• Tidak ada hasil yang ditemukan

0 25 50 75 100 125 150

Kangkung Kangkung-Lumpur Aktif

Perlakuan B io m a s s a K a n g k u n g (g r) W0 W14

Gambar 16. Diagram batang rataan bobot basah kangkung ((Ipomoea aquatica) selama penelitian

Dari diagram di atas terlihat bahwa biomassa kangkung mengalami penambahan selama penelitian. Hal tersebut diduga disebabkan oleh adanya pemebentukan jaringan-jaringan baru baik berupa, daun, batang, maupun akar. Kandungan unsur hara dalam limbah cair tahu yang diperoleh dari hasil penguraian bahan organik oleh mikroorganisme diserap oleh kangkung dan dijadikan sebagai sumber untuk pembentukan jaringan baru tersebut. Selain itu, suhu dan pH lingkungan yang sesuai juga membantu pertumbuhan kangkung tersebut. Di tempat yang mengandung bahan organik tinggi, tanaman ini akan tumbuh subur dengan kisaran pH 5.5-6.5 (Ismanto 2005). Menurut Rini (1998), faktor terpenting dalam pertumbuhan kangkung adalah suhu. Di daerah tropika basah, kangkung dapat tumbuh dengan baik pada suhu 28 – 35 o C.

Pada perlakuan kangkung maupun kangkung-lumpur aktif tidak terdapat perbedaan pada pertambahan biomassa yang signifikan. Diduga bahwa penambahan lumpur aktif tidak terlalu berpengaruh dalam penguraian bahan organik menjadi bahan anorganik/unsur hara yang dapat diserap oleh kangkung tersebut. Akan tetapi apabila pengolahan dengan lumpur aktif pabrik tekstil ditambahkan dalam skala besar, maka kangkung yang ditumbuhkan dalam media tersebut tidak dapat dikonsumsi mengingat dalam kandungan

lumpur aktif tersebut terkandung bahan-bahan yang dalam konsentrasi tertentu dapat membahayakan kesehatan.

Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 % (α 0,05) diperoleh nilai signifikan p untuk kedua perlakuan sebesar 0,6234 yang berarti p > 0,05 sehingga pertambahan biomassa tidak berbeda nyata pada kedua perlakuan (Lampiran 7.)

Tabel 8. Perbandingan pertambahan bobot basah kangkung berdasarkan waktu retensi dan jenis limbah

Sumber Jenis Limbah Waktu

Retensi Perlakuan Bobot Basah Rata-% Pertambahan Rata Rini

(1998) Limbah INAGRO PT. 1 hari Kangkung (Ipomoea aquatica) air 5.87 (5.87 % per hari)

3 hari Kangkung air

(Ipomoea aquatica) 3.06 (1.02 % per hari)

6 hari Kangkung air

(Ipomoea aquatica) 2.17 (0.36% per hari) Ulfa

(2009)

Limbah kantin buatan

3 hari Kangkung air

(Ipomoea aquatica)

8 (2.67 % per hari)

3 hari Kangkung air

(Ipomoea aquatica) – Bacillus sp.

5.2 (1.73 % per hari)

Penulis

(2010) Limbah tahu yang cair diencerkan

14 hari Kangkung air

(Ipomoea aquatica) 25.55 (1.83 % per hari) 14 hari Kangkung air

(Ipomoea aquatica) + Lumpur aktif

25.04 (1.79 % per hari)

Tabel 8 diatas menyajikan perbandingan % pertambahan bobot basah Kangkung air rata-rata (Ipomoea aquatica) yang dilihat berdasarkan jenis limbah sebagai media tumbuhnya, waktu retensi, dan perlakuan dalam tiap pengolahan limbah. Terlihat bahwa semakin lama waktu retensi, bobot basah kangkung air (Ipomoea aquatica) cenderung mengalami peningkatan. Pada pengolahan limbah PT. INAGRO, pertambahan bobot basah Kangkung air (Ipomoea aquatica), cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu retensi. Hal ini diduga disebabkan oleh penurunan nutrien yang bermanfaat bagi pertumbuhan kangkung karena telah dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan adaptasi pada

waktu retensi awal atau dijadikan cadangan nutrien untuk pertumbuhan pada waktu selanjutnya.

