• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi body mass index terhadap HBA1C pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Korelasi body mass index terhadap HBA1C pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI BODY MASS INDEX TERHADAP HbA1c PADA WANITA DEWASA SEHAT DI DESA KEPUHARJO KECAMATAN

CANGKRINGAN SLEMAN YOGYAKARTA FIRMINA MARIA SEPTIMA ELISA UN

128114090

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

ABSTRACT

Anthropometric measurement is a simple measurement that shows an association with disease risk factors. Body mass index is a measurement based on the anthropometric measurements of weight and height. Body mass index can be used to detect the presence of obesity with a body mass index value range is ≥30,00 kg / m2. Obesity can lead to insulin resistance. Insulin resistance can lead to type 2 diabetes mellitus, where type 2 diabetes mellitus is a risk factor for cardiovascular disease. The aim of this study was to identify the correlation between BMI measurement of the HbA1c in healthy adult women. This research is an observational analytic study with cross sectional study design. The selection of respondents is done in a non-random purposive sampling The number of respondents who used as many as 45 respondents who meet the inclusion and exclusion criteria. The research data were analyzed using the Shapiro-Wilk test nomalitas, the comparative test unpaired t test and Pearson correlation test with 95% confidence level. The results showed the characteristic profile of age 44.53±3.37 years, BMI 25.20±3.76 kg/m2, hemoglobin (Hb) 13,66±1,22 g/dL and HbA1c 5.39±0.23%. There is no significant correlation, weak strength with the direction of a positive correlation between BMI on HbA1c (r = 0.281; p = 0.061) in healthy adult women in the village Kepuharjo Cangkringan Sleman, Yogyakarta.

(2)

INTISARI

Pengukuran antropometri adalah pengukuran sederhana yang menunjukkan adanya hubungan dengan faktor risiko penyakit. Body mass index adalah pengukuran antropometri berdasarkan pengukuran pada berat badan dan tinggi badan. Body mass index dapat digunakan untuk mendeteksi adanya obesitas dengan rentang nilai body mass index adalah ≥30,00 kg/m2. Obesitas dapat menyebabkan resistensi insulin. Resistensi insulin dapat menyebabkan terjadinya diabetes melitus tipe 2, dimana diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi korelasi antara pengukuran BMI terhadap HbA1c pada wanita dewasa sehat. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Pemilihan responden dilakukan secara

non-random porposive sampling. Jumlah responden yang digunakan sebanyak 45

responden yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Data penelitian dianalisis menggunakan uji nomalitas Shapiro-wilk, uji komparatif uji t tidak berpasangan, serta uji korelasi Pearson dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan profil karakteristik rerata usia responden 44,53±3,37 tahun, rerata BMI responden 25,20±3,76 kg/m2, rerata hemoglobin (Hb) responden 13,66±1,22 g/dL dan rerata HbA1c responden 5,39±0,23%. Terdapat korelasi yang tidak bermakna, berkekuatan lemah dengan arah korelasi positif antara BMI terhadap HbA1c (r=0,281; p=0,061) pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta.

(3)

KORELASI BODY MASS INDEX TERHADAP HbA1c PADA WANITA DEWASA SEHAT DI DESA KEPUHARJO KECAMATAN

CANGKRINGAN SLEMAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh:

Firmina Maria Septima Elisa Un NIM: 128114090

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

i

KORELASI BODY MASS INDEX TERHADAP HbA1c PADA WANITA DEWASA SEHAT DI DESA KEPUHARJO KECAMATAN

CANGKRINGAN SLEMAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh:

Firmina Maria Septima Elisa Un NIM: 128114090

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

INTISARI

Pengukuran antropometri adalah pengukuran sederhana yang menunjukkan adanya hubungan dengan faktor risiko penyakit. Body mass index adalah pengukuran antropometri berdasarkan pengukuran pada berat badan dan tinggi badan. Body mass index dapat digunakan untuk mendeteksi adanya obesitas dengan rentang nilai body mass index adalah ≥30,00 kg/m2. Obesitas dapat menyebabkan resistensi insulin. Resistensi insulin dapat menyebabkan terjadinya diabetes melitus tipe 2, dimana diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi korelasi antara pengukuran BMI terhadap HbA1c pada wanita dewasa sehat.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Pemilihan responden dilakukan secara

non-random porposive sampling. Jumlah responden yang digunakan sebanyak 45

responden yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Data penelitian dianalisis menggunakan uji nomalitas Shapiro-wilk, uji komparatif uji t tidak berpasangan, serta uji korelasi Pearson dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan profil karakteristik rerata usia responden 44,53±3,37 tahun, rerata BMI responden 25,20±3,76 kg/m2, rerata hemoglobin (Hb) responden 13,66±1,22 g/dL dan rerata HbA1c responden 5,39±0,23%. Terdapat korelasi yang tidak bermakna, berkekuatan lemah dengan arah korelasi positif antara BMI terhadap HbA1c (r=0,281; p=0,061) pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta.

(10)

vii ABSTRACT

Anthropometric measurement is a simple measurement that shows an association with disease risk factors. Body mass index is a measurement based on the anthropometric measurements of weight and height. Body mass index can be used to detect the presence of obesity with a body mass index value range is ≥30,00 kg / m2. Obesity can lead to insulin resistance. Insulin resistance can lead to type 2 diabetes mellitus, where type 2 diabetes mellitus is a risk factor for cardiovascular disease. The aim of this study was to identify the correlation between BMI measurement of the HbA1c in healthy adult women.

This research is an observational analytic study with cross sectional study design. The selection of respondents is done in a non-random purposive sampling. The number of respondents who used as many as 45 respondents who meet the inclusion and exclusion criteria. The research data were analyzed using the Shapiro-Wilk test nomalitas, the comparative test unpaired t test and Pearson correlation test with 95% confidence level.

The results showed the characteristic profile of age 44.53±3.37 years, BMI 25.20±3.76 kg/m2, hemoglobin (Hb) 13,66±1,22 g/dL and HbA1c 5.39±0.23%. There is no significant correlation, weak strength with the direction of a positive correlation between BMI on HbA1c (r = 0.281; p = 0.061) in healthy adult women in the village Kepuharjo Cangkringan Sleman, Yogyakarta.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN...iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...vi

PRAKATA...vi

DAFTAR ISI...ix

DAFTAR TABEL...xii

DAFTAR GAMBAR...xiii

DAFTAR LAMPIRAN...xiv

INTISARI...xvi

ABSTRACT...xvii

BAB I. PENGANTAR...1

A. Latar Belakang...1

1. Perumusan Masalah...3

2. Keaslian Penelitian...3

3. Manfaat Penelitian...6

B. Tujuan...6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA...7

A. Antropometri...7

(12)

ix

B. Obesitas...8

C. Diabetes Melitus tipe 2...9

D. Hemoglobin (Hb)...10

E. HbA1c...11

F. Penyakit Kardiovaskular...12

G. Landasan Teori...12

H. Hipotesis...15

BAB III. METODE PENELITIAN...16

A. Jenis dan Rancangan Penelitian...16

B. Variabel Penelitian...16

C. Definisi Operasional...17

D. Responden Penelitian...17

E. Lokasi dan Waktu Penelitian...21

F. Ruang Lingkup Penelitian...21

G. Teknik Sampling...22

H. Instrumen Penelitian...23

I. Tata Cara Penelitian...23

1. Observasi Awal...23

2. Permohonan Ijin dan Kerjasama...23

3. Pembuatan Leaflet dan Informed Consent...24

4. Pencarian Responden...24

5. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian...26

(13)

7. Penyerahan hasil pemeriksaan kepada responden...27

8. Pengolahan data...27

J. Analisis Data...28

K. Keterbatasan Penelitian...29

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...30

A. Profil Karakteristik Responden...30

1. Usia...31

2. Body Mass Index (BMI)...33

3. Hemoglobin (Hb)...35

4. HbA1c...37

B. Perbandingan Rerata HbA1c pada Kelompok Body Mass Index ≥25kg/m2 dan Body Mass Index <25kg/m2...39

C. Korelasi Body Mass Index terhadap HbA1c...41

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...46

A. Kesimpulan...46

B. Saran...46

DAFTAR PUSTAKA...47

LAMPIRAN...54

(14)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel I. Keaslian Penelitian...4

