• Tidak ada hasil yang ditemukan

100

(%)

awal

bobot

akhir

bobot

awal

bobot

air

Kadar

Pengujian Mikrobiologis

Kualitas produk bakso diuji mikrobiologis dengan metode analisis kuantatif Total Plate Count (TPC). Analisis ini dilakukan pada bakso kontrol dan bakso yang

22 telah diberi perendaman supernatan antimikroba yang telah mengalami lama penyimpanan 0, 5 dan 10 hari. Bakso sebanyak 10g dimasukkan bersama 90 ml larutan pengencer (BPW), kemudian dihancurkan sampai menjadi homogen. Tahap ini menjadi pengenceran pertama. Sebanyak 1 ml dari larutan pengencer pertama yang sudah homogen dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan pengencer sehingga terbentuk pengenceran 10-2. Larutan tersebut kemudian dikocok sampai homogen. Pengenceran ini dilakukan sampai pengenceran 10-7. Setelah pengenceran, dilakukan pemupukan dengan cara diambil sebanyak 1 ml pengencer dari masing-masing tabung pengenceran (berdasarkan 3 pengenceran terakhir yaitu 10-5, 10-6, dan 10-7) dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo. Media agar plate count agar (PCA) ditambahkan ke dalam cawan petri tersebut. Pemupukan dilakukan dengan metode tuang sebanyak ±20 ml dan dihomogenkan membentuk angka 8. Cawan petri (agar yang sudah membeku) diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 37ºC selama 24 jam.

Analisis Kualitas Organoleptik (Soekarto, 1990)

Uji organoleptik yang digunakan pada penelitian ini adalah uji mutu hedonik dan hedonik yang meliputi penilaian terhadap aroma, rasa, warna, tekstur, lendir dan penampakan umum. Uji organoleptik dilakukan oleh 30 panelis mahasiswa tidak terlatih dengan memberikan penilaian pada skor yang telah ditetapkan dan pengajuan sampel secara acak. Hasil yang didapatkan selanjutnya ditranformasikan ke dalam nilai numerik.

Prosedur

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap yaitu penelitian tahap I dan penelitian tahap II. Penelitian tahap I meliputi produksi ekstrak supernatan antimikroba. Penelitian tahap II adalah pembuatan bakso dengan perendaman supernatan antimikroba yang kemudian dilakukan pengamatan karakteristik mutu selama penyimpanan 0, 5, dan 10 hari.

Penelitian Tahap I

Penelitian pendahuluan meliputi persiapan pembiakan kultur Lactobacillus plantarum 1A5 dan ekstraksi supernatan antimikroba. Diagram alir ekstraksi supernatan antimikroba dapat dilihat pada Gambar 1.

23 Gambar 1. Diagram Alir Ekstraksi Supernatan Antimikroba

Pembiakan Kultur 1A5. Bakteri asam laktat yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat Lactobacillus plantarum 1A5 dari daging. Kultur bakteri asam laktat (BAL) yang tersedia dibiakan dalam de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB). Kultur kerja yang disiapkan tersebut ditumbuhkan selama 20 jam pada suhu 37oC.

Ekstraksi Supernatan Antimikroba. Media pertumbuhan bakteri asam laktat berupa MRSB sebanyak 1000 ml yang masing-masing ditambahkan dengan yeast extract sebanyak 3%. Kultur Lactobacillus plantarum 1A5 masing-masing ditumbuhkan pada kedua media yang berbeda tersebut selama 20 jam pada suhu 37oC (Ogunbawo et al., 2003). Setelah itu, antimikroba dari setiap media diekstraksi. Ekstraksi antimikroba yang dihasilkan berupa cairan bebas sel dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC. Seluruh cairan disaring steril dengan penyaring Milipore 0,22 m hingga didapatkan supernatan antimikroba (Ogunbawo et al., 2003). Supernatan tersebut dapat digunakan untuk merendam produk.

