• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Karakteristik Responden

2. Body Mass Index (BMI)

Nilai BMI diperoleh dari perhitungan terhadap hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan responden. Pada pengukuran BMI menggunakan uji normalitas yaitu uji Shapiro-wilk dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil yang diperoleh pada uji normalitas BMI adalah 0,738 dan hasil ini menunjukkan nilai yang signifikan dan data terdistribusi normal. Ukuran pemusatan BMI dinyatakan dalam mean yaitu 25,20 kg/m2 (kategori overweight) serta ukuran penyebarannya dinyatakan dalam standar deviasi sebesar 3,76. Berikut merupakan diagram data distribusi dari nilai BMI responden pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik distribusi Body mass index (BMI)

Penelitian ini menggunakan 45 responden wanita dalam pengukuran BMI. Hasil pengukuran diperoleh 22 responden masuk dalam kategori normal, 16 responden masuk dalam kategori overweight, 5 responden masuk dalam kategori obesitas dan 2 responden masuk dalam kategori underweight. Nilai BMI responden pada penelitian ini berkisar antara 17,37-35,54 kg/m2. Nilai BMI berhubungan dengan lemak tubuh dan risiko beberapa penyakit di kemudian hari. Seseorang yang memiliki nilai BMI yang tinggi (≥25 kg/m2

) lebih berisiko mengalami obesitas, dimana berhubungan dengan beberapa masalah kesehatan daripada seseorang dengan nilai BMI normal. Kelebihan lemak tubuh diketahui dapat menjadi salah satu faktor risiko penyakit diabetes melitus tipe 2 (Centers

For Disease Control and Prevention, 2012). BMI tetap memiliki kekurangan

karena BMI hanya digunakan sebagai indikator perkiraan overweight dan obesitas; beberapa faktor seperti massa otot, asal etnis atau ras, serta faktor

BMI tidak dapat memberikan distribusi lemak tubuh dan tidak sepenuhnya menyesuaikan efek tinggi badan dan bentuk tubuh untuk mengelompokkan tiap individu dari berbagai etnis (National Obesity Observatory, 2009).

Berdasarkan penelitian Al-Sharafi and Gunaid (2014) yang melibatkan 1.640 responden pria dan wanita dengan diabetes melitus tipe 2 pada rentang usia 25-65 tahun, menunjukkan hasil bahwa kondisi overweight terjadi pada 58,5% responden wanita dan 28,5% pada responden pria, sedangkan kondisi obesitas terjadi pada 38% responden wanita dan 11% pada responden pria. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya nilai BMI dapat mempengaruhi prevalensi diabetes melitus tipe 2 (p=0,01). Penelitan lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Kumar et al (2008) yang melibatkan responden berusia 20-60 tahun menunjukkan prevalensi diabetes melitus tipe 2 sebesar 11,5% di Kolkata, presentase tersebut dipengaruhi oleh riwayat penyakit, usia, serta obesitas sentral tetapi tidak memiliki pengaruh yang cukup besar dari BMI. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik pada BMI saat dibandingkan dengan kelompok normoglycaemic dan diabetes melitus tipe 2. 3. Hemoglobin (Hb)

Uji normalitas nilai Hb menggunakan uji Shapiro-Wilk dengan taraf kepercayaan adalah 95%. Hasil yang diperoleh adalah nilai p=0,010 yang menunjukkan data tidak terdistribusi normal. Ukuran pemusatan data Hb dinyatakan dalam median Hb responden yaitu 13,70 g/dL serta ukuran penyebarannya dinyatakan dalam minimum-maksimum 9,50-15,70 g/dL. Distribusi data Hb dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 5. Grafik Distribusi Hemoglobin (Hb) responden