Tabel II. Klasifikasi Body Mass Index Penduduk Asia Dewasa...8

Tabel III. Kategori Kadar HbA1c...11

Tabel IV. Penelitian Korelasional Antara BMI terhadap HbA1c...14

Tabel V. Interpretasi Hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi...29

Tabel VI. Profil Karakteristik Responden...30

Tabel VII. Hasil Perbandingan rerata HbA1c pada kelompok body mass index ≥25kg/m2 dan body mass index >25kg/m2 ...40

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Pencarian Responden...20

Gambar 2. Bagan Kajian Penelitian Payung...22

Gambar 3. Grafik Distribusi Usia Responden...31

Gambar 4. Grafik Distribusi Body Mass Index Responden...34

Gambar 5. Grafik Distribusi Hemoglobin (Hb)...36

Gambar 6. Grafik Distribusi HbA1c Responden...37

(16)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ethical Clearence...55

Lampiran 2. Surat Ijin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Yogyakarta...56

Lampiran 3. Surat Ijin Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta...57

Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Responden Wanita...58

Lampiran 5. Leaflet Tampak Depan...59

Lampiran 6. Leaflet Tampak Belakang...59

Lampiran 7. Informed Consent ...60

Lampiran 8. Pedoman Wawancara...61

Lampiran 9. Form Pengukuran Antropometri...62

Lampiran 10. Sertifikat Peneraan Timbangan Berat Badan...63

Lampiran 11. Sertifikat Peneraan Pengukur Tinggi Badan ...64

Lampiran 12. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian...65

Lampiran 13. Sertifikat Lisensi Data Statistik...66

Lampiran 14. Deskriptif dan Uji Normalitas Usia Responden...67

Lampiran 15. Deskriptif dan Uji Normalitas Body Mass Index...68

Lampiran 16. Deskriptif dan Uji Normalitas HbA1c...69

Lampiran 17. Deskriptif dan Uji Normalitas Hemoglobin (Hb)...70

(17)

≥25 kg/m2 dan <25 kg/m2...73

Lampiran 10. Uji Korelasi Pearson antara Body Mass Index dengan HbA1c...74

Lampiran 21. Data HbA1c dan hemoglobin (Hb) responden wanita...75

Lampiran 22. Standard Operating Procedure Pengukuran Tinggi Badan...77

(18)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Penyakit Kardiovaskular adalah penyakit nomor satu penyebab kematian di dunia. Lebih banyak orang meninggal setiap tahunnya karena penyakit kardiovaskular daripada penyebab lainnya. Pada bulan Januari tahun 2015 diperoleh data yang menyatakan bahwa sekitar 17,5 juta orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular pada tahun 2012, dan mewakili sekitar 31% dari semua jenis kematian di dunia. Dari kematian ini diperkirakan 7,4 juta meninggal karena penyakit jantung koroner dan sekitar 6,7 juta disebabkan oleh stroke (WHO, 2005). Di Indonesia penyakit jantung dan pembuluh darah terus meningkat dan memberikan beban kesakitan, kecacatan dan beban sosial ekonomi bagi keluarga penderita, masyarakat, dan negara. Pada tahun 2013, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter sekitar 0,5%, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter gejala yang terjadi sebesar 1,5%. Penyakit gagal jantung di Indonesia pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter didapatkan data sebesar 0,13% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2015).

(19)

penyakit kardiovaskular adalah obesitas. Obesitas dapat menyebabkan banyak masalah kesehatan baik secara independen serta hubungan dengan penyakit lainnya. Obesitas dapat ditentukan dari body mass index (BMI) yang dilakukan pengukuran secara langsung pada berat badan dan tinggi badan. Obesitas dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin, dengan adanya resistensi insulin dapat menyebabkan terjadinya diabetes melitus tipe 2 (WHO, 2015; Foulds, Bredin, and Warburton, 2012).

Pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya diabetes melitus dan mengontrol kadar glukosa dalam darah adalah pemeriksaan HbA1c. Peningkatan HbA1c merupakan faktor risiko untuk pengembangan kardiovaskular pada pasien dengan diabetes melitus, dengan 10-15% peningkatan risiko kardiovaskular untuk setiap kenaikan satu unit di HbA1c (National Institutes of

Health, 2012).

Upaya pencegahan dan deteksi dini terhadap risiko munculnya penyakit kardiovaskular dapat dilakukan dengan cara paling sederhana, murah dan mudah diaplikasikan yaitu pengukuran antropometri. Pengukuran antropometri merupakan pengukuran yang dilakukan untuk melihat status gizi dari seseorang. Pada penelitian ini menggunakan bidang antropometri body mass index yang dilakukan dengan mengukur berat badan dan tinggi badan seseorang. Semakin tinggi nilai body mass index, risiko untuk mengalami obesitas semakin besar. Seseorang dikatakan mengalami obesitas bila nilai BMI lebih besar dari 30,00 kg/m2 (Centers for Disease Control and Prevention of Unitetd States, 2011;

(20)

Perhimpunan Ergonomi Indonesia, 2013). Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara body mass index dengan HbA1c pada responden wanita, sehingga diharapkan dapat membantu masyarakat dalam memprediksi risiko diabetes melitus tipe 2 yang dapat memicu terjadinya kardiovaskular dengan melakukan pengukuran body mass index, hal ini dapat didukung oleh hasil penelitian Martins, Jones, Cumming, Silva, Teixeira, and Verissimo (2012) yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara BMI dan kadar HbA1c (r=0,31; p=0,01).

1. Permasalahan

Apakah terdapat korelasi yang bermakna antara body mass index (BMI) dengan HbA1c pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta?

2. Keaslian Penelitian

(21)

Tabel I. Keasliaan Penelitian

Judul Penelitian Hasil Persamaan Perbedaan

(22)

Tabel I. Lanjutan

Judul Penelitian Hasil Persamaan Perbedaan

(23)

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai korelasi BMI terhadap HbA1c pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta dan dapat dijadikan sebagai referensi pada penelitian yang serupa lainnya.

b. Manfaat praktis. Pengukuran BMI diharapkan mampu memberikan gambaran awal kepada masyarakat mengenai obesitas dan kadar HbA1c untuk mendeteksi dini penyakit diabetes melitus.

B. Tujuan Penelitian

(24)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Antropometri

Antropometri adalah studi tentang pengukuran tubuh manusia seperti pada tulang, otot, dan jaringan lemak. Pengukuran antropometri adalah pengukuran pada manusia yang meliputi bidang pengukuran seperti body mass

index (BMI), lingkar tubuh (lingkar pinggang dan lingkar pinggang panggul),

skinfold thickness, panjang tungkai, bahu, dan pergelangan tangan. Antropometri

ini dapat berhubungan dengan beberapa gangguan penyakit seperti penyakit jantung, diabetes melitus serta gangguan kognitif (Karakas, Bilgin, Polatli, Ozlem

and Tas-Gulen, 2014).

1. Body Mass Index (BMI)

Body Mass Index (BMI) adalah pengukuran yang paling sering digunakan sebagai alat untuk memantau status gizi seseorang yang berkaitan dengan kelebihan atau kekurangan berat badan dengan melakukan perhitungan dari pengukuran tinggi badan dan berat badan. Body Mass Index dapat diukur dengan menggunakan rumus berat badan dalam kilogram (kg) dibagi kuadrat dari tinggi badan dalam meter per segi (m2) (Gomez-Ambrosi, Silva, Galofre, Escalada, Santos, Millan et al., 2012).

Rumus perhitungan BMI sebagai berikut.

� �� � (���) =�� ���� � �� ��� � (��)

( �)

Body Mass Index berkorelasi dengan lemak tubuh yang dapat

(25)

tepat untuk melakukan skrining untuk mengetahui obesitas dan risiko kesehatan (Centers For Disease Control and Prevention, 2012).

