• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daftar Lampiran

A. Botani Tomat

Pudjiatmoko (2008), menyatakan bahwa budidaya tomat dapat dilakukan dari ketinggian 0 mdpl-1250 mdpl, dan tumbuh optimal di dataran tinggi >750 mdpl, sesuai dengan jenis atau varietas yang diusahakan dengan suhu siang hari 24°C dan malam hari antara 15°C-20°C. Pada temperatur tinggi (diatas 32°C) warna buah tomat cenderung kuning, sedangkan pada temperatur yang tidak tetap (tidak stabil) warna buah tidak merata. Temperatur ideal antara 24°C-28°C, curah hujan antara 750 mm/tahun-125 mm/tahun, dengan irigasi yang baik, kemasaman tanah sekitar 5.5-6.5. Tanaman tomat termasuk tanaman semusim yang berumur sekitar empat bulan (Susila, 2006).

Dalam penelitian ini, dipakai varietas tomat hibrida cap Menara, dimana secara umum klasifikasi tanaman tomat adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Lycopersicon (Lycopersicum)

Species : Lycopersicon esculentum Mill

Untuk memenuhi kebutuhan tanaman tomat yang berkualitas, maka saat ini banyak dikembangkan teknik budidaya di dalam rumah kaca atau rumah jaring untuk memudahkan pemeliharaan dan pengawasan terhadap tanaman. Bahkan, beberapa jenis plastik khusus digunakan untuk menahan gelombang cahaya dengan panjang tertentu dan meneruskan panjang gelombang yang lainnya. Teknologi dan konstruksi rumah kaca telah sangat berkembang untuk memaksimalkan hasil dari budidaya tanaman (Wilson dan Rajapakse, 2001). Permasalahan usahatani di tingkat petani adalah produksi masih sangat rendah dibandingkan dengan potensi produksinya. Data Biro Pusat Statistik tahun 2006 menunjukkan bahwa luas pertanaman tomat adalah 2147 ha dengan

produktivitas baru mencapai rata-rata 6.3 ton/ha dimana hal ini adalah penurunan apabila dibandingkan dengan produktifitas tahun 2002 pada Tabel 1. Produktivitas tersebut masih sangat rendah dibandingkan dengan potensi produksi varietas unggul yang dapat mencapai 20 ton/ha-30 ton/ha (Duriat, 1999). Menurut data BPS tahun 2005, produksi tomat di Indonesia mencapai 647020 ton dan mengalami penurunan sebesar 2.67% pada tahun 2006 menjadi sebesar 629774 ton. Hal ini berarti produksi tomat mengalami kenaikan sebanyak dua kali lipat sejak tahun 2002.

Tabel 1. Produksi tomat selama 1998-2002

Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) Persentase Perubahan (%) Luas

Panen Produksi Produktifitas

1998 46845 333729 7.1 - - -

1999 46259 330338 7.1 -1.25 -1.02 0

2000 45215 346081 7.7 -2.25 4.76 8.45

2001 43118 289198 6.7 -4.64 -16.4 -12.98

2002 49457 396208 8.0 14.7 37 19.4

Sumber : Survey Pertanian BPS (Berbagai Tahun)

Menurut Purwati (1997), salah satu penyebab rendahnya produktivitas yang dicapai di tingkat petani disebabkan petani belum menggunakan kontrol yang disesuaikan sehingga tanaman dapat beradaptasi dengan baik terhadap keadaan lingkungan terutama iklim di daerah Bogor yang cukup berbeda. Kawasan dataran tinggi di Puncak-Ciawi memiliki perbedaan iklim bila dibandingkan dengan daerah dataran rendah di sekitar Dramaga. Selain itu, masalah yang menyebabkan rendahnya produktivitas adalah penggunaan pupuk yang belum sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan petani hanya menggunakan satu jenis pupuk saja yaitu pupuk urea dan diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman. Penanggulangan hama dan penyakit juga belum efektif dan ramah lingkungan karena kebiasaan petani menggunakan pestisida secara berlebihan tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan. Untuk meningkatkan produksi tomat dalam bidang agronomi terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan diantaranya melalui perbaikan teknologi budidaya seperti

perbaikan varietas, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, serta perbaikan pascapanen. Kemampuan tomat untuk dapat menghasilkan buah sangat tergantung pada interaksi antara pertumbuhan tanaman dan kondisi lingkungannya.

