i
LAPORAN KASUS
PRINSIP – PRINSIP DASAR MANAJEMEN ANESTESI
PADA OPERASI MATA
Oleh:
dr. Ida Bagus Gde Sujana,SpAn,M.Si
PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR GAMBAR ... iii
DAFTAR TABEL ... iv
ABSTRACT ... v
ABSTRAK ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Anatomi Mata... 3
2.2 Tekanan Intraokular ... 4
2.3 Refleks Okulokardiak... 7
2.4 Ekspansi Gas Intraokular ... 7
2.5 Efek Sistemik Obat-Obatan Oftalmik ... 9
2.6 Anestesi General Pada Operasi Mata ... 10
2.7 Anestesi Regional Pada Operasi Mata ... 12
2.8 Ablasio Retina Regmatogenosa ... 17
BAB III LAPORAN KASUS ... 21
BAB IV DISKUSI KASUS ... 25
BAB V KESIMPULAN ... 29
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Blok Retrobulbar ... 15 Gambar 2.2 Blok Peribulbar ... 16 Gambar 2.3 Blok Sub-Tenon ... 17
iv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Efek Obat – Obat Anestesi pada Tekanan Intraokular ... 6
v ABSTRACT
Ophthalmic surgery have their own unique problems including the regulation of Intraocular pressure, intraocular gas expansion, preventing oculocardiac reflex, how to manage the consequences, also the management of the systemic effect. There are two anaesthesia technique commonly used during ophthalmic surgery, general anaesthesia and regional anaesthesia. Ophthalmic surgery also give the anaesthesiologist some unique challenges like, regulation of Intraocular pressure and how to prevent and manage the pressure if it was raised during the surgery, also to prevent the oculocardiac reflex. In this section we will learn about general, regional, and local anaesthesia technique, also sedation used in ophthalmic surgery because all of that will affect post operation outcome.
In this male patient, 51 years old diagnosed with OD Rhegmatogenous Retinal Detachment have been done OD Pro Scleral Buckle + Vitrectomy Pars Plana + EL + SO/Gas with general anaesthesia technique. Some anaesthesia medication such as, Midazolam, Fentanyl, Atracurium, Lidocaine, Propofol, and Sevoflurane proofed didn’t increase intraocular pressure and eliciting oculocardiac reflex.
Keywords: Anaesthesia Technique for Ophthalmic Surgery, General Anaesthesia, Regional Anaesthesia
vi ABSTRAK
Operasi mata memiliki masalah tersendiri yang unik termasuk regulasi dari tekanan intraokular, pengaturan ekspansi gas intraokular, pencegahan refleks okulokardiak dan manajemen konsekuensinya, manajemen efek sistemik obat mata. Teknik anestesi yang umum dilakukan pada operasi mata yaitu anestesi general dan anestesi regional. Operasi mata merupakan tantangan yang unik untuk anestesi, termasuk regulasi tekanan intraokuler (TIO), pencegahan dan pengelolaannya, serta refleks okulokardiak (OCR). Untuk dapat memhami komplikasi potensial yang dapat ditimbulkan, sangat penting untuk memahami teknik anestesia umum, regional, lokal, dan sedasi untuk operasi mata akan mempengaruhi outcome pre operasi.
Pada pasien laki – laki berusia 51tahun dengan diagnosis OD Rhegmatogenous Retinal Detachment telah dilakukan OD Pro Scleral Buckle + Vitrectomi Pars Plana + EL + SO/Gas dengan teknik anestesi general. Beberapa obat anestesi seperti Midazolam, Fentanyl, Atracurium, Lidocaine, Propofol, dan Sevoflurane terbukti tidak meningkatkan tekanan intraocular dan tidak menimbulkan reflex okulokardiak.
Kata kunci: Teknik Anestesi pada Operasi Mata, Anestesi General, Anestesi Regional
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Operasi mata memiliki masalah tersendiri yang unik termasuk regulasi dari tekanan intraokular, pengaturan ekspansi gas intraokular, pencegahan refleks okulokardiak dan manajemen konsekuensinya, manajemen efek sistemik obat mata, dan penggunaan sedasi ringan maupun sedang. Pemilihin penggunaan obat – obatan anestesi menimbulkan tantangan tersendiri bagi para anestisiologis dalam anestesi pada operasi mata. Selain itu terdapat dua teknik anestesi yang umum dilakukan pada operasi mata yaitu anestesi general dan anestesi regional. Pemilihan teknik anestesi berdasarkan keperluan dari operator dan untuk menjaga kenyamanan dari pasien saat pembedahan. Tidak hanya itu, faktor – faktor lain juga harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan teknik anestesi dan penggunaan obat – obatannya karena operasi pada mata memiliki keunikan tersendiri.
Anestesi general digunakan pada sekitar 35% kasus operasi mata, dimana kebanyakan pada operasi retina yang lama dan operasi strabismus pada anak-anak. Indikasi dari anestesi general ini diantaranya pasien tidak kooperatif, operasi mata yang tidak boleh ada gerakan (akinesia), prosedur operasi lama (lebih dari 3-4 jam), daerah operasi tidak memungkinkan untuk dilakukan anestesi regional, lokal maupun topikal. Masalah mana yang lebih aman antara anestesi general dan anestesi regional masih menjadi perdebatan. Kedua teknik ini menunjukkan tidak ada perbedaan pada post operasi dalam hal ingatan pasien, fungsi kognitif dan saturasi oksigen (Basta, 2008).
Operasi mata merupakan tantangan yang unik untuk anestesi, termasuk regulasi tekanan intraokuler (TIO), pencegahan dan pengelolaannya, serta refleks okulokardiak (OCR). Pemahaman tentang mekanisme dan pengelolaan potensi masalah ini dapat mempengaruhi hasil pembedahan (Morgan, et al, 2013).
Refleks okulokardiak merupakan refleks trigeminovagal dengan manifestasi aritmia jantung yang dapat berupa bradikardia, denyut jantung
2
ektopik, ventrikuler takikardia, atau asistol yang dapat menjadi berbahaya bila tidak diantisipasi dan ditangani dengan segera. Insidensi OCR paling sering terjadi pada operasi strabismus pada anak-anak juga pada operasi retina dan operasi non mata yang mengakibatkan penekanan atau tarikan pada bola mata (Feldman, 2010; Allison, 2000).
Untuk dapat memhami komplikasi potensial yang dapat ditimbulkan, sangat penting untuk memahami teknik anestesia umum, regional, lokal, dan sedasi untuk operasi mata akan mempengaruhi outcome pre operasi.
3 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI MATA
Bola mata mempunyai diameter sekitar 24 mm. Bola mata bersama ligamentum, fascia, dan otot-otot ekstra okuler berada dalam ruang orbita yang berbentuk seperti piramida yang tersusun atas tulang frontalis, zygomaticum, sphenoidalis, maksilaris, palatinus, lakrimalis, dan ethmoidalis. Bagian tepi atas orbita ada lekukan atau kanal dekat akhir medial untuk transmisi syaraf supra orbita dan foramen di bawah tepi bagian bawah untuk transmisi syaraf infraorbita. Penunjuk ini digunakan untuk prosedur blok retrobulber, peribulber atau teknik blok yang lain dan untuk injeksi obat anestesi lokal yang akan memblok di daerah syaraf tersebut (Feldman, 2010; McGoldrick, 2006).
Bola mata terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Lapisan paling luar fibrosa sklera yang berhubungan ke depan dengan kornea dan keduanya ditutup oleh konjunctiva yang merupakan permukaan dalam dari pelpebra. Fungsi dari sklera sebagai proteksi, memberikan rigiditas untuk memberi bentuk bola mata,
2. Lapisan tengah yaitu lapisan vaskuler tersusun oleh koroid di bagian posterior, badan silier dan iris di bagian anterior,
3. Lapisan dalam syaraf retina (McGoldrick, 2006; Feldman, 2010).
Struktur penting lainnya yang mengelilingi bola mata adalah otot-otot ekstraokuler. Gerakan bola mata dimungkinkan dengan adanya otot-otot bola mata yang terdiri dari :
1. Muskulus rektus medialis, 2. Muskulus rektus lateralis, 3. Muskulus rektus superior, 4. Muskulus rektus inferior, 5. Muskulus oblikus superior, 6. Muskulus oblikus inferior.
