PERFORMA SIFAT REPRODUKSI HASIL SILANG BALIK
(BACKCROSS) ITIK PEKIN ALABIO (PA)
DAN ITIK ALABIO PEKIN (AP)
DENGAN TETUANYA
SKRIPSI
PANDU PERMATASARI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN
PANDU PERMATASARI. D14080006. 2012. Performa Sifat Reproduksi Hasil Silang Balik (Backcross) Itik Pekin Alabio (PA)dan Itik Alabio Pekin (AP)dengan Tetuanya.Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Ronny Rahman Noor, M.Rur.Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. L. Hardi Prasetyo, M.Agr
Itik Pekin Alabio (PA) dan itik Alabio Pekin (AP) merupakan itik hasil persilangan resiprokal antara itik Alabio dan itik Pekin yang dilakukan oleh Balai Penelitian Ternak Ciawi (BPT). Hasil persilangan dariitik Alabio jantan dan itik Pekin betina dinamakan itik Alabio Pekin (AP), sedangkan hasilpersilangan dari itik Pekin jantan dan itik Alabio betina dinamakan itik Pekin Alabio (PA).Itik PA dan AP yang telah didapat disilangbalikkan dengan tetuanya yaitu itik Alabio dan itik Pekin.Secara umum, backcross biasa digunakan untuk memunculkan sifat homozigot resesif untuk mengevaluasi keberadaan sifat-sifat yang tidak diinginkan. Mengingat terjaminnya keberlangsungan ketersediaan populasi itik yang baik sangat tergantung pada sifat reproduksi yang dimiliki oleh para tetuanya, oleh karena itu sifat yang diamati pada penelitian ini adalah sifat reproduksi. Tujuan dari penelian ini adalah untuk mengevaluasi ada tidaknya sifat yang tidak diinginkan pada sifat reproduksi itik hasil silang balik antara itik AP dan PA dengan tetuanya. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengevaluasi ada tidaknya pengaruh maternal terhadap sifat reproduksi itik hasil silang balik tersebut.
Penelitian ini dilakukan di Balai Penelitian Ternak selama tiga bulan, mulai bulan Juni 2011 sampai Agustus 2011. Itik yang digunakan sebanyak 20 ekor itik AP, delapan ekor itik PA, satu ekor itik Pekin dan enam ekor itik Alabio. Sistem perkawinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah inseminasi buatan (IB) dengan perbandingan jantan dan betina 1:4. Peubah yang diamati adalahbobot telur tetas, indeks telur tetas, fertilitas telur tetas, kematian embrio, daya tetas telur, bobot tetas itik dan imbangan jantan betina itik.
Hasil persilangan dalam penelitian ini adalah tiga genotipa yang berbeda, yaitu PAP, AAP dan APA. PAP merupakan hasil persilangan dari jantan itik Pekin dan betina itik Alabio Pekin (AP), AAP merupakan hasil persilangan dari jantan itik Alabio dan betina itik Alabio Pekin (AP), sedangkan APA merupakan merupakan hasil persilangan dari jantan itik Alabio dan betina itik PA (Pekin Alabio).Pengevaluasian ada tidaknya sifat yang tidak diinginkan dengan cara membandingkan itik AAP dan PAP, sedangkan pengevaluasian ada tidaknya pengaruh maternal dapat dilihat dengan membandingkan itik AAP dan itik APA. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa bobot telur tetas, indeks telur dan bobot tetas itik AAP lebih rendah dibandingkan itik APA.Berbeda dengan tiga peubah diatas, hasil pengujian statistik terhadap fertilitas, daya tetas, kematian embrio dan imbangan jantan betina itik AAP menunjukkan hasil yang tidak berbeda dibandingkan dengan itik APA. Pengujian statistik untuk itik PAP dan APA menunjukkan hasil yang tidak berbeda pada seluruh peubah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh maternal pada bobottelur, indeks telur dan bobot tetas itik hasil silang balikitik PA dan APdengan tetuanya, namunpengaruh
iii
maternal tidak terlihat pada fertilitas, daya tetas, kematian embrio serta imbangan jantan dan betina. Secara umum, tidak terdapat sifat-sifat yang tidak diharapkan pada sifat reproduksi hasil persilangan itik PA dan AP dengan tetuanya.
ABSTRACT
Performance of Reproduction Characteristicsof Backcrosses between Pekin Alabio and Alabio Pekin Ducks with their Parental Lines
Permatasari, P., R. R. Noor and L. H. Prasetyo
AP and PA ducks are the crossbreed between Alabio and Pekin duck. AP and PA ducks were backcrossed to their parental lines in order to evaluate the maternal effects of their backcrosses. Twenty AP, 8 PA, 6 Alabio ducks and 1 Pekin ducks were used and crossed to produce AAP (Alabio X AP), APA (Alabio X PA) and PAP (Pekin X AP). The observed parameters were observed were egg weight, DOD weight, egg index, hatchability, fertility, dead embryo and sex ratio. The observations were conducted for reproduction characteristics of AAP, APA and PAP eggs. The result showed that there were maternal effects in weight of egg, index of egg and weight of laying egg. On the other hand, the maternal effect did not appear in fertility, hatchability, dead embryo and sex ratio.
PERFORMA SIFAT REPRODUKSI HASIL SILANG BALIK
(BACKCROSS) ITIK PEKIN ALABIO (PA)
DAN ITIK ALABIO PEKIN (AP)
DENGAN TETUANYA
PANDU PERMATASARI D14080006
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul : Performa Sifat Reproduksi Hasil Silang Balik (Backcross) Itik Pekin Alabio (PA) dan Itik Alabio Pekin (AP) dengan Tetuanya
Nama : Pandu Permatasari NIM : D14080006
Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,
(Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc) (Dr. Ir. L. Hardi Prasetyo, M.Agr) NIP. 19610210 198603 1 003 NIP. 19510917 197901 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP 19591212 198603 1004
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Oktober 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Drs. Sutarno, M.MPd dan Ibu Yuli Sukarelawati, S.Pd, M.Pd.
Penulis memulai pendidikan di TK Tirta Buaran pada tahun 1995-1996. Selanjutnya Penulis memasuki jenjang pendidikan dasar di SDN Pamulang Barat dari kelas 1 sampai kelas 2 pada tahun 1996-1998. Saat kelas 3 Penulis pindah ke SDN Serua X (SDN Serua V) hingga lulus pada tahun 2002. Penulis kemudian melanjutkan jenjang pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Pamulang (SMP Negeri 9 Kota Tangerang Selatan) pada tahun 2002-2005. Selanjutnya Penulis melanjutkan jenjang pendidikan menengah atas pada tahun 2005 di SMA Negeri 1 Pamulang (SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan) dan lulus pada tahun 2008.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, Penulis aktif dalam berbagai organisasi. Penulis pernah menjabat sebagai RT di Lorong 6 Gedung A1 Asrama Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor periode 2008-2009. Penulisjuga pernah menjabat sebagai anggota divisi Pengembangan Organisasi (PO) di HIMAPROTER periode 2009-2011. Selain aktif dalam organisasi, Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan. Selain kegiatan di dalam kampus, Penulis juga berprofesi sebagai guru privat untuk siswa SMA sejak tahun 2010 hingga sekarang.
