• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nomor Halaman 1 Hasil Sidik Ragam Supernatan Antimikroba dan Lama Penyimpanan

terhadap Total Plate Count Bakso Sapi ... 50 2 Hasil Sidik Ragam Supernatan Antimikroba dan Lama Penyimpanan

terhadap Nilai aw(Aktivitas Air) Bakso Sapi ... 50 3 Hasil Sidik Ragam Supernatan Antimikroba dan Lama Penyimpanan

terhadap Nilai Kadar Air Bakso Sapi ... 50 4 Hasil Sidik Ragam Supernatan Antimikroba dan Lama Penyimpanan

terhadap Nilai Bilangan Asam Bakso Sapi ... 51 5 Hasil Uji Kruskal-Wallis Nilai Daya Serap Air Bakso ... 51 6 Hasil Uji Kruskal-Wallis Nilai Kekenyalan Bakso ... 51 7 Hasil Uji Kruskal-Wallis Nilai pH Bakso ... 52 8 Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Aroma) ... 52 9 Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Rasa) ... 52 10 Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Warna) ... 53 11 Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Penampilan Umum) ... 53 12 Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Tekstur) ... 53 13 Hasil Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik (Aroma) ... 54 14 Hasil Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik (Lendir) ... 54 15 Hasil Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik (Warna) ... 54 16 Hasil Uji Kruskal Wallis Mutu Hedonik (Kekenyalan) ... 55 17 Hasil Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik (Rasa) ... 55 18 Gambar Perendaman Bakso dengan Supernatan Antimikroba

Lactobacillus plantarum 1A5 ... 56 19 Gambar Penyaringan Supernatan AntimikrobaLactobacillus plantarum 1A5 ... 56 20 Gambar Bakso (Siap Uji Organoleptik) ... 56 21 Format Uji Organoleptik... 57

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bakso sapi merupakan salah satu jenis bakso yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Bahan baku bakso terdiri atas daging, bumbu dan bahan tambahan makanan lainnya. Bakso memiliki sifat mudah rusak, oleh karena itu diperlukan bahan pengawet untuk meningkatkan masa simpannya. Pengawetan tersebut dapat dilakukan secara alami, yaitu dengan menggunakan senyawa yang dihasilkan bakteri yang memiliki kemampuan untuk memperpanjang daya simpan makanan, dikenal dengan istilah biopreservatif. Bahan pengawet alami yang dimaksudkan adalah supernatan bebas sel dari antimikroba.

Antimikroba yang digunakan berasal dari bakteri asam laktat (BAL). BAL biasa digunakan untuk produk pangan fermentasi yang mampu menghasilkan asam laktat, hidrogen peroksida dan senyawa metabolit lainnya. Antimikroba merupakan senyawa berupa bakteriosin, asam organik dan hidrogen peroksida. Senyawa bakteriosin mudah didegradasi oleh enzim proteolitik dan mampu menghambat pertumbuhan mikroba spesies lain yang biasanya berkerabat dekat dengan spesies penghasil. Antimikroba ini mampu menghambat bakteri psikrofilik yang pada suhu rendah tidak mati melainkan membentuk spora.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, bakso yang tidak diberi penambahan bahan pengawet tidak akan mampu bertahan lebih dari tiga hari pada suhu refrigerator (4ºC). Hal ini disebabkan adanya bakteri psikrofilik yang mampu bertahan pada suhu refrigerator. Bakteri psikrofilik masih dapat hidup pada suhu rendah antara 0ºC-10ºC. Bakteri ini berpotensi untuk menimbulkan lendir pada bakso. Munculnya mikroba pendegradasi protein juga menyebabkan penurunan kualitas pada bakso.

Antimikroba yang digunakan pada penelitian ini berasal dari bakteri Lactobacillus plantarum1A5 yang diisolasi dari daging sapi.Penggunaan supernatan bebas sel dari antimikroba dilakukan dengan cara perendaman. Hal ini dimaksudkan agar asam organik dari supernatan antimikroba tersebut dapat berdifusi ke dalam bakso, terionisasi dan akhirnya memecahkan inti sel dari bakteri psikrofilik. Penggunaan supernatan antimikroba selain dapat memperpanjang masa simpan

2 diharapkan juga dapat memperbaiki kualitas mikrobiologi, fisik, kimia, dan organoleptik bakso.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh supernatan bebas sel dari antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum1A5 terhadap karakteristik sifat mikrobiologi, fisik, kimia, dan organoleptik bakso sapi dengan masa simpan 0, 5 dan 10 hari pada suhu rendah.