Menurut penelitian Adeoye et al (2014), menunjukkan ada pengaruh yang signifikan pada tes HbA1c ketika nilai hemoglobin <6g/dL atau >16g/dL. Hasil pemeriksaan Hb responden pada penelitian sekarang tidak ditemukan pasien yang memiliki nilai hemoglobin lebih kecil atau lebih besar dari rentang kategori yang ditunjukkan dalam penelitian tersebut, hal ini dapat dilihat dari nilai minimum-maksimum pada uji normalitas terhadap hemoglobin responden yaitu 9,50-15,70 g/dL, sehingga dikatakan tidak terdapat pengaruh dari kadar hemoglobin pasien terhadap kadar HbA1c. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Sinha, Mishra, Singh, and Gupta (2012) pada 50 responden anemia dengan rentang usia 30-50 tahun menunjukkan hasil yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara anemia terhadap peningkatan kadar HbA1c pada responden (r=0,593; p<0,01). Penelitian yang dilakukan oleh Koga and Kasayama (2010) juga mendukung penelitian sekarang, yang

menyatakan bahwa nilai HbA1c tidak akurat digunakan untuk mendeteksi kontrol glikemik seseorang saat pasien tersebut memiliki penyakit tertentu seperti anemia. 4. HbA1c

Uji normalitas nilai HbA1c menggunakan uji Shapiro-Wilk dengan taraf kepercayaan adalah 95% menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,263 yang menunjukkan data terdistribusi normal. Ukuran pemusatan data HbA1c dinyatakan dalam mean yaitu 5,39% (termasuk dalam kategori normal) serta ukuran penyebarannya dinyatakan dalam standar deviasi yaitu 0,23. Distribusi nilai HbA1c dari responden dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 6. Grafik Distribusi HbA1c Responden

Hasil pengukuran kadar HbA1c diperoleh 39 responden dengan kadar HbA1c 5,39% dan masuk dalam kategori normal HbA1c, sedangkan terdapat 6 responden dengan kadar HbA1c 5,7-6,4% (kategori pre-diabetes).

HbA1c telah direkomendasikan sebagai salah satu tes untuk mendiagnosa diabetes melitus tipe 2 dan pre-diabetes. Hasil tes dari HbA1c dapat dilaporkan dalam bentuk persen. HbA1c dengan mudah dapat digunakan oleh banyak orang yang melakukan tes HbA1c, sehingga diharapkan dapat terjadi penurunan jumlah pasien dengan penyakit diabetes melitus tipe 2 yang tidak bisa terdiagnosa dengan benar (National Institute of Diabetes and Digestive and

Kidney Diseases, 2014; The Internasional Expert Committee, 2009). Pada

penelitian yang dilakukan oleh Bancks, Odegaard, Koh, Yuan, Gross, and Pereira (2015) juga mendukung rekomendasi untuk penggunaan tes HbA1c yang dapat digunakan untuk mendiagnosa terjadinya diabetes melitus. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan 5.770 responden dewasa Singapura-China dengan rentang usia 45-74 tahun. Hasil penelitian menunjukkan responden dengan nilai HbA1c ≥6,5% signifikan untuk mendiagnosa diabetes melitus (p=0,001), sedangkan pada responden dengan nilai HbA1c <5,7% tidak terkait secara signifikan untuk mendiagnosa insiden diabetes melitus (p=0,10).

Penelitian lain yang berhubungan dengan HbA1c juga dilakukan oleh Pradhan, Rifai, Buring, and Ridker (2007) yang melibatkan responden wanita dengan rentang usia >45 tahun dan tidak menderita diabetes melitus serta penyakit kardiovaskular menyatakan bahwa kadar HbA1c yang terukur berkorelasi secara signifikan dengan kejadian penyakit diabetes melitus serta berkorelasi positif lemah dengan kejadian penyakit kardiovaskular. Pada penelitian yang dilakukan oleh Bao et al (2010), yang melibatkan responden 4.886 dengan jumlah responden laki-laki 1.828 dan jumlah responden wanita 3.058 pada rentang usia >20 tahun

menunjukkan penggunaan nilai cut-off untuk mendiagnosa diabetes melitus 5,9% pada HbA1c, memiliki nilai sensitifitas sebesar 77,7% dan nilai spesifisitas sebesar 78,2%. Pada penelitian ini juga menggunakan kadar glukosa yang berkorelasi dengan HbA1c masing-masing dengan nilai r=0,619 dan nilai p=0,001 dan r=0,622 dan nilai p=0,001.

Dokumen terkait