• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MENGUNGKAP SEJARAH WILAYAH ADAT AEK BUATON

2.4 Aek Buaton Di Masa Kolonial

Masuknya kolonial Belanda ke wilayah Tapanuli sedikit banyaknya mempengaruhi sistem adat dan pembagian wilayah yang selama ini sudah dijalankan secara turun temurun oleh masyarakat. Di masa awal pemerintah kolonial Hindia Belanda memberi nama Afdeeling Padang Sidempuan untuk daerah Tapanuli Selatan (1938). Sementara yang lainnya dinamakan Afdeeling Batak Landen terhadap kawasan seputar danau Toba dan Tarutung sebagai ibukotanya dan AfdeelingSibolga untuk daerah Tapanuli Tangah. Kemudian ketiga Afdeelingini digabung menjadi satu keresidenan yang dikenal sebagai Keresidenan Tapanuli di dalam lingkungan pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Sumatra yang berkedudukan di Padang Sidempuan. Antara tahun 1885 sampai dengan 1906, Padang Sidempuan menjadi ibukota Keresiden Tapanuli39. Seiring dengan perkembangan zaman, semakin luasnya wilayah dan masuknya penjajahan kolonial, sedikit banyaknya mempengaruhi status serta kondisi wilayah kerajaan adat Aek Buaton. Menurut tuturan dari Hotabangon Aek Buaton, ada beberapa catatan penting yakni pengesahan

39

raja aek buaton oleh pemerintah belanda. pada tahun 1916 Residen Tapanuli oleh pemerintah Belanda telah melegalisir pemerintah “Raja Sidolla Gelar Mangaraja Enda Nasution” sebagai kepala kampung Aek Buaton. Selain itu, pada tahun 1929 pemerintahan Belanda mengakui dan melegalisir pemerintahan “Si Bahari Nasution Gelar Raja Kalang Nasution” di kampung Aek Buaton. Ditahun 1936 Residen Padang Sidempuan oleh Belanda mengesahkan pemerintahan “Marah Enda Nasution” di kampung Aek Buaton.

Politik kolonial Belanda pun semakin banyak melakukan kebijakan-kebijakan membentuk boneka-boneka kekuasaanya, pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berkuasa mulai membuat struktur pemerintahan baru versi Belanda di wilayah Tanah Batak yang kemudian berganti nama menjadi Tapanuli kedalam tujuh tingkat pemerintahan:

 Tingkat pertama—Resident adalah pejabat tertinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memimpin Keresidenan Tapanuli.

 Tingkat kedua—Asisten Resident. Keresidenan Tapanuli dibagi menjadi dua

Afdeeling, yaitu: Afdeeling Tapanuli Utara berkedudukan di Tarutung dan

Afdeeling Tapanuli Selatan berkedudukan di Padang Sidempuan. Setiap

afdeeling dipimpin seorang Asistent Resident. Afdeeling adalah wilayah setingkat kabupaten di Jawa yang dipimpin seorang Bupati.

 Tingkat ketiga—Controleur. Afdeeling dibagi menjadi beberapa Onder Afdeeling. Onder afdeeling dipimpin seorang Controleur. Onder afdeeling

adalah wilayah setingkat kecamatan. Di seluruh Afdeeling Tapanuli Selatan terdapat delapan onder afdeeling, yaitu: Batang Toru, Angkola, Sipirok, Padang Bolak, Barumun, Mandailing, Ulu-Pakantan dan Natal.

 Tingkat keempat—Demang. Pada tahun 1916 pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan wilayah district (setingkat kewedanaan) di bawah onder afdeeling yang dipimpin oleh seorang Demang.

 Tingkat kelima—Asisten Demang. Di bawah district pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan onder district yang dipimpin seorang Asistent Demang.

 Tingkat keenam—Kepala Kuria. Di bawah onder district pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah ‘hakuriaan’ yang dipimpin seorang Kepala Kuria. Hakuriaan menggantikan sebutan luhat untuk membawahi sejumlah huta yang berdekatan.

 Tingkat ketujuh—Kepala Kampung. Tingkat terendah dibawah hakuriaan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah ‘kampong’ untuk menggantikan sebutan huta. Kampung dipimpin seorang kepala kampong (kampong hoofd). Ini berarti sebutan Raja Pamusuk (RP) dan Raja Panusunan Bulung (RPB) yang memimpin sebuah huta atau Bona Bulu dihilangkan dengan menggantikannya dengan Kepala Kampung40

40

Dengan kebijakan tersebut, maka wilayah Barumun Tengah di bentuk tujuh kerajaan Luhat dan dua lagi Hereste Raja41yang sampai sekarang ini semuanya masih menjadi pemangku Adat yaitu :