Tabel II. Klasifikasi Body Mass Index (BMI) berdasarkan Central For Disease Control And Prevention (Centers For Disease Control and Prevention,

2012)

B. Obesitas

Obesitas merupakan proses penyakit yang ditandai dengan akumulasi lemak tubuh yang berlebihan dalam jaringan lemak pada seseorang. Obesitas dapat menyebabkan banyak masalah kesehatan baik secara independen serta hubungan dengan penyakit lainnya. Obesitas dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan asupan energi dengan energi yang dikeluarkan sehingga menyebabkan terjadinya kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Terjadinya obesitas lebih ditentukan oleh pola hidup yang tidak sehat seperti terlalu mengkonsumsi makanan, menurunkan aktifitas atau latihan fisik. Penanda kelebihan lemak dalam tubuh yang biasa digunakan adalah body mass

index (BMI). Pengukuran BMI dilakukan secara langsung pada berat badan dan

tinggi badan. Seseorang dikatakan obesitas bila nilai BMI lebih besar dari 30,00 kg/m2. Peningkatan resistensi insulin dan gangguan metabolisme glukosa terjadi karena diawali dengan kelebihan berat badan dalam tubuh dan obesitas. Obesitas dapat dikaitkan dengan komplikasi penyakit berupa kelainan jantung, hipertensi,

BMI (kg/m2) Kategori

<18.5 Rendah

18.5 – 24.9 Normal

25.0 – 29.9 Overweight / Pre Obesitas

(26)

osteoarthritis, dislipidemia, dan diabetes melitus (Bogchi, and Preuss, 2013;

WHO, 2015; Foulds et al., 2012; Dipiro et al., 2015).

Obesitas merupakan salah satu faktor predisposisi utama untuk diabetes melitus tipe 2 yang dapat menyebabkan gangguan pada sekresi insulin dan menyebabkan resistensi insulin. Obesitas dapat meningkatkan jumlah jaringan lemak, sehingga dapat memicu terganggunya kemampuan insulin untuk mempengaruhi pengambilan glukosa dan metabolismenya dengan jaringan yang sensitif dengan insulin, hal ini dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin adalah hal terpenting dari metabolik sindrom dan berkembang menjadi diabetes melitus tipe 2 (Mukherjee et al 2013).

C. Diabetes Melitus tipe 2

(27)

insulin adalah kondisi saat insulin dalam tubuh tidak dapat mengerahkan insulin yang cukup untuk konsentrasi dalam darah. Target penurunan insulin yang utama adalah pada sel hati dan sel otot (Kochi, 2010).

Diabetes melitus tipe 2 lebih sering dialami oleh orang dewasa dan berhubungan dengan riwayat diabetes dari keluarga, obesitas (>120% berat badan ideal), serta hiperglikemia. Penderita diabetes melitus tipe 2 dapat menyebabkan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Kombinasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 1. Komplikasi makrovaskular antara lain hipertensi, dislipidemia, serta penyakit kardiovaskular (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

D. Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin (Hb) adalah protein yang memiliki zat besi dalam jumlah yang banyak. Hemoglobin terdapat dalam sel-sel darah merah dan merupakan pigmen pemberi warna merah dan juga sebagai pembawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Kekurangan hemoglobin dapat menyebabkan terjadinya anemia. Anemia adalah kondisi dimana jumlah sel darah merah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis. Konsentrasi hemoglobin dapat berpengaruh terhadap HbA1c terutama pada pasien dengan anemia hemolitik (WHO, 2011).

(28)

hemoglobin terglikasi dalam sel darah merah yang dapat mencerminkan kadar rata-rata dari glukosa dalam sel selama siklus hidup sel (Adeoye, Abraham, Erlikh, Sarfraz, Borda, and Yeung, 2014; American Diabetes Association, 2013).

E. HbA1c

HbA1c atau hemoglobin A1c adalah protein yang terbentuk atas reaksi antara glukosa dan hemoglobin dalam sel darah merah. Hemoglobin A1c digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kondisi glukosa darah. Peningkatan HbA1c merupakan faktor risiko untuk pengembangan penyakit gagal jantung pada pasien dengan diabetes melitus. Pemeriksaan HbA1c didasarkan pada glukosa hemoglobin, protein dalam sel darah merah yang membawa oksigen. Dalam tubuh, sel-sel darah merah terus-menerus dibentuk dengan lama hidup sel darah merah adalah 120 hari (3 bulan), sehingga pemeriksaan HbA1c menggambarkan rata-rata kadar glukosa darah selama 3 bulan terakhir. Pengukuran HbA1c adalah cara yang akurat untuk memberikan ukuran terpercaya pada glikemia kronis dan berkorelasi baik dengan risiko komplikasi diabetes jangka panjang. HbA1c tidak dipengaruhi oleh perubahan sementara glukosa darah yang disebabkan oleh makanan (Sofia, Nimbal and Horwich, 2011; Ibrahim, Ismail, Bahari, and Bebakar, 2010).

Tabel III. Kategori Kadar HbA1c (American Diabetes Association, 2014)

Kategori Kadar

Normal <5,7%

Pradiabetes 5,7-6,4%

(29)

F. Penyakit Kardiovaskular

Penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang menyerang sistem peredaran darah pada manusia, terutama organ jantung dan pembuluh darah. Mayoritas penyakit kardiovaskular disebabkan oleh faktor risiko yang dapat dikendali, diperlakukan atau diubah seperti darah tinggi, kolesterol, kegemukan atau obesitas, dan diabetes (World Heart Federation, 2012).

Salah satu contoh penyakit kardiovaskular adalah ischemic heart disease (IHD) yaitu terjadi ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan jantung akan darah teroksigenasi yang disebabkan adanya atherosklerosis kronis. Akibat atherosklerosis ini, aliran darah yang menyuplai oksigen ke jantung menjadi terhambat (Kumar, Abbas, Fausto, and Aster, 2010).

G. Landasan Teori

(30)

tidak menular lainnya. Obesitas merupakan salah satu faktor predisposisi utama untuk diabetes melitus tipe 2 yang disebabkan oleh gangguan pada sekresi insulin dan menyebabkan resistensi insulin (Gomez-Ambrosi et al., 2012; Karakas et al., 2014; Sizer and Whitney, 2013).

Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena resistensi insulin. Resistensi insulin terjadi saat reseptor insulin tidak mampu berikatan dengan reseptor insulin, akibatnya glukosa tidak dapat masuk ke dalam jaringan untuk digunakan sebagai energi. Pemeriksaan yang digunakan untuk prediktor diabetes melitus dan untuk mengontrol kadar glukosa dalam darah adalah HbA1c. Pemeriksaaan HbA1c yang digunakan adalah pemeriksaan darah untuk mengetahui rata-rata glukosa seseorang. Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular adalah fungsi abnormal dari jantung atau darah. Mayoritas penyakit kardiovaskular disebabkan oleh faktor risiko yang dapat dikendali, diperlakukan atau diubah seperti darah tinggi, kolesterol, kegemukan atau obesitas, dan diabetes (World Heart Federation, 2012; Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005; Ibrahim et al., 2010).

(31)

Tabel IV. Penelitian Korelasioal antara Body Mass Index terhadap HbA1c

Peneliti Judul Rancangan

(32)

Tabel IV. Lanjutan

Peneliti Judul Rancangan

(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan berupa cross sectional/potong lintang. Rancangan penelitian cross

sectional adalah rancangan penelitian yang mempelajari korelasi antara faktor

risiko sebagai variabel sebab dan faktor efek sebagai variabel akibat. Analisis korelasi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui adanya korelasi antara Body

Mass Index (BMI) sebagai faktor risiko, dan HbA1c sebagai faktor efek pada

wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta. Pada rancangan penelitian cross sectional, peneliti hanya melakukan observasi dan variabel pada satu waktu tertentu, dimana subyek peneliti hanya melakukan penelitian hanya sekali tanpa ada pengukuran yang diulang. Data penelitian yang diperoleh dianalisis secara statistik untuk menganalisis korelasi antara faktor risiko dan faktor efek (Notoatmodjo, 2012).

B. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas: Body Mass Index (BMI)

2. Variabel tergantung: HbA1c 3. Variabel pengacau:

(34)

C. Defenisi Operasional

1. Responden penelitian adalah wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta yang masih aktif dan bersedia ikut serta dalam penelitian ini, serta memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang ditetapkan.

