• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Bobot telur tetas

Bobot telur tetas didapatkan dari penimbangan telur setiap pagi dengan timbangan Mettler P1210 dan dicatat dengan satuan gram.

2. Indeks telur

Indeks telur tetas didapatkan dari pengukuran panjang dan lebar dengan menggunakan jangka sorong.

100

3. Fertilitas telur tetas, dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 100%

4. Kematian embrio (dead embryo), dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

100%

5. Daya tetas telur, dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 100%

6. Bobot tetas itik

Bobot tetas itik didapatkan dari penimbangan DOD saat menetas. 7. Imbangan jantan betina itik

Imbangan jantan betina itik didapat dengan cara melakukan sexing. 100%

  HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dengan mengamati hasil silang balik antara itik PA dan AP dengan tetuanya. Hasil persilangan dalam penelitian ini adalah tiga genotipa yang berbeda, yaitu PAP, AAP dan APA. PAP merupakan hasil persilangan dari jantan itik Pekin dan betina itik Alabio Pekin (AP), AAP merupakan hasil persilangan dari jantan itik Alabio dan betina itik Alabio Pekin(AP), sedangkan APA merupakan hasil persilangan dari jantan itik Alabio dan betina itik PA (Pekin Alabio). Secara umum, silang balik (backcross) biasa digunakan untuk memunculkan sifat homozigot resesif untuk mengevaluasi keberadaan sifat-sifat yang tidak diinginkan. Pengevaluasian keberadaan sifat yang tidak diinginkan dapat dilihat dengan membandingkan itik AAP dan PAP. Itik AAP dan PAP memiliki induk yang sama namun pejantan yang berbeda. Rataan sifat reproduksi itik AAP dan PAP dapat dilihat pada Tabel 3. Pengevaluasian keberadaan pengaruh maternal dilihat dengan membandingkan itik AAP dan APA. Kedua itik tersebut memiliki induk yang berbeda namun pejantan yang sama. Kurnianto (2009) menyatakan meskipun hasil persilangan mempunyai komposisi darah yang sama banyak, namun penampilannya bisa berbeda akibat adanya pengaruh maternal. Rataan sifat reproduksi itik AAP dan APA dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Rataan Sifat Reproduksi Itik PAP dan AAP untuk Pengevaluasian Keberadaan Sifat yang Tidak Diinginkan

Peubah

Genotipa PAP

(x ± s.e) (x ± s.e) AAP

Bobot telur (g) 77,59±0,54 76,68±0,61 Indeks telur (%) 75,31±0,55 74,62±0,23 Bobot tetas (g) 44,92±0,77 43,35±0,46 Fertilitas (%) 61,53±5,31 72,36±8,93 Daya tetas (%) 68,04±9,47 78,12±3,87 Kematian embrio (%) 27,23±8,58 13,02±2,33

16   

Tabel 4. Rataan Sifat Reproduksi Itik AAP dan APA untuk Pengevaluasi Keberadaan Pengaruh Maternal

Peubah

Genotipa AAP

(x ± s.e) (x ± s.e) APA

Bobot telur (g) 76,68a±0,61 81,16b±0,51 Indeks telur (%) 74,62a±0,23 75,85b±0,37 Bobot tetas (g) 43,35a±0,46 47,38b±0,90 Fertilitas (%) 72,36±8,93 75,85±8,26 Daya tetas (%) 78,12±3,87 59,61±8,20 Kematian embrio (%) 13,02±2,33 21,20±7,08

Imbangan Jantan Betina (%) 50,68±2,61 63,70±10,00

Keterangan : huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Hasil uji ANOVAmenunjukkan bahwa bobot telur tetas AAP dan APA berbeda nyata (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh maternal terhadap bobot telur tetas yang diamati. Perbedaan pada pengujian ANOVA tersebut menunjukkan bahwa induk pada masing-masing persilangan mempengaruhi bobot telur tetas turunannya. Pengaruh maternal pada peubahini terlihat jelas pada rataan bobot telur tetas itik APA dan AAP, yaitu masing-masing 81,16±0,51 g dan 76,68±0,61g. Hasil tersebut menerangkan bahwa jantan itik Alabio yang disilangkan dengan betina itik PA memberikan bobot telur tetas yang lebih besar dibandingkan dengan apabila disilangkan dengan betina itik AP. Menurut Lasmini dan Heriyati (1992), bobot telur tetas yang besar menghasilkan bobot DOD yang lebih tinggi dibandingkan denganbobot telur tetas yang kecil.Dilihat dari hasil penelitian, itik betina PA dapat dijadikan suatu pilihan indukan untuk memperoleh bobot DOD yang lebih besar.