Pada pengolahan limbah kantin dan kimbah cair tahu, persentase pertambahan bobot basah rata-rata cenderung meningkat. Hal ini diduga terkait dengan cukupnya nutrien yang dibutuhkan oleh Kangkung air (Ipomoea aquatica). Pada kedua pengolahan limbah tersebut juga ditambahkan pengaerasian yang sangat berguna dalam menyuplai oksigen dan secara tidak langsung membantu proses pendekomposisian bahan organik hingga akhirnya dapat diserap oleh Kangkung air (Ipomoea aquatica), dalam bentuk unsur hara. Persentase penambahan bobot basah rata-rata yang semakin besar seiring dengan bertambahnya waktu retensi juga terkait dengan adanya penambahan jaringan, terutama di bagian akar.

Gambar 17. Akar tanaman Kangkung Air (Ipomoea aquatica) Sumber : http:// http://dolite.blogspot.com/2009_10_01_archive.html

4.5. Pengaruh pengenceran pada kualitas air limbah

Kualitas air limbah ditentukan dari banyaknya parameter dalam limbah dan konsentrasi setiap parameter. Semakin banyak volume air yang bercampur dengan limbah maka semakin kecil konsentrasi pencemar. Volume air akan menentukan konsentrasi bahan pencemar. Bahan pencemar dari suatu pabrik tergantung kepada banyaknya bahan-bahan yang terbuang. Dengan asumsi bahwa semua terkendali dengan baik Pengendalian hanya terbatas pada bahan pencemar tidak dapat dihindari, maka konsentrasi bahan pencemar telah dapat diperkirakan jumlahnya. Penambahan volume air hanya menyebabkan

kosnentrasi turun. Dengan kata lain, pengenceran menyebabkan konsentrasi turun (Rahayu, 2009). Dari hasil pengenceran yang dilakukan sebanyak 150 kali dalam penelitian ini, hampir semua parameter fisika dan kimia telah memenuhi baku mutu, kecuali untuk BOD dan COD.

Pengenceran dilakukan agar kualitas limbah tersebut sesuai untuk media tumbuh mikroorganisme dan juga kangkung Air (Ipomoea aquatica). Sebagai pembanding dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Dhahiyat (1990), dengan menggunakan tanaman air berupa Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dalam pengolahan limbah cair tahu. Limbah tahu tersebut mengalami pengenceran sebanyak 8 kali dengan maksud menyesuaikan pH limbah yang semula asam menjadi netral sehingga Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dapat tumbuh dengan baik. Perbandingan kedua penelitian tersebut, dapat dilihat pada Tabel. 9 berikut.

Tabel 9. Perbandingan pengolahan limbah cair tahu dengan menggunakan Kangkung Air (Ipomoea aquatica) dan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes

)

Sumber Jenis

tanaman air Waktu retensi Luas penutupan Efektivitas penurunan BOD Efektivitas Penuruna n COD Ket Penulis (2010) Kangkung Air (Ipomoea aquatica) Dua minggu 70 % 47,25 % 87,89 % (+) Lumpur Aktif Dhahiyat (1990) Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Satu minggu 50 % 84,6 % 55,62 %

Dalam aplikasi di kehidupan nyata, pengenceran limbah tidak boleh dilakukan apabila dimaksudkan untuk mengurangi nilai konsentrasi bahan pencemar sebelum dibuang ke perairan sebagaimana tercantum dalam pasal 17 (2) Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air. Selain itu apabila pengenceran terlalu besar akan dibutuhkan air dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini berdampak pada peningkatan biaya penyediaan air sehingga mengurangi efisiensi biaya produksi.

4.6. Pemanfaatan limbah industri tahu

Limbah tahu terdiri dari limbah cair dan limbah padat. Limbah padat sudah banyak dimanfaatkan menjadi pakan ternak, bahan baku pembuatan oncom, ataupun tempe gembus. Berbeda dengan limbah padat yang telah banyak dimanfaatkan, limbah cair tahu pada umumnya langsung dibuang begitu saja ke perairan. Dengan rata-rata limbah cair yang dihasilkan sebesar 3000 – 5000 liter untuk setiap pengolahan 1 ton tahu, maka pencemaran yang disebabkan oleh limbah cair tahu akan sangat besar. Selain mempengaruhi perairan tempat limbah tersebut dibuang, simpanan air tanah juga akan terkena dampaknya (Raliby et al. 2009).