2. Karakteristik penelitian meliputi pengukuran antropometri dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pengukuran antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan dan yang dihitung adalah BMI. Hasil pemeriksaan laboratorium dengan menganalisis kadar HbA1c.

3. Pengukuran Body Mass Index (BMI) adalah perhitungan berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter persegi (m2).

4. Kadar HbA1c diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium Pramita Yogyakarta dalam persen (%). Pengukuran kadar HbA1c menggunakan metode Turbidimetric inhibition immunoassay.

5. Kriteria kadar HbA1c berdasarkan American Diabetes Association (2014). 6. Kriteria Body Mass Index berdasarkan Central For Disease Control And

Prevention (2012), dengan cut-off body mass index normal <25 kg/m2 dan

body mass index dengan obesitas ≥25 kg/m2.

D. Responden Penelitian

(35)

Desa Kepuharjo merupakan salah satu Desa dengan mata pencaharian masyarakatnya adalah petani, dan buruh pasir. Pemilihan responden penelitian di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti kemudahan dalam berinteraksi dengan responden terkait lokasi yang dekat dan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan dalam lingkup masyarakat desa. Kriteria inklusi subyek penelitian adalah penduduk Desa Kepuharjo yang berusia 40-60 tahun serta bersedia menandatangani informed consent. Kriteria eksklusi meliputi responden tidak hadir saat pengambilan data, menderita penyakit-penyakit degeneratif (diabetes melitus, hipertensi, dan dislipidemia), sudah menopause, sedang hamil, menggunakan alat kontrasepsi (kecuali IUD), dan konsumsi obat-obatan terkait kardiometabolik.

(36)

Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta dengan hasil adalah 2.209 penduduk. Data yang diperoleh dipilih lagi berdasarkan kriteria usia yaitu 40-60 tahun dan masuk kriteria inklusi yaitu 120 responden. Pengambilan data sampel dilakukan sebanyak tiga kali, dengan rincian kegiatan sebagai berikut.

1. Pengambilan data pertama dilakukan pada tanggal 30 Mei 2015 di Balai Desa Kepuharjo dengan total responden yang terdata adalah 44 orang dengan jumlah responden wanita yang terdata adalah 27 orang dan 1 orang drop out dikarenakan responden takut untuk diambil darahnya.

2. Pengambilan data yang kedua dilakukan di Balai Desa Kepuharjo pada tanggal 18 Juni 2015. Total data yang terkumpul adalah 36 orang, dengan jumlah data wanita yang terkumpul adalah 12 orang.

3. Pengambilan data yang ketiga dilakukan pada tanggal 19 Juni 2015 di Gedung Serba Guna Huntap Pagerjurang. Total data responden yang diperoleh adalah sebesar 21 responden, dengan jumlah responden wanita yang terdata adalah 11 orang responden wanita.

(37)
(38)

E. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta. Pengambilan data di Desa Kepuharjo dilaksanakan pada tanggal 30 Mei 2015 di Balai Desa Kepuharjo, 18 Juni 2015 di Balai Desa Kepuharjo, dan 19 Juni 2015 di Gedung Serbaguna Huntap Pagerjurang, Desa Kepuharjo.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian payung Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang berjudul “Korelasi Antropometri dan Faktor

Risiko Penyakit Kardiovaskular pada Masyarakat Pedesaan”, dan telah

memperoleh ijin dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan nomor Ref: KE/FK/502/EC. Penelitian payung ini bertujuan untuk mengkaji korelasi antara pengukuran antropometri terhadap faktor risiko penyakit Kardiovaskular.

(39)

Gambar 2. Bagan Kajian Penelitian Payung

G. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah

non-random sampling dengan jenis purposive sampling. Teknik non-non-random sampling

adalah teknik pengambilan sampel dengan tidak semua anggota populasi diberi kesempatan untuk dipilih menjadi sampel. Teknik purposive sampling berarti pada pengambilan sampel dilakukan dengan suatu tujuan yaitu pengambilan sampel sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan. Jenis

purposive sampling merupakan teknik yang berdasarkan pada ciri/sifat tertentu

yang diperkirakan mempunyai hubungan dengan ciri/sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui sebelumnya sehingga ciri yang spesifik dalam populasi tersebut digunakan sebagai kunci untuk pengambilan sampel. Jumlah

(40)

sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 subyek, yang diambil berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi dengan teknik non-random.

H. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah timbangan berat badan merk

Idealine®, dan alat pengukur tinggi badan dengan merk Height®, alat tulis, serta

hasil dari pengukuran tersebut digunakan untuk menghitung Body Mass Index. Pada pengukuran berat badan dan tinggi badan responden diminta untuk tidak menggunakan alat kaki. Pengukuran kadar HbA1c menggunakan Cobas C501® dan pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan metode Turbidimetric

inhibition immunoassay.

I. Tata cara Penelitian 1. Observasi awal

Observasi awal dilakukan dengan mencari informasi mengenai jumlah penduduk di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta, serta mencari tempat atau lokasi yang cocok untuk melakukan pengukuran antropometri.

2. Permohonan ijin dan kerjasama

(41)

ijin kedua ditujukan kepada Kecamatan Cangkringan, Desa Kepuharjo, Sleman Yogyakarta agar dapat memperoleh ijin untuk melibatkan penduduk yaitu pria dan wanita dalam melakukan penelitian. Permohonan kerjasama pertama diajukan ke bagian Laboratorium Pramita Yogyakarta untuk pengambilan dan analisis darah. Permohonan kerjasama kedua diajukan kepada responden penelitian dengan menggunakan informed consent.

3. Pembuatan informed consent dan leaflet

a. Informed consent. Merupakan bukti tertulis pernyataan kesediaan calon responden untuk ikut terlibat di dalam penelitian. Informed consent disusun berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

b. Leaflet. Digunakan untuk membantu responden dalam memahami gambaran penelitian ini. Konten dari leaflet yaitu tujuan penelitian, manfaat penelitian bagi responden, pengukuran antropometri meliputi pengukuran body mass index, serta pemeriksaan HbA1c.

4. Pencarian responden

(42)

meminta izin di Kantor Desa Kepuharjo untuk memperoleh data tiap Pedukuhan. Peneliti berkoordinasi dengan Kepala Dukuh masing-masing Pedukuhan untuk mengetahui persebaran rumah warga dan batas-batas Pendukuhan, sehingga peneliti dapat mendatangi calon responden untuk melakukan wawancara. Ada beberapa warga yang tidak dapat ditemui, hal ini dikarenakan sebagian warga sedang melakukan pekerjaan seperti mencari rumput, bertani, buruh batu, dan ada sebagian warga yang menolak untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. Calon responden yang diwawancarai diberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian, manfaat yang diperoleh, gambaran penelitan yang akan dilakukan, penjelasan mengenai kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan peneliti, serta menanyakan kesediaan calon responden untuk terlibat dalam penelitian ini. Calon responden yang bersedia untuk berpatisipasi dalam penelitian ini dan telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, diberikan informed consent, kemudian diisi dan ditandatangani oleh responden sebagai bukti kesediaannya untuk mengikuti penelitian ini.

(43)

IUD, takut jarum suntik, menderita penyakit kardiometabolik, serta berhalangan hadir saat pengambilan darah.

5. Validasi dan reliabilitas instrumen penelitian

Instrumen dalam penelitian ini yang divalidasi adalah timbangan berat badan merk Idealine® dan alat pengukur tinggi badan merk Height® di Balai Metrologi Yogyakarta. Suatu instrumen valid dan reliabel, apabila instrumen tersebut telah dikalibrasi dan nilai CV atau koefisien varansi ≤5%. Nilai CV diperoleh dengan melakukan pengukuran reliabilitas sebanyak 5 kali berturut-turut (Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik, 2011).