Berbeda dengan pengevaluasian terhadap pengaruh maternal, pengevaluasian terhadap ada tidaknya sifat yang tidak diinginkan pada bobot telur tetas AAP dan PAP tidak ditemukan dalam penelitian ini.Hal ini berarti pejantan itik Alabio dan pejantan itik Pekin pada persilangan ini tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada bobot telur.Hasil pengamatan juga menunjukkan tidak adanya perbedaan bobot telur dari periode pertama hingga kelima pada masing-masing genotipa. Rataan bobot telur tetas per periode dapat dilihat pada Tabel 5. Bobot telur tetas itik AAP,

17  APA dan PAPdari periode pertama hingga kelima umumnya stabil. Secara umum, bobot telur tetas itik AAP, APA dan PAP yang disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4 lebih tinggi dibandingkan dengan bobot telur tetas itik Alabio murni hasil penelitian Matitaputty et al. (2011) yang hanya sebesar 63,22 g.Bobot telur tetas itik AAP, APA dan PAP juga lebih tinggi dari bobot telur antara tetua dan turunan itik Pegagan hasil penelitian Sari (2012) yaitu sebesar 65,32 dan 65,80 g.Hasil penelitian Kokoszynski et al. (2007) melaporkan bahwa bobot telur itik Pekin murni sebesar 80,7 g. Hal ini menunjukkan bahwa bobot telur tetas itik APA lebih tinggi dari bobot telur itik Pekin murni serta bobot telur tetas itik AAP dan PAP lebih rendah dari bobot telur itik Pekin murni.

Tabel 5. Rataan Bobot Telur dan Bobot Tetas Itik AAP, APA dan PAP berdasarkan Periode

Peubah

Periode 1

(x ± s.e) (x ± s.e) 2 (x ± s.e) 3 (x ± s.e) 4 (x ± s.e) 5 Bobot telur 78,80±0,90 78,15±0,88 77,86±0,92 77,42±0,86 78,54±1,29 Bobot tetas 44,03±0,51 42,28±0,86 46,84±0,94 43,79±0,72 46,61±1,47

Indeks telur diamati dengan membandingkan lebar dan panjang telur. Dharmaet al. (2001) menjelaskan bahwa indeks telur yang mencerminkan bentuk telur sangat dipengaruhi oleh sifat genetik, bangsa serta proses pembentukan telur, terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus.Hasil pengamatan terhadap indeks telur menunjukkan perbedaan yang nyata antara telur AAP dan APA. Indeks telur APA lebih tinggi dibanding indeks telur AAP. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh maternal dalam indeks telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa betina itik PA memberikan pengaruh indeks telur yang lebih besar dibandingkan dengan betina itik AP. Berbeda dengan pengevaluasian terhadap keberadaan pengaruh maternal, pengevaluasian terhadap keberadaan sifat yang tidak diharapkan yang dilihat dari indeks telur AAP dan PAP tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat sifat yang tidak diinginkan pada indeks telur, dengan kata lain jantan itik Alabio dan itik Pekin memberikan pengaruh yang sama terhadap indeks telur. Kokoszynski et al. (2007) melaporkan bahwa rataan indeks telur itik Pekin sebesar 74,1%. Hal ini berarti secara keseluruhan

18   

rataanindeks telur itik APA, PAP dan AAP lebih besar dari indeks telur itik Pekin. Rataan indeks telur itik APA sebesar 75,85%, AAP sebesar 74,62% dan PAP sebesar 75,31%. Bentuk telur itik AAP, APA dan PAP dapat dikatakan lebih panjang dari itik normal mengingat Dharma et al. (2001) menyatakan bahwa nilai yang lebih kecil dari 79% akan memberikan penampilan lebih panjang.