4
Keempat muskulus rektus berorigo pada anulus fibrosus pada apeks orbita dan insersionya pada sklera membentuk ruangan berupa konus otot berisi syaraf, arteri dan vena (Feldman, 2010).
Otot-otot bola mata mendapatkan persyarafan dari nervus kranialis adalah sebagai berikut :
1. Nervus okulomotorius (N III) mempersyarafi : muskulus rektus medialis, muskulus rektus superior, muskulus rektus inferior, muskulus oblikus inferior dan muskulus levator palpebra superior,
2. Nervus troklearis (N IV) bersifat motorik mempersyarafi muskulus oblikus superior,
3. Nervus abdusens (N VI) bersifat motorik mempersyarafi muskulus rektus lateralis (Feldman, 2010; Basta, 2008).
2.2 TEKANAN INTRAOKULAR 2.2.1 Fisiologi Tekanan Intraokular
Mata merupakan organ berbentuk bulat dengan dinding yang kaku. Jika konten dari mata tersebut meningkat, maka tekanan intraokular akan meningkat yang mana rentang normalnya antara 12mmHg – 20 mmHg. Contohnya pada kasus glaukoma yang disebabkan oleh obstruksi aliran keluar dari aqueous humor. Sama halnya dengan peningkatan volume darah intraokular akan meningkatkan tekanan intraokular. Peningkatan pada tekanan pembuluh darah vena akan meningkatkan tekanan intraokular karena dapat mengurangi drainase dari aqueous humor dan meningkatkan volume darah koroid. Perubahan ekstrim pada tekanan darah arteri dan ventilasi juga dapat mempengaruhi tekanan intraokular. Beberapa kejadian seperti laringoskopi, intubasi, dan obstruksi airway, batuk, dan posisi Trendelenburg juga dapat mempengaruhi tekanan intraokular.
Mengurangi ukuran dari bola mata tanpa merubah volume dari kandungan bola mata juga dapat meningkatkan tekanan intraokular. Tekanan pada mata akibat penggunaan topeng yang ketat, posisi telentang, dan perdarahan retrobulbar juga dapat meningkatkan tekanan intraokular.
5
Tekanan intraokular dapat berfungsi untuk mempertahakan bentuk dan fungsi optikal dari mata. Perubahan variasi normal dari tekanan bola mata masih dapat ditoleransi oleh kondisi mata yang normal. Contohnya pada saat berkedip akan meningkatkan tekanan intraokular sebanyak 5 mmHg, dan menyipitkan mata akibat dari kontraksi dari otot orbicularis oculi, dapat meningkatkan tekanan intraokular hingga lebih dari 50mmHg. Walaupun terjadi peningkatan tekanan intraokular sementara pada pasien dengan tekanan arteri oftalmikus yang rendah contohnya pada pasien dengan hipotensi, arteriosklerosis pada arteri retina dapat memperngaruhi perfusi retina dan dapat menyebabkan iskemik. Ketika bola mata dibuka saat insisi pada operasi atau pada trauma perforasi, tekanan intraokular berhubungan dengan tekanan atmosfer. Berbagai factor yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular pada kondisi bola mata terbuka dapat menyebabkan drainase aqueous humor atau ekstrusi dari cairan vitrous melalui daerah luka yang dapat menyebabkan komplikasi yang serius hingga terjadi penurunan penglihatan yang permanen (Morgan, et al, 2013).
2.2.2 Efek Obat Anestesi pada Tekanan Intraokular
Kebanyakan obat – obatan anestesi menurunkan tekanan tekanan intraokular atau bahkan tidak memberikan efek apapun (tabel 2.1). Obat anestasi inhalasi menurukan tekanan intraokular pada dosis yang digunakan untuk anestesi dalam. Penurunan tekanan intraokular ini memiliki beberapa efek, yaitu penurunan tekanan darah mengurangi volume koroid, relaksasi tekanan dinding otot ekstraokuli bawah, dan konstriksi pupil yang melancarkan aliran dari aqueous humor. Obat – obatan anestsi intravena juga dapat menurunkan tekanan intraokular, kecuali ketamine, yang mana dapat meningkatkan tekanan darah arteri dan tidak memiliki efek relaksasi otot ekstraokuli.
Penggunaan obat antikolinergik topikal menyebabkan dilatasi pupil (midriasis), yang man adapt menyebabkan atau memperburuk glaukoma sudut tertutup. Penggunaan atropine dan glikopirolate sistemik untuk premedikasi tidak ada hubungan dengan hipertensi intraokular, bahkan pada pasien dengan glaukoma. Penggunaan Susinilkolin dapat meningkatkan tekanan intraokular 5 –
6
10 mmHg pada 5 – 10 menit pasca pemberian, hal ini terjadi akibat kontraksi otot – otot ekstraokuli yang lama. Meski demikian, terdapat penelitian yang dilakukan pada 1000 pasien dengan cidera mata tebruka, tidak ada yang mengalami ektrusi isi dari bola mata pasca pemberian Susinilkolin. Tidak seperti otot lainnya, otot – otot ekstraokuli mengandung miosit dengan neuromuscular junction yang multiple, dan derpolarisasi berulang sel miosit oleh pemberian Susinilkoline menyebabkan kontraksi yang berkepanjangan. Akibat dari peningkatan tekanan intraokular dapat menimbulkan beberapa efek. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan tekanan intraokular palsu pada pasien glaukoma dibawah pengaruh obat anestesi sehingga berpotensi menyebabkan pembedahan yang tidak diperlukan Nondepolarizing Neuromuscular Blockers (NMBs) tidak menyebabkan peningkatan tekanan intraocular (Morgan, et al, 2013).
Tabel 2.1. Efek Obat – Obat Anestesi pada Tekanan Intraokular (Morgan, et al, 2013).
Jenis Obat Efek pada TIO
Anestesi inhalasi • Agen volatile • Nitrous Oxide Anestesi intravena • Propofol • Benzodiazepines • Ketamine • Opioids ? Muscle relaxants • Susinilkoline • Nondepolarizers -/
7 2.3 REFLEKS OKULOKARDIAK
Traksi pada otot – otot ekstraokuli, tekanan pada bola mata, dan pemberian blok retrobulbar, dan trauma pada mata dapat menimbulkan disaritmia jantung yang bervariasi dari bradikardi dan ventricular ektopi hingga sinus arrest atau ventricular fibrilasi. Refleks ini terdiri dari aferen trigeminus (V1) dan jalur eferen Vagal. Refleks okulokardiak paling sering terjadi pada pasien pediatri dengan operasi strabismus. Meski demikian refleks ini dapat terjadi pada berbagai kelompok usia dan pada saat dilakukan prosuder pada mata, termasuk ekstraksi katarak, enukleasi, dan perbaikan retinal detachment. Pada pasien sadar, relfeks okulokardiak dapat disertai dengan mual.
Pengunaan propilaksis untuk reflek okulokardiak masih kontroversial. Obat – obatan antikolinergik terkadang cukup membantu mengurangu refkeks okulokardiak, dan penggunaan atropine dan glikopirolate intravena sebelum pembedahan lebih efektif daripada premedikasi intramuscular. Meski demikian, penggunaan antikolinergik harus hati – hati pada pasien dengan atau mungkin memiliki penyakit jantung coroner karena berpotensi meningkatkan heart rate yang dapat menginduksi iskemik miokard. Vntrikular takikardi dan ventikular fibrilasi pasca pemberian antikolinergik juga telah dilaporkan terjadi. Retrobulbar Blockade atau anestesi dalam dengan inhalasi juga dapat mencetuskan refleks okulokardiak.
Tatalaksana jika terjadi refleks okulokardiak, yaitu: 1. Segera beritahu operator dan hentikan sementara stimulasi operasi hingga heart rate meningkat; 2. Konfirmasi ventilasi, oksigenasi, dan kedalaman anestesi yamg adekuat; 3. Pemberian atropine intervena (10 mcg/kg) jika bradikardi menetap; dan 4. Jika masih menetap, infiltrasi dari otot rektus dengan anestesi lokal. Refleks lama kelamaan akan hilang akibat kelelahan dari otot – otot ekstraokuli (Morgan, et al, 2013).
2.4 EKSPANSI GAS INTRAOKULAR
Gelembung gas diinjeksikan oleh ophthalmologist ke dalam posterior chamber pada operasi vitreous. Injeksi udara intrevetreal cenderung memipihkan
8
retina yang lepas dan mengekibatkan penyembuhan secara anatomis. Gelembung udara dapat diabsobsi dalam 5 hari melalui difusi gradual melewati jaringan terdekat menuju pembuluh darah. Ukuran gelembung akan meningkat apabila dilakukan pemberian nitrous oxide karena 35 kali lebih larut daripada nitrogen yang ada di darah. Jika terjadi pengembangan gelembung saat mata tertutup akan terjadi peningkatan tekanan intraokular.
Sulfur hexaflurida merupakan gas yang memiliki kelarutan pada darah yang lebih rendah dibandingkan nitrogen dan kelarutannya lebih rendah dibandingkan nitrous oxide. Durasi aksinya yang lebih panjang hingga 10 hari dibandingn gelembung udara biasa memiliki efek terapi yang lebih menguntungkan. Meskipun injeksi Sulfur hexaflurida dengan volume yang tinggi menyebabkan ekspansi gelembung secara perlahan tidak menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. Jika pasien menghirup nitrous oxide, gelembung akan ekspansi dengan cepar dan menyebabkan hipertensi intraokular. Inspirasi 70% konsentrasi dari nitrous oxide hampir meningkatkan ekspansi gelembung berukuran 1- mL sebenyak 3 kali dan dapat meningkatkan tekanan intraokular 2 kali lipat saat mata tertutup dalam 30 menit. Penghentian penggunaan nitrous oxide menyebabkan reabsorbsi gelembung yang menyebabkan terjadi pencampuran nitrous oxide dan sulfur hexaflurida. Penurunan tekanan intraokular yang mendadak dapat menyebabkan terjadinya retinal detachment.
Komplikasi yang melibatkan ekspansi gas gelembung dapat dihindari dengan penghentian penggunaan nitrous oxide selama 15 menit sebelum injeksi udara atau sulfur hexaflurida, atau dengan menghindari penggunaan nitrous oxide. Waktu yang diperlukan untuk mengeliminasi nitrous oxide dari darah dipengaruhi beberapa faktor termasuk aliran udarah segar, dan kemampuan ventilasi alveolar. Anestesi dalam harus dipertahankan dengan agen anestesi pengganti. Nitrous oxide harus dihindari hingga gelembung diabsorbsi selama 5 hari pasca injeksi udara dan 10 hari pasca injeksi sulfur hexaflurida . Banyak ophthalmologist meminta untuk tidak menggunakan nitrous oxide (Morgan, et al, 2013).
9
2.5 EFEK SISTEMIK OBAT – OBATAN OFTALMIK
Obat tetes mata topikal akan diabsorbsi secara sistemik melalui pembuluh darah di kantong konjungtiva dan mukosa duktus nasolakrimalis. Satu tetes (biasanya sekitar 1/20mL) dari 10% Phenylephrine mengandung sekitar 5 mg obat. Apabila dibandingkan dengan dosis intravena dari Phenylephrine (0,05 – 0,1 mg) yang digunakan untuk mengobati pasien dewasa dengan hipertensi. Medikasi yang diberikan secara topikal ke mukosa diabsorbsi secara sistemik dengan laju absorbsi menengah jika dibandingkan dengan laju absorbsi setelah injeksi intravena dan injeksi subkutan (dosis toksis Phenylephrine pada pemberian subkutan yaitu 10 mg). Anak – anak dan orang tua memiliki risiko terkena efek toksik terhadap medikasi topikal dan harus diberikan setidaknya cairan Phenylephrine 2,5%. Namun, kelompok usia ini merupakan yang paling banyak dalam kasus operasi mata.
Echotiophate merupakan cholinesterase inhibitor yang irreversible yang digunakan pada pasien glaukoma. Pemberian secara topikal menyebabkan absorbsi sistemik dan mengurangi reaksi kolinesterase plasma. Oleh karena Susinilkolin dimetabolisme oleh enzim ini maka pemberian bersamaan dengan Echotiophate akan memperpanjang durasi aksinya. Paralisis biasanya tidak lebih dari 20 – 30 menit, meski demikian, apnea pasca operasi jarang dijumpai. Inhibisi dari aktivitas kolinesterase bertahan selama 3 – 7 minggu pasca pemberhentian penggunaan Echotiophate. Efek samping muskarinik, seperti bradikardi selama induksi, dan dapat dicegah dengan pemberian obat aintikolinergik intravena (seperti, atropine, glycopyrolate).
Obat tetes mata Ephinephrine dapat menyebabkan hipertensi, takikardi, dan disaritmia ventrikel yang mana efek disaritmogenik yang dipotensikan oleh halothane. Pemberian Ephinephrine langsung pada bilik mata depan tidak ada hubungannya dengan kejadian toksisitas kardiovaskular.
Timolol, merupakan nonselective β-adrenergic antagonist, menurukan tekanan intraokular dengan menurunkan produksi aqueous humor. Timolol topikal umumnya digunakan pada pasien glaukoma, namun terkadang dapat menurukan heart rate. Pada beberapa kasus, namun jaran, dikatakan ada asosiasi dengan
10
atropine resistant bradikardi, hipotensi, dan bronkospasme selama anestesi umum (Morgan, et al, 2013).
2.6. ANESTESI GENERAL PADA OPERASI MATA
Pemilihan antara anestesi umum dan lokal harus diputuskan bersama pasien, anestesiologis, dan operator. Belum ada kesimpulan prosedur mana yang lebih aman. Anestesi lokal dapat menyebabkan ketakutan pasien karena tetap sadar selama operasi atau nyeri yang tidak tertangani secara adekuat. Anestesi umum diindikasikan untuk pasien yang tidak kooperatif, karena gerakan kepala sedikit saja dapat berbahaya pada pembedahan mikro, dan pada tehnik pembedahan dimana anestesi lokal dikontraindikasikan (Morgan, et al, 2013). 2.6.1 Premedikasi
Pasien yang akan menjalani pembedahan mata dapat beragam, khususnya yang akan menjalani prosedur multipel dan kemungkinan terjadi kebutaan permanen. Pasien dewasa seringkali tua dengan berbagai penyakit sistemik (hipertensi, DM, penyakit arteri koroner). Semua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat premedikasi (Morgan, et al, 2013).
Pada pasien pediatrik dengan kelainan mata kongenital sering diikuti dengan kelainan kongenital organ lain dan memerlukan penanganan khusus (Feldman, 2010).
Premedikasi yang ideal harus bisa mengendalikan ansietas dan PONV tanpa mempengaruhi TIO. Tidak ada bukti pemberian atropin i.m. akan meningkatkan TIO, meskipun pada pasien glaukoma. Benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam adalah ansiolisis yang efektif serta mempunyai kemampuan amnestik. Tetapi harus dihindari dosis yang besar karena dapat menyebabkan midriasis, hal ini harus dihindari pada pasien glaukoma sudut sempit. Midazolam 2-4 mg i.m.30 menit preoperatif atau 1-2 mg i.v. segera sebelum retrobulber blok atau sebagai alternatif diazepam 5-10 mg p.o. 1 jam preoperatif bisa digunakan dan sangat efektif digunakan (Wu, 2007).
Narkotik, jika digunakan harus diberikan dengan kombinasi antiemetik seperti promethazine (phenergan), hidroksizin (vistaril), atau droperidol.
11
Barbiturat memberikan tingkat sedasi yang bervariasi dengan durasi yang panjang tetapi tidak memberikan analgesia, amnesia, atau pengendalian ansietas (Wu, 2007).
2.6.2 Induksi
Pemilihan tehnik induksi untuk operasi mata biasanya tergantung lebih ke arah kondisi medis pasien daripada penyakit matanya atau tipe pembedahannya. Pengecualian pada pasien ruptur bole mata yang kuncinya adalah menjaga TIO dengan induksi yang smooth. Batuk selama intubasi harus dihindari dengan anestesi yang dalam dan paralisis yang cukup. Respon TIO terhadap laringoskopi dan intubasi endotrakeal dapat dihindari dengan pemberian lidokain i.v. 1,5 mg/kg atau fentanyl 3-5 g/kg. Pelumpuh otot non depolarisasi bisa digunakan untuk menggantikan suksinilkolin (Morgan, et al, 2013; Wu, 2007; Feldman, 2010). 2.6.3 Monitoring dan Maintenance
Operasi mata sering menjauhkan anestesiologis dari airway pasien. Membuat pulse oksimetri sangat dibutuhkan untuk pemantauan. Monitoring sirkuit dari kebocoran atau ekstubasi yang tidak disengaja sangat penting. Kemungkinan kinking atau obstruksi ET bisa diminimalisir dengan menggunakan reinforced ET atau preformed right angle ET. Kemungkinan disritmia karena OCR membutuhkan monitoring EKG. Pada anak suhu sering meningkat selama operasi mata karena penutupan dari kepala sampai ujung kaki (Morgan, et al, 2013; Lentschener, 2002).
Nyeri dan stress oleh pembedahan mata termasuk lebih sedikit dibandingkan pembedahan intra abdominal. Kurangnya stimulasi kardiovaskuler dan kebutuhan untuk anestesi yang adekuat dapat berakibat hipotensi pada pasien tua. Problem ini dapat dihindari dengan memberikan hidrasi i.v. yang adekuat serta memberikan efedrin dosis kecil 2-5 mg atau memantapkan paralisis intraoperatif dengan pelumpuh otot non depolarisasi yang memungkinkan level anaestesi yang lebih ringan (Morgan, et al, 2013).
12
Muntah akibat stimulasi vagal merupakan masalah post operatif yang umum khususnya setelah operasi strabismus. Efek valsava dan peningkatan CVP yang menyertai muntah dapat merugikan pembedahan dan meningkatkan resiko aspirasi. Pemberian metoklopramid intraoperatif 10 mg pada dewasa atau dosis kecil droperidol 20 g/kg akan berguna. Ondansetron karena mahal diberikan khusus pada pasien yang mempunyai riwayat mual muntah post operatif (Morgan, et al, 2013; Madan, 2005; Welters, 2000).
2.6.4 Ekstubasi dan Pemulihan
Walaupun materi untuk penjahitan modern dan tehnik penutupan luka mengurangi resiko dehisensi, pemulihan yang smooth tetap dibutuhkan. Batuk selama ekstubasi dapat dicegah dengan ekstubasi selama pasien masih teranestesi dalam. Pada saat operasi berakhir obat pelumpuh otot direverse dan nafas spontan akan kembali. Agen anestesi diteruskan selama penyedotan jalan nafas, N2O dihentikan dan lidokain i.v. 1,5 mg/kg dapat diberikan untuk menumpulkan refleks batuk. Ekstubasi membutuhkan waktu 1-2 menit setelah lidokain diberikan dan selama respirasi spontan 100% oksigen. Kontrol airway yang tepat sangat penting sampai refleks batuk dan menelan kembali. Tetapi tehnik ini tidak tepat untuk pasien dengan resiko aspirasi (Morgan, et al, 2013; Wu, 2007; Feldman, 2010).
Nyeri post operatif yang berat tidak lazim pada operasi mata. Skleral buckling, enukleasi, dan repair ruptur bola mata merupakan prosedur yang paling menyakitkan. Dosis kecil narkotik i.v. dapat diberikan (mis. 15-25 mg meperidin untuk dewasa) biasanya cukup. Nyeri yang berlebihan merupakan tanda hipertensi intraokuler, abrasi kornea, atau komplikasi pembedahan yang lain (Morgan, et al, 2013).
2.7 ANESTESI REGIONAL PADA OPERASI MATA
Beberapa pilihan teknik anestesi regional yang umum digunakan untuk operasi mata antara lain anestesi topikal, blok retrobulbar, blok peribulbar, dan blok sub-Tenon. Semua teknik anestesi ini paling sering dikombinasikan dengan sedasi intravena. Pada operasi mata, anestesi lokal lebih dipilih dibandingkan
13
anestesi umum karena anestesi lokal menyebabkan gangguan fisiologis yang lebih minimal dan kemungkinan terjadinya PONV (Postoperative Nausea and Vomiting) lebih kecil. Namun, prosedur blok kemungkinan tidak memberikan akinesia atau analgesia mata yang memadai. Beberapa pasien mungkin tidak dapat berbaring diam selama operasi. Untuk alasan ini, peralatan yang tepat dan personel yang memadai untuk menginduksi anestesi umum harus tersedia (Morgan, et al, 2013).
2.7.1 Anestesi Topikal
Anestesi lokal telah digunakan sebagai metode utama untuk memfasilitasi kondisi bebas nyeri pada operasi katarak di Inggris. Beberapa obat yang digunakan termasuk oxybuprocaine 0,4%, proxymetacaine 0,5%, tetracaine 0,5%, atau lidocaine 3,5% dan dapat diberikan dalam bentuk tetes atau gel (Tighe, et al, 2012).
Mata disiapkan dengan mengaplikasikan beberapa tetes anestesi lokal ke dalam kantung konjungtiva, 5-10 menit sebelum operasi. Anestesi topikal bekerja dengan cara memblokir cabang terminal dari saraf trigeminal di kornea dan konjungtiva saja, sehingga tidak memberikan anestesi ke struktur intra-okuler atau akinesia bola mata. Nyeri yang dirasakan pasien selama pemberian anestesi topikal bersifat minimal, namun pasien kadang mengeluh nyeri intra-operatif melalui rute ini. Kerusakan epitel kornea dapat terjadi karena paparan anestesi lokal (paling sering dengan tetracaine), namun biasanya bersifat reversibel dan jarang menyebabkan keratopati (Tighe, et al, 2012).
2.7.2 Blok Retrobulbar
Atkinson pada tahun 1936 adalah orang yang pertama kali menjelaskan teknik anestesi retrobulbar secara rinci, meskipun sebelumnya pernah diutarakan oleh Knapp pada tahun 1884. Dalam teknik ini, anestesi lokal disuntikkan ke belakang mata ke dalam konus yang dibentuk oleh otot ekstraokuler. Jarum tipe 25 ditusukkan pada kelopak mata bawah perbatasan pertengahan dan 1/3 lateral orbita (biasanya 0,5 cm medial ke lateral kantus). Pasien diintruksikan agar melihat ke supranasal pada saat jarum ditusukkan 3,5 cm di bagian apex otot
14
konus. Setelah dilakukan aspirasi untuk menghindari injeksi intravaskuler, 3-5 mL anestesi lokal diinjeksikan dan jarum dilepaskan. Pemblokan nervus fasialis diperlukan untuk mencegah pasien berkedip. Pemilihan anestesi lokal bervariasi, tetapi lidokain 2% dan bupivakain 7,5% paling banyak digunakan. Penambahan epinefrin (1: 200.000 atau 1: 400.000) dapat mengurangi perdarahan dan memperpanjang anestesi. Hyaluronidase (3 - 7 U / mL), hidroliser polisakarida jaringan ikat, sering ditambahkan untuk meningkatkan penyebaran retrobulbar anestesi lokal. Temperatur obat anestesi yang diberikan diupayakan sesuai dengan suhu tubuh, untuk mengurangi efek nyeri maupun rasa tidak nyaman saat disuntikkan (Morgan, et al, 2013).