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirohim.
Alhamdulillahirobil’alamin, puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWTkarena berkat rahmat dan hidayah-Nya Penulis berhasil menyelesaikan
penelitian dan skripsi dengan judul ”Performa Sifat Reproduksi Hasil Silang Balik
(Backcross) Itik Pekin Alabio (PA) dan Itik Alabio Pekin (AP) dengan Tetuanya”.
Skripsi ini Penulis buat sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini dilakukan di Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi pada bulan Juni 2011 sampai Agustus 2011. Penelitian dengan tujuan mengevaluasi pengaruh maternal dan sifat yang tidak diinginkan pada hasil silang balik itik PA (Pekin Alabio) dan AP (Alabio Pekin) dengan tetuanya ini, diharapkan dapat menjadi acuan dalam usaha pembibitan ternak itik.
Penulis berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian hingga penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi civitas akademika peternakan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Bogor, Juni 2012
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN ... ii ABSTRACT ... iv LEMBAR PERNYATAAN ... v LEMBAR PENGESAHAN ... viRIWAYAT HIDUP ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ...xiii
PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Itik Alabio ... 3 Itik Pekin ... 3 Crossbreeding ... 4
Silang Balik (Backcross) ... 4
Bobot Telur Tetas ... 5
Indeks Telur ... 5
Fertilitas ... 6
Daya Tetas (Hatchability) ... 6
Kematian Embrio ... 7
Bobot Tetas ... 8
Pengaruh Maternal ... 8
MATERI DAN METODE ... 9
Lokasi dan Waktu ... 9
Materi ... 9
Prosedur ... 11
Rancangan dan Analisis Data ... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15
KESIMPULAN DAN SARAN ... 20
Kesimpulan ... 20
Saran ... 20
x DAFTAR PUSTAKA ... 22 LAMPIRAN ... 24
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Persentase Daya Tetas Itik AA, CC, AC dan Itik CA ... 6 2. Persentase Kematian Embrio Itik AA, CC, AC dan Itik CA ... 7 3. Rataan Sifat Reproduksi Itik PAP dan AAP untuk Pengevaluasian
Keberadaan Sifat yang Tidak Diinginkan ... 15 4. Rataan Sifat Reproduksi Itik AAP dan APA untuk Pengevaluasi
Keberadaan Pengaruh Maternal ... 16 5. Rataan Bobot Telur dan Bobot Tetas Itik AAP, APA dan PAP
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Itik Alabio ... 3 2. Itik Pekin ... 4 3. Rodalon ... 9 4. Kandang Individu ... 10 5. Lemari Fumigasi ... 10 6. Timbangan ... 10 7. Jangka Sorong ... 10 8. Ruang Candling ... 11 9. Mesin Setter ... 11 10. Mesin Hatcher ... 11
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil ANOVA Bobot Telur AAP dan APA ... 25
2. Hasil ANOVA Bobot Telur AAP dan PAP ... 25
3. Hasil ANOVA Bobot Tetas AAP dan APA ... 25
4. Hasil ANOVA Bobot Tetas AAP dan PAP ... 25
5. Hasil Uji T-test Indeks, Fertilitas, Daya Tetas, Kematian Embrio, Imbangan Jantan Betina ... 25
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permintaan pasar terhadap produk hasil ternak itik (daging dan telur) belakangan ini semakin meningkat seiring dengan meningkatnya popularitas daging dan telur itik di masyarakat. Populasi itik di Indonesia pada tahun 2009 menurut data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011) sebesar 40.680.000 ekor. Jumlah populasi tersebut dinilai belum mencukupi kebutuhan pasar. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan bibit itik yang belum tersedia secara kontinyu di pasaran.
Itik Alabio merupakan salah satu itik lokal Indonesia. Itik Alabio adalah itik yang berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Habitat itik Alabio di daerah berawa yang memiliki kelembaban tinggi sesuai dengan wilayah hutan hujan tropis (Brahmantiyo dan Prasetyo, 2001). Itik Alabio kini sudah menyebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Itik ini juga termasuk itik petelur sama seperti itik-itik lokal lain pada umumnya. Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi telah melakukan persilangan antara itik Alabio dan itik Pekin dengan pertimbangan bahwa itik Alabio merupakan itik petelur, sedangkan itik Pekin merupakan itik pedaging. Persilangan antarbangsa merupakan persilangan antarternak dari kedua bangsa yang berbeda. Persilangan ini sering disebut crossbreeding dan merupakan persilangan yang paling umum dilakukan. Crossbreeding merupakan bentuk silang luar yang lebih ekstrim dibanding dengan linecrossing. Hal ini karena dua individu dari dua bangsa yang berbeda akan memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh dibandingkan dengan dua individu yang masih sebangsa, walaupun mereka berasal dari galur yang berbeda. Oleh sebab itu, secara umumcrossbreeding menghasilkan peningkatan derajat heterosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan
linecrossing(Noor, 2010).
Melalui persilangan terstruktur, BPT Ciawi menamakan hasil dari persilangan antara itik jantan Alabio dan itik betina Pekin sebagai itik AP, sedangkan hasil persilangan itik jantan Pekin dan itik betina Alabio sebagai itik PA. Setelah mendapat itik PA dan AP, dilakukan backcross terhadap tertuanya yaitu itik Alabio dan itik Pekin. Secara umum, backcross biasa digunakan untuk memunculkan sifat homozigot resesif untuk mengevaluasi keberadaan sifat-sifat yang tidak diinginkan. Hasil backcross dengan nilai performa rendah menggambarkan sifat-sifat yang tidak
2
diinginkan. Alasan digunakan itik Alabio adalah untuk melestarikan itik lokal Indonesia. Backcross antara itik PA dan AP dengan itik Alabio bertujuan untuk mengetahui performa sumberdaya lokal itik Indonesia, sedangkan tujuan dilakukannyabackcross dengan itik Pekin adalah sebagai pembanding performa itik hasil backcross itik AP dan PA dengan Alabio.
Terjaminnya keberlangsungan ketersediaan populasi itik yang baik sangat tergantung pada sifat reproduksi yang dimiliki oleh para tetua. Penetasan merupakan salah satu sifat reproduksi yang penting untuk diperhatikan. Jika sifat penetasan tidak baik, maka populasi itik tersebut akan menurun pada setiap periode. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengamati performa sifat penetasan telur (fertilitas telur tetas, kematian embrio dan daya tetas telur), bobot telur tetas, indeks telur tetas bobot tetas itik serta imbangan jantan betina itik hasil backcross(antara itik PA dan AP dengan tetuanya).
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi sifat reproduksi yang tidak diinginkan hasil silang balik antara itik AP dan PA dengan tetuanya. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh maternal terhadap sifat reproduksi itik hasil silang balik tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Itik Alabio
Itik Alabio merupakan salah satu itik lokal Indonesia. Itik Alabio adalah itik yang berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Habitatnya di daerah berawa yang memiliki kelembaban tinggi sesuai dengan wilayah hutan hujan tropis (Brahmantiyo dan Prasetyo, 2001). Sulaiman dan Rahmatullah (2011) melaporkan ciri-ciri itik Alabio adalah memiliki bentuk tubuh seperti botol dan membentuk segitiga dengan sudut 60 oC, warna bulu coklat
keabu-abuan dengan warna paruh dan kaki kuning hingga jingga. Bobot badan itik Alabio betina pada umur 20-24 minggu sekitar 1,5-1,6 kg, sedangkan bobot itik Alabio jantan sebesar lebih dari 1,6 kg (Sulaiman dan Rahmatullah, 2011). Gambar 1 mengilustrasikan itik Alabio.
Gambar 1. Itik Alabio Itik Pekin
Itik Pekin merupakan salah satu jenis itik pedaging yang sangat potensial. Itik ini memiliki penampilan yang seragam dengan bulu berwarna putih, paruh dan shank kuning. Pergerakan saat berjalan menyerupai entog, yaitu tubuh agak landai dengan bobot badan jantan berkisar antara 4,0-5,0 kg/ekor, sedangkan betina berkisar antara 2,5-3,0 kg/ekor (Setioko et al., 2004a). Ilustrasi itik Pekin disajikan pada Gambar 2.
4
Gambar 2. Itik Pekin Crossbreeding
Kurnianto (2009) menjelaskan bahwa pengertian crossbreeding atau yang biasa disebut persilangan adalah perkawinan antar bangsa atau antar strain. Secara genetik, persilangan menaikkan persentase heterozigositas sehingga dengan demikian menaikkan variasi genetik (Hardjosubroto, 1994). Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa tujuan utama persilangan adalah menggabungkan dua atau lebih sifat yang berbeda yang semula terdapat dalam dua bangsa ternak ke dalam satu bangsa silangan. Selain itu tujuan lain dari persilangan adalah pembentukan bangsa baru, grading up dan pemanfaatan heterosis.
Silang Balik (Backcross)
Silang balik (backcross) adalah perkawinan antara keturunan (F1) dengan salah satu bangsa tetua. Hasil persilangan ini diperoleh ternak dengan komposisi darah tetuanya masing-masing ¾ dan ¼ (Kurnianto, 2009). Menurut Susanti et al. (1998), salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh mutu bibit yang baik secara cepat adalah kawin silang diantara itik-itik lokal di Indonesia. Upaya perbaikan produktivitas dapat dilakukan terhadap faktor-faktor genetik dan non-genetik serta upaya perbaikan non-genetik melalui kawin silang telah umum digunakan dalam industri peternakan sebagai metode untuk memanfaatkan heterosis. Fenotip yang dikehendaki merupakan kombinasi dari galur-galur untuk memperbaiki efisiensi produksi melalui penggunaan galur tetua jantan atau betina yang spesifik (Prasetyo dan Susanti, 1997). Susanti et al. (1998) melakukan backcross dengan
5 tujuan awal untuk mempelajari pertumbuhan hasil persilangan. Susanti et al. (1998) melaporkan bahwa persilangan timbal balik antara itik Alabio dengan Mojosari menghasilkan keturunan itik jantan dan betina yang mempunyai rataan sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan rataan tetuanya.
Bobot Telur Tetas
Lasmini dan Heriyati (1992) menjelaskan bahwa bobot telur itik Alabio dan itik Tegal tidak memberikan pengaruh nyata terhadap fertilitas, namun berpengaruh sangat nyata terhadap daya tetas. Bobot telur pada kelompok medium memberikan daya tetas tertinggi, kemudian menurun pada kelompok large dan terendah pada kelompok small. Lasmini dan Heriyati (1992) menambahkan bahwa bobot telur itik yang lebih besar menghasilkan bobot tetas DOD lebih tinggi daripada telur tetas yang kecil. Hal ini berhubungan dengan sumber makanan bagi embrio lebih banyak pada telur large daripada medium dan small, sehingga menghasilkan bobotDOD kelompok large lebih besar dari medium dan small. Bobot telur yang optimal untuk ditetaskan adalah ukuran medium. Kelompok large sebagaimana yang disebutkan Lasmini dan Heriyati (1992) adalah kelompok telur dengan bobot 71-80 g/butir, sedangkan kelompok medium adalah kelompok telur dengan bobot 61-70 g/butir dan kelompok small adalah kelompok telur dengan bobot 50-60 g/butir.Matitaputtyet al. (2011) melaporkan bahwa bobot telur tetas itik Alabio adalah 63,22 g. Hasil penelitianSari (2012) menambahkan bahwa bobot telur antara tetua dan turunan itik Pegagan sebesar 65,32 g dan 65,80 g.Kokoszynski et al. (2007) melaporkan bahwa bobot telur itik Pekin sebesar 80,7 g. Menurut Dharma et al.(2001), bobot telur dipengaruhi galur atau bangsa, umur induk, periode produksi (awal atau menjelang akhir), umur masak kelamin, besar tubuh, banyak telur yang dihasilkan dan kualitas pakan.
Indeks Telur
Dharmaet al. (2001) menjelaskan bahwa indeks telur yang mencerminkan bentuk telur sangat dipengaruhi sifat genetik, bangsa serta proses pembentukan telur, terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus. Romanoff dan Romanoff (1963) menjelaskan bahwa nilai indeks yang normal adalah 79%. Dharmaet al. (2001) menambahkan bahwa nilai yang lebih kecil dari 79% akan memberikan penampilan lebih panjang, sedangkan nilai yang lebih besar dari 79% akan
6
memberikan penampilan yang lebih bulat. Kokoszynski et al. (2007) melaporkan bahwa rataan indeks telur itik Pekin sebesar 74,1%.
Fertilitas
Persentase fertilitas diperoleh dari jumlah telur yang fertil dibagi dengan jumlah telur yang dieramkan dikalikan 100% (Matitaputty, 2012). Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) melaporkan bahwa fertilitas telur Alabio adalah sebesar 79,18%. Lasmini et al. (1992) melaporkan hasil candling telur menunjukkan fertilitas telur itik Alabio sebesar 80%. Hasil persilangan itik Alabio dan itik Cihateup yang dilakukan oleh Matitaputty (2012) menunjukkan bahwa persentase fertilitas itik Alabio sebesar 95,61%, itik CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀) sebesar 95,19%, itik AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀) sebesar 93,85% dan itik Cihateup sebesar 94,88%.
