• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Bone graft

Bone graft digunakan dalam beberapa prosedur operasi ortopedik untuk mengembalikan keutuhan tulang yang telah diganggu oleh penyakit, trauma atau penuaan dan juga untuk membantu penyembuhan tulang. Bone graft memiliki fungsi mekanik dan biologi yang harus membantu atau mengisi celah dan mempercepat regenerasi tulang pada tempat implantasi. Beberapa karakteristik yang harus dimiliki bone graft adalah kemampuan untuk membentuk tulang atau membawa sel-sel tulang, harus dapat menstimulasi sel osteoprogenitor untuk berdeferensiasi membentuk tulang dan menyediakan permukaan yang bioaktif sehingga jaringan tulang dapat beregenerasi. Ada beberapa macam bone graft, yaitu autograft jika jaringan diperoleh dari tubuh pasien itu sendiri, allograft jika jaringan diperoleh dari donor manusia lain, xenograft jika jaringan diperoleh dari hewan dan bone graft sintetik (Botelho, 2005).

Bone filler merupakan salah satu contoh dari bone graft sintetik. Bone filler ini diharuskan memiliki sifat tidak toksik dan osteokonduktif sehingga dapat digunakan untuk mengisi rongga dan celah, contoh rongga di tulang kaki, tulang belakang atau panggul, yang menganggu stabilitas struktur tulang. Biasanya, rongga ini didapat dari cacat saat pembedahan atau cedera traumatis ke tulang.

Bone filler memiliki kemudahan filler ini tidak harus dihilangkan dari tempat retakan tulang setelah jaringan kartilago dan jaringan tulang subkondral telah

teregenerasi. Oleh karena itu, pasien menerima bone filler hanya sekali dan dapat mengurangi beban fisik dan psikis yang dialami jika menerima jenis implan yang lain yang harus diganti beberapa kali.

2.3. Biomaterial

Biomaterial adalah material tak hidup yang digunakan dalam suatu alat medis untuk diterapkan ke dalam tubuh manusia. Biomaterial berinteraksi dengan sistem biologis manusia dalam proses penyembuhan, perbaikan, dan penggantian begian-bagian tubuh manusia. Jenis-jenis biomaterial berdasarkan bahan materialnya, antara lain logam (surgical alloy), polimer (biomedical polimer), keramik (biomedical ceramic), dan komposit (biomedical composite) (Smallman dalam Dyah, 2008).

Suatu material yang diimplantasikan ke dalam tubuh manusia akan menimbulkan satu respon dari jaringan tuan rumah tempat dimana biomaterial tersebut diimplantasikan. Respon tersebut dikategorikan menjadi salah satu dari empat respon yaitu pertama jika material tersebut bersifat toksik maka jaringan sekelilingnya mati (nekrosis), yang kedua yaitu jika material bersifat inert secara biologi maka timbul semacam jaringan ikat di sekeliling jaringan material implant terutama untuk material berbahan logam dan polimer. Ketiga yaitu jika material bersifat bioaktif maka terbentuk ikatan antarmuka (interfacial bond) antara implant dan jaringan, dan yang keempat yaitu jika material bersifat resorbable

maka material tersebut akan larut dan jaringan di sekelilingnya akan menggantikan setelah periode tertentu. Material pengganti tulang harus bersifat

biokompatibilitas artinya mempunyai kemampuan bekerja sesuai dengan respon jaringan dan tidak menimbulkan pengaruh buruk.

2.3.1. Hidroksiapatit

Hidroksiapatit (HA) merupakan kristal apatit yang paling stabil. HA termasuk kelompok apatit yang paling banyak digunakan di bidang medis karena memilki sifat biokompatibel dan osteokonduktif. Rumus kimia HA adalah Ca10(PO4)6(OH)2 yang memiliki molar Ca : P adalah 1,67. Struktur HA adalah heksagonal. Dimensi parameter kisi HA pada tulang adalah nilai a = b = 9,419 Å dan c = 6,880 Å dan sudut α = β = 90o dan γ =120o. (Shi, dalam Dewi, 2009)

Tabel 2.2. Sifat Fisis Dan Mekanik Polikristal HA (Joon et al. dalam Wijayanti, 2010)

Properties Values

Elastic modulus 40-117 GPa

Compressive strength 294 MPa

Bending strength 147 MPa

Hardness (vickers) 3,43 GPa

Melting point 1227 °C

Density 3,16 g/cm3

Sintesis HA telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai metode dan prekursor sudah ditemukan untuk menghasilkan HA. Metode yang dapat dilakukan yaitu metode basah melalui presipitasi, metode kering dengan perlakuan termperatur tinggi dan hidrotermal.

