• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Agraria (Studi Etnografi Di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Konflik Agraria (Studi Etnografi Di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara)"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

KONFLIK AGRARIA

(STUDI ETNOGRAFI DI DESA AEK BUATON, KABUPATEN PADANG LAWAS, SUMATERA UTARA)

SKRIPSI

Diajukan guna melengkapi salah satu syarat

Ujian sarjana sosial dalam bidang antropologi

Oleh

M. Amin Multazam Lubis

080905045

Antropologi Sosial

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, September 2014

(3)

ABSTRAK

Muhammad Amin Multazam Lubis, 2014. Judul Skripi: Konflik Agraria (Studi Etnografi Di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara). Skripsi terdiri dari 6 Bab dan 98 halaman.

Tulisan ini mengkaji mengenai konflik agraria yang terjadi di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Secara lebih spesifik mengungkap kompleksitas konflik yang terjadi di wilayah tersebut, siapa saja pelaku yang terlibat serta bagaimana hukum dimainkan oleh para pelaku

Penelitian ini dilakukan dengan metode etnografi, dengan teknik observasi partisipasi melalui wawancara mendalam kepada informan informan di Desa Aek Buaton untuk mendapatkan berbagai macam informasi yang berkaitan dengan penelitian.

Permasalahan yang dibahas adalah mencari akar masalah sehingga terjadi kompleksitas konflik dengan mengurai aspek sejarah tanah aek buaton serta langkah-langkah masyarakat aek buaton untuk merebut tanah milik mereka. Selain itu mencoba mengidentifikasi pelaku yang terlibat dan bagaimana para pelaku konflik menggunakan jenis-jenis hukum baik hukum Negara maupun adat sebagai alat memperkuat legitimasi kepemilikan atas tanah.

Kesimpulannya adalah bahwa konflik agraria di Aek Buaton berakar dari hilangnya tanah ulayat. Disebabkan terjadinya pengkhianatan yang dilakukan dua anak desanya. Pengkhianatan dikomandoi oleh seorang aktor yang pada akhirnya dengan bebas memperjualbelikan tanah tersebut. Imbasnya konflik semakin kompleks dan melibatkan banyak pelaku. Lalu muncul lah fenomena-fenomena dimana para pelaku konflik masing menjalankan peran masing-masing serta dengan jeli memamfaatkan celah antara hukum Negara dan adