x/menit, vesikuler +/+, rhonki -/-. Wheezing -/-, SpO2 : 98% room air

22

2 tunggal regular, murmur (-) Abdomen : Bising usus (+) normal, distensi (-) Urogenital : BAK Spontan, tidak ada keluhan

Musculoskeletal : Fleksi defleksi leher baik, Mallampati II, gigi geligi utuh

Pemeriksaan Penunjang :

Darah Lengkap (28/02/2019) : WBC 10 x103/μL; HGB 13 g/dL; HCT 45 %; PLT 376 x103/μl

Faal Hemostasis (28/02/2019): PT 12,4 detik; aPTT 27,4 detik; INR 1

Kimia Klinik (28/02/2019) : SGOT 19,3 U/L (11-27), SGPT 21 U/L (11-34), BUN 15,7 mg/dl; SC 0,93 mg/dl; Na 136 mmol/L; K 4,36 mmol; Cl 94 mmol/L; GDS 75 mg/dl

Permasalahan Aktual: -

Permasalahan Potensial : • Okulokardiak refleks

• Instabilitas hemodinamik durante operasi

Kesimpulan : Status Fisik ASA I

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

Persiapan di Ruang Perawatan Evaluasi identitas penderita Persiapan Psikis • Anamnesis umum dan anamnesis khusus 


• Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang rencana anestesi 
yang akan dilakukan mulai di ruang penerimaan, ruang operasi sampai di ruang 
pemulihan.

23 Persiapan fisik 


• Puasa 8 jam sebelum operasi 


• Melepaskan perhiasan sebelum ke kamar operasi 
 • Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi 


• Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan penunjang • Memeriksa surat persetujuan operasi 


• Memasang iv line, cairan pengganti puasa dengan RL dengan tetesan 20 
tetes per menit 


Persiapan di ruang persiapan IBS 


• Periksa kembali catatan medik penderita, identitas, persetujuan operasi 
 • Tanyakan kembali persiapan yang dilakukan di ruang perawatan. 
 • Evaluasi ulang status present dan status fisik. 


• Penjelasan ulang kepada penderita tentang rencana anestesi. 
 Persiapan di Kamar Operasi 


• Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas. 
 • Menyiapkan monitor dan kartu anestesia. 
 • Mempersiapkan obat dan alat anestesia. 
 • Menyiapkan obat dan alat resusitasi. 
 • Evaluasi ulang status present penderita

Teknik Anestesi GA-OTT 


Pre medikasi : Dexamethason 10 mg IV, Diphenhydramine 10 mg IV, Midazolam 2 mg IV

Analgetik : Fentanyl 150 mcg IV

Fas. Intubasi : Atracurium 40 mg IV, Lidocaine 120 mg intratracheal Induksi : Propofol titrasi hingga pasien terhipnosis

Maintanance : O2, Compressed air, Sevoflurane Medikasi lain : Ondansetron 4 mg IV

24 Durante operasi:


Hemodinamik : TD 104-126/ 60-78; Nadi 60- 80x/menit; SpO2 98-100% Cairan masuk : RL 1000 cc


Cairan keluar : BAK 60 cc, perdarahan 20 cc
 Lama operasi : 1 jam

Pasca operasi


Analgetik : Morfin 20 mg dalam 20 cc NS via syringe pump dengan kecepatan 0,6 cc/jam dan paracetamol 1 gr tiap 8 jam IV


25 BAB IV DISKUSI KASUS

Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Pada ablasio retina regmatogenosa, terjadi robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid (Feltgen & Walter, 2014).