Pengukuran berat badan dan tinggi badan dilakukan pengukuran sebanyak 5 kali berturut-turut oleh subyek yang sama (wanita usia 49 tahun) dengan nilai CV pada alat timbangan berat badan adalah 0.417% sedangkan nilai CV pada alat pengukur tinggi badan adalah 0.155%. Alat timbangan berat badan dan alat pengukur tinggi badan dikatakan reliabel karena nilai CV timbangan berat badan dan alat ukur tinggi badan sebesar ≤5% dan dikatakan valid karena telah dikalibrasi oleh Balai Metrologi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 15 Mei 2015 dengan nomer sertifikat peneraan: 2607/TE-295/V/2015 untuk timbangan berat badan dan nomer sertifikat peneraan: 2606/UP-208/V/2015. Alat

Cobas C501® yang digunakan untuk mengukur kadar HbA1c di dalam darah,

telah divalidasi oleh Laboratorium Pramita Yogyakarta. 6. Pengukuran Parameter

(44)

a. Berat badan. Responden menimbang berat badan dengan timbangan yang telah disediakan, responden harus melepas alas kaki untuk mengurangi faktor koreksi. Responden harus berdiri di atas posisi timbangan dengan posisi tegak lurus.

b. Tinggi badan. Responden diukur tinggi badan dengan menempelkan meretan pada dinding datar. Responden harus melepas alas kaki untuk mengurangi faktor koreksi, berdiri tegak lurus sampai meteran menyentuh ujung kepala responden.

c. Kadar Hemoglobin (Hb) dan Kadar HbA1c. Pengambilan darah dilakukan pada responden yang telah berpuasa 8-12 jam sebelum waktu pengambilan darah dan dilakukan oleh analis dari Laboratorium Pramita Yogyakarta.

7. Penyerahan hasil pemeriksaan kepada responden

Hasil pengukuran antropometri serta hasil analisis sampel darah dari Laboratorium Pramita Yogyakarta diberikan kepada responden. Peneliti memberikan penjelasan mengenai hasil pengukuran antropometri dan analisis darah responden serta memberikan saran untuk menjaga kesehatan, pola makan jika ditemukan hasil pemeriksaan yang tidak normal.

8. Pengolahan Data

(45)

J. Analisis Data

Data body mass index, HbA1c dan usia responden dihitung secara statistik dengan taraf keperayaan 95% menggunakan spss versi 17. Sebelum uji korelasi, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui distribusi data. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, pada jumlah sampel >50 responden, dan menggunakan uji Shapiro-Wilk dengan jumlah sampel ≤50 responden. Pada penelitian ini menggunakan uji Shapiro-Wilk, hal ini disebabkan karena jumlah subyek yang digunakan untuk mengolah data adalah 45 responden wanita. Setelah uji normalitas dilakukan, uji selanjutnya dilakukan uji komparatif, dimana pada uji ini diawali dengan mengelompokkan data kadar HbA1c berdasarkan nilai BMI ≥25 kg/m2

(46)

BMI dan HbA1c terdistribusi normal. Analisis deskriptif akan dilakukan untuk menentukan prevalensi overweight dan obesity.

Tabel V. Interpretasi Hasil Uji Hipotesis Berdasarkan Kekuatan korelasi, nilai p, dan Arah Korelasi (Dahlan, 2014)

Parameter Nilai Interpretasi

Kekuatan Arah Korelasi Positif (+)

Negatif (-)

Searah. Semakin tinggi variabel A, semakin tinggi variabel B.

Berlawanan arah. Semakin tinggi variabel A, semakin

r yang diperoleh < r minimal r yang diperoleh > r minimal

Korelasi tidak bermakna Korelasi bermakna

K. Keterbatasan Penelitian

(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Karakteristik Responden

Penelitian ini dilakukan di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta untuk mengetahui profil kesehatan warga wanita dewasa sehat yang berusia 40-60 tahun di Desa Kepuharjo dan untuk mengetahui adanya korelasi BMI terhadap HbA1c. Penelitian ini merupakan penelitian payung dengan judul “Korelasi Antropometri dan Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskular

pada Masyarakat Pedesaan”. Responden pada penelitian ini terdiri dari 45 orang

wanita dewasa sehat yang telah ditetapkan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Profil karakteristik responden meliputi usia, body mass index (BMI), hemoglobin (Hb) dan HbA1c.

Tabel VI. Profil Karakteristik Responden

No. Karakteristik Profil

(n=45)

*p>0.05 menunjukkan bahwa data terdistribusi normal (mean±SD)

**p<0,05 menunjukkan bahwa data tidak terdistribusi normal (median (minimum-maksimum)

Penelitian ini melakukan uji normalitas pada profil karakteristik responden menggunakan uji normalitas Shapiro-wilk dikarenakan responden berjumlah ≤50 responden. Profil data yang disajikan adalah mean±SD yang

(48)

1. Usia

Penelitian ini menggunakan responden wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta dengan rentang usia 40-60 tahun. Kategori dewasa pertengahan berada pada rentang usia 40-60 tahun. Responden pada penelitian ini termasuk dalam kategori middle adulthood, dimana periode ini adalah periode transisi antara usia dewasa dini dengan usia lanjut (Santrock, 2004).

Uji normalitas pada usia responden dilakukan dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk pada taraf kepercayaan 95% dengan hasil nilai signifikansi sebesar p=0,031 sehingga dapat disimpulkan bahwa data distribusi usia responden tidak terdistribusi normal. Pada ukuran pemusatan data, hasil yang diperoleh adalah nilai tengah usia responden 45 tahun dan ukuran penyebaran dinyatakan dalam minimum-maksimum yaitu 40-53 tahun. Distribusi data usia responden dapat dilihat pada Gambar 3.

(49)

Menurut penelitian Walia et al (2014) usia merupakan salah satu faktor berkembangnya suatu penyakit. Pada penelitian ini rentang usia 40-69 tahun memiliki risiko terjadinya peningkatan penyakit kardiovaskluar seperti hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung koroner, dan resistensi insulin. Prevalensi penyakit kardiovaskular dapat disebabkan karena perubahan gaya hidup termasuk perubahan dalam pola diet konsumsi karbohidrat dan lemak jenuh. Faktor risiko kardiovaskular yang lain adalah penyakit arteri koroner dan diabetes melitus, yang disebabkan karena adanya obesitas sentral, hipertensi, dislipidemia dan pradiabetes. Penelitian tersebut sama dengan penelitian dari Ekpenyong, Akpan, Ibu, and Nyebuk (2011) yang menyatakan bahwa prevalensi diabetes melitus meningkat dengan bertambahnya usia. Pada penelitian tersebut menunjukkan hasil prevalensi pada diabetes melitus pada orang dewasa dengan usia 40-60 tahun pada laki-laki adalah sebesar 23,70% dan pada wanita sebesar 29,39%. Oleh karena itu, prevalensi terjadinya diabetes melitus pada usia 40-60 tahun secara signifikan lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada laki-laki (p=0,003). Usia dan jenis kelamin secara global dapat diidentifikasi sebagai faktor risiko diabetes melitus.

Hasil penelitian Trisnawati dan Setyorogo (2013), menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara faktor risiko usia terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2 dengan nilai signifikansi p=0,026. Pada rentang usia ≥45 tahun risiko terhadap kejadian diabetes melitus yaitu sebanyak 24 orang (75%). Usia <45 tahun risiko terhadap kejadian diabetes melitus adalah 7 orang (38,9%), sehingga dapat dikatakan pada penelitian tersebut rentang usia ≥45 tahun

(50)

dapat mendukung penelitian sekarang, dimana dengan semakin bertambahnya usia, risiko terjadinya penyakit kardiovaskular seperti diabetes melitus akan semakin tinggi. Hal ini dapat diperjelas lagi dengan kategori middle adulthood dimana saat seseorang sudah memasuki periode middle adulthood akan mengalami penurunan fungsi organ dan penurunan keterampilan fisik. Peningkatan risiko diabetes seiring dengan usia, khususnya pada usia >40 tahun, dapat disebabkan karena pada rentang usia tersebut mulai terjadi peningkatan intorelansi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin (Sujaya, 2009).