Matitaputty (2012) menjelaskan bahwa sistem pemeliharaan dan kawin secara alami dengan perbandingan jantan dan betina (1 : 4) berpengaruh sangat baik terhadap tingkat fertilitas telur tetas yang dihasilkan.Selain itu, itik dengan umur sembilan bulan memiliki telur yang sangat baik untuk ditetaskan. Menurut Lasmini dan Heriyati (1992), perbedaan jenis itik mempengaruhi fertilitas telur secara nyata.
Daya Tetas (Hatchability)
Rataan daya tetas dihitung dari persentase jumlah telur yang menetas terhadap jumlah telur fertil secara keseluruhan (Setioko et al., 2004a). Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) melaporkan daya tetas telur itik Alabio adalah sebesar 48,98%. Hasil ini hampir sama dengan yang didapat oleh Lasmini et al. (1992) yang melaporkan bahwa daya tetas telur itik Alabio adalah sebesar 50,5%. Persentase daya tetas yang didapat oleh Matitaputty (2012) melalui persilangan itik Alabio dan itik Cihateup dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase Daya Tetas Itik AA, CC, AC dan Itik CA
Jenis Itik Daya Tetas (%)
AA (Alabio ♂ x Alabio ♀) 46,47 CC (Cihateup ♂ x Cihateup ♀) 30,48 AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀) 41,93
CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀) 61,00
7 Kemampuan embrio untuk tetap bertahan sampai menetas juga dipengaruhi faktor genetik, yaitu karena kontribusi gen yang diwariskan. Selain itu, kondisi lingkungan dalam mesin penetasan juga mempengaruhi daya tetas telur (Matitaputty, 2012). Menurut Brahmantiyo dan Prasetyo (2001), daya tetas juga dipengaruhi status nutrisi induk. Embrio dapat mati jika kekurangan, kelebihan atau ketidakseimbangan nutrisi. Penyakit, infeksi parasit, keracunan, bisa atau obat-obatan dapat menyebabkan masalah nutrisi yang mempengaruhi daya tetas. Lasmini dan Heriyati (1992) menjelaskan bahwa jenis itik yang berbeda, sangat nyata berpengaruh terhadap daya tetas.
Kematian Embrio (Dead Embryo)
Kebanyakan embrio yang ditetaskan ditemukan mati antara hari ke-22 sampai ke-27 selama inkubasi. Hal ini biasa disebut ”dead-in-shell” dan terbagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama, embrio tumbuh dan berkembang secara normal, tetapi tidak memiliki upaya untuk menerobos kerabang. Kategori seperti ini biasanya mati pada hari ke-28. Kategori kedua mati pada hari yang sama, tetapi menunjukkan karakteristik paruh yang pipih dan lentur dengan oedema serta pendarahan pada otot penetasan bagian belakang kepala. Kejadian tersebut merupakan dampak berkelanjutan dari usaha embriomemecah kerabang namun gagal. Kategori ketiga mati antara hari ke-22 sampai hari ke-28. Kematian pada kategori ini disebabkan karena kesalahan posisi selama berkembang sehingga menghambat embrio tersebut untuk keluar dari kerabang (Cherry dan Morris, 2008).
Tabel 2. Persentase Kematian Embrio Itik AA, CC, AC dan Itik CA
Jenis Itik Daya Tetas (%)
AA (Alabio ♂ x Alabio ♀) 53,53 CC (Cihateup ♂ x Cihateup ♀) 69,52 AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀) 58,07
CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀) 39,00
Sumber : Matitaputty (2012)
Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) melaporkan rataan persentase kematian embrio pada telur itik Alabio adalah 42,36%. Lasmini et al. (1992) melaporkan persentase kematian embrio pada telur itik Alabio adalah 49,5%. Jenis itik berpengaruh terhadap kematian embrio yang dihasilkan (Matitaputty, 2012). Hasil
8
penelitian Matitaputty (2012) yang melaporkan persentase kematian embrio hasil persilangan itik Alabio dan itik Cihateup disajikan pada Tabel 2.
Bobot Tetas
Bobot DOD yang ditetaskan tidak dipengaruhi bangsa itik. Rataan bobot
DOD itik Alabio adalah 39,85 g/ekor. Bobot DOD itik dipengaruhi bobot telur tetas
(Brahmantiyo dan Prasetyo, 2001). Lasmini dan Heriyati (1992) melaporkan bahwa bobot telur itik Alabio kelompok large menghasilkan bobot tetas DOD tertinggi yakni 46,97 g/ekor, kemudian menurun pada kelompok medium (43,47 g/ekor) dan terendah pada kelompok small (36,90 g/ekor). Setioko et al. (2004b) melaporkan bahwa bobot tetas itik Alabio adalah 35,7 g/ekor.
Pengaruh Maternal
Pengaruh maternal terdapat apabila genotip nukleair dari induk betina menentukan fenotip dari keturunan (Suryo, 1995). Kurnianto (2009) menambahkan pada contoh persilangan antara bangsa A dan B, hasil persilangan resiprokal antara kedua bangsa tersebut adalah AB dan BA. Meskipun keturunan hasil persilangan (crossbred) mempunyai komposisi darah A dan darah B sama banyak baik pada AB maupun BA, namun penampilannya dapat berbeda akibat adanya pengaruh maternal.
Contoh kasus pengaruh maternal dapat dilihat pada hasil persilangan itik Alabio dan itik Cihateup yang dilakukan oleh Matitaputty (2012). Matitaputty (2012) melaporkan bahwa persentase daya tetas dan kematian embrio itik CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀) dan AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀) berbeda nyata. Hal ini berarti terdapat pengaruh maternal pada daya tetas dan kematian embrio.
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di kandang itik Balai Penelitian Ternak CiawiBogor. Peneltian dilakukan pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2011.
Materi
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor itik Alabio Pekin (AP) betina, delapan ekor itik Pekin Alabio (PA) betina,satu ekor itik Pekin jantan dan 6 ekor itik Alabio jantan.Pakan yang diberikan ke semua jenis itik adalah sama sesuai standar yang biasa diberikan di Balitnak, yaitu ransum komersial yang memiliki total protein 18% dengan komposisi konsentrat 25% dan campuran dedak dengan katul 75%. Jumlah pemberian pakan untuk itik Pekin lebih banyak daripada itik Alabio, AP dan PA yaitu masing-masing 280 dan 250gper ekor per hari. Air minum diberikan ad libitum. Bahan yang digunakan untuk pencucian telur adalah
Rodalon. Gambar 3 menunjukkan Rodalon yang digunakan dalam penelitian. Bahan
yang digunakan untuk fumigasi adalah serbuk PK dan formalin.