Faktor lain yang menyebabkan produksi tomat rendah adalah penggunaan pupuk yang belum optimal serta pola tanam yang belum tepat. Upaya untuk menanggulangi kendala tersebut adalah dengan perbaikan teknik budidaya. Salah satu teknik budidaya tanaman yang diharapkan dapat meningkatkan hasil dan kualitas tomat adalah hidroponik (Agromedia, 2007).

Pada penelitian ini digunakan benih dari varietas tomat hibrida dengan

brand Menara dimana varietas ini adalah hibrida F1 dari NC 1Y x NC 2Y. Keduanya adalah galur murni generasi F6. Varietas ini diperoleh melalui galur murni yang dapat dilihat pada Gambar 1.

NC 1Y dihasilkan dari persilangan antara Mountain Gold PVP dengan galur NC 82162(X)-1-IR-8 yang membentuk buah pada temperatur tinggi. NC 2Y dihasilkan dari persilangan antara galur saudara dari keluarga buah oranye (t) NC 922 dengan Suncoast dan FLA 7060 PVP yang dilepas dari Universitas Florida. Segreagasi buah oranye pada populasi F2 hasil kedua persilangan tersebut disilangkan kembali, dilakukan selfing dan diseleksi untuk menghasilkan NC 2Y.

Untuk NC 1Y, tanaman determinate (sp) dengan daun yang tidak keriting yang dapat melindungi buah dari pengaruh cuaca. Buah NC 1Y berbentuk oblate

hingga bulat. Buah yang belum masak berwarna hijau. Tangkai buahnya bersambung. Buah yang sudah masak berwarna oranye-merah pada bagian luar dan bagian dalam. Buahnya keras dan rasanya hampir sama dengan varietas

Mountain Gold. Hasil NC 1Y lebih tinggi dari Mountain Gold pada tujuh percobaan dengan ulangan selama 4 tahun lebih. NC 1Y memiliki ketahanan (gen I dan I-2) terhadap ras 1 dan 2 Fusarium oxysporum f. sp. lycopsersici

(Sacc.) Synd. and Hans. yang menyebabkan penyakit layu fusarium. Genotipe ini juga memiliki ketahanan (gen Ve) terhadap ras 1 Verticillum dahliae Kleb penyebab penyakit layu verticillium. Selain tahan terhadap buah masak kelabu yang bersifat fisiologis, buahnya juga tahan terhadap keretakan radial dan

konsentrik serta keretakan kutikula. Pemilihan varietas yang spesifik lokasi sangat dianjurkan agar hasil panen dapat optimal. Ada baiknya sebelum memulai kegiatan budidaya, petani setempat atau siapa saja yang akan menanam tanaman tomat ini memperhatikan kondisi iklim mikro ataupun makro, terlebih lagi jika menggunakan teknologi tambahan seperti kontrol irigasi otomatis.

Gambar 1. Silsilah varietas Tomat Menara

NC 2Y, tanamannya indeterminate (sp) dengan penutupan daun sedang. NC 2Y menghasilkan buah yang sangat besar yang bentuknya bulat hingga sedikit lonjong. Buah yang belum masak berwarna hijau muda (u). Buah yang sudah masak berwarna oranye-kuning terang pada bagian luar dan dalam serta memiliki tekstur daging buah yang keras serta tangkai buahnya bersambung

(Suwarno, 2008). Dengan dasar inilah, maka varietas ini dipakai dalam penelitian kali ini.