3 TINJAUAN PUSTAKA

Daging

Daging menurut SNI-01-3947-1995 adalah urat daging yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan sehat pada saat dipotong (Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Daging didefinisikan sebagai daging mentah atau flesh dari hewan yang digunakan sebagai makanan. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak oleh mikroorganisme karena ketersediaan gizi di dalamnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroorganisme, terutama mikroba perusak. Menurut Elveira (1988), daging sapi yang biasa digunakan untuk membuat bakso adalah daging penutup (top side), gandik (silver side), dan lemusir (cube roll). Penggunaan daging gandik menyebabkan bakso mempunyai kadar protein, daya iris (shear WB), kecerahan dan kemerahan tertinggi, serta kadar lemak terendah (Indarmono, 1987).

Bakso

Bakso daging menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50 persen) dan pati atau serealia dengan atau tanpa BTP (bahan tambahan pangan) yang diizinkan. Pembuatan bakso biasanya menggunakan daging yang segar. Daging segar (pre-rigor) adalah daging yang diperoleh setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses pendinginan terlebih dahulu. Fase pre-rigor berlangsung selama 5 sampai 8 jam setelah postmortem. Bakso dapat dikelompokkan menurut jenis daging yang digunakan dan berdasarkan perbandingan jumlah tepung pati yang digunakan. Berdasarkan jenis daging sebagai bahan baku untuk membuat bakso, maka dikenal bakso sapi, bakso ayam, bakso ikan, bakso kerbau, dan bakso kelinci (Gaffar, 1998).

Menurut Dewan Standardisasi Nasional Indonesia (SNI)-01-3818-1995 yang tertera pada Tabel 1, bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan yang diperoleh dari campuran daging dengan jumlah daging yang digunakan tidak kurang dari 50%.

4 Tabel 1. Syarat Mutu Bakso Daging dari Segi Mikrobiologi Berdasarkan SNI

01-3818-1995

Jenis cemaran mikroba Batas maksimum cemaran mikroba

Angka lempeng total 1x105kol/g

Escherichia coli 1x103

Staphylococcus aureus 1x102

Salmonella negatif

Sumber : SNI 01-3818-1995

Empat faktor yang mendasari pilihan konsumen terhadap produk bakso sapi secara berurutan, yaitu mutu dan kualitas, tempat pembelian, harga, dan kemudahan mendapatkan bakso sapi tersebut. Urutan parameter mutu bakso sapi yang menentukan pilihan konsumen adalah rasa, aroma, tekstur, dan ukuran. Karakteristik bakso sapi yang disukai adalah rasanya yang gurih (sedang), agak asin, mempunyai rasa daging yang kuat, beraroma daging rebus, teksturnya empuk dan agak kenyal, berwarna abu-abu pucat, berbentuk bulat dan berukuran sedang dengan diameter 3-5 cm (Judge et al.,1989)

Mikrobiologi Daging

Bakteri merupakan sekelompok organisme yang sangat tergantung kepada kebutuhan nutrisinya, yaitu aw, kesediaan oksigen, pH dan temperatur yang sesuai untuk tumbuh. Menurut Frazier et al.(1988), beberapa genus bakteri yang umumnya dapat ditemukan pada daging adalah Pseudomonas, Achromobacter, Streptococcus, Sarcina, Leuconostoc, Lactobacillus, Flavobacterium, Proteus, Bacillus, Clostridium, Escherichia, danSalmonella. Menurut SNI-01-6366-200 batas cemaran Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB) untuk daging segar adalah 1x104.Menurut Lawrie (1995), mikroorganisme pada daging yang berasal dari kontaminasi pekerja diantaranya adalah Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Bacillus proteus, Staphylococcus albus,danStaphylococcus aureus. Kapang dan khamir juga terdapat dalam daging. Berbeda dengan bakteri, kapang dan khamir hanya terdapat pada permukaan daging karena sifatnya aerobik.

Mikroorganisme yang merusak produk olahan daging dapat tumbuh pada temperatur rendah meskipun suhu optimumnya pada temperatur ruang. Pseudomonas dapat tumbuh pada permukaan daging yang telah mengalami pendinginan (chilling). Kelompok bakteri ini dapat tumbuh baik pada suhu 0ºC padahal suhu minimum untuk pertumbuhannya ditentukan oleh reduksi aw dan jumlah air yang terdapat

5 dalam daging. Bakteri yang dapat hidup pada suhu rendah dinamakan bakteri psikofilik (Buckle et al., 1987).