Penelitian Tahap II

Penelitian tahap II meliputi pembuatan bakso dan pengawetan bakso dengan supernatan antimikroba.

MRSB dan YE 3% ditambahkan Isolat BAL Lactobacillus plantarum1A5

Sentrifus 6000 rpm, 4ºC, 20 menit

Inkubasi 20 jam, 37ºC

de Man Rogosa Sharpe Broth(MRSB) ditambahkan yeast extract 3%

Disaring dengan millipore 0,22µm

Antimikroba

24 Pembuatan Bakso. Daging segar dipotong-potong. Daging kemudian digiling dalam food proccessor bersama garam, STTP, dan ½ bagian es batu. Bumbu-bumbu seperti merica, bawang putih, tepung tapioka, penyedap dan sisa ½ bagian es ditambahkan ke dalam adonan. Adonan kembali digiling sampai tercampur rata dan menjadi legit. Adonan tersebut lalu dibentuk bulat-bulat dan dimasukkan ke dalam air hangat. Bakso direbus sampai matang (kurang lebih 10-15 menit) pada suhu 80ºC hingga mengambang kemudian direbus kembali pada suhu 100ºC (kurang lebih 10-15 menit). Sebagian bakso diambil sebagai kontrol dan sebagian diberi perlakuan pengawetan dengan perendaman supernatan antimikroba. Diagram alir proses pembuatan bakso dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Alir Proses Pembuatan Bakso

Pengawetan Bakso dengan Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum

1A5. Bakso yang akan diberi perlakuan pengawetan dimasukkan ke dalam plastik tahan panas yang telah disterilkan sebelumnya. Supernatan antimikroba yang telah didapat dari hasil ekstraksi dengan perbandingan 1:1 ditambahkan ke dalamnya. Plastik ditutup dan dibiarkan selama 30 menit, kemudian bakso dipisahkan sesuai

Daging

Penggilingan dengan food processor

Garam, STPP, ½ es batu

Adonan Merica, bawang putih, tepung tapioka,

dan sisa ½ bagian es Pembentukan bakso

Bakso

Perebusan (10-15 menit),80°C

Bakso matang

25 lama penyimpanan yaitu 0, 5, dan 10 hari dengan 3 ulangan untuk pengujian kualitas mikrobiologi, fisik dan kimia. Sampel uji organoleptik dibuat pada waktu yang berbeda dengan membuat terlebih dahulu sampel untuk penyimpanan 10 hari dan sampel berikutnya 5 hari kemudian. Diagram alir proses pengawetan bakso dengan perendaman supernatan antimikrobaLactobacillus plantarum 1A5 dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram Alir Proses Pengawetan Bakso dengan Perendaman Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum1A5

Penyimpanan pada suhu rendah 0, 5 dan 10 hari

Bakso matang

Bakso kontrol Bakso dengan perendaman supernatan antimikroba

Analisis kualitas mikrobiologi, fisik, kimia dan

26 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Daging

Penilaian kualitas daging segar meliputi pH, daya mengikat air, dan total mikroba daging segar. Daging yang digunakan untuk penelitian ini adalah daging silverside (gandik). Penggunaan daging gandik dimaksudkan untuk menghasilkan produk bakso yang lebih kenyal dan berwarna putih. Kualitas fisik dan mikrobiologis daging segar yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penilaian kualitas pada daging segar