2.4. Silikon

Silikon atau Si adalah elemen non-metal dengan berat atom 28. Merupakan elemen melimpah kedua di lapisan kerak bumi, dengan persentase 28%. Tetapi sulit ditemukan dalam bentuk elemennya karena reaksi dengan oksigen, membentuk silika dan silikat, yang mana 92%, adalah mineral yang paling umum.

Silikon dalam sistem tulang ditemukan pertama kali oleh Carlisle (Carlisle dalam Coe, 2008) bahwa di dalam tulang anak ayam mengandung 0.5% silikon. Penelitian-penelitian lain pada hewan (ayam dan tikus) telah menunjukkan bahwa peningkatan silikon memiliki efek yang bagus pada sintesis kolagen (Calomme dalam Coe, 2008) dan bila kekurangan menyebabkan penurunan formasi jaringan ikat (Seaborn dalam Coe, 2008). Silikon juga terlihat berpengaruh pada formasi matriks ekstraselular dari tulang dan mineralisasi, ditunjukkan dalam tulang tikus (Carlisie dalam Coe, 2008). Silikon dalam tulang manusia terdapat sekitar ≤ 1% berat atau termasuk elemen trace level. Meskipun jumlah dari silikon ini kecil, tapi silikon berperan dalam pertumbuhan atau kalsifikasi tulang dan sistem jaringan ikat (Pietak et al dalam Aminian et a.l, 2011).

Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa subtitusi silikat untuk ion fosfat dalam HA meningkatkan formasi tulang baru secara in vivo; efek ini muncul dengan peningkatan substitusi silikon (J.H. Lee dalam Aminian et al., 2011). Substitusi ion silikat juga diketahui meningkatkan formasi permukaan kristalinitas yang rendah dari pelapisan apatit dari HA, ketika diinkubasi dalam simulated body fluid (SBF) (A.E.Porter dalam Aminian et al., 2011). Studi-studi tersebut

menunjukkan keuntungan yang mungkin didapat dari penyatuan silikon kedalam struktur biomaterial yang ditujukan untuk aplikasi regenerasi jaringan tulang.

2.5. Hidrotermal

Metode sintesis hidrotermal dapat didefinisikan sebagai sebuah proses yang menggunakan reaksi fase tunggal atau heterogen dalam media encer pada suhu tinggi (T>25oC) dan tekanan (P>100kPa) untuk mengkristalkan material keramik secara langsung dari larutan. Sintesis ini biasanya dilakukan pada tekanan autogeneous (10 bar), yang sesuai dengan tekanan uap dari larutan pada suhu tertentu dan komposisi larutan hidrotermal. Batas atas dari sintesis hidrotermal >1000oC dan tekanan 500 MPa (R. Roy dalam Suchanek et al., 2006). Namun kondisi yang disukai untuk proses komersial dimana suhu kurang dari 350oC dan tekanan kira-kira kurang dari 50 MPa.

Salah satu keuntungan dari metode sintesis hidrotermal adalah hampir semua bentuk dapat disintesis dengan metode hidrotermal, yaitu serbuk, serat, kristal tunggal, keramik monolitik, dan coating pada logam dan polimer. Keuntungan lain dari metode sintesis hidrotermal ini adalah kemurnian dari bubuk yang disintesis dengan hidrotermal secara signifikan melampaui kemurnian dari material semula. Hal ini dikarenakan impuritas akan dihilangkan dari sistem bersamaan dengan mengkristalnya larutan.

Berbagai bubuk keramik telah bisa disintesis dengan metode hidrotermal. Paling umum adalah material oksida, baik oksida sederhana, seperti ZrO2, TiO2, SiO2, ZnO, Fe2O3, Al2O3, CeO2, SnO2, Sb2O5, Co3O4, HfO2, dsb., dan oksida

kompleks, seperti BaTiO3, SrTiO3, PZT, PbTiO3, KNbO3, KTaO3, LiNbO3, ferit, apatit, tungstates, vanadates, molybdates, zeolites, dsb., beberapa diantaranya adalah senyawa metastabil, yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan metode sintesis klasik pada suhu tinggi. Teknik hidrotermal ini juga cocok untuk non-oksida, seperti elemen murni (contoh Si, Ge, Te, Ni, berlian, carbon nanotube), selenida (CdSe, HgSe, CoSe2, NiSe2, CsCuSe4), telurida (CdTe, Bi2Te3, CuxTey, AgxTey), sulfida (CuS, ZnS, CdS, PbS, PbSnS3), fluorida, nitrida, aresenida, dsb (Suchanek et al., 2006).