Pembuatan Bakso

Menurut Pandisurya (1983), pada prinsipnya ada empat tahap pembuatan bakso, yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan bakso, dan pemasakan bakso. Wilson et al. (1981) menyatakan bahwa penghancuran daging dapat dilakukan dengan cara mencincang, mencacah atau menggiling daging sampai lumat. Tujuan penghancuran daging ini adalah memecahkan dinding sel serabut otot sehingga protein larut garam seperti aktin dan myosin mudah diekstrak dengan menggunakan larutan garam.

Pembuatan bakso dapat dilakukan dengan cara mencampur seluruh bahan kemudian menghancurkannya atau menghancurkan daging terlebih dahulu lalu mencampurkannya dengan bahan lainnya (Wilson et al., 1981). Adonan bakso dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap direbus dengan air panas. Pembentukan adonan menjadi bola-bola bakso dapat dilakukan dengan menggunakan tangan atau mesin pencetak bola bakso (Wibowo, 1999). Pencetakan bakso pada umumnya dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan. Adonan bakso dibentuk menjadi bulatan-bulatan sebesar kelereng atau lebih besar dari kelereng. Bola bakso yang sudah terbentuk direbus dalam air mendidih hingga matang. Jika bakso sudah mengapung pada permukaan air berarti bakso sudah matang dan perebusan dapat dihentikan. Biasanya perebusan ini dapat dilakukan sekitar 15 menit (Pandisurya, 1983).

Menurut Pearson dan Tauber (1984), perlu diperhatikan kenaikan suhu akibat panas yang dihasilkan selama proses penggilingan daging. Stabilitas emulsi perlu dijaga dengan cara mempertahankan suhu di bawah 20ºC, karena suhu di atas 20ºC pada saat penggilingan daging akan menyebabkan denaturasi protein sehingga sebagian emulsi akan pecah. Indarmono (1987) menyatakan bahwa perlu dilakukan penyimpanan adonan sebelum dicetak menjadi bakso, yang bertujuan meningkatkan jumlah protein larut garam dalam adonan bakso, sehingga dapat memperbaiki sifat fisik bakso yang dihasilkan.

6 Emulsi Daging

Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi dua cairan atau senyawa yang tidak tercampur, yang satu terdispersi dengan yang lain. Cairan yang berbentuk globula-globula kecil yang disebut fase dispersi atau fase diskontinu. Protein-protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi dengan membungkus atau menyelimuti suatu permukaan partikel yang terdispersi (Soeparno, 2005).

Hasil emulsi yang baik dapat diperoleh dengan cara mencacah atau melumatkan daging pre-rigor bersama-sama dengan es, garam dan bahan curing. Campuran kemudian disimpan beberapa jam untuk memberi kesempatan ekstraksi protein yang lebih efisien. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh temperatur selama proses emulsifikasi, ukuran partikel lemak, pH, jumlah dan tipe protein yang larut, serta viskositas emulsi. Suhu dan waktu pengolahan yang berlebihan dapat merugikan dengan terjadinya denaturasi protein terlarut, penurunan viskositas emulsi dan melelehnya partikel lemak (Soeparno, 2005). Bakso dan sosis merupakan contoh suatu sistem emulsi minyak dalam air. Emulsi ini membantu terjadinya dispersi (Winarno, 1997).

Komposisi Bakso

Bakso ditemukan pertama kali di daerah Cina pada 3000 SM. Bahan-bahan bakso terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama dari produk bakso ini adalah daging, sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah bahan pengisi, garam, es atau air es, bumbu-bumbu seperti lada serta bahan penyedap (Sunarlim, 1992).

Bahan pengisi

Bahan pengisi dan bahan pengikat diperlukan dalam pembuatan bakso. Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan pengisi terletak pada fraksi utama dan kemampuannya mengemulsikan lemak. Bahan pengisi mempunyai kandungan karbohidrat yang lebih tinggi, sedangkan bahan pengikat mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi. Bahan pengikat memiliki kemampuan untuk mengikat air dan mengemulsikan lemak (Kramlich, 1971).

Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung dari pati, seperti tepung tapioka dan tepung sagu. Tepung dari pati dapat

7 meningkatkan daya mengikat air karena memiliki kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan (Tarwotjo et al., 1971). Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bahan pengisi dimaksudkan untuk mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan cita rasa, memperbaiki sifat irisan dan mengurangi biaya produksi. SNI 01-3818-1995 menetapkan penggunaan bahan pengisi dalam pembuatan bakso maksimum 50% dari berat daging yang digunakan.

Sodium Tripolifosfat (STPP)

Menurut Ockermann (1983), STPP memiliki fungsi untuk meningkatkan pH daging, kestabilan emulsi dan kemampuan emulsi. Jika nilai pH semakin mendekati titik isoelektrik protein, maka daya mengikat air akan semakin rendah. Penambahan STPP dapat meningkatkan pH sehingga diperoleh daya mengikat air yang semakin tinggi. Penambahan STPP dapat mencegah terjadinya rekahan serta terbentuknya permukaan kasar pada daging layu, dapat meningkatkan rendemen, kekerasan, kekenyalan dan kekompakan bakso (Elveira, 1988).

Garam Dapur (NaCl)

Sunarlim (1992) menyatakan bahwa hasil olahan daging biasanya mengandung 2-3% garam. Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein miofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki peranan penting sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambah atau meningkatkan rasa dan memperpanjang umur simpan produk. Es atau Air Es

Peningkatan suhu selama proses pelumatan daging akan mencairkan es, sehingga suhu daging atau adonan dapat dipertahankan. Selain itu, penambahan es atau air juga penting untuk menjaga kelembaban produk akhir agar tidak kering, meningkatkan sari minyak (juiceness) dan keempukan daging (Forrest et al., 1975). Jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan akan mempengaruhi kadar air, daya mengikat air, kekenyalan dan kekompakan bakso (Indarmono, 1987). Oleh sebab itu, penggunaan es atau air es harus dibatasi.

Salah satu tujuan penambahan air dan es pada produk emulsi daging adalah menurunkan panas produk yang dihasilkan akibat gesekan selama penggilingan,

8 melarutkan dan mendistribusikan garam ke seluruh bagian massa daging secara merata, mempermudah ekstraksi protein otot, membantu proses pembentukan emulsi, dan mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah. Jika panas ini berlebih maka emulsi akan pecah, karena panas yang terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya denaturasi protein. Akibatnya produk tidak akan bersatu selama pemasakan (Aberle et al., 2001).

Bumbu

Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bumbu dalam pembuatan produk daging dimaksudkan untuk mengembangkan rasa dan aroma serta memperpanjang umur simpan produk. Merica dan bawang putih sering digunakan dalam beberapa resep produk daging olahan seperti sosis, bakso dan lain sebagainya. Tujuan utama penambahan bumbu adalah untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan dan sebagai bahan pengawet alami (Schmidt, 1988). Selain itu, bumbu juga mempunyai pengaruh pengawetan terhadap produk daging olahan karena pada umumnya bumbu mengandung zat yang bersifat bakteristatik dan antioksidan (Soeparno, 1998).

Merica adalah buah dari tanaman Piper nigrum L. dan memiliki rasa yang sangat pedas (Pungent) dan berbau harum (aromatik). Rasa pedas dihasilkan oleh zat piperin dan aroma sedap dihasilkan oleh terpen. Merica mengandung minyak essensial 1%-2,7%. Bawang putih adalah umbi dari tanaman allium Sativum L. dan memiliki rasa pedas (Pungent). Bawang putih mengandung sekitar 0,1%-0,25% zat volatil, yaitu alil sulfida yang terbentuk secara enzimatik ketika butiran umbi bawang putih dihancurkan atau dipecah. Di dalam bawang putih juga terdapat S-(2-propenil)-L-cistein sulfoksida yang merupakan prekursor utama dalam pembentukan alil thiosulfat (allicin) (Reinenccius, 1994).

Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan sekelompok bakteri Gram positif yang memiliki kemiripan karakteristik morfologi, metabolisme, dan fisiologi. Ciri general dari BAL adalah tidak membentuk spora, anaerob, berbentuk bulat (cocci) atau batang (rods) dan menghasilkan asam laktat sebagai produk akhir terbanyak dari fermentasi karbohidrat (Wright dan Ouwehand, 2004). Bakteri asam laktat biasanya dapat ditemui pada tanaman, saluran pencernaan hewan maupun manusia dan berbagai produk pangan hasil fermentasi seperti yogurt, kefir, keju dan acar (pickle).