2. Body mass index (BMI)

(51)

Gambar 4. Grafik distribusi Body mass index (BMI)

Penelitian ini menggunakan 45 responden wanita dalam pengukuran BMI. Hasil pengukuran diperoleh 22 responden masuk dalam kategori normal, 16 responden masuk dalam kategori overweight, 5 responden masuk dalam kategori obesitas dan 2 responden masuk dalam kategori underweight. Nilai BMI responden pada penelitian ini berkisar antara 17,37-35,54 kg/m2. Nilai BMI berhubungan dengan lemak tubuh dan risiko beberapa penyakit di kemudian hari. Seseorang yang memiliki nilai BMI yang tinggi (≥25 kg/m2

) lebih berisiko mengalami obesitas, dimana berhubungan dengan beberapa masalah kesehatan daripada seseorang dengan nilai BMI normal. Kelebihan lemak tubuh diketahui dapat menjadi salah satu faktor risiko penyakit diabetes melitus tipe 2 (Centers

For Disease Control and Prevention, 2012). BMI tetap memiliki kekurangan

(52)

BMI tidak dapat memberikan distribusi lemak tubuh dan tidak sepenuhnya menyesuaikan efek tinggi badan dan bentuk tubuh untuk mengelompokkan tiap individu dari berbagai etnis (National Obesity Observatory, 2009).

Berdasarkan penelitian Al-Sharafi and Gunaid (2014) yang melibatkan 1.640 responden pria dan wanita dengan diabetes melitus tipe 2 pada rentang usia 25-65 tahun, menunjukkan hasil bahwa kondisi overweight terjadi pada 58,5% responden wanita dan 28,5% pada responden pria, sedangkan kondisi obesitas terjadi pada 38% responden wanita dan 11% pada responden pria. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya nilai BMI dapat mempengaruhi prevalensi diabetes melitus tipe 2 (p=0,01). Penelitan lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Kumar et al (2008) yang melibatkan responden berusia 20-60 tahun menunjukkan prevalensi diabetes melitus tipe 2 sebesar 11,5% di Kolkata, presentase tersebut dipengaruhi oleh riwayat penyakit, usia, serta obesitas sentral tetapi tidak memiliki pengaruh yang cukup besar dari BMI. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik pada BMI saat dibandingkan dengan kelompok normoglycaemic dan diabetes melitus tipe 2. 3. Hemoglobin (Hb)

(53)

Gambar 5. Grafik Distribusi Hemoglobin (Hb) responden

(54)

menyatakan bahwa nilai HbA1c tidak akurat digunakan untuk mendeteksi kontrol glikemik seseorang saat pasien tersebut memiliki penyakit tertentu seperti anemia. 4. HbA1c

Uji normalitas nilai HbA1c menggunakan uji Shapiro-Wilk dengan taraf kepercayaan adalah 95% menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,263 yang menunjukkan data terdistribusi normal. Ukuran pemusatan data HbA1c dinyatakan dalam mean yaitu 5,39% (termasuk dalam kategori normal) serta ukuran penyebarannya dinyatakan dalam standar deviasi yaitu 0,23. Distribusi nilai HbA1c dari responden dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 6. Grafik Distribusi HbA1c Responden

(55)

HbA1c telah direkomendasikan sebagai salah satu tes untuk mendiagnosa diabetes melitus tipe 2 dan pre-diabetes. Hasil tes dari HbA1c dapat dilaporkan dalam bentuk persen. HbA1c dengan mudah dapat digunakan oleh banyak orang yang melakukan tes HbA1c, sehingga diharapkan dapat terjadi penurunan jumlah pasien dengan penyakit diabetes melitus tipe 2 yang tidak bisa terdiagnosa dengan benar (National Institute of Diabetes and Digestive and

Kidney Diseases, 2014; The Internasional Expert Committee, 2009). Pada

penelitian yang dilakukan oleh Bancks, Odegaard, Koh, Yuan, Gross, and Pereira (2015) juga mendukung rekomendasi untuk penggunaan tes HbA1c yang dapat digunakan untuk mendiagnosa terjadinya diabetes melitus. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan 5.770 responden dewasa Singapura-China dengan rentang usia 45-74 tahun. Hasil penelitian menunjukkan responden dengan nilai HbA1c ≥6,5% signifikan untuk mendiagnosa diabetes melitus (p=0,001),

sedangkan pada responden dengan nilai HbA1c <5,7% tidak terkait secara signifikan untuk mendiagnosa insiden diabetes melitus (p=0,10).

(56)

menunjukkan penggunaan nilai cut-off untuk mendiagnosa diabetes melitus 5,9% pada HbA1c, memiliki nilai sensitifitas sebesar 77,7% dan nilai spesifisitas sebesar 78,2%. Pada penelitian ini juga menggunakan kadar glukosa yang berkorelasi dengan HbA1c masing-masing dengan nilai r=0,619 dan nilai p=0,001 dan r=0,622 dan nilai p=0,001.

B. Perbandingan Rerata HbA1c pada Kelompok Body Mass Index ≥25 kg/m2 dan Body Mass Index <25 kg/m2

Analisis komparatif bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak perbedaan yang bermakna antara variabel bebas (BMI) dengan HbA1c. Responden dibedakan menjadi dua kelompok menurut BMI yaitu HbA1c dengan kelompok BMI ≥25 kg/m2

(kelompok tidak normal) dan HbA1c dengan kelompok BMI <25 kg/m2 (kelompok normal). Penelitian ini membandingkan kadar HbA1c pada kelompok BMI ≥25 kg/m2

dan HbA1c pada kelompok BMI <25 kg/m2. Penelitian ini mengklasifikasikan nilai BMI berdasarkan Central For Disease

Control And Prevention (2012). Jumlah responden yang memiliki nilai BMI ≥25

kg/m2 sebanyak 21 responden, dan jumlah responden yang memiliki nilai BMI <25 kg/m2 adalah sebanyak 24 responden.

(57)

Berdasarkan hasil uji normalitas dari kedua kelompok, maka untuk uji komparatif dianalisis dengan menggunakan uji t tidak berpasangan karena kedua data kelompok BMI terdistribusi normal (Dahlan, 2014).

Tabel VII. Hasil Perbandingan rerata HbA1c pada kelompok BMI

≥25 kg/m2

dan kelompok BMI <25 kg/m2

BMI ≥25 kg/m2

Hasil uji komparatif pada penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara dua kelompok yaitu HbA1c dengan kelompok BMI ≥25 kg/m2 dan HbA1c dengan kelompok BMI <25 kg/m2 (p=0,116). Kedua rata-rata kadar HbA1c termasuk dalam kategori normal menurut American Diabetes

Association (2014) sehingga hasil uji statistik menyatakan rata-rata kadar HbA1c

pada kedua kelompok sama atau berbeda tidak bermakna.

(58)

Hasil penelitian sekarang tidak menyerupai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lukich, Gavish, and Shargorodsky (2014), yang menunjukkan uji perbandingan kadar HbA1c pada responden obesitas dengan diabetes melitus tipe 2 (8,1±1,7%) terhadap kadar HbA1c pada responden non-obesitas dengan diabetes melitus tipe 2 (7,4±1,4%) terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,008. Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian sebelumnya adalah pada kelompok responden yang digunakan, penelitian sebelumnya menggunakan kelompok responden dengan diabetes melitus tipe 2, sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan responden dewasa sehat tanpa penyakit degeneratif seperti diabetes melitus tipe 2. Penelitian sekarang menunjukkan bahwa tinggi rendahnya nilai BMI pada kondisi responden yang sehat tidak menimbulkan perbedaan rerata kadar HbA1c yang bermakna antara kedua kelompok responden sedangkan pada penelitian Lukich et al (2014) yang menggunakan responden dengan diabetes melitus tipe 2 menunjukkan bahwa tinggi rendahnya nilai BMI dapat menimbulkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok responden.

C. Korelasi Body Mass Index (BMI) terhadap HbA1c

(59)

menyebabkan nilai kadar HbA1c pada responden juga terjadi peningkatan. Terdapat pula responden yang memiliki nilai BMI yang tinggi namun memiliki kadar HbA1c yang kecil. Kedua kondisi ini dapat mempengaruhi korelasi yang dihasilkan. Nilai p=0,061 pada hasil penelitian ini menunjukkan hasil korelasi yang tidak bermakna antara nilai BMI dengan kadar HbA1c. Nilai signifikansi yang tidak bermakna tersebut dapat disebabkan karena data yang tidak tersebar secara merata, ada sebagian besar data yang tersebar ke atas dan ada sebagian data yang tersebar ke bawah, sementara yang diharapkan adalah arah korelasinya naik secara keseluruhan. Diagram sebaran korelasi antara BMI dengan kadar HbA1c pada Gambar 6.