Hasil pengamatan terhadap keberadaan sifat yang tidak diinginkan pada bobot tetas menunjukkan hasil yang tidak berbeda antara bobot tetas AAP dan PAP. Hal ini menunjukkan bahwa jantan itik Alabio dan jantan itik Pekin memberikan pengaruh yang sama terhadap bobot tetas. Masing-masing bobot tetas antara AAP dan PAP adalah 43,35±0,46g dan 44,92±0,77g. Hasil yang berbeda ditemukan pada pengamatan terhadap keberadaan pengaruh maternal. Hasil pengamatan menunjukkan pengaruh maternal terhadap bobot tetas itik AAP dan APA. Bobot tetas itik APA umumya lebih besar dibandingkan bobot tetas AAP, yaitu sebesar 47,38±0,90g. Hasil tersebut menunjukkan bahwa betina itik PA memberikan pengaruh bobot tetas yang lebih tinggi dibandingkan betina itik AP. Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) melaporkan rataan bobot DOD itik Alabio adalah 39,85 g. Selain itu, hasil penelitian Setioko et al.(2004b) melaporkan bahwa bobot tetas itik Alabio adalah sebesar 35,7 g. Hal ini menunjukkan bahwa rataan bobot tetas itik AAP, PAP dan APA lebih tinggi dibandingkan rataan bobot tetas itik Alabio murni. Periode penetasan yang berbeda juga menunjukkan bobot tetas itik yang berbeda (P<0,05). Rataan bobot tetas per periode dapat dilihat pada Tabel 5.

Hasil pengamatan terhadap fertilitas, daya tetas, kematian embrio serta imbangan jantan dan betina AAP, APA dan PAP yang disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4 tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini menunjukkan tidak ditemukannya sifat-sifat yang tidak diinginkan dan pengaruh maternal dalam fertilitas, daya tetas, kematian embrio serta imbangan jantan dan betina pada itik AAP, APA dan PAP. Rataan fertilitas itik PAP sebesar 61,53%, itik AAP sebesar 72,36% dan itik APA sebesar 75,85%. Rataan fertilitas yang dihasilkan dari silang balik antara itik AP dan PA dengan tetuanya lebih rendah dari rataan fertilitas itik Alabio. Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) melaporkan bahwa fertilitas telur Alabio adalah sebesar 79,18%. Lasmini et al. (1992) melaporkan hasil candling telur menunjukkan fertilitas telur itik Alabio sebesar 80%. Rataan tersebut juga lebih rendah dibandingkan dengan

19  rataan fertilitas hasi persilangan resiprokal antara itik Alabio dan itik Cihateup, yaitu itik CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀) sebesar 95,19% dan itik AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀) sebesar 93,85%.

Berbeda dengan rataan fertilitas, rataan daya tetas itik AAP, APA dan PAP lebih tinggi dibandingkan rataan daya tetas itik Alabio. Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) melaporkan daya tetas telur itik Alabio adalah sebesar 48,98%, sedangkan Lasmini et al. (1992) melaporkan daya tetas telur itik Alabio adalah sebesar 50,5%.Rataan daya tetas itik AAP sebesar 78,12%, itik APA sebesar 59,61% dan itik 68,04%. Rataan daya tetas itik APA, AAP dan PAP lebih tinggi dibandingkan itik AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀). Rataan daya tetas itik PAP dan AAP juga lebih tinggi dibandingkan dengan itik CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀), namun rataan daya tetas itik APA lebih rendah. Menurut Matitaputty (2012), kemampuan embrio untuk tetap bertahan sampai menetas juga dipengaruhi faktor genetik, yaitu karena kontribusi gen yang diwariskan. Menurut Brahmantiyo dan Prasetyo (2001), daya tetas juga dipengaruhi oleh status nutrisi induk. Embrio dapat mati jika kekurangan, kelebihan atau ketidakseimbangan nutrisi.

Rataan persentase kematian embrio itik PAP, AAP dan APA lebih rendah dibandingkan rataan persentase kematian embrio hasil persilangan resiprokal antara itik Alabio dan itik Cihateup. Rataan kematian embrio itik PAP, AAP dan APA masing masing adalah 27,23%, 13,02% dan 21,20%. Imbangan jantan betina pada itik AAP, APA dan PAP didapat dari sexing yang dilakukan pada saat telur menetas. Rataan persentase imbangan jantan betina itik AAP, APA dan PAP masing-masing adalah 50,68%, 63,70% dan 55,10%. Hasil penelitian yang lebih baik dari tetuanya pada beberapa peubah ini diharapkan dapat meningkatkan variasi bangsa itik di Indonesia. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu program

   

Dokumen terkait