Peubah Nilai

pH daging 6,04

Persentase Air Bebas (%)* 35,46

Total Mikroba (cfu/g) 2,54x108

Keterangan: *air yang tidak terikat protein

Hasil pengukuran pH daging adalah 6,04. Nilai pH daging normal menurut SNI-01-3947-1995 yaitu antara 5,3-5,8 dan mg H2O yang keluar adalah 35,46% yang menandakan bahwa daya mengikat air dari daging yang digunakan cukup tinggi (Dewan Standardisasi Nasional, 1995). Daging dengan daya mengikat air tinggi akan menyebabkan rendemen tinggi dan tekstur bakso menjadi baik, sedangkan daging dengan daya mengikat air rendah menyebabkan rendemen rendah dan teksturnya menjadi kurang baik (Prasetyo, 2002). Pengukuran daya mengikat air dilakukan dengan pengukuran area basah yang dihasilkan ketika daging ditekan dengan beban tertentu. Area basah terbentuk karena adanya pelepasan H2O dari daging. Nilai DMA dipengaruhi oleh nilai pH dan jumlah ATP. Apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoeletrik daging, maka nilai DMA akan meningkat (Soeparno, 2005). Nilai pH yang didapatkan berbeda dengan nilai pH dari SNI, karena pH paska mati akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan nilai pH daging tersebut Hal ini dapat terjadi jika hewan mengalami stress, kelelahan dan lapar sebelum pemotongan dan belum mencapai pH ultimat.

Nilai pH juga berhubungan dengan pertumbuhan bakteri. Hampir semua bakteri dapat tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7 dan tidak akan tumbuh pada pH di bawah 4 dan di atas 9. Nilai pH dapat menentukan suatu produk daging

27 bersifat asam, basa, dan netral. Bakteri yang sering dijumpai pada daging yaitu dari strain Pseudomonas, Moraxella, Acenibacter, Lactobacillus, dan beberapa famili dari Enterobactericeae. Keberadaan bakteri asam laktat alami dalam daging mampu melakukan aktivitas fermentasi yang mengubah gula atau glikogen dan menghasilkan asam laktat, sehingga akan menurunkan nilai pH. Hal ini sesuai dengan pernyataan Varnam dan Sutherland (1995) yang menyebutkan, bahwa faktor utama yang menentukan nilai pH daging adalah jumlah asam laktat yang diproduksi dalam daging pada kapasitas buffer yang merupakan kemampuan dari daging untuk menyerap asam laktat dari protein daging dan adanya senyawa-senyawa basa yang dihasilkan oleh mikroba-mikroba yang besifat proteolitik.

Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui pula populasi total mikroba sudah melebihi batas maksimum cemaran mikroba pada daging, jika disesuaikan dengan standar SNI tentang daging segar. Menurut SNI No. 01-0366-2000, dinyatakan bahwa total mikroba adalah 1x105 cfu/g. Kerusakan daging dapat disebabkan oleh perubahan dalam daging itu sendiri (faktor internal) maupun oleh lingkungan (faktor eksternal). Banyaknya cemaran mikroba pada hasil penelitian in disebabkan tempat pemotongan yang kurang higienis, kontaminasi dari air, lantai, pekerja, udara, isi saluran pencernaan, dan alat-alat yang digunakan. Tempat pembelian daging juga menjadi salah satu faktor banyaknya cemaran mikroba. Daging yang dibeli berasal dari pasar tradisional dengan kondisi kebersihan dan sanitasi pasar yang kurang baik. Daging juga diletakkan di lantai tanpa memperhatikan kondisi lantai yang kotor.

Nilai daya mengikat air dihitung berdasarkan persentase H2O yang keluar dari daging, semakin kecil persentase H2O maka daging memiliki daya mengikat air yang besar. Nilai daya mengikat air pada daging merupakan satu dari sekian banyak faktor yang paling penting dalam menentukan kualitas suatu daging. Protein-protein pada otot mampu menahan molekul-molekul air di permukaannya. Saat jaringan-jaringan otot meningkatkan keasaman (menurunkan nilai pH), daya mengikat air juga menurun. Tingginya daya mengikat air dari daging yang digunakan akan menghasilkan bakso dengan tingkat kekenyalan yang tinggi. Faktor yang mempengaruhi daya mengikat air antara lain, temperatur, jenis kelamin, perlakuan sebelum pemotongan, dan lemak intramuskular (Soeparno, 2005).