Limbah cair tahu mempunyai kandungan metana lebih dari 50%, sehingga sangat memungkinkan sebagai bahan baku sumber energi biogas. Secara reguler waktu yang diperlukan untuk memfermentasi limbah cair tahu menjadi gasbio mencapai 3 minggu tergantung pada kualitas limbahnya. Gas metana merupakan bahan dasar pembuatan biogas. Biogas adalah gas pembusukan bahan organik oleh bakteri pada kondisi anaerob. Gas ini tidak berbau, tidak berwarna, dan sangat mudah terbakar. Biogas sebanyak 1000 ft3 (28,32 m3) mempunyai nilai pembakaran yang sama dengan galon (1 US gallon = 3,785 liter) butana atau 5,2 gallon gasolin (bensin) atau 4,6 gallon minyak diesel. Untuk memasak pada rumah tangga dengan 4-5 anggota keluarga cukup 150 ft3 per hari (Dewanto 2008 in Raliby et al. 2009).

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Secara umum, dengan pengenceran sebanyak 150 kali sebagai perlakuan pendahuluan, seluruh parameter fisika dan kimia pada limbah cair tahu telah sesuai dengan baku mutu. Pengenceran tersebut dimaksudkan agar parameter fisika kimia yang ada telah sesuai dengan syarat kondisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan Kangkung Air (Ipomoea aquatica), dan pertumbuhan mikroorganisme agar proses pengolahan limbah cair tahu ini dapat berlangusng dengan baik. Jumlah pengenceran yang dilakukan tidak selalu persis sama untuk limbah cair tahu yang berasal dari pabrik yang berbeda terkait dengan perbedaan bahan baku dan juga proses yang terjadi di dalamnya.

Adapun dari ketiga perlakuan dalam pengolahan limbah, kontrol, kangkung air (Ipomoea aquatica), serta kombinasi antara kangkung air (Ipomoea aquatica) dan lumpur aktif, tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan tetapi selama 14 hari pengamatan terlihat perubahan dalam nilai dan konsentrasi parameter fisika dan kimia yang diamati. Diduga pengaruh aerasi yang diberikan secara kontinyu berkontribusi dalam perubahan nilai dan konsentrasi parameter-parameter tersebut meskipun perlakuan yang diterapkan berbeda-beda.

Dari pengamatan terhadap bobot basah kangkung air (Ipomoea aquatica), terdapat pertambahan bobot selama masa pengamatan. Hal ini diduga terkait dengan pemanfaatan nutrien yang merupakan hasil dari dekomposisi bahan organik pada limbah cair tahu. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa, kangkung air (Ipomoea aquatica) dapat digunakan dalam mengolah limbah cair tahu setelah limbah tersebut diencerkan terlebih dahulu. Adapun kombinasi antara kangkung air (Ipomoea aquatica) dan lumpur aktif pabrik tekstil ternyata tidak terlalu signifikan pengaruhnya dengan perlakuan tanpa penambahan lumpur aktif. Terlihat dari bobot basah kangkung air (Ipomoea aquatica) dan parameter fisika kimia limbah yang tidak terlalu berbeda.

5.2. Saran

Mengujicobakan pengaruh kangkung air (Ipomoea aquatica) pada pengenceran serta waktu retensi yang berbeda agar dapat diketahui pemanfaatan kangkung air (Ipomoea aquatica) dalam mengolah limbah cair tahu secara lebih optimal.

Untuk penerapan dalam kegiatan pengolahan limbah pada industri tahu, mengingat karakteristik limbah cairnya yang cukup sulit diolah, pengenceran yang cukup tinggi akan berdampak pada kebutuhan jumlah air yang cukup besar sehingga diperlukan kombinasi dari jenis pengolahan limbah misalnya secara fisik dan biologi agar pengolahan lebih efektif dan efisien. Selain itu diperlukan pula perbaikan dalam proses pembuatan tahu itu sendiri agar limbah yang dihasilkan bisa diminimalisir. Selain itu perlu juga diperhatikan standar baku mutu yang dipergunakan, agar sesuai dengan standar limbah industri dan juga standar peruntukan perairan yang menjadi tempat pembuangan limbah cair dari kegiatan industri tersebut.

Dokumen terkait