Keberhasilan blok retrobulbar dihubungkan dengan adanya anestesi, akinesia, dan mencegah refleks okulosefalik. Jumlah cairan anestesi yang disuntikkan pada anestesi retrobulbar tidak perlu terlalu banyak, yaitu cukup 3,5 mL sudah memberikan hasil anestesi dan akinesia yang baik. Anestesi retrobulbar yang baik akan mulai memberikan efek anestesi dalam waktu 4-5 menit, dan lamanya anestesi mencapai puncak sekitar 1-2 jam, dimana efek anestesi akan berangsur-angsur menurun selama 4 jam (Tighe, et al, 2012).
Komplikasi injeksi retrobulbar anestesi lokal meliputi perdarahan retrobulbar, perforasi bola mata, atrofi saraf optik, injeksi intravaskular dengan kejang yang dihasilkan, refleks okulokardiak, blok saraf trigeminal, henti pernapasan, dan jarang menimbulkan edema paru neurogenik akut. Injeksi kuat anestesi lokal ke dalam arteri ophthalmic menyebabkan aliran retrograde ke otak dan dapat menyebabkan kejang seketika. Sindrom apnea blok postretrobulbar mungkin disebabkan oleh injeksi anestesi lokal ke dalam selubung saraf optik, dengan penyebaran ke cairan serebrospinal. Sistem saraf pusat terpapar pada anestesi lokal konsentrasi tinggi, yang menyebabkan perubahan status mental yang mungkin termasuk tidak sadar. Apnea terjadi dalam 20 menit dan sembuh dalam satu jam. Pengobatan bersifat suportif, dengan ventilasi tekanan positif untuk mencegah hipoksia, bradikardia, dan henti jantung. Kecukupan ventilasi harus terus dipantau pada pasien yang telah menerima anestesi retrobulbar. Injeksi retrobulbar biasanya tidak dilakukan pada pasien dengan gangguan perdarahan
15
karena risiko perdarahan retrobulbar, miopia ekstrem karena bola mata yang memanjang meningkatkan risiko perforasi, atau cedera mata terbuka karena tekanan dari menyuntikkan cairan di belakang mata dapat menyebabkan ekstrusi dari isi intraokular melalui luka (Morgan, et al, 2013).
Gambar 2.1 Blok Retrobulbar (Morgan, et al, 2013)
2.7.3 Blok Peribulbar
Anestesi peribulbar menjadi pilihan karena beberapa komplikasi yang mungkin terjadi jika menggunakan teknik retrobulbar. Pada teknik peribulbar, jarum suntik hanya ditusukkan di sekitar orbita, sehingga arah jarum tidak perlu dibelokkan kearah retrobulbar sehingga mengurangi resiko untuk mengalami komplikasi berat seperti ruptur sklera ataupun trauma pada nervus optikus (Morgan, et al, 2013).
Efek anestesi dengan teknik peribulbar lebih lambat timbul dibandingkan retrobulbar, yaitu membutuhkan waktu sekitar 8-12 menit untuk menimbulkan efek anestesi dan akinesia yang adekuat, sedangkan masa kerjanya sama seperti teknik retrobulbar. Hal ini mengingat pada teknik retrobulbar dimana zat anestesi yang disuntikkan langsung mencapai cabang utama nervus III, IV, V, dan VI yang berada di daerah konus tempat insersi otot-otot ekstraokuler. Volume anestesi yang disuntikkan lebih besar daripada injeksi retrobulbar, yaitu 6-12 mL (Salahuddin, 2010).
16
Pada teknik peribulbar, jarum suntik tidak perlu diarahkan ke daerah retrobulbar, tetapi cukup tegak lurus menyusuri pinggir orbita. Jarum yang digunakan adalah jarum berukuran 25G dengan panjang jarum 1,25 inci. Pada saat awal dilakukan penyuntikan, yaitu pada daerah 1/3 temporal dan jarum baru masuk beberapa milimeter, dapat disuntikan 1 cc cairan anestesi untuk mengurangi rasa sakit. Kemudian jarum diteruskan sampai mencapai daerah ekuator bola mata dengan kedalaman sekitar 3 cm, dimana sebanyak 4 cc cairan anestesi disuntikkan setelah sebelumnya dilakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan bahwa tidak ada darah yang di aspirasi. Setelah itu jarum ditarik tegak lurus sampai keluar dan dapat diberikan suntikan kedua pada bagian atas di daerah nasal sebanyak 2 cc untuk menambah efek akinesia (Salahuddin, 2010).
Gambar 2.2 Blok Peribulbar (Salahuddin, 2010)
2.7.4 Blok Sub-Tenon
Anestesi sub-tenon dapat dijadikan pilihan karena memberikan beberapa keuntungan, seperti risiko anestesi yang sangat minimal dibandingkan teknik retrobulbar, serta jumlah obat anestesi yang digunakan sangat sedikit, hanya 1-2 cc. Persiapan penderita sebelum dilakukan anestesi sub-tenon adalah dengan pemberian anestesi topikal lidocaine 4%, yaitu sebanyak satu tetes tiap 10 menit selama 20 menit menjelang operasi. Setelah pasien berada di meja operasi dan dilakukan tindakan asepsis, dilakukan insisi pada konjungtiva inferior bagian nasal sekitar 3 mm dari limbus, menggunakan gunting konjungtiva sampai kelihatan bagian sklera. Jika terjadi perdarahan, diatasi dengan kauterisasi.
17
Melalui luka insisi tersebut dimasukkan kanula sub-tenon menyusuri dinding bola mata sampai mencapai daerah ekuator, lalu disuntikkan sebanyak 1 cc larutan anestesi campuran lidocaine 2% dan bupivacaine hydrochloride 0,75%. Tunggu 3-5 menit agar laruran anestesi ini mengalami difusi ke seluruh lingkaran ekuator untuk memberikan efek anestesi dan akinesia yang baik (Tighe, et al, 2012).
Gambar 2.3 Blok Sub-Tenon (Tighe, et al, 2012) 2.8 Ablasio Retina Regmatogenosa
2.8.1 Definisi
Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Pada ablasio retina regmatogenosa, terjadi robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid (Feltgen & Walter, 2014).
2.8.2 Epidemiologi
Angka kejadian ablasio retina adalah 1 dari 15.000 orang. Ablasio retina paling sering dikaitkan dengan miopia, afakia, pseudofakia, dan trauma. Sekitar 40-50% dari semua pasien dengan ablasio memiliki miopia tinggi (>6 dioptri), 30-35% pernah menjalani operasi pengangkatan katarak, dan 10-20% pernah mengalami trauma okuli (Feltgen & Walter, 2014).
18 2.8.3 Diagnosis
Ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang. Gejala umum pada ablasio retina yang sering dikeluhkan penderita adalah (Fraser & Steel 2010):
a. Floaters (terlihat benda melayang-layang) yang terjadi karena adanya kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau degenerasi vitreus.
b. Fotopsi (kilatan cahaya), tanpa adanya sumber cahaya di sekitarnya, yang umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap.
c. Penurunan tajam penglihatan, penderita mengeluh penglihatannya sebagian seperti tertutup tirai yang semakin lama semakian luas. Pada keadaan yang telah lanjut, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan yang berat.