B. Greenhouse

Menurut Morita (2003), greenhouse didefinisikan sebagai rumah tanaman. Pada perkembangannya, penggunaan kaca sebagai bahan penutup

greenhouse di Indonesia sudah jauh tertinggal dibandingkan dengan penggunaan plastik. Pada akhirnya, istilah rumah kaca sebagai terjemahan greenhouse sudah kurang tepat lagi. Agar lebih mencerminkan fungsi greenhouse sebagai bangunan perlindungan tanaman dibandingkan dengan penggunaan bahan material penutup greenhouse yang terus berkembang, maka diperkenalkan istilah rumah tanaman sebagai terjemahan greenhouse. Pada dasarnya ada perbedaan konstruksi rumah tanaman antara di daerah subtropis dengan di daerah tropis. Sesuai fungsi dan tujuannya, di daerah subtropika, rumah tanaman didesain kedap panas untuk mendapatkan suhu hangat sepanjang hari bahkan dilengkapi dengan pemanas tambahan untuk meningkatkan stabilitas suhu rumah tanaman. Selain itu ditemukan juga lapisan isolator agar panas tidak terbuang, dan optimal digunakan pada musim semi, musim gugur dan musim dingin. Berbeda dengan di Indonesia, umumnya rumah kaca didesain agar tanaman dapat terlindung dari kondisi lingkungan luar yang buruk. Salah pertimbangan konstruksi rumah tanaman di Indonesia adalah kombinasi antara ventilasi dan proteksi air hujan yang harus sesuai. Kemudian bahan konstruksi dan jenis konstruksi harus kokoh menahan terpaan angin kencang, serta cukup terjangkau untuk dibangun. Jenis atap greenhouse ada bermacam-macam, salah satunya adalah konstruksi piggy back yang diaplikasikan pada penelitian ini, dimana jenis atap ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh konstruksi atap piggy back

C. Hidroponik

Pada sistem hidroponik pada penelitian ini digunakan media arang sekam, karena sudah disterilkan, biodegradable, mudah didapatkan serta terjangkau dari sisi harganya. Arang sekam berasal dari kulit padi sisa mesin penggilingan yang sudah dibakar menjadi arang. Tetapi kelemahan media ini adalah fungsinya hanya dapat dipakai dua kali saja untuk menjadi media tanam. Apabila ingin membuat sendiri, caranya kumpulkan arang sekam dan dibakar di dalam drum atau tungku. Selama proses pembakaran berlangsung, sekam yang sudah menghitam atau sudah menjadi arang diangkat, kemudian disiram agar tidak menjadi abu. Menurut Redaksi Agromedia (2007), pada umumnya syarat pemilihan media tumbuh di dalam greenhouse harus bebas dari bibit penyakit, mudah dilalui air (porous), mampu menyerap dan menghantarkan air, tidak mudah busuk, tidak mempengaruhi pH, tidak mengandung racun, ringan, dan harganya murah. Dalam budidaya hidroponik, media tanam hanya berfungsi untuk pegangan akar dan perantara larutan nutrisi. Sundstrom (1982) menyatakan bahwa sistem hidroponik adalah sistem budidaya tanpa menggunakan tanah. Pelaksanaan sistem hidroponik dapat dilakukan dengan kondisi lingkungannya seperti suhu, kelembaban relatif dan intensitas cahaya, bahkan faktor curah hujan dapat dihilangkan sama sekali dan serangan hama penyakit dapat diperkecil.

Pada teknik ini hara disediakan dalam bentuk larutan hara, mengandung semua unsur hara esensial yang dibutuhkan oleh tanaman agar tercapai pertumbuhan normal. Nutrisi yang diperlukan tanaman dapat dipenuhi dengan meramu sendiri berbagai garam kimia, cara ini memerlukan ketrampilan dan pengetahuan khusus. Memang cara inilah yang banyak dipakai di perusahaan- perusahaan besar, tetapi untuk di tingkat petani hal ini menjadi tidak efektif lagi

mengingat mahalnya harga bahan-bahan kimia saat ini. Menurut Nurtika (1997), pencarian komposisi yang paling baik untuk tiap jenis tanaman khususnya tomat masih terus dilakukan, mengingat tiap jenis tanaman membutuhkan nutrisi dengan komposisi berbeda.