Gambar 7. Diagram sebaran korelasi BMI dengan HbA1c

(60)

data yang tersebar turun artinya semakin tinggi nilai BMI maka cenderung semakin rendah kadar HbA1c responden, dan tidak signifikan. BMI merupakan salah satu prediksi jumlah lemak dalam tubuh. BMI berkorelasi kuat dengan jumlah lemak dalam tubuh, semakin tinggi nilai BMI maka semakin tinggi jumlah lemak dalam tubuh. Kelebihan lemak tubuh (overweight dan obesitas) dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin yang terjadi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak dapat merespon insulin secara normal. Resistensi insulin dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemi karena reseptor insulin tidak sensitif sehingga glukosa dalam darah meningkat. Hiperglikemia pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya diabetes melitus tipe 2 (Ranasinghe, Gamage, Katulanda, Andraweera, and Tharanga et al 2013; McGarty, 2010).

Koefisien determinasi (R2) dalam penelitian ini adalah 0,079. Nilai R2 menunjukkan bahwa sebesar 7,9% variasi dari HbA1c (variabel tergantung) dapat dijelaskan oleh BMI (variabel bebas), sehingga dapat dikatakan bahwa pengaruh BMI terhadap HbA1c adalah 7,9%.

Tabel VIII. Korelasi Body Mass Index (BMI) terhadap HbA1c

Variabel Korelasi (r) Signifikansi (p) R2

BMI 0,281 0,061 0,079

(61)

(2007), hasil penelitian pada uji korelasi menunjukkan adanya korelasi sangat lemah dan tidak bermakna antara BMI terhadap kadar glukosa darah (HbA1c) (r=0,101; p>0,05). Hasil penelitian lain yang serupa dengan penelitian sekarang adalah penelitian oleh Bonaventura (2014), hasil menunjukkan terdapat korelasi tidak bermakna antara nilai BMI dan kadar HbA1c pada responden wanita (r=-0,039; p=0,781). Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang adalah pada penelitian sebelumnya dilakukan penelitian didaerah Perkotaan dengan responden staf wanita sehat Universitas Sanata Dharma dengan rentang usia 40-50 tahun, sedangkan pada penelitian sekarang dilakukan di daerah Pedesaan yang melibatkan responden wanita sehat dengan rentang usia 40-60 tahun.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Innocent et al (2013), tidak menyerupai dengan penelitian sekarang, hasil menunjukkan terdapat korelasi yang bermakna dengan korelasi positif dan kuat antara BMI dengan kadar glukosa dalam darah pada wanita dengan nilai r=0,54; p≤0,05. Perbedaan hasil penelitian

tersebut dengan penelitian sekarang adalah pada usia responden. Penelitian sebelumnya menggunakan usia responden 20-30 tahun, sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan usia responden 40-60 tahun. Perbedaan pada usia tersebut dapat mempengaruhi kadar glukosa darah atau HbA1c karena pada usia 20-30 pada wanita cenderung mengalami peningkatan deposisi lemak dalam tubuh.

(62)

dengan nilai r=0,460; p<0,005. Perbedaan hasil penelitian Farasat et al (2009) dengan penelitian sekarang adalah penelitian sebelumnya menggunakan responden yang menderita diabetes melitus tipe 2, sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan responden dewasa sehat tanpa riwayat penyakit kardiometabolik seperti diabetes melitus tipe 2. Responden dengan diabetes melitus tipe 2 dapat mempengaruhi kadar HbA1c.

(63)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Kesimpulan pada penelitian ini adalah terdapat korelasi yang tidak bermakna berkekuatan lemah dengan arah korelasi positif antara Body Mass Index terhadap HbA1c pada wanita dewasa sehat di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta.

B. Saran

1. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan peneliti dapat meningkatkan jumlah responden untuk diikutsertakan dalam penelitian.

2. Pada penelitian selanjutkan, diharapkan kriteria sehat pada responden tidak hanya dilakukan dengan wawancara, tetapi dapat didukung dengan hasil pemeriksaan laboratorium.

(64)

47

DAFTAR PUSTAKA

Adeoye, S., Abraham, S., Erlikh, I., Sarfraz, S., Borda, T., and Yeung, 2014, Anemia and Hemoglobin A1c level: Is there a case for redefining reference ranges and therapeutic goals?, British Journal of Medical

Practitioner, 2014;7(1):a706.

Aguilar, D., Bozkurt, B., Ramasubbu, K., Deswal, A., 2009, Relationship of Hemoglobin A1C and Mortality in Heart Failure Patients with Diabetes, NIH Public Access, Am Journal Hypertens, 54(5), 422-428.

Akinola, O., Omotoso, G., Akinlolu, A., and Ayangbemi, D., 2014, Identification of the Anthropometric Index That Best Correlates with Fasting Blood Glucose and BMI in Post-Pubescent Female Nigerians, Department of Anatomy, Faculty of Medical Sciences, College of Health Sciences, University of Ilorin, PMP 1515, Ilorin, Nigeria, Anatomy Journal of

Africa, 3(2), 324-328.

Al-Sharafi, B., and Gunaid, A., 2014, Prevalence of Obesity in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus in Yemen, Internasional Journal Endocrinol Metabolism, Department of Medicine, Sana’a University Medical School,

Sana’a Yemen, 12(2):e13633.

Arif, Ernalia, dan Rosdiana, 2014, Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar Glukosa Darah Puasa pada Pegawai Sekretariat Daerah provinsi Riau, 1(2).

American Diabetes Association, 2010, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus, Diabetes Care Journal, 33(1), 562-569.

American Diabetes Association, 2013, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus, Diabetes Care Journal,36 (1), 67-74.

American Diabetes Association, 2014, Diagnosing Diabetes and Learning About

Prediabetes, http://www.diabetes.org/diabetes-basics/diagnosis/, diakses

pada tanggal 25 Maret 2015.

American Diabetes Association, 2013, Genetics diabetes,

http://www.diabetes.org/diabetes-basics/genetics-of-diabetes.html, diakses tanggal 22 Maret 2015.

American Diabetes Association, 2014, A1C and eAG,

(65)

Baghi, D. and Preuss, H., Obesity : Pathophysiology, and Prevention, CRC Press, United Stated States of America, p.4.

Bancks, M., Odegaard, A., Koh, W., Yuan, J., Gross, M., and Pereira, M., 2015, Glycated Hemoglobin and Incidet Type 2 Diabetes in Singaporean Chinese Adults: The Singapore Chinese Health Study, Journal.pone, 0119884.

Bao, Y., Ma, X., Li, H., Zhou, M., Hu, C., Wu, H., et al., 2010, Glycated haemoglobin A1c for diagnosing diabetes Chinese Population: cross sectioal epidemiological survey, Departement of Endocrinology and Metabolism, Shanghai Jio Tong, University Affiliated Sixth People’s Hospital, Shanghai Clinical Center of Diabetes, China, 340, 2249.

Bhale, D., 2013, Comparitive Study of Blood Glucose, Glycosylated Hemoglobin, Serum Cholesterol, Triglycerides and HDL Levels in Lean, Nonobese and Obese Type 2 Diabetes Mellitus, International Journal of Recent Trends in

Science And Technology, 8(3), 209-211

Bonaventura, 2014, Korelasi Body Mass Index terhadap HbA1c pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata, Skripsi, hal.34-36, Universitas Sanata Dharma.

Britton, A., Pradhan, A.,Gaziano, M., Manson, J., Ridker, P., Buring, J., et al., 2011, Hemoglobin A1c, Body Mass Index and the Risk of Hypertension in Women, NIH Public Access, Am Journal Hypertens, 24(3), 328-334. Carson, A., Fonseca, V., Munter, P., and Reynolds, K., 2010, Comparison of A1c

and Fasting Glucose Criteria to Diagnose Diabetes Among U.S. Adult,

Epidemiology/Health Services Research, 33, 95-97.

Centers for Disease Control and Prevention of United States, 2011, Body Mass

Index :Considerations for Practitioners,

http://www.cdc.gov/obesity/downloads/bmiforpactitioners.pdf, diakeses tanggal 15 Maret 2015.

Dahlan, M., 2014, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Penerbit Epidemiologi Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013, Lingkungan sehat, Jantung

sehat, http://www.depkes.go.id/article/view/201410080002/lingkungan-sehat-jantung-sehat.html, diakses tanggal 16 Maret 2015.

(66)

Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik, 2011, Uji Fungsi Alat Kimia Klinis dan Hematologi, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Ekpenyong, C., Akpan, P., Ibu, J., and Nyebuk, D., 2012, Gender and Age

Specific Prevalence and Associated Risk Factor of Type 2 Diabetes Mellitus in Uyo Metropolis, South Eastern Nigeria, Original Research rticle, Department of Physiology, College of health Sciences, University of

Uyo, Akwa Ibom State, Nigeria, 41(1).

Farasat, T., Cheema, A., and Khan, M., 2009, Correlation among BMI, Fasting Plasma Glucose and HbA1c Levels in Subjects with Glycemic Anomalies Visiting Diabetic Clinics of Lahore, Pakistan Journal. Zool, 41(3).

Foulds, H., Bredin, S., and Warburton, D., 2012, The Relationship between Diabetes and Obesity across Different Ethnicities, Diabetes and

Metabolism, 3:9.

Gomez-Ambrosi, J., Silva, C., Galofre, J., Escalada, J., Santos, S., Millan, D et

al., 2012, Body mass index classification misses subjects with increased

Cardiometabolic risk factros related to elevated adiposity, Internasional

Journal of Obesity 36, 286-294.

Ibrahim, H., Ismail, A., Bahari, S., and Bebakar, W., 2010, The use of HbA1c in the diagnosis of Diabetes Melitus Type 2 in high risk subjects,

Internasional Journal Diabetes and Metabolism, 18, 25-28.

Innocent, O., God, O., Sandra, E., and Josiah, I., 2013, Correlation between body mass index and blood glucose levels among some Nigerian undergraduates, HOAJ Biology, 1-4.

Karakas, S., Bilgin, M., Polatli, M., Ozlem, S., Tas and Gulen, S., 2014, Anthropometric Methods in Evaluation of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Body Composition in Pulmonary Disorders, Collection

Anthropometric, 38(2), 499-504.

Kochi, K., 2010, Pathophysiology of Type 2 Diabetes and its Treatment Policy,

Journal of The Japan medical Association, 53(1).

Koga, M., Kasayama, S., 2010, Clinical Impact of Glycated albumin as another glycemic control marker, Endocr J, 57(9), 751-62.

(67)

Kumar, Abbas, Fausto, and Aster, 2010, Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, 8th Edition, Saunders Elsevier, Philadelphia, p. 545.

Lipoeta, N., Yerizel, E., Edward, Z., Widuri, I., 2007, Hubungan Nilai Antropometri dengan Kadar Glukosa Darah, Fakultas Kedokteran Andalas, hal.23-28.

Lukich, A., Gavish, D., and Shargorodsky, M., 2014, Normal weight diabetic patient versus bese diabetic: relation of overall and abdominal adiposity to vascular health, Cardiovascular Diabetology, 13, 141.

Martins, R., Jones, G., Cumming, P., Silva, J., Teixeira, M., and Verissimo, T., 2012, Glycated hemoglobin and associated risk factors in older adults,

Cardiovascular Diabetology, 11(13), 1-8.

McGarty, T., 2010, Obesty and Type 2 Diabetes: Cause and Effect, The Telmarc

Group, p.56-69.

Mortimer, A., 2006, Standard Operating Procedure: Measuring Height, Sheffield

Clinical Research Facility, 2.

Mortimer, A., 2010, Standard Operating Procedure: Measuring Weight using electronic scales, Sheffield Clinical Research Facility, 2.

Mukherjee, Hossain, Mondal, and Paul, 2013, Obesity and Insulin Resistance: An Abridged Molecular Correlation, Department of Pharmaceutical Technology, Jadavpur University, India, Libertas Academica, 6,1-11. National Institutes of Health and National Diabetes Information Clearinghouse

(NDIC), 2012, The A1C Test and Diabetes,

http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/A1CTest/#1, diakses tanggal 20 Maret 2015.

National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, 2014, The A1c

Test and Diabetes, National Diabetes Information Clearinghouse, 14-7816.

National Obesity Observatory, 2009, Body Mass Index as a measure of obesity, http://www.noo.org.uk/uploads/doc789_40_noo_BMI.pdf, diakses tanggal 27 November 2015.

(68)

Notoatmodjo, S., 2012, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 37-38, 124, 164-170.

Olokoba, Obateru, and Olokoba, 2012, Type 2 Diabetes Mellitus: A Review of Current Trends, Oman Medical Journal, 27(4), 269-273.

Perhimpunan Ergonomi Indonesia, 2013, Pengantar Antropometri, http://antropometriindonesia.org/index.php/detail/sub/2/7/0/pengantar_antr opometri, diakses tanggal 6 Maret 2015.

Pradhan, A., Rifai, N., Buring, J., and Ridker, M., 2007, HbA1c Predicts Diabetes but not Cardiovascular Disease in Non-Diabetic Women, Am J Med, 120(8), 720-727.

Ranasinghe, C., Gamage, P., Katulanda, P., Andraweera, T., and Tharanga, P., 2013, Relationship between body mass index (BMI) and body fat percentage, estimated by bioelectrical impedance, in a group of Sri Lankan adults: a cross sectional study, Biomedical central Public Health, 13(797), 1471-2458.

Robrusme, N., 2014, Hubungan antara usia dan indeks massa tubuh dengan kejadian diabetes mellitus tipe 2 di poliklinik interna blu rsup prof. Dr. R. D. Kandou Manado, 1(2).

Sanjee, W., Jeevan, A., and Basvaraj, D., 2015, Association of Obesity and Cardiometabolic Syndrome in Bank Employees: A Cross Sectional Study, Department of Biochemistry, BLDE University's Shri B.M.Patil Medical College, Hospital & Research Centre, Bijapur-586013 (Karnataka), India,

Jounal of Krisnha Institute of Medical Sciences University, 4(1),

2231-4621.

Saikumar, P., Sudha, D., and Chandraselvi, E., 2014, Body Mass Index Changes in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus, SreeBalaji Medical College Hospital, Bharath Universiy Chennai India, World Applied Sciences

Journal, 30(10), 1238-1242.

Santrock, J., 2004, Life-Span Development, 9th Ed., The McGraw-Hill Company, New York.

Sinha, N., Mishra, T., Singh, T., and Gupta, N., 2012, Effect of Iron Deficiency Anemia on Hemoglobin A1c Levels, Department of Medicine, Annals of

Laboratory Medicine, Delhi, India, 32, 17-22.

Gambar

Tabel V. Interpretasi Hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p,
Gambar 2. Bagan Kajian Penelitian Payung...........................................22
Tabel I. Keasliaan Penelitian  Persamaan Meneliti
Tabel I. Lanjutan Persamaan Meneliti
+7

Referensi

Dokumen terkait

Connections between these components using transit or transfer motions are then computed in a second stage (Section 2.2) by solving a limited number of point-to-point path

Tata cara tindakan hukum oleh kejaksaan atas pelanggaran yang dilakukan yayasan, baik terhadap ketentuan peralihan mapun ketentuan lain, perlu diatur secara

science for young children is a process of doing and thinking, a process that anyone can participate in and contribute to, not a list of facts and information discovered by other

[r]

[r]

BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN SIDOARJO Jumlah  rumah tangga usaha  pertanian di Kabupaten Sidoarjo  Tahun 2013 sebanyak 41.287 rumah  tangga   

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan mengumpulkan data curah hujan yang diperlukan kemudian mencari hujan maksimum setiap tahunnya, melakukan analisis

Salah satu upaya yang dilakukan selama ini dalam meminimalkan gangguan lalu lintas kendaraan dan mengurangi tingkat resiko kecelakaan bagi pejalan kaki di daerah perkotaan