Pada ablasio regmatogenosa, pada tahap awal masih relatif terlokalisir, tetapi jika hal tersebut tidak diperhatikan oleh penderita maka akan berkembang menjadi lebih berat jika berlangsung sedikit demi sedikit menuju ke arah makula. Keadaan ini juga tidak menimbulkan rasa sakit. Kehilangan penglihatan dapat tiba-tiba terjadi ketika kerusakannya sudah parah. Pasien biasanya mengeluhkan adanya awan gelap atau tirai di depan mata (Fraser & Steel 2010).
Selain itu perlu dianamnesa adanya faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya ablasio retina seperti adanya riwayat trauma, riwayat pembedahan sebelumnya seperti ekstraksi katarak, pengangkatan corpus alienum intraokuler, riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis, perdarahan vitreus, ambliopia, glaukoma, dan retinopati diabetik). Riwayat keluarga dengan sakit mata yang sama serta riwayat penyakit yang berhubungan dengan ablasio retina (diabetes mellitus, tumor, eklamsia, dan prematuritas) (Fraser & Steel 2010).
Adapun tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pemeriksaan oftalmologi antara lain (Feltgen & Walter, 2014):
1. Pemeriksaan visus. Dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat terlibatnya makula lutea atau kekeruhan media refrakta atau badan kaca yang
19
menghambat sinar masuk. Tajam penglihatan akan sangat terganggu bila makula lutea ikut terangkat.
2. Tekanan intraokuler biasanya sedikit lebih tinggi, normal, atau rendah.
3. Pemeriksaan funduskopi. Merupakan salah satu cara terbaik untuk mendiagnosa ablasio retina dengan menggunakan oftalmoskop inderek binokuler. Pada pemeriksaan ini retina yang mengalami ablasio tampak sebagai membran abu-abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid. Jika terdapat akumulasi cairan pada ruang subretina, didapatkan pergerakan undulasi retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah retina yang terlepas dari dasarnya berwarna gelap, berkelok-kelok dan membengkok di tepi ablasio. Pada retina yang terjadi ablasio telihat lipatan-lipatan halus. Satu robekan pada retina terlihat agak merah muda karena terdapat pembuluh koroid dibawahnya.
4. Electroretinography (ERG) adalah dibawah normal atau tidak ada. 5. Ultrasonography mengkonfirmasikan diagnosis.
2.8.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan. Pada pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara (Moisseiev, et al, 2017) :
a. Scleral buckle
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa terutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Tujuan skleral buckling adalah untuk melepaskan tarikan vitreus pada robekan retina, mengubah arus cairan intraokuler, dan melekatkan kembali retina ke epitel pigmen retina. Prosedur meliputi lokalisasi posisi robekan retina, menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan skleral buckle (sabuk). Pertama-tama dilakukan cryoprobe atau laser untuk memperkuat perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen retina. Sabuk dijahit mengelilingi sklera dengan jahitan tipe matras pada sklera, sehingga terjadi tekanan pada robekan retina sehingga terjadi penutupan pada robekan tersebut. Penutupan retina ini akan menyebabkan cairan subretinal menghilang secara spontan dalam waktu 1-2 hari.
20 b. Retinopeksi pneumatik
Retinopati pneumatik merupakan metode yang sering digunakan pada ablasio retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada bagian superior retina. Tujuan dari retinopeksi pneumatik adalah untuk menutup kerusakan pada retina dengan gelembung gas intraokular dalam jangka waktu yang cukup lama hingga cairan subretina direabsorbsi. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas (SF6 atau C3F8) ke dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina dan mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui robekan. Jika robekan dapat ditutupi oleh gelembung gas, cairan subretinal biasanya akan hilang dalam 1-2 hari. c. Vitrektomi
Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus atau perdarahan vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil pada dinding bola mata kemudian memasukkan instrumen pada ruang vitreous melalui pars plana. Setelah itu dilakukan vitrektomi dengan vitreous cutter untuk menghilangkan berkas badan kaca, membran, dan perlengketan- perlengketan. Teknik dan instrumen yang digunakan tergantung tipe dan penyebab ablasio.
2.8.5 Prognosis
Penatalaksanaan bedah berhasil pada 80% pasien ablasio retina. Hasil akhir perbaikan pada penglihatan tergantung dari beberapa faktor, misalnya keterlibatan makula. Dalam keadaan dimana ablasio telah melibatkan makula, ketajaman penglihatan jarang kembali normal. Lubang, robekan, atau tarikan baru mungkin terjadi dan menyebabkan ablasio retina yang baru. Suatu penelitian telah melaporkan bahkan setelah pemberian terapi preventif pada robekan retina, 5% - 9% pasien dapat mengalami robekan baru pada retina (Fraser & Steel 2010).
21 BAB III LAPORAN KASUS
Identitas : IKWW/ L/ 51 tahun/ 19003194 Alamat : Lombok
MRS : 20/03/2019
DPJP Bedah : dr. Putu Budhiastra, Sp. M DPJP Anestesi : dr. Gede Budiarta Sp. An
Diagnosis : OD Rhegmatogenous Retinal Detachment
Tindakan : OD Pro Scleral Buckle + Vitrectomi Pars Plana + EL + SO/Gas Status fisik : Status Fisik ASA I
Anamnesis :
Pasien datang dengan keluhan mata kana kabur sejak 2 bulan yang lalu setelah terkena percikan batu saat sedang memotong rumput dengan mesin potong rumput. Awalnya keluhan disertai mata bengkak hingga pasien tidak bisa membuka mata. Setelah bengkak berkurang dan mampu membuka mata pasien merasa pandangan mata kanannya kabur dan makin hari makin memburuk dan meneteap hingga saat ini. Pasien merupak seorang pelukis yang saat tidak dapat melukis akibat keluhannya.
Riwayat alergi tidak ada
Riwayat penyakit asma, Diabetes mellitus, hipertensi tidak ada Riwayat merokok, alcohol dan obat terlarang disangkal
Pemeriksaan Fisik:
BB: 83 kg TB: 170 cm BMI: 27,85 kg/m2 Suhu aksilla: 36,5 oC NRS diam: 0/10 NRS gerak: 0/10
Susunan saraf pusat : Compos mentis E4V5M6
Respirasi : Frekuensi nafas 14x/menit, vesikuler +/+, rhonki -/-. Wheezing -/-, SpO2 : 98% room air
22
2 tunggal regular, murmur (-) Abdomen : Bising usus (+) normal, distensi (-) Urogenital : BAK Spontan, tidak ada keluhan
Musculoskeletal : Fleksi defleksi leher baik, Mallampati II, gigi geligi utuh
Pemeriksaan Penunjang :
Darah Lengkap (28/02/2019) : WBC 10 x103/μL; HGB 13 g/dL; HCT 45 %; PLT 376 x103/μl
Faal Hemostasis (28/02/2019): PT 12,4 detik; aPTT 27,4 detik; INR 1
Kimia Klinik (28/02/2019) : SGOT 19,3 U/L (11-27), SGPT 21 U/L (11-34), BUN 15,7 mg/dl; SC 0,93 mg/dl; Na 136 mmol/L; K 4,36 mmol; Cl 94 mmol/L; GDS 75 mg/dl
Permasalahan Aktual: -
Permasalahan Potensial : • Okulokardiak refleks
• Instabilitas hemodinamik durante operasi
Kesimpulan : Status Fisik ASA I
PERSIAPAN PRA ANESTESIA
Persiapan di Ruang Perawatan Evaluasi identitas penderita Persiapan Psikis • Anamnesis umum dan anamnesis khusus
• Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang rencana anestesi yang akan dilakukan mulai di ruang penerimaan, ruang operasi sampai di ruang pemulihan.