28 Hasil pengujian kualitas fisik supernatan antimikroba dapat dilihat pada Tabel 3. Pengukuran total asam tertitrasi menurut Frobisher et al. (1974) adalah jumlah hidrogen total (dalam bentuk terdisosiasi dan tidak terdisosiasi).

Tabel 3. Nilai pH dan Total Asam Tertitrasi Supernatan Antimikroba

Peubah Nilai

pH 4,00

Total Asam Tertitrasi(%) 2,54

Nilai pH supernatan antimikroba yaitu 4. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Permanasari (2008) yang mendapatkan nilai pH 4,3. Lactobacilllus plantarum merupakan bakteri asam laktat homofermentatif yang memiliki kemampuan untuk memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan asam laktat yang dapat menurunkan pH supernatan antimikroba.

Menurut Varnam dan Sutherland (1995), pembentukan asam laktat tergantung dari tingkat aktivitas mikroba. Bakteri asam laktat memiliki kemampuan untuk mengubah glikogen menjadi asam laktat. Selain itu, jumlah asam laktat yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh karbohidrat yang tersedia, semakin tinggi jumlah karbohidrat yang tersedia maka semakin banyak asam laktat yang terbentuk. Nilai pH dan TAT yang terbentuk merupakan hasil metabolisme starter terhadap glikogen daging yang menghasilkan asam organik dan asam laktat.

Kualitas Bakso

Kualitas bakso yang diuji terhadap bakso dalam penelitian ini meliputi nilai Total Plate Count (TPC), nilai pH, total asam tertitrasi (TAT), daya serap air, kekenyalan, kadar air, dan aktivitas air.

Nilai Total Plate Count(TPC)

Total mikroba perlu diketahui untuk memastikan suatu bahan pangan layak untuk dikonsumsi. Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan erat hubungannya dengan jumlah kandungan air. Kebutuhan mikroba akan air biasanya dinyatakan dalam aktivitas air (aw). Produk bakso memiliki aw yang tinggi sehingga cocok sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Secara fisik, bakso sudah berlendir, muncul bau menyengat dan terjadi perubahan warna. Sesuai dengan hal tersebut, bakso terkontaminasi dengan jamur. Menurut SNI 01-0366-2000 juga dinyatakan

29 bahwa mikroba yang melebihi batasan normal dapat disebabkan oleh daging yang digunakan memiliki jumlah mikroba diambang batasan normal dan terjadi kontaminasi dari alat-alat yang digunakan.

Menurut Russel (2001), bau busuk dan berlendir timbul karena jumlah mikroba melebihi 1x108 cfu/g. Bau busuk pada bakso kontrol maupun bakso supernatan antimikroba muncul pada penyimpanan hari ke-5, karena bakteri yang tumbuh adalah bakteri pembusuk. Lendir pada bakso kontrol dan supernatan antimikroba muncul pada penyimpanan hari ke-10, karena mikroorganisme yang tumbuh pada bakso adalah khamir dan kapang. Lendir juga disebabkan oleh bakteri berkapsul, diantaranya Pseudomonas dan Alcaligenes(Frazier dan Westhoff, 1988). Pseudomonas dan Alcaligenesmerupakan bakteri yang tidak tahan pada pengeringan dan pemanasan yang tinggi, namun suhu internal bakso pada proses perebusannya tidak mencapai suhu 100ºC. Hal ini menyebabkan bakteri tersebut masih dapat bertahan hidup pada bakso.

Analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara pemberian supernatan antimikroba dengan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap Total Plate Count (TPC). Rataan total mikroba (log cfu/g) bakso berkisar antara 5,7±0,1 sampai dengan 8,6±0,4. Menurut Fardiaz (1992), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba, antara lain ketersediaan nutrisi, pH, aktivitas air, ketersediaan oksigen, dan potensi oksidasi reduksi. Pengaruh pemberian supernatan antimikroba pada masa simpan yang berbeda terhadap TPC dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Total Plate Count (TPC) (log cfu/g) Bakso dengan Lama Penyimpanan Berbeda

Perlakuan 0 hari 5 hari 10 hari

Kontrol 7,8±0,9ab 5,7±0,1bc 8,6±0,4a

(+) Supernatan

Antimikroba 7,4±1,6

abc

6,6±0,3abc 7,3±0,8 c

Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai TPC pada bakso kontrol lebih tinggi dari bakso yang diberi penambahan supernatan antimikroba. Nilai TPC pada hari ke-0 menunjukkan jumlah populasi awal total mikroba. Mikroba pada bakso yang diberi

30 penambahan supernatan antimikroba pada penyimpanan hari ke-0 memasuki fase adaptasi. Nilai TPC bakso tersebut pada penyimpanan hari ke-5 mengalami penurunan, hal ini dikarenakan munculnya bakteri pembusuk, sedangkan pada hari ke-10 jumlah populasi total mikroba mengalami peningkatan. Hal ini mungkin dikarenakan daya hambat supernatan antimikroba pada hari ke-10 mulai melemah, namun pertumbuhan mikroorganisme masih terus berlangsung. Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan pertumbuhan bakteri pada hari ke-10 antara lain, terjadinya kontaminasi dari alat, pekerja dan daging yang digunakan telah mengalami tingkat cemaran yang lebih tinggi.

Perendaman bakso dengan supernatan antimikroba juga dapat menyebabkan asam laktat yang terkandung berdifusi ke dalam bakso. Difusi asam laktat ini akan terionisasi dan akan mematikan intisel dari bakteri. Efek penghambatan dari asam organik terutama berhubungan dengan jumlah asam yang tidak terdisosiasi. Asam yang tidak terdisosiasi dapat berdifusi secara pasif ke dalam membran sel. Asam di dalam sel tersebut membelah menjadi proton dan anion sehingga mempengaruhi pH di dalamnya (Rini, 1995). Pertumbuhan mikroorganisme juga dipengaruhi oleh suhu. Suhu di bawah 5ºC dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak atau pembusuk dan mencegah hampir semua mikroorganisme patogen. Suhu 5ºC ini dianggap sebagai suhu kritis selama penyimpanan dan penanganan daging. Selama penyimpanan di refrigerator, bakteri psikrofilik yang ditemukan adalah Pseudomonas, Achromobacter, Micrococcus, Lactobacillus, Streptococcus, Leuconostoc, Pediococcus, dan Proteus. Pada kondisi dingin dalam kondisi aerob, flora pembusuk daging didominasi oleh bakteri Lactobacillus. Bakteri tersebut pada awalnya menyerang glukosa dan semakin lama menyerang asam amino yang dimiliki oleh daging (Soeparno, 2005).

Nilai pH

Nilai pH bakso merupakan salah satu sifat fisik. Sifat fisik terkait dengan karakteristik fisik dan dapat dinilai secara organoleptik, misalnya warna, kekerasan, rasa dan kebasahan. Pengukuran pH bertujuan mengetahui tingkat keasaman yang disebabkan oleh adanya ion hidrogen tersebut. Pengukuran pH ini sangat penting, karena dapat menentukan kerusakan makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Makanan yang mempunyai pH rendah relatif lebih tahan selama

31 penyimpanan dibandingkan dengan makanan yang mempunyai pH netral atau mendekati netral (Fardiaz, 1992). Derajat keasaman yang tinggi dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba, namun dalam industri pengolahan daging derajat keasaman yang tinggi lebih disukai karena dapat memperbaiki daya mengikat air. Nilai pH sangat berpengaruh terhadap daya simpan produk olahan daging.