Gambar 3. Rodalon
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu (Gambar 4), mesin tetas, lemari fumigasi (Gambar 5), timbangan (Gambar 6), jangka sorong (Gambar 7), ruang candling (Gambar 8), ember dan lap. Mesin tetas yang digunakan adalah Multipro Electric Incubator manual buatan Australia dengan
10
kapasitas 10 trays. Setiap tray dapat menampung 112 telur. Mesin-mesin tetas yang digunakan dibedakan berdasarkan periode yaitusetter (Gambar 9) dan hatcher (Gambar 10). Timbangan yang digunakan berupa timbangan Mettler P1210 buatan Switzerland dengan kapasitas 1,5 kg dan kepekaan 1 mg.
Gambar 4. Kandang Individu Gambar 5. Lemari Fumigasi
11
Gambar 8. Ruang Candling Gambar 9. Mesin Setter
Gambar 10. Mesin Hatcher Prosedur
Itik AP dan PA disilangbalikkan dengan masing-masing tetuanya dengan cara IB (Inseminasi Buatan). Semen yang digunakan untuk IB diperoleh melalui pengoleksian semen dengan cara massage. Setelah semen diperoleh, dilakukan pengenceran dengan NaCl fisiologis dengan perbandingan semen dengan pengencer adalah 1:2. Semen yang diperoleh dari seekor pejantan digunakan hanya untuk
12
empatekor betina.Persilangan yang dilakukan pada penelitian ini adalah persilangan antara jantan itik Pekin dengan betina itik AP, jantan itik Alabio dengan betina itik AP, serta jantan itik Alabio dengan betina itik PA. Tidak dilakukannya persilangan antara jantan itik Pekin dengan betina itik PA disebabkan oleh keterbatasan sperma itik Pekin di Balai Penelitian Ternak Ciawi. Persilangan pada penelitian menghasilkan tiga genotipa, yaitu PAP, AAP dan APA. Genotipa dalam hasil penelitian inimemiliki definisi pengelompokan yang berbeda sebagai sumber keragaman dengan perbedaan susunan gen. Skema silang balik itik PA dan AP dengan tetuanya dapat dilihat pada Gambar 3.
P0 F1
Keterangan: P0 = tetua; F1= turunan
Gambar 3. Skema Silang Balik Itik PA dan AP dengan Tetuanya
Telur yang diperoleh dari tiga perkawinan di atas dikumpulkan setiap pagi, kemudian dicuci dengan kain yang dicelupkan ke dalam air hangat (38-40oC) yang telah dicampur dengan Rodalon. Sebanyak 15 ml Rodalon digunakan untuk 10 liter air. Setelah itu telur ditimbang serta diukur panjang dan lebar telur dengan menggunakan jangka sorong. Telur kemudian difumigasi dengan serbuk PK dan formalin dalam lemari fumigasi selama 15 menit sebelum dimasukkan ke mesin penetasan. Sebanyak 4–6 g serbuk PK dicampurkan ke dalam 10–12 ml formalin untuk setiap 1 m3 volume lemari fumigasi. Setelah 15 menit difumigasi, telur dimasukkan ke dalam mesin tetas. Suhu dan kelembaban pada mesin penetasan disesuaikan dengan periodenya, yaitu setter dengan suhu 38-39oC dan RH 65%-66%
dan periode hatcher dengan suhu yang lebih rendah yaitu 37-37,5 oC dan RH yang lebih tinggi yaitu sekitar 85-87%. Selama periode setter dilakukan penyemprotan air dengan sprinkler untuk menjaga kelembaban yang seimbang serta pembalikan telur dilakukanlima kali sehari untuk menghindari malposition pada embrio.
Candling dilakukan pada hari ke-5, ke-10 dan ke-25 sejak telur masuk
mesinuntuk melihat telur yang kosong (infertile) dan mati (dead embryo). Pada hari ke-28 telur yang menetas dihitung jumlahnya untuk menentukan daya tetas telur
PAP AP ♀ X Pekin ♂ AAP AP ♀ X Alabio ♂ APA PA ♀ X Alabio ♂
13 (hatchability) serta dilakukan sexing untuk melihat imbangan jantan betina. Itik yang menetas juga ditimbang dengan menggunakan Mettler P1210untuk mengetahui bobot tetas dari itik tersebut.
Rancangan dan Analisis Data
Rancangan yang digunakan dalam pengujian bobot telur dan bobot tetas adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Rancangan terdiri atas dua faktor yang sederajat, faktor tersebut adalah genotipa dan periode penetasan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis of variance (ANOVA) yang diolah dengan menggunakan software MINITAB14. Model yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya, 2006):
Yij = µ + Gi + Pj + εij
Keterangan:
Yij = rataan sifat telur dengan taraf genotipe ke-i dan periode penetasan ke-j
µ = rataan umum
Gi= pengaruh genotipa ke-i
Pj= pengaruh periode penetasan ke-j
εij = pengaruh galat percobaan dari sifat telur dengan taraf genotipa ke-jdan
periode ke-i
Pengujian perbedaan pada peubah indeks telur, fertilitas, daya tetas, kematian embrio dan imbangan jantan betina antar genotipa dilakukan dengan
menggunakant-test. Rumus t-test adalah sebagai berikut (Irianto, 2008):
µ µ
Keterangan : = rataan sampel a = rataan sampel b μ = rataan populasi a μ = rataan populasi b sba = simpangan baku a sbb = simpangan baku b n = jumlah sampel a n = jumlah sampel b
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah bobot telur tetas, indeks telur tetas, fertilitas telur tetas, kematian embrio, daya tetas telur, bobot tetas itik dan imbangan jantan betina itik.
14
1. Bobot telur tetas
Bobot telur tetas didapatkan dari penimbangan telur setiap pagi dengan timbangan Mettler P1210 dan dicatat dengan satuan gram.
2. Indeks telur
Indeks telur tetas didapatkan dari pengukuran panjang dan lebar dengan menggunakan jangka sorong.