23 Persiapan fisik
• Puasa 8 jam sebelum operasi
• Melepaskan perhiasan sebelum ke kamar operasi • Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi
• Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan penunjang • Memeriksa surat persetujuan operasi
• Memasang iv line, cairan pengganti puasa dengan RL dengan tetesan 20 tetes per menit
Persiapan di ruang persiapan IBS
• Periksa kembali catatan medik penderita, identitas, persetujuan operasi • Tanyakan kembali persiapan yang dilakukan di ruang perawatan. • Evaluasi ulang status present dan status fisik.
• Penjelasan ulang kepada penderita tentang rencana anestesi. Persiapan di Kamar Operasi
• Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas. • Menyiapkan monitor dan kartu anestesia. • Mempersiapkan obat dan alat anestesia. • Menyiapkan obat dan alat resusitasi. • Evaluasi ulang status present penderita
Teknik Anestesi GA-OTT
Pre medikasi : Dexamethason 10 mg IV, Diphenhydramine 10 mg IV, Midazolam 2 mg IV
Analgetik : Fentanyl 150 mcg IV
Fas. Intubasi : Atracurium 40 mg IV, Lidocaine 120 mg intratracheal Induksi : Propofol titrasi hingga pasien terhipnosis
Maintanance : O2, Compressed air, Sevoflurane
24 Durante operasi:
Hemodinamik : TD 104-126/ 60-78; Nadi 60- 80x/menit; SpO2 98-100% Cairan masuk : RL 1000 cc
Cairan keluar : BAK 60 cc, perdarahan 20 cc Lama operasi : 1 jam
Pasca operasi
Analgetik : Morfin 20 mg dalam 20 cc NS via syringe pump dengan kecepatan 0,6 cc/jam dan paracetamol 1 gr tiap 8 jam IV
25 BAB IV DISKUSI KASUS
Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Pada ablasio retina regmatogenosa, terjadi robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid (Feltgen & Walter, 2014).
Ablasio retina ditandai dengan pasien mengeluhkan adanya benda melayang – layang, bisa juga mengeluhkan seperti melihat kilatan cahaya (fotopsi), dan terjadi penurunan tajam pengelihatan. Pada pasien ini mengeluhkan terjadi penurunan tajam penglihatan yang terjadi makin lama makin memberat hingga mengganggu aktivitas pasien sebagai pelukis. Keadaan ini juga tidak menimbulkan rasa sakit. Kehilangan penglihatan dapat tiba-tiba terjadi ketika kerusakannya sudah parah. Pasien biasanya mengeluhkan adanya awan gelap atau tirai di depan mata (Fraser & Steel 2010). Pada pasien ini tidak ada keluhan rasa nyeri seperti pada kasus – kasus lainnya. Selain itu perlu digali adanya faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya ablasio retina seperti adanya riwayat trauma, riwayat pembedahan sebelumnya, riwayat penyakit mata sebelumnya. Riwayat keluarga dengan sakit mata yang sama serta riwayat penyakit yang berhubungan dengan ablasio retina (diabetes mellitus, tumor, eklamsia, dan prematuritas) (Fraser & Steel 2010). Pada pasien ini faktor presdiposisi yang dimiliki yaitu riwayat trauma terkena batu saat memotong rumput dengan mesin potong rumput sehingga mata pasien menjadi bengkak dan tidak dapat membuka mata, saat bengkak mulai berkurang dan sudah bisa membuka mata pasien mengeluhkan pandangan kabur yang makin lama makin memberat tanpa disertai rasa nyeri.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan visus dapat terjadi penurunan tajam penglihatan. Pada pasien ini didapatkan visus mata kanan pasien
26
menurun 2/60. Dilakukan pemeriksaan tekanan intaokular didapatkan normal 19/20. Pada pemeriksaan funduskopi telihat lipatan-lipatan halus akibat terlepasnya retina.
Pada pasien ini dilakukan OD Pro Scleral Buckle + Vitrectomi Pars Plana + EL + SO/Gas dengan Anestesi General dengan menggunakan obat – obatan seperti berikut:
Pre medikasi : Dexamethason 10 mg IV, Diphenhydramine 10 mg IV, Midazolam 2 mg IV
Analgetik : Fentanyl 150 mcg IV
Fas. Intubasi : Atracurium 40 mg IV, Lidocaine 120 mg intratracheal Induksi : Propofol titrasi hingga pasien terhipnosis
Maintanance : O2, Compressed air, Sevoflurane
Medikasi lain : Ondansetron 4 mg IV
Yang perlu diperhatikan pada penggunaan anestesi general adalah efeknya pada tekanan intraokular, okulokardiak refleks maupun pada efek sistemik dari obat tersebut.
Midazolam adalah obat golongan benzodiazepin yang diberikan sebelum operasi untuk mengatasi rasa cemas, membuat pikiran dan tubuh menjadi rileks, serta menimbulkan rasa kantuk dan tidak sadarkan diri. Penelitian oleh Gobeaux dan Sardnal yang meneliti efek midazolam intravena pada TIO pada 30 pasien dewasa menemukan penurunan rata-rata TIO dari 17,1 menjadi 12,3 mmHg dalam 3 menit setelah pemberian midazolam. Namun, tidak ada kelompok kontrol yang dimasukkan. Virkkila et al dan Carter et al juga meneliti efek midazolam pada TIO pada pasien dewasa. Tidak ditemukan efek signifikan secara statistik dari midazolam pada TIO dalam penelitian mereka (Oberacher-Velten, et al, 2011).
Fentanyl merupakan obat golongan opioid sintetis yang digunakan sebagai analgesia (penghilang rasa nyeri). Fentanyl dipilih karena dapat memberikan analgesia yang baik, memiliki sedikit efek samping pada sirkulasi dan membantu mencegah batuk ketika selang ETT dilepas. Selain itu, fentanyl juga dilaporkan memiliki efek menurunkan TIO. Penelitian oleh Mostafa et al menemukan bahwa fentanyl menurunkan rata-rata nilai TIO sebesar 28,6 persen (kisaran 19,3-32
27
persen). Namun, fentanyl memiliki waktu paruh eliminasi yang lebih lambat daripada alfentanil dan dapat terjadi depresi napas selama waktu pemulihan (Mostafa, et al, 1983).
Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang seringkali dipilih untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal. Atracurium sebelumnya telah dilaporkan tidak memiliki efek signifikan pada TIO. Penelitian oleh Lavery et al menemukan bahwa tidak ada perubahan signifikan dalam TIO setelah administrasi atracurium. Pada pasien yang diberikan atracurium, TIO maksimum yang didapatkan setelah intubasi adalah 12,1 mmHg (tidak melebihi nilai pra-induksi 13,1 mmHg) dan TIO pada menit ke-1, ke-2 dan ke-3 setelah intubasi secara signifikan lebih rendah (p <0,01) dari pre induksi. Selain itu, penggunaan atracurium tidak terkait dengan efek kardiovaskular yang signifikan. Tidak ada perubahan signifikan dalam denyut jantung atau tekanan darah setelah pemberian atracurium (Lavery, et al, 1986).
Lidocaine merupakan obat anestesi lokal yang digunakan untuk anestesi pada kulit, jaringan subkutan, dan saraf perifer untuk prosedur pembedahan. Lidocaine merupakan golongan amino amide yang bekerja dengan memblok voltage – gate sodium channel yang mana mencegah influks dari sodium ke dalam sel sehingga memblok transmisi impuls. Pada beberapa studi didapatkan penggunaan obat – obatan anestesi lokal pada operasi mata seperti dengan teknik blok retrobulbar maupun peribulbar didapatkan terjadi peningkatan tekanan intraokular sebanyak 5,8 mmHg pada semenit setelah injeksi (O’ Donoghue, et al, 2004).