Hasil pengukuran nilai pH dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis, karena nilai pH tersebut tidak memenuhi asumsi untuk uji analisis ragam. Hasil uji non parametrik dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penggunaan supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 dengan masa simpan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap nilai pH bakso (P<0,05). Nilai pH pada bakso kontrol berkisar antara 6,48-6,69. Nilai pH tersebut mendekati netral yang mungkin dipengaruhi oleh pemakaian STPP. Penambahan STPP dapat meningkatkan pH, sehingga akan diperoleh daya mengikat air yang semakin tinggi. Selain itu penambahan garam juga akan meningkatkan pH karena ion Cl- yang berasal dari NaCl akan menurunkan kohesi antar molekul atau filamen yang berdekatan dan melemahkan ikatan hidrogen (Hamm, 1975).

Gambar 4. Grafik Nilai pH pada Kontrol dan Supernatan Antimikroba

Gambar 4 menunjukkan bakso yang tidak diberi supernatan antimikroba (kontrol) memiliki pH yang lebih tinggi dibandingkan bakso yang diberi supernatan antimikroba. Hal ini disebabkan supernatan antimikroba memiliki pH asam, sehingga ketika menyerap ke dalam bakso menyebabkan terjadinya penurunan pH. Semakin

32 rendah pH bakso maka daya simpan akan meningkat, sebab pH yang rendah akan menghambat beberapa mikroba. Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum, yaitu pH saat pertumbuhannya maksimum, sekitar pH 6,5-7,5. Sebaliknya, khamir menyukai pH 4-5 dan dapat tumbuh pada kisaran pH 2,5-8,5. Nilai pH yang rendah tidak dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan karena asam organik tidak mengubah kandungan supernatan antimikroba pada bakso daging. Supernatan antimikroba mengandung asam organik seperti asam laktat. Asam laktat yang terkandung dapat mengakibatkan nilai pH turun dan bentuk tidak terdisosiasi dari molekul asam organik. Surono (2004) menyatakan bahwa nilai pH eksternal yang rendah dapat mengakibatkan asidifikasi sel sitoplasma, sementara itu asam yang terdisosiasi menjadi lipofilik, yang dapat berdifusi ke dalam membran.

Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT)

Total asam tertitrasi adalah hasil pengukuran asam terdisosiasi maupun tidak terdisosiasi melalui proses metabolisme karbohidrat oleh bakteri asam laktat. Kualitas TAT dapat memprediksikan pengaruh asam dari flavour lebih baik daripada pH (Nielsen, 2003). Pengukuran nilai total asam tertitrasi dilakukan bertujuan mengetahui kandungan asam laktat pada bakso. Rataan nilai total asam tertitrasi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Total Asam Tertitrasi Bakso dengan Lama Penyimpanan Berbeda

Perlakuan 0 hari 5 hari 10 hari

Kontrol 1,51±0,08c 1,27±0,09c 1,18±0,05c

(+) Supernatan

Antimikroba 3,02±0,11

a

2,24±0,23b 3,07±0,07a

Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Hasil pengujian menunjukkan bahwa interaksi antara pemberian supernatan antimikroba dengan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap total asam tertitrasi. Keasaman produk bakso kontrol sebesar 1,18-1,51%, sedangkan bakso yang direndam supernatan antimikroba sebesar 2,24-3,07%. Kenaikan ini lebih disebabkan oleh bakteri asam laktat atau mikroorganisme lain seperti khamir yang menghasilkan asam organik selama penyimpanan. Bakso yang direndam supernatan antimikroba mengandung media selektif untuk pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) yang kaya akan nutrisi, karena bakso tersebut memiliki pH antara 5-5,6

33 sehingga BAL akan berkembang lebih baik. Hal ini disebabkan bakteri asam laktat tumbuh optimum pada pH 5,0-6,0 (Adams dan Moss, 1995). Semakin rendah nilai pH pada suatu produk makanan, proporsi asam dalam bentuk tidak terdisosiasinya semakin tinggi, yang berarti semakin baik pula aktivitas supernatan antimikroba tersebut. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa khamir dapat memfermentasi gula dan memproduksi asetaldehida, asam laktat, dan asam asetat dalam jumlah yang tidak terdisosiasi, sedangkan pH hanya dapat mengukur komponen asam yang terdisosiasi. Nilai Daya Serap Air