Ablasio retina ditandai dengan pasien mengeluhkan adanya benda melayang – layang, bisa juga mengeluhkan seperti melihat kilatan cahaya (fotopsi), dan terjadi penurunan tajam pengelihatan. Pada pasien ini mengeluhkan terjadi penurunan tajam penglihatan yang terjadi makin lama makin memberat hingga mengganggu aktivitas pasien sebagai pelukis. Keadaan ini juga tidak menimbulkan rasa sakit. Kehilangan penglihatan dapat tiba-tiba terjadi ketika kerusakannya sudah parah. Pasien biasanya mengeluhkan adanya awan gelap atau tirai di depan mata (Fraser & Steel 2010). Pada pasien ini tidak ada keluhan rasa nyeri seperti pada kasus – kasus lainnya. Selain itu perlu digali adanya faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya ablasio retina seperti adanya riwayat trauma, riwayat pembedahan sebelumnya, riwayat penyakit mata sebelumnya. Riwayat keluarga dengan sakit mata yang sama serta riwayat penyakit yang berhubungan dengan ablasio retina (diabetes mellitus, tumor, eklamsia, dan prematuritas) (Fraser & Steel 2010). Pada pasien ini faktor presdiposisi yang dimiliki yaitu riwayat trauma terkena batu saat memotong rumput dengan mesin potong rumput sehingga mata pasien menjadi bengkak dan tidak dapat membuka mata, saat bengkak mulai berkurang dan sudah bisa membuka mata pasien mengeluhkan pandangan kabur yang makin lama makin memberat tanpa disertai rasa nyeri.

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan visus dapat terjadi penurunan tajam penglihatan. Pada pasien ini didapatkan visus mata kanan pasien

26

menurun 2/60. Dilakukan pemeriksaan tekanan intaokular didapatkan normal 19/20. Pada pemeriksaan funduskopi telihat lipatan-lipatan halus akibat terlepasnya retina.

Pada pasien ini dilakukan OD Pro Scleral Buckle + Vitrectomi Pars Plana + EL + SO/Gas dengan Anestesi General dengan menggunakan obat – obatan seperti berikut:

Pre medikasi : Dexamethason 10 mg IV, Diphenhydramine 10 mg IV, Midazolam 2 mg IV

Analgetik : Fentanyl 150 mcg IV

Fas. Intubasi : Atracurium 40 mg IV, Lidocaine 120 mg intratracheal Induksi : Propofol titrasi hingga pasien terhipnosis

Maintanance : O2, Compressed air, Sevoflurane Medikasi lain : Ondansetron 4 mg IV

Yang perlu diperhatikan pada penggunaan anestesi general adalah efeknya pada tekanan intraokular, okulokardiak refleks maupun pada efek sistemik dari obat tersebut.

Midazolam adalah obat golongan benzodiazepin yang diberikan sebelum operasi untuk mengatasi rasa cemas, membuat pikiran dan tubuh menjadi rileks, serta menimbulkan rasa kantuk dan tidak sadarkan diri. Penelitian oleh Gobeaux dan Sardnal yang meneliti efek midazolam intravena pada TIO pada 30 pasien dewasa menemukan penurunan rata-rata TIO dari 17,1 menjadi 12,3 mmHg dalam 3 menit setelah pemberian midazolam. Namun, tidak ada kelompok kontrol yang dimasukkan. Virkkila et al dan Carter et al juga meneliti efek midazolam pada TIO pada pasien dewasa. Tidak ditemukan efek signifikan secara statistik dari midazolam pada TIO dalam penelitian mereka (Oberacher-Velten, et al, 2011).

Fentanyl merupakan obat golongan opioid sintetis yang digunakan sebagai analgesia (penghilang rasa nyeri). Fentanyl dipilih karena dapat memberikan analgesia yang baik, memiliki sedikit efek samping pada sirkulasi dan membantu mencegah batuk ketika selang ETT dilepas. Selain itu, fentanyl juga dilaporkan memiliki efek menurunkan TIO. Penelitian oleh Mostafa et al menemukan bahwa fentanyl menurunkan rata-rata nilai TIO sebesar 28,6 persen (kisaran 19,3-32

27

persen). Namun, fentanyl memiliki waktu paruh eliminasi yang lebih lambat daripada alfentanil dan dapat terjadi depresi napas selama waktu pemulihan (Mostafa, et al, 1983).

Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang seringkali dipilih untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal. Atracurium sebelumnya telah dilaporkan tidak memiliki efek signifikan pada TIO. Penelitian oleh Lavery et al menemukan bahwa tidak ada perubahan signifikan dalam TIO setelah administrasi atracurium. Pada pasien yang diberikan atracurium, TIO maksimum yang didapatkan setelah intubasi adalah 12,1 mmHg (tidak melebihi nilai pra-induksi 13,1 mmHg) dan TIO pada menit ke-1, ke-2 dan ke-3 setelah intubasi secara signifikan lebih rendah (p <0,01) dari pre induksi. Selain itu, penggunaan atracurium tidak terkait dengan efek kardiovaskular yang signifikan. Tidak ada perubahan signifikan dalam denyut jantung atau tekanan darah setelah pemberian atracurium (Lavery, et al, 1986).

Lidocaine merupakan obat anestesi lokal yang digunakan untuk anestesi pada kulit, jaringan subkutan, dan saraf perifer untuk prosedur pembedahan. Lidocaine merupakan golongan amino amide yang bekerja dengan memblok voltage – gate sodium channel yang mana mencegah influks dari sodium ke dalam sel sehingga memblok transmisi impuls. Pada beberapa studi didapatkan penggunaan obat – obatan anestesi lokal pada operasi mata seperti dengan teknik blok retrobulbar maupun peribulbar didapatkan terjadi peningkatan tekanan intraokular sebanyak 5,8 mmHg pada semenit setelah injeksi (O’ Donoghue, et al, 2004).

Propofol merupakan obat anestesi intravena yang digunakan sebagai agen induksi pada anestesi general. Mekanisme dari propofol ini masih sedikit diketahui namun diperkirakan efeknya berhubungan dengan GABA – mediated chloride channel pada otak dengan cara mengurangi disosiasi dari reseptor GABA pada otak sehingga menimbulkan efek penghambat untuk neurotransmitter, hal ini menyebabkan terbukanya channel chloride untuk waktu yang lebih lama sehingga meningkatkan konduksi klorida melewati neuron akibatnya terjadi hiperpolarisasi dari membrane sel sehingga mempersulit lewatnya aksi potensial

28

(Folino dan Parks, 2018). Pada operasi mata perlu diperhatikan efek dari propofol terhadap tekanan intraokular, relfeks okulokardiak, maupun efek sistemiknya. Telah dilakukan penelitian penggunaan propofol selama induksi anestesi, dan didapatkan pada pasien yang mendapatkan propofol mengalami penurunan tekanan intraokular sebanyak 50%, dan pada efek lainnya didapatkan juga terjadi penurunan tekanan darah sebanyak 15% pada penggunaan propofol (Leveque, et al, 2007).

Sevoflurane merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap dengan bau yang khas yang biasa digunakan dalam maintenance anestesia. Sevoflurane memiliki efek mengurangi ventilasi pada sistem respirasi sehingga menyebabkan apneu pada konsentrasi 1,5 dan 2,0. Depresi dari ventilasi ini akibat kombinasi dari depresi pada saraf pernapasan dan depresi pada fungsi dan kontraktilitas diafragma. Sevoflurane juga menurunkan tekanan darah dan menyebabkan vasodilatasi cerebri tanpa meningkatkan tekanan intrakranial (Hert & Moerman, 2015). Pada beberapa penelitian dalam penggunaan sevoflurane pada operasi mata didapatkan sevofulrane tidak mempengaruhi tekanan intraokular (Jong, et al, 2013). Selain itu dilaporkan juga pada suatu studi didapatkan di bawah pengaruh obat sevoflurane kejadian dari okulokardiak relfeks menurun sebanyak 14% dari seluruh kasus (Goerlich, et al, 2000).

29 BAB V KESIMPULAN

Terdapat dua teknik anestesi yang umum dilakukan pada operasi mata, yaitu anestesi general dan anestesi regional. Anestesi regional lebih dipilih dibandingkan anestesi general. Namun untuk pasien yang tidak kooperatif dan prosedur operasi yang lama, anestesi general menjadi pilihan. Pada penggunaan anestesi general perlu diperhatikan efek obat pada tekanan intraokular, refleks okulokardiak, maupun efek sistemik dari obat tersebut. Pada kasus dengan diagnosis RRD dilakukan anestesi general menggunakan obat-obatan yang terbukti tidak meningkatkan tekanan intraocular dan tidak menimbulkan reflex okulokardiak.

30

Dokumen terkait