Dengan menggunakan formula yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi tanaman tomat, maka digunakan fertimix dengan komposisi pabrik seperti pada tabel 2, 3, 4 dan 5 sebagai berikut :

Tabel 2. Kebutuhan unsur hara makro pada tanaman tomat

Nutrien Kebutuhan (ppm) Kalsium 8.85 Magnesium 2.00 Kalium 5.385 Amonium 1.389 Nitrat 3.758 Sulfat 2.354 Phosphat 0.619

Sumber : Ari Wijayani dan Wahyu Widodo, 2005

Tabel 3. Kebutuhan unsur hara mikro pada tanaman tomat

Nutrien Kebutuhan (ppm) Fe 2.14 B 1.2 Zn 0.6 Cu 0.048 Mn 0.18 Mo 0.046

Tabel 4. Kebutuhan nutrisi tiap tahap pertumbuhan tanaman

Umur Tanaman Kebutuhan

Irigasi (ml/aplikasi) 1-3 minggu 50-70 3-6 minggu 70-90 6-9 minggu 90-120 9-12 minggu 120-150

Sumber : Ari Wijayani dan Wahyu Widodo, 2005

Tabel 5. Komposisi nutrisi stok A

Nutrien Formula Konsentrasi

(gr/20l) Konsentrasi (gr/45l) Kalsium nitrat CaNO3 4457 10030

Besi (Fe) FeEDTA 351 790

Sumber : Ari Wijayani dan Wahyu Widodo, 2005

Tabel 6. Komposisi nutrisi stok B

Nutrien Formula Konsentrasi

(gr/20l) Konsentrasi (gr/45l) Monopotasium Phospat KH2PO4 1168 2630 Potasium Nitrat KNO3 2491 5830 Magnesium Sulfat MgSO4 2280 5130

Mangan Sulfat MnSO4 27 61

Asam Borat H3SO4 7.5 17 Amonium Molibtate (NH4)MO7O24 0.164 3.7 Tembaga Sulfat CuSO4 0.173 3.9

Zinc Sulfat ZnSO4 0.196 4.4

Sumber : Ari Wijayani dan Wahyu Widodo, 2005

Kekurangan salah satu unsur hara akan menyebabkan defisiensi pertumbuhan dimana ciri-cirinya dapat diuraikan sebagai berikut :

C.1. Kekurangan Unsur Besi (Fe)

Defisiensi zat besi sesungguhnya jarang sekali terjadi. Terjadinya gejala- gejala pada bagian tanaman terutama daun yang kemudian dinyatakan sebagai kekurangan tersedianya zat Fe (besi). Terjadi ketidakseimbangan antara zat Fe dengan zat kapur pada tanah yang berkelebihan kapur dan yang bersifat alkalis. Jadi masalah ini merupakan masalah pada daerah-daerah yang tanahnya banyak mengandung kapur. Gejala-gejala yang tampak pada daun muda, mula-mula secara setempat-tempat berwarna hijau pucat atau hijau kekuningan-kuningan, sedangkan tulang-tulang daun tetap berwarna hijau serta jaringan-jaringannya tidak mati. Selanjutnya, pada tulang-tulang daun terjadi klorosis yang tadinya berwarna hijau berubah menjadi warna kuning dan ada pula yang menjadi putih. Gejala selanjutnya yang paling hebat terjadi pada musim kemarau, daun-daun muda banyak yang menjadi kering dan berjatuhan. Tanaman kopi yang ditanam didaerah-daerah yang tanahnya banyak mengandung kapur, sering tampak gejala-gejala demikian.

C. 2. Kekurangan Unsur Mangan (Mn)

Gejala-gejala dari defisiensi Mn pada tanaman adalah hampir sama dengan gejala defisiensi Fe pada tanaman. Pada daun-daun muda diantara tulang-tulang daun secara setempat-setempat terjadi klorosis, dari warna hijau menjadi warna kuning yang selanjutnya menjadi putih. Akan tetapi tulang- tulang daunnya tetap berwarna hijau, ada yang sampai ke bagian sisi-sisi dari tulang. Jaringan-jaringan pada bagian daun yang klorosis mati sehingga praktis bagian-bagian tersebut mati dan mengering. Ada kalanya terus mengeriput dan ada pula yang jatuh sehingga daun tampak menggerigi. Defisiensi Mn berakibat pada pembentukan biji-bijian yang kurang baik.