1. Binanga berstatus Luhat Patuan 2. Unterudang berstatus Luhat Patuan 3. Aek Nabara berstatus Luhat Patuan 4. Sihapas Gading berstatus Luhat Patuan 5. Sihapas Gading berstatus Luhat Patuan 6. Huristak berstatus Luhat Patuan

7. Ujung Batu berstaus Luhat Patuan 8. Aek Buaton berstatus Hereste Raja 9. Sipagabu berstatus Hereste Raja

Menurut Mangaraja Lobi, salah satu Hota Bangon Desa Aek Buaton:

“Perjalanan sejarah kerajaan Aek Buaton dimasa kolonial Belanda terus berjalan aktif hingga pada waktu yang sangat menggembirakan. Hal tersebut dikarenakan peresmian dan pernyataan oleh empat Raja Luhat waktu itu di “Napa Panortoran” satu tempat di seberang Sungai Barumun (lokasi persawahan sekarang) diadakan pesta Margondang tujuh hari tujuh malam pesta perkawinan putri Raja Aek Buaton yang dikawini putra Raja Harahap dari Luhat Portibi, sekaligus peresmian adat tersendiri Aek Buaton dan penetapan batas wilayah (Tanah Ulayat) dengan Tanah Ulayat Luhat lainnya”.

Adapun empat Luhat tersebut adalah: 1. Kerajaan Luhat Sihapas Gading 2. Kerajaan Luhat Unterundang

41

3. Kerajaan Luhat Portibi 4. Kerajaan Luhat Aek Nabara

Dari penetapan luhat tersebut Mengakui dan menetapkan bahwa kerajaan atau “Kuria” Aek Buaton resmi mempunyai adat tersendiri dan memiliki batas tanah ulayat. Kekuasaan adat dan wilayah tanah itu meliputi seluruh anak kampungnya yaitu :

1. Desa Sayur Macihat 2. Desa Sayur Matua 3. Desa Huta Bargot 4. Desa Sidongdong 5. Desa Batusundung

Yang artinya seluruh desa tersebut satu kedaulatan dibawah naungan kerajaan Aek Buaton. Sejalan dengan itu Ter Haar mengatakan bahwa masyarakat Hukum terdiri dari faktor territorial (daerah) dan genealogis (keturunan). Masyarakat hukum adat teritorial adalah masyarakat hukum berdasar lingkungan daerah, keanggotaan persekutuan seseorang tergantung pada tempat tinggalnya, apakah di dalam lingkungan daerah persekutuan atau tidak. Sedangkan masyarakat hukum berdasarkan genealogis adalah persekutuan masyarakat hukum berdasarkan suatu keturunan (keluarga). Keanggotaan persekutuan seseorang bergantung pada apakah seseorang itu masuk dalam satu keturunan yang sama atau tidak42.

42

Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tidak ada tanah sebagai “res nullius”. Umumnya batas wilayah Hak Ulayat masyarakat hukum adat territorial tidak dapat ditentukan secara pasti. Masyarakat Hukum Adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya, yang mempunyai hak ulayat, bukan orang seorang. Masing- masing itu menurut hukum adat mempunyai hukumnya yang khusus. Tanah yang diusahakannya itu dapat dikuasainya dengan hak pakai, tetapi ada juga masyarakat hukum adat yang memungkinkan tanah yang dibuka tersebut dipunyai dengan hak milik. Hal itu tergantung pada kenyataan apakah tanah dikuasai dan diusahakannya secara terus-menerus ataukah hanya sementara saja43.

Adanya pengakuan terhadap Kerajaaan Aek Buaton yang memiliki kekuasan tersendiri tentu juga menetapkan tapal batas wilayah Aek Buaton. Adapun batas-batas tanah ulayat Aek Buaton yang ditetapkan oleh empat Raja Luhat itu yakni :

1. Sebelah timur berbatas dengan Tanah Ulayat Raja Luhat Simangambat- Patuan Kalisomail Hsb. Disebut sungai datuk seperti pada pesta.

2. Sebelah utara berbatas dengan tanah ulayat Unterundeng-mulai titik nol masuk wilayah Aek Buaton - Tamonsu Jior - Ulu Gajah - Sibulang bulang - Hurung Manuk - Surukan - Banjar Bolak - terus ke Tor Tombangan Sigaringging.

43

3. Sebelah barat berbatas dengan tanah ulayat Luhat Sihapas Gading - mulai dari Aek Nasoramate - Muara Tahim - Gotting Urungalim - Tamosu Harosi. Tamosi Harosi inilah batas wilayah dengan luhat kerajaan portibi. 4. Sebelah selatan berbatas dengan tanah ulayat Luhat kerajaan Aek Nabara

mulai dari jalan Singaringging - Tor Si Halihi - Tor Pangulu Baling - Sabar Gotting - Tayas.

Dokumen terkait