9 Bakteri asam laktat memiliki kemampuan untuk memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan asam laktat yang dapat menurunkan pH substrat sehingga pertumbuhan bakteri lain dapat terhambat. Selain menghasilkan asam laktat, BAL juga mampu menghasilkan metabolit lain seperti bakteriosin, hidrogen peroksida, diasetil, dan asam organik yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba lain (bakteristatik) maupun sebagai pembunuh mikroba lain (bakterisidal).

Bakteri asam laktat terutama genera Lactococcus, Lactobacillus, Leuconostoc, Pediococcus dan Streptococcus secara tradisional banyak digunakan sebagai kultur starter dalam fermentasi berbagai makanan dan minuman. BAL banyak digunakan saat proses fermentasi pada makanan, karena terjadi proses pembentukan cita rasa dan aroma selama proses fermentasi serta adanya efek pengawetan terhadap makanan atau minuman. Efek pengawetan bahan makanan yang difermentasi menggunakan BAL menyebabkan terjadinya penurunan pH selama fermentasi berlangsung dan terbentuk zat-zat seperti bakteriosin, asam peroksida dan asam-asam organik yang bersifat antimikroba (De Vuyst dan Vandamme, 1994).

Lactobacillus plantarum

Bakteri Lactobacillus plantarum merupakan bakteri asam laktat dari famili Lactobacilliceae dan genus Lactobacillus(Robinson dan Tamime, 1981). Bakteri ini bersifat Gram positif, non motil, dan berukuran 0,6-0,8 µm x 1,2-6,0 µm. Organisme ini bersifat antagonis terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella, dan gram negatif lainnya (Gililland, 1986). Lactobacillus plantarum bersifat toleran pada garam, memproduksi asam dengan cepat dan memiliki pH ultimat 5,3 hingga 5,6 (Buchanan dan Gibbons, 1974).

Bakteri Lactobacillus plantarum umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam dan oleh karenanya menjadi lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari fermentasi tipe asam laktat. Bakteri ini sering digunakan dalam fermentasi susu, sayuran, dan daging (sosis). Fermentasi dari L. Plantarum bersifat homofermentatif sehingga tidak menghasilkan gas (Buckle et al., 1987).

Bakteri Lactobacillus plantarum terutama berguna untuk pembentukan asam laktat, penghasil hidrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri asam laktat lainnya dan juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa protein yang

10 bersifat bakterisidal (James et al., 1992). Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel sensitif dan dapat menyebabkan kematian sel dengan cepat walaupun pada konsentrasi rendah. Bakteriosin yang berasal dari L. plantarum dapat menghambat Staphylococcus aureus dan bakteri Gram negatif (Branen, 1993).

Lactobacillus plantarum 1A5

Isolat bakteri Lactobacillus plantarum 1A5 merupakan bakteri asam laktat yang diisolasi dari daging sapi. Bakteri ini tergolong Gram positif yang mempunyai bentuk batang dengan susunan tunggal atau rantai dan memiliki uji katalase negatif. Substrat antimikroba isolat Lactobacillus plantarum1A5 ini memiliki daya hambat terhadap E. Coli dengan rataan diameter zona hambat 7,87 mm, daya hambat terhadap S. aureus dengan rataan diameter zona hambat sebesar 8,99 mm, dan terhadap Salmonella typhimurium dengan rataan diameter zona hambat sebesar 11,76 mm (Permanasari 2008). Lactobacillus plantarum merupakan bakteri yang dapat bertahan hidup dengan baik pada pH lambung (pH 2), pH usus (pH 7,2) dan garam empedu 0,3% (Wijayanto 2009, unpublished).

Antimikroba

Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan akivitas mikroba. Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikroba antara lain, (1) perusakan dinding sel sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien di dalam sel, (3) denaturasi protein, dan (4) perusakan sistem metabolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler (Pelczar et al., 1979).

Menurut Fardiaz (1992), makanan mengandung komponen yang dapat menghambat pertumbuhan jasad renik. Komponen antimikroba tersebut terdapat di dalam makanan melalui berbagai cara, yaitu (1) terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan, (2) ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, (3) terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad renik yang tumbuh selama fermentasi makanan. Zat-zat yang digunakan sebagai antimikroba harus mempunyai beberapa kriteria ideal antara lain tidak bersifat racun bagi bahan pangan, ekonomis, tidak

11 menyebabkan timbulnya galur resisten dan sebaiknya membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff, 1988).

Zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan kapang) dan germisidal (menghambat germinisasi spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain (1) konsentrasi zat pengawet, (2) waktu penyimpanan, (3) suhu lingkungan, (4) sifat-sifat mikroba (jenis, konsentrasi, umur dan keadaan mikroba), dan (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah senyawa di dalamnya (Fardiaz, 1992). Ditambahkan pula oleh Davidson (1993) bahwa antimikrobial harus bersifat lipofilik dan larut dalam fase cair sehingga dapat menempel dan menembus melewati membran sel.

Bakteriosin

Bakteriosin sering dihubungkan dengan senyawa antimikroba berupa protein yang mudah didegradasi oleh enzim proteolitik dan mampu menghambat pertumbuhan mikroba spesies lain yang biasanya berkerabat dekat dengan spesies penghasil (Jack et al., 1995). Substansi ini diproduksi oleh beberapa strain bakteri, termasuk dalam hal ini bakteri asam laktat (BAL) (Gorris dan Bennik, 1994). Hampir semua substansi yang diproduksi oleh BAL mampu menghambat pertumbuhan BAL lainnya, dan beberapa diantaranya memiliki sifat bakterisidal terhadap bakteri lain yaitu bakteri pembusuk dan patogenik asal makanan seperti Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum (Gorris dan Bennik, 1994). Bakteriosin bersifat irreversible, mudah dicerna, berpengaruh positif terhadap kesehatan, aktif pada konsentrasi rendah, dan pada bakteri asam laktat biasanya digunakan sebagai pengawet makanan (Vuyst dan Vandamme, 1994).

Bakteriosin mengandung protein antimikroba yang dapat menghambat strain yang sensitif dan diproduksi oleh bakteri Gram positif dan Gram negatif (Tagg et al., 1976). Bakteriosin juga dapat digunakan sebagai bahan pengawet pada makanan fermentasi. Bakteriosin yang diproduksi oleh Gram positif seperti L. bulgaricus memiliki ukuran peptida kecil sekitar 3-6 kDa. Senyawa yang diproduksi oleh BAL ini selalu terjadi dalam fase pertumbuhan dan meningkat sampai fase eksponensial.

12 Bakteriosin tumbuh pada media yang mengandung karbohidrat. Pertumbuhan bakteriosin sendiri dipengaruhi oleh karbon, nitrogen, dan sumber fosfat.

Menurut Nurliana (1997), penggunaan bakteriosin sebagai pengawet memiliki beberapa keuntungan, yaitu (1) tidak toksik dan mudah mengalami biodegradasi karena merupakan senyawa protein, (2) tidak membahayakan mikroflora usus karena mudah dicerna oleh enzim-enzim dalam saluran pencernaan, (3) aman bagi lingkungan dan dapat mengurangi penggunaan bahan kimia sebagai bahan pengawet, dan (4) dapat digunakan dalam kultur bakteri unggul yang mampu menghasilkan senyawa antimikroba terhadap bakteri patogen atau dapat digunakan dalam bentuk senyawa antimikrobial yang telah dimurnikan.

Asam Organik

Asam organik seperti asetat, laktat, malat, sitrat, merupakan kompenen alami yang terdapat dalam makanan dan digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Terbentuknya asam laktat dan asam organik oleh bakteri asam laktat dapat menyebabkan penurunan pH, akibatnya mikroba yang tidak tahan terhadap kondisi pH yang relatif rendah akan terhambat (Fardiaz, 1982). Jenie (1996) menambahkan bahwa akumulasi produk akhir asam yang rendah pHnya menghasilkan penghambatan yang luas terhadap Gram positif maupun Gram negatif.

Efek penghambatan dari asam organik terutama berhubungan dengan jumlah asam yang tidak terdisosiasi dan dapat berdifusi secara pasif ke dalam membran sel. Asam di dalam sel tersebut membelah menjadi proton dan anion sehingga mempengaruhi pH di dalamnya (Rini, 1995). Menurut Roller (2003), asam organik yang memiliki nilai pH 4 dapat menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan jika berada dikisaran pH 5 dapat menghambat kapang dan khamir.

Stratford (2000) menyatakan, bahwa asam lemah dapat menurunkan pH

Dokumen terkait