100
3. Fertilitas telur tetas, dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 100%
4. Kematian embrio (dead embryo), dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
100%
5. Daya tetas telur, dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 100%
6. Bobot tetas itik
Bobot tetas itik didapatkan dari penimbangan DOD saat menetas. 7. Imbangan jantan betina itik
Imbangan jantan betina itik didapat dengan cara melakukan sexing. 100%
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan mengamati hasil silang balik antara itik PA dan AP dengan tetuanya. Hasil persilangan dalam penelitian ini adalah tiga genotipa yang berbeda, yaitu PAP, AAP dan APA. PAP merupakan hasil persilangan dari jantan itik Pekin dan betina itik Alabio Pekin (AP), AAP merupakan hasil persilangan dari jantan itik Alabio dan betina itik Alabio Pekin(AP), sedangkan APA merupakan hasil persilangan dari jantan itik Alabio dan betina itik PA (Pekin Alabio). Secara umum, silang balik (backcross) biasa digunakan untuk memunculkan sifat homozigot resesif untuk mengevaluasi keberadaan sifat-sifat yang tidak diinginkan. Pengevaluasian keberadaan sifat yang tidak diinginkan dapat dilihat dengan membandingkan itik AAP dan PAP. Itik AAP dan PAP memiliki induk yang sama namun pejantan yang berbeda. Rataan sifat reproduksi itik AAP dan PAP dapat dilihat pada Tabel 3. Pengevaluasian keberadaan pengaruh maternal dilihat dengan membandingkan itik AAP dan APA. Kedua itik tersebut memiliki induk yang berbeda namun pejantan yang sama. Kurnianto (2009) menyatakan meskipun hasil persilangan mempunyai komposisi darah yang sama banyak, namun penampilannya bisa berbeda akibat adanya pengaruh maternal. Rataan sifat reproduksi itik AAP dan APA dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Rataan Sifat Reproduksi Itik PAP dan AAP untuk Pengevaluasian Keberadaan Sifat yang Tidak Diinginkan
Peubah
Genotipa PAP
(x ± s.e) (x ± s.e) AAP
Bobot telur (g) 77,59±0,54 76,68±0,61 Indeks telur (%) 75,31±0,55 74,62±0,23 Bobot tetas (g) 44,92±0,77 43,35±0,46 Fertilitas (%) 61,53±5,31 72,36±8,93 Daya tetas (%) 68,04±9,47 78,12±3,87 Kematian embrio (%) 27,23±8,58 13,02±2,33
16
Tabel 4. Rataan Sifat Reproduksi Itik AAP dan APA untuk Pengevaluasi Keberadaan Pengaruh Maternal
Peubah
Genotipa AAP
(x ± s.e) (x ± s.e) APA
Bobot telur (g) 76,68a±0,61 81,16b±0,51 Indeks telur (%) 74,62a±0,23 75,85b±0,37 Bobot tetas (g) 43,35a±0,46 47,38b±0,90 Fertilitas (%) 72,36±8,93 75,85±8,26 Daya tetas (%) 78,12±3,87 59,61±8,20 Kematian embrio (%) 13,02±2,33 21,20±7,08
Imbangan Jantan Betina (%) 50,68±2,61 63,70±10,00
Keterangan : huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Hasil uji ANOVAmenunjukkan bahwa bobot telur tetas AAP dan APA berbeda nyata (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh maternal terhadap bobot telur tetas yang diamati. Perbedaan pada pengujian ANOVA tersebut menunjukkan bahwa induk pada masing-masing persilangan mempengaruhi bobot telur tetas turunannya. Pengaruh maternal pada peubahini terlihat jelas pada rataan bobot telur tetas itik APA dan AAP, yaitu masing-masing 81,16±0,51 g dan 76,68±0,61g. Hasil tersebut menerangkan bahwa jantan itik Alabio yang disilangkan dengan betina itik PA memberikan bobot telur tetas yang lebih besar dibandingkan dengan apabila disilangkan dengan betina itik AP. Menurut Lasmini dan Heriyati (1992), bobot telur tetas yang besar menghasilkan bobot DOD yang lebih tinggi dibandingkan denganbobot telur tetas yang kecil.Dilihat dari hasil penelitian, itik betina PA dapat dijadikan suatu pilihan indukan untuk memperoleh bobot DOD yang lebih besar.
Berbeda dengan pengevaluasian terhadap pengaruh maternal, pengevaluasian terhadap ada tidaknya sifat yang tidak diinginkan pada bobot telur tetas AAP dan PAP tidak ditemukan dalam penelitian ini.Hal ini berarti pejantan itik Alabio dan pejantan itik Pekin pada persilangan ini tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada bobot telur.Hasil pengamatan juga menunjukkan tidak adanya perbedaan bobot telur dari periode pertama hingga kelima pada masing-masing genotipa. Rataan bobot telur tetas per periode dapat dilihat pada Tabel 5. Bobot telur tetas itik AAP,
17 APA dan PAPdari periode pertama hingga kelima umumnya stabil. Secara umum, bobot telur tetas itik AAP, APA dan PAP yang disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4 lebih tinggi dibandingkan dengan bobot telur tetas itik Alabio murni hasil penelitian Matitaputty et al. (2011) yang hanya sebesar 63,22 g.Bobot telur tetas itik AAP, APA dan PAP juga lebih tinggi dari bobot telur antara tetua dan turunan itik Pegagan hasil penelitian Sari (2012) yaitu sebesar 65,32 dan 65,80 g.Hasil penelitian Kokoszynski et al. (2007) melaporkan bahwa bobot telur itik Pekin murni sebesar 80,7 g. Hal ini menunjukkan bahwa bobot telur tetas itik APA lebih tinggi dari bobot telur itik Pekin murni serta bobot telur tetas itik AAP dan PAP lebih rendah dari bobot telur itik Pekin murni.
Tabel 5. Rataan Bobot Telur dan Bobot Tetas Itik AAP, APA dan PAP berdasarkan Periode
Peubah
Periode 1
(x ± s.e) (x ± s.e) 2 (x ± s.e) 3 (x ± s.e) 4 (x ± s.e) 5 Bobot telur 78,80±0,90 78,15±0,88 77,86±0,92 77,42±0,86 78,54±1,29 Bobot tetas 44,03±0,51 42,28±0,86 46,84±0,94 43,79±0,72 46,61±1,47
Indeks telur diamati dengan membandingkan lebar dan panjang telur. Dharmaet al. (2001) menjelaskan bahwa indeks telur yang mencerminkan bentuk telur sangat dipengaruhi oleh sifat genetik, bangsa serta proses pembentukan telur, terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus.Hasil pengamatan terhadap indeks telur menunjukkan perbedaan yang nyata antara telur AAP dan APA. Indeks telur APA lebih tinggi dibanding indeks telur AAP. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh maternal dalam indeks telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa betina itik PA memberikan pengaruh indeks telur yang lebih besar dibandingkan dengan betina itik AP. Berbeda dengan pengevaluasian terhadap keberadaan pengaruh maternal, pengevaluasian terhadap keberadaan sifat yang tidak diharapkan yang dilihat dari indeks telur AAP dan PAP tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat sifat yang tidak diinginkan pada indeks telur, dengan kata lain jantan itik Alabio dan itik Pekin memberikan pengaruh yang sama terhadap indeks telur. Kokoszynski et al. (2007) melaporkan bahwa rataan indeks telur itik Pekin sebesar 74,1%. Hal ini berarti secara keseluruhan
18
rataanindeks telur itik APA, PAP dan AAP lebih besar dari indeks telur itik Pekin. Rataan indeks telur itik APA sebesar 75,85%, AAP sebesar 74,62% dan PAP sebesar 75,31%. Bentuk telur itik AAP, APA dan PAP dapat dikatakan lebih panjang dari itik normal mengingat Dharma et al. (2001) menyatakan bahwa nilai yang lebih kecil dari 79% akan memberikan penampilan lebih panjang.