Propofol merupakan obat anestesi intravena yang digunakan sebagai agen induksi pada anestesi general. Mekanisme dari propofol ini masih sedikit diketahui namun diperkirakan efeknya berhubungan dengan GABA – mediated chloride channel pada otak dengan cara mengurangi disosiasi dari reseptor GABA pada otak sehingga menimbulkan efek penghambat untuk neurotransmitter, hal ini menyebabkan terbukanya channel chloride untuk waktu yang lebih lama sehingga meningkatkan konduksi klorida melewati neuron akibatnya terjadi hiperpolarisasi dari membrane sel sehingga mempersulit lewatnya aksi potensial
28
(Folino dan Parks, 2018). Pada operasi mata perlu diperhatikan efek dari propofol terhadap tekanan intraokular, relfeks okulokardiak, maupun efek sistemiknya. Telah dilakukan penelitian penggunaan propofol selama induksi anestesi, dan didapatkan pada pasien yang mendapatkan propofol mengalami penurunan tekanan intraokular sebanyak 50%, dan pada efek lainnya didapatkan juga terjadi penurunan tekanan darah sebanyak 15% pada penggunaan propofol (Leveque, et al, 2007).
Sevoflurane merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap dengan bau yang khas yang biasa digunakan dalam maintenance anestesia. Sevoflurane memiliki efek mengurangi ventilasi pada sistem respirasi sehingga menyebabkan apneu pada konsentrasi 1,5 dan 2,0. Depresi dari ventilasi ini akibat kombinasi dari depresi pada saraf pernapasan dan depresi pada fungsi dan kontraktilitas diafragma. Sevoflurane juga menurunkan tekanan darah dan menyebabkan vasodilatasi cerebri tanpa meningkatkan tekanan intrakranial (Hert & Moerman, 2015). Pada beberapa penelitian dalam penggunaan sevoflurane pada operasi mata didapatkan sevofulrane tidak mempengaruhi tekanan intraokular (Jong, et al, 2013). Selain itu dilaporkan juga pada suatu studi didapatkan di bawah pengaruh obat sevoflurane kejadian dari okulokardiak relfeks menurun sebanyak 14% dari seluruh kasus (Goerlich, et al, 2000).
29 BAB V KESIMPULAN
Terdapat dua teknik anestesi yang umum dilakukan pada operasi mata, yaitu anestesi general dan anestesi regional. Anestesi regional lebih dipilih dibandingkan anestesi general. Namun untuk pasien yang tidak kooperatif dan prosedur operasi yang lama, anestesi general menjadi pilihan. Pada penggunaan anestesi general perlu diperhatikan efek obat pada tekanan intraokular, refleks okulokardiak, maupun efek sistemik dari obat tersebut. Pada kasus dengan diagnosis RRD dilakukan anestesi general menggunakan obat-obatan yang terbukti tidak meningkatkan tekanan intraocular dan tidak menimbulkan reflex okulokardiak.
30
DAFTAR PUSTAKA
Allison, C.E., Lange, J.J.D., & Koole, F.D. 2000. A Comparison of the Incidence of the Okulokardiak and Oculorespiratory Reflekses During Sevoflurane or Halothane Anesthesia for Strabismus Surgery in Children. Anesthesia&Analgesia, 90: 306-10.
Basta, S.J. 2008. Anesthesia for Ophthalmic Surgery. Edited by Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. The McGraw-Hill Companies, 65: 1558-81.
Feldman, M.A., & Pate, A. 2010. Anesthesia for Eye, Ear, Nose, and Throat Surgery in Miller’s Anesthesia, Seventh Edition. Churcill Livingstone Inc., 75: 2378-88.
Feltgen, N., & Walter, P. 2014. Rhegmatogenous retinal detachment-an ophthalmologic emergency. Deutsches Arzteblatt international, 111(1-2), 12– 22.
Fraser, S., & Steel, D. 2010. Retinal detachment. BMJ clinical evidence, 2010, 0710.
Folino T.B dan Parks L. J. 2018. Propofol. NYIT College of Osteopathic Medicine. 27(1). Pp. 21 – 30.
Gilani, S.M., Jamil, M., Akbar, F., & Jehangir, R. 2005. Anticholinergic Premedication for Prevention of Okulokardiak Refleks During Squint Surgery. J Ayub Med Coll Abbottabad, 17(4).
Goerlich T.M., Foja C., Olthoff D., 2000. Effects of sevoflurane versus propofol on okulokardiak refleks--a comparative study in 180 children. Klinik und Poliklinik für Anästhesiologie und Intensivtherapie der Universität Leipzig. 25(1). Pp. 17 – 21.
31
Jong T. P., Hyun K. L., Kyu Y. J., and Dea J. U. 2013. The effects of desflurane and sevoflurane on the intraokular pressure associated with endotracheal intubation in pediatric ophthalmic surgery. The Korean Society of Anesthesiologist. 64(2). Pp. 117 – 121.
Lavery, G. G., McGalliard J.N., Mirakhur, R.K., & Sheperd, W.F. 2006. The effects of atracurium on intraokular pressure during steady state anaesthesia and rapid sequence induction : a comparison with succinylcholine. Can Anaesth Soc J, 33 (4): 437-42.
Hert, S. D., & Moerman A., 2015. Sevoflurane. F1000 Research. 4. Pp. 626. Lentschener, C., Ghimouz, A., & Bonnichan, P. 2002. Acute Postoperative
Glaukoma After Nonocular Surgery Remains a Diagnostic Challenge. Anesthesia&Analgesia, 94: 1034-5.
Lévêque, M., Rokotoseheno, J.,C., Mimouni, F., Rouffy P., & Egreteau, J.,P., 2007. Effect of Propofol on Intraokular Pressure During the Induction of Anesthesia. 6(4). Pp. 306 – 8.
Madan, R., Bhatia, A., & Chakithandy, S. 2005. Prophylactic Dexamethason for Postoperative Nausea and Vomiting in Pediatric Strabismus Surgery: A Dose Ranging and Safety Evaluation Study. Anesthesia&Analgesia, 100: 1622-6. McGoldrick, K.E. & Gayer, S.I. 2006. Anesthesia and the Eye. In Clinical
Anesthesia. Fifth Edition. Edited by Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Lippincott Williams & Wilkins, 33: 975-97.
Moisseiev, E., Loewenstein, A., Moshiri, A., & Yiu, G. 2017. The Management of Retinal Detachment: Techniques and Perspectives. Journal of Ophthalmology, 2017, 5807653.
32
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., & Murray, M.J. 2013. Anesthesia for Opthalmic Surgery. In : Clinical Anesthesiology, Fifth Edition. Lange Medical Books/McGraw-Hill, p. 1023-85.
Mostafa, S.M., Lockhart, A., Kumar, D., & Bayoumi, M. 2003. Comparison of effects of fentanyl and alfentanil on intra-ocular pressure : a double blinded trial. Anesthesia, 41 : 493-8.
Oberacher-Velten, I., Praser, C., Rochon, J., Itter, K., Helbig, H., & Lorenz, B. 2011. The effects of midazolam on intraokular pressure in children during examination under sedation. Br J Opthalmol, 95: 1102-5.
O’Donoghue E., Batterbury M., Lavy T., 2004. Effect on intraokular pressure of local anaesthesia in eyes undergoing intraokular surgery. British Journal of Opthalmology. 78. Pp. 605 – 607.
Salahuddin, A., 2010. Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophthalmic Evisceration Surgery. In Anastesia & Critical Care, 28 (2), 71-9.
Tighe, R., Burgess, P. I., & Msukwa, G. 2012. Teaching corner: Regional anaesthesia for ophthalmic surgery. Malawi medical journal : the journal of
Medical Association of Malawi, 24(4), 89–94.
Welters, I.,D., Menges, T., & Graf, M. 2000. Reduction of Postoperative Nausea and Vomiting by Dimenhydrinate Suppositories after Strabismus Surgery in Children, Anesthesia&Analgesia, 90: 311-4.
Wu, T.H. & Acquadro, M.A. 2007. Anesthesia for Head and Neck Surgery in Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. Seventh Edition. Lippincott Williams & Wilkins, 25: 464-69.