C.3. Kekurangan Unsur Borium (B)

Walaupun unsur borium sedikit saja diperlukan tanaman bagi pertumbuhannya, tetapi kalau unsur ini tidak tersedia bagi tanaman gejalanya cukup serius. Seperti yang terlihat pada bagian daun, terutama daun-daun yang masih muda terjadi klorosis dan sebagian pada permukaan daun bagian

bawah yang selanjutnya menjalar ke bagian tepi-tepinya sehingga jaringan- jaringan daun mati. Daun-daun baru yang masih kecil-kecil tidak dapat berkembang, sehingga pertumbuhan selanjutnya kerdil. Kuncup-kuncup yang mati berwarna hitam atau coklat. Selain itu juga terlihat pada bagian buah yang mengalami penggabusan. Pada tanaman yang menghasilkan umbi, umbi mengecil dan terkadang penuh dengan lubang-lubang kecil berwarna hitam, demikian pula pada bagian akarnya.

C.4. Kekurangan Unsur Tembaga (Cu)

Defisiensi unsur tembaga akan menimbulkan gejala-gejala seperti yang terlihat pada bagian daun, terutama daun-daun yang masih muda yang tampak layu dan kemudian mati (die back). Sedangkan ranting-rantingnya berubah warna menjadi coklat dan akhirnya mati. Pada bagian buah, umumnya menjadi kecil dan berwarna coklat serta pada bagian dalamnya sering terdapat sejenis perekat (gum). Gejala-gejala ini seperti terdapat pada tanaman penghasil buah-buahan seperti tanaman jeruk, apel, pir dan lain-lain.

C.5. Kekurangan Unsur Seng atau Zinkum ( Zn)

Tidak tersediannya unsur Zn bagi pertumbuhan tanaman menyebabkan

tanaman tersebut mengalami beberapa penyimpangan dalam

pertumbuhannya. Penyimpangan ini menimbulkan gejala-gejala yang dapat kita lihat pada bagian daun yang tua seperti bentuk yang lebih kecil dan sempit dari pada bentuk umumnya. Selain itu terjadi klorosis di antara tulang- tulang daun.

C.6. Kekurangan Unsur Molibdenum (Mo)

Molibdenum atau sering pula disebut molibdin tersedianya dalam tanah dalam bentuk MoS2 dan sangat dipengaruhi oleh pH. Biasanya pada pH

rendah ketersediaannya bagi tanaman akan kurang. Defisiensi unsur ini menyebabkan beberapa gejala pada tanaman, antara lain pertumbuhannya tidak normal, terutama pada sayur-sayuran. Secara umum daunnya mengalami perubahan warna, kadang-kadang mengalami pengkerutan

terlebih dahulu sebelum mengering dan mati. Mati pucuk (die back) bisa pula terjadi pada tanaman yang mengalami kekurangan unsur hara ini.

C.7 Kekurangan Unsur Si, Cl Dan Na

Unsur Si atau silisium hanya diperlukan oleh tanaman serelia misalnya padi-padian. Akan tetapi, kekurangan unsur ini belum diketahui dengan jelas akibatnya bagi tanaman. Defisiensi unsur Cl atau klorida dapat menimbulkan gejala pertumbuhan daun yang kurang abnormal (terutama pada tanaman sayur-sayuran), daun tampak kurang sehat dan berwarna tembaga. Kadang- kadang pertumbuhan tanaman tomat, gandum dan kapas menunjukkan gejala seperti itu. Defisiensi unsur Na atau natrium bagi pertumbuhan tanaman yang baru diketahui pengaruhnya yaitu mengakibatkan resistensi tanaman akan merosot terutama pada musim kering. Tanpa unsur Na, tanaman dalam pertumbuhannya tidak dapat meningkatkan kandungan air.

Dokumen terkait