Hasil pengamatan terhadap keberadaan sifat yang tidak diinginkan pada bobot tetas menunjukkan hasil yang tidak berbeda antara bobot tetas AAP dan PAP. Hal ini menunjukkan bahwa jantan itik Alabio dan jantan itik Pekin memberikan pengaruh yang sama terhadap bobot tetas. Masing-masing bobot tetas antara AAP dan PAP adalah 43,35±0,46g dan 44,92±0,77g. Hasil yang berbeda ditemukan pada pengamatan terhadap keberadaan pengaruh maternal. Hasil pengamatan menunjukkan pengaruh maternal terhadap bobot tetas itik AAP dan APA. Bobot tetas itik APA umumya lebih besar dibandingkan bobot tetas AAP, yaitu sebesar 47,38±0,90g. Hasil tersebut menunjukkan bahwa betina itik PA memberikan pengaruh bobot tetas yang lebih tinggi dibandingkan betina itik AP. Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) melaporkan rataan bobot DOD itik Alabio adalah 39,85 g. Selain itu, hasil penelitian Setioko et al.(2004b) melaporkan bahwa bobot tetas itik Alabio adalah sebesar 35,7 g. Hal ini menunjukkan bahwa rataan bobot tetas itik AAP, PAP dan APA lebih tinggi dibandingkan rataan bobot tetas itik Alabio murni. Periode penetasan yang berbeda juga menunjukkan bobot tetas itik yang berbeda (P<0,05). Rataan bobot tetas per periode dapat dilihat pada Tabel 5.
Hasil pengamatan terhadap fertilitas, daya tetas, kematian embrio serta imbangan jantan dan betina AAP, APA dan PAP yang disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4 tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini menunjukkan tidak ditemukannya sifat-sifat yang tidak diinginkan dan pengaruh maternal dalam fertilitas, daya tetas, kematian embrio serta imbangan jantan dan betina pada itik AAP, APA dan PAP. Rataan fertilitas itik PAP sebesar 61,53%, itik AAP sebesar 72,36% dan itik APA sebesar 75,85%. Rataan fertilitas yang dihasilkan dari silang balik antara itik AP dan PA dengan tetuanya lebih rendah dari rataan fertilitas itik Alabio. Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) melaporkan bahwa fertilitas telur Alabio adalah sebesar 79,18%. Lasmini et al. (1992) melaporkan hasil candling telur menunjukkan fertilitas telur itik Alabio sebesar 80%. Rataan tersebut juga lebih rendah dibandingkan dengan
19 rataan fertilitas hasi persilangan resiprokal antara itik Alabio dan itik Cihateup, yaitu itik CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀) sebesar 95,19% dan itik AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀) sebesar 93,85%.
Berbeda dengan rataan fertilitas, rataan daya tetas itik AAP, APA dan PAP lebih tinggi dibandingkan rataan daya tetas itik Alabio. Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) melaporkan daya tetas telur itik Alabio adalah sebesar 48,98%, sedangkan Lasmini et al. (1992) melaporkan daya tetas telur itik Alabio adalah sebesar 50,5%.Rataan daya tetas itik AAP sebesar 78,12%, itik APA sebesar 59,61% dan itik 68,04%. Rataan daya tetas itik APA, AAP dan PAP lebih tinggi dibandingkan itik AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀). Rataan daya tetas itik PAP dan AAP juga lebih tinggi dibandingkan dengan itik CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀), namun rataan daya tetas itik APA lebih rendah. Menurut Matitaputty (2012), kemampuan embrio untuk tetap bertahan sampai menetas juga dipengaruhi faktor genetik, yaitu karena kontribusi gen yang diwariskan. Menurut Brahmantiyo dan Prasetyo (2001), daya tetas juga dipengaruhi oleh status nutrisi induk. Embrio dapat mati jika kekurangan, kelebihan atau ketidakseimbangan nutrisi.
Rataan persentase kematian embrio itik PAP, AAP dan APA lebih rendah dibandingkan rataan persentase kematian embrio hasil persilangan resiprokal antara itik Alabio dan itik Cihateup. Rataan kematian embrio itik PAP, AAP dan APA masing masing adalah 27,23%, 13,02% dan 21,20%. Imbangan jantan betina pada itik AAP, APA dan PAP didapat dari sexing yang dilakukan pada saat telur menetas. Rataan persentase imbangan jantan betina itik AAP, APA dan PAP masing-masing adalah 50,68%, 63,70% dan 55,10%. Hasil penelitian yang lebih baik dari tetuanya pada beberapa peubah ini diharapkan dapat meningkatkan variasi bangsa itik di Indonesia. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu program
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Pengaruh maternal ditemukan pada bobot telur, indeks telur dan bobot tetas itik hasil silang balik itik PA dan AP dengan tetuanya. Betina itik PA memberikan pengaruh terhadap ukuran bobot telur, indeks telur dan bobot tetas yang lebih besar. Pengaruh maternal tidak terdapat pada fertilitas, daya tetas, kematian embrio serta imbangan jantan dan betina. Secara umum, tidak terdapat sifat-sifat yang tidak diharapkan pada sifat reproduksi hasil persilangan itik PA dan AP dengan tetuanya.
Saran
Dilakukan persilangan antara jantan itik Pekin dengan betina itik PA untuk mempelajari keberadaan pengaruh maternal dan sifat yang tidak diinginkan pada sifat reproduksi hasil silang balik itik PA dan AP dengan tetuanya. Dilakukan juga penelitian lebih lanjut guna mengamati penciri gen-gen yang mempengaruhi sifat reproduksi telur itik AAP, APA dan PAP agar dapat dilakukan seleksi dengan cara Marker Asisted Selection (MAS).
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirobil’alamin, puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penelitian dan penulisan sekripsi ini
dapat Penulis selesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW, keluarga serta sahabatnya.Terima kasih Penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc sebagai dosen Pembimbing Utama sekaligus Pembimbing Akademik atas dorongan, semangat serta ilmu yang diberikan selama Penulis menjalani pendidikan di Fakultas Peternakan IPB. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. L. Hardi Prasetyo, M.Agr sebagai dosen Pembimbing Anggota atas bimbingan, dukungan dan semangatnya selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Rudi Afnan, S.Pt, M.Sc.Agr sebagai dosen pembahas seminar, Ir. Rini H. Mulyono, M.Si.,Ir. Dwi Margi Suci, MS. dan Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M.Si. sebagai dosen penguji sidang atas masukan dan saran yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Balai Penelitian Ciawi yang telah mengizinkan Penulis melakukan penelitian di dalamnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Triana Susanti atas informasi dan ilmu yang diberikan selama penulisan, Bapak Hamdan beserta seluruh pegawai kompleks kandang itik BPT Ciawi atas ilmu dan bantuan yang diberikan selama penelitian.
Penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada ayahanda Drs. Sutarno, M.MPd, ibunda Yuli Sukarelawati, S.Pd, M.Pd, serta adinda Pandu Amalia atas doa, dukungan, semangat dan kasih sayang yang tak pernah padam. Terimakasih juga Penulis ucapkan kepada Achdyawan Wenda Keynesandy atas segala bantuan dan waktu yang diberikan kepada Penulis. Terima kasih kepada sahabat penelitian Silvi Arifani atas letupan semangat yang tak pernah redup.Terima kasih kepada keluarga besar IPTP 45, sahabat tersayang Erren, Angga, Eka, Isyana, Sri, Desi, Ai, Naili dan Ndaru, serta teman-teman Griya Putih Asri atas hangatnya kebersamaan yang diberikan. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Penulis yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu. Semoga semua kebaikan yang telah diberikan dibalas oleh Allah SWT.
Bogor, Juni 2012
DAFTAR PUSTAKA
Brahmantiyo, B., & L. H. Prasetyo. 2001. Pengaruh bangsa itik Alabio dan Mojosari terhadap performan reproduksi. Prosiding Lokakarya Unggas Air. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
Cherry, P.& T. R. Morris. 2008. Domestic Duck Production. CABI North American, Massachusetts.
Dharma, Y.K., Rukmiasih & P.S.Hardjosworo. 2001. Ciri-ciri fisik telur tetas itik Mandalung dan rasio jantan dengan betina yang dihasilkan. Prosiding Lokakarya Unggas Air. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Statistik Peternakan Produksi Nasional. Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Irianto, A. 2008. Statistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Kencana, Jakarta.
Kokoszynski, D., Z. Bernacki & H. Korytkowska. 2007. Eggshell and egg content traits in Peking duck eggs from the P44 reserve flock raised in Poland. J. Cent. Eur. Agric. (2007) Vol. 8(1): 9-16.
Kurnianto, E. 2009. Pemuliaan Ternak. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Lasmini, A. & E. Heriyati. 1992. Pengaruh berat telur terhadap fertilitas, daya tetas dan berat tetas DOD. Prosiding Pengelolaan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Lasmini, A., R. Abdelsamie & N. M. Parwati. 1992. Pengaruh cara penetasan
terhadap daya tetas telur itik Tegal dan Alabio. Prosiding Pengelolaan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
Matitaputty, P. R. 2012. Peningkatan produksi karkas dan kualitas daging itik melalui persilangan antara itik Cihateup dengan itik Alabio. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Matitaputty, P.R., R.R. Noor, P.S. Hardjosworo & C.H. Wijaya. 2011. Performa, persentase karkas dan nilai heterosis itik Alabio, Cihateup dan hasil persilangannya pada umur delapan minggu. JITV Vol.16 (2): 90-97.
Mattjik, A. A. & I. M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press, Bogor.
Noor, R. R. 2010. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.
Prasetyo, L. H. & T. Susanti. 1997. Persilangan timbal balik antara itik Tegal dan Mojosari: I. Awal pertumbuhan dan awal bertelur. JITV Vol. 2 (3): 152-155. Romanoff, A.L. & A.J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. 2nd Ed. Jhon Wiley and
23 Sari, M.L. 2012. Karakteristik fenotipik dan genetik sifat-sifat produksi dan
reproduksi itik Pegagan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Setioko, A.R., L. H. Prasetyo, D. A. Kusumaningrum & S. Sopiyana. 2004a. Daya tetas dan kinerja pertumbuhan itik Pekin Alabio (PA) sebagai induk itik pedaging. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Setioko, A.R., T. Susanti, L. H. Prasetyo& Supriyadi. 2004b. Produktivitas itik Alabio dan MA dalam sistem pembibitan di BPTU Pelaihari. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Sulaiman, A. & S. N. Rahmatullah. 2011. Karakteristik eksterior, produksi dan kualitas telur itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Sentra Peternakan Itik Kalimantan Selatan. Bioscientiae Vol. 8 (2): 46-61.
Suryo, H. 1995. Sitogenetika. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Susanti, T., L. H. Prasetyo, Y. C. Raharjo & Wahyuning K. S. 1998. Pertumbuhan galur persilangan timbal balik itik Alabio dan Mojosari. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
25 Lampiran 1. Hasil ANOVA Bobot Telur AAP dan APA
SK db JK KT F P
Penetasan 4 25,12 6,28 0,32 0,865
Genotipa 1 458,63 451,81 22,96 0,000
Error 95 1.869,64 19,68
Total 100 2.353,39
Keterangan: SK = sumber keragaman; db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat;KT = kuadrat tengah
Lampiran 2. Hasil ANOVA Bobot Telur AAP danPAP
SK db JK KT F P
Penetasan 4 0,0016 0,0004 0,63 0,639
Genotipa 1 0,0005 0,0005 0,83 0,366
Error 78 0,0496 0,0006
Total 83 0,0517
Keterangan: SK = sumber keragaman; db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah
Lampiran 3. Hasil ANOVA Bobot Tetas AAP dan APA
SK db JK KT F P
Penetasan 4 264,51 66,13 6,19 0,000
Genotipa 1 263,40 260,91 24,42 0,000
Error 72 769,24 10,68
Total 77 1.297,16
Keterangan: SK = sumber keragaman; db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah
Lampiran 4. Hasil ANOVA Bobot Tetas AAP dan PAP
SK db JK KT F P
Penetasan 4 137,655 34,414 3,61 0,010
Genotipa 1 28,865 22,722 2,38 0,128
Error 64 610,917 9,546
Total 69 777,438
Keterangan: SK = sumber keragaman; db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah
Lampiran 5. Hasil Uji T-test Indeks, Fertilitas, Daya Tetas, Kematian Embrio, Imbangan Jantan Betina
Peubah Perbandingan db Nilai T Nilai P Keterangan
Indeks AAP vs APA 61 -2,84 0,006 *
AAP vs PAP 23 -1,15 0,260 tn
Fertilitas AAP vs APA AAP vs PAP 7 6 -0,29 1,04 0,783 0,338 tn tn Daya Tetas AAP vs APA AAP vs PAP 5 5 0,99 2,04 0,097 0,370 tn tn Kematian Embrio AAP vs APA 4 -1,10 0,334 tn AAP vs PAP 4 -1,60 0,185 tn Imbangan Jantan Betina AAP vs APA 4 -1,26 0,278 tn AAP vs PAP 4 -0,34 0,753 tn