Hasil pengukuran nilai daya serap air dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis, karena nilai daya serap air tersebut tidak memenuhi asumsi untuk uji analisis ragam. Hasil uji non parametrik dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa pemberian supernatan antimikroba dari bakteri Lactobacillus plantarum pada lama penyimpanan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap nilai daya serap air. Pengaruh pemberian supernatan antimikroba dan lama penyimpanan terhadap daya serap air dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai rata-rata daya mengikat air berkisar antara 0,68-1,44 g/g.

Tabel 6. Rataan Daya Serap Air Bakso (ml) dengan Lama Penyimpanan Berbeda

Perlakuan 0 hari 5 hari 10 hari Rataan

Kontrol 1,35±0,091 0,72±0,38 1,08±0,57 1,05±0,347

(+)Supernatan

Antimikroba 1,53±0,125 0,64±0,09 0,96±0,14 1,04±0,118

Rataan 1,44±0,108 0,68.±0,23 1,02±0,71

Daya serap air dipengaruhi oleh pH yang menurut Ockerman (1983) bahwa meningkatnya pH akan meningkatkan daya mengikat air. Penggunaan daging prerigor pada penelitian ini dapat membantu peningkatan daya serap air, karena daging memiliki kemampuan dalam mengikat air yang tinggi. Nilai pH yang jauh di atas titik isoelektrik dari aktin dan miosin menyebabkan protein akan mengikat air lebih banyak dan permukaan daging akan terlihat kering (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Daging memiliki titik isoeletrik pada pH 5,0-5,1.

Daya serap air bakso yang direndam supernatan antimikroba tidak berbeda dengan bakso yang tidak direndam supernatan antimikroba. Hal ini disebabkan pH bakso yang direndam dan tidak direndam supernatan antimikroba berada di dekat

34 titik isoelektrik. Bakso yang direndam supernatan antimikroba memiliki nilai pH yang lebih rendah dari titik isoelektrik dan bakso yang tidak direndam supernatan mikroba memiliki nilai pH yang lebih tinggi dari titik isoelektrik, yang menurut Soeparno (2005) daya mengikat air akan meningkat pada nilai pH yang lebih tinggi dan lebih rendah dari titik isoelektrik. Lama penyimpanan 0, 5 dan 10 hari juga tidak berpengaruh terhadap daya mengikat air karena daya mengikat air dipengaruhi oleh pH, pelayuan dan pemasakan atau pemanasan (Soeparno, 2005).

Nilai Kadar Air

Kadar air merupakan persentase kandungan air dari suatu bahan. Peranan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi aktivitas metabolism, seperti aktivitas kimiawi dan aktivitas mikroba yang dapat mempengaruhi kualitas nilai gizi dan organoleptik produk tersebut. Rataan kadar air (%) bakso dengan lama penyimpanan berbeda dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Kadar Air (%) Bakso dengan Lama Penyimpanan Berbeda

Perlakuan 0 hari 5 hari 10 hari Rataan

Kontrol 74,23±0,531 75,27±0,927 75,75±1,095 74,74±0,849

(+) Supernatan

Antimikroba 75,23±0,811 75,23±0,963 75,04±1,268 75,16±1,014

Rataan 74,73±0,671 75,25±0,945 74,98±1,181

Air merupakan komponen penyusun terbesar dalam daging, begitu pula dalam bakso. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan produk lebih mudah mengalami kerusakan, karena adanya mikroorganisme perusak yang memanfaatkan banyaknya air yang terkandung dalam produk untuk pertumbuhannya. Rataan nilai kadar air yang dihasilkan bakso kontrol sebesar 74,74±0,849, sedangkan bakso

Dokumen terkait