Aminian et al. (2011) telah berhasil mensistesis HA dan Si-HA melalui metode hidrotermal menggunakan suhu 200oC. Hal ini ditunjukkan oleh hasil pencocokan data penelitian dengan data JCPDS. Selain itu, pada suhu 200oC tidak ditemukan adanya fase yang lain.

Ivankovic et al. (2010) juga telah melakukan penelitian sintesis HA dengan melakukan variasi suhu hidrotermal dari 140oC sampai 220oC. Hasil penelitian menunjukkan pada suhu 200oC, kalsium karbonat dan ammonium fosfat yang merupakan bahan pembentuk menjadi HA secara keseluruhan.

2.6. Sintering

Sintering dapat juga disebut sebagai pemadatan atau pematangan dari bahan yang dibentuk pada temperature tinggi (dibawah titik leleh) untuk menjadi padat. Selama proses sintering terjadi pengurangan pori-pori dan disertai penumbuhan butir, sehingga terjadi ikatan yang kuat antara masing-masing butir. Peristiwa ini dapat terjadi karena adanya suatu mekanisme gerakan material

diantara butir (proses difusi) dan sumber energi untuk mengaktifkan gerakan tersebut.

Gambar 2.7. a. Bentuk kontak antar partikel serbuk, b. Pembentukan awal batas butir, c. Pembesaran batas butir tahap pertengahan dan pengecilan pori, d. Bentuk

batas butir pada akhir sintering

Proses sentering berawal dari titik kontak antara partikel serbuk dalam kompakan (Gambar 2.7 a), kemudian titik kontak tersebut bertambah luas dan membentuk neck (leher), lalu berubah menjadi batas butir. Pada saat yang bersamaan, rongga antar partikel serbuk mengecil dan membentuk pori. Tenaga penggeraknya adalah energi permukaan (surface energy) seperti yang tertera dalam Gambar 2.7 b. Batas butir bertambah besar dan porinya mengecil secara signifikan, sehingga terjadi densifikasi atau shrinkage pelet dengan cepat (Gambar 2.7 c). Biasanya terjadi selama kenaikan suhu hingga suhu puncak. Pori yang sebelumnya berbentuk silinder berubah menjadi spherical kemudian mengecil dan tereliminasi dari batas-butir atau terisolasi dalam butir. Pori yang terisolasi dalam butir masih dapat diperkecil. Dengan demikian jumlah titik kontak antar partikel serbuk dalam kompakannya sangat berpengaruh terhadap laju penyinteran atau densifikasi pelet karena proses sintering berawal dari titik kontak tersebut. Makin banyak jumlah titik kontak tersebut makin cepat densifikasi pellet. Semakin

banyak jumlah titik kontak tersebut maka makin rendah suhu sintering yang dibutuhkan pelet dalam penyinterannya. Jumlah titik kontak antar partikel tentu juga lebih banyak dan perambatan panas dalam pelet juga lebih cepat, akibatnya laju densifikasi atau laju penyinteran lebih tinggi sehingga suhu penyinterannya lebih rendah (Purwamargapratala dkk, 2007)

Dalam sintesis HA, suhu sintering menentukan fase yang terbentuk. Reaksi pertama yang terjadi dalam material Ca-P adalah kondensasi dari ion HPO42- pada suhu 150-300oC. Ion karbonat juga mulai terdekomposisi menjadi air dan CO2 pada suhu 100-300oC. Pada suhu yang lebih tinggi (500-1000oC), ion karbonat terdekomposisi dengan sendirinya menjadi CO2 dan ion O2-. Pada kisaran suhu 800oC, umumnya terjadi restrukturisasi ulang dari kristal apatit berdasarkan rasio Ca/P. Pada rasio Ca/P 1,667 terbentuk hidroksiapatit skoikiometri (Sprio, 2008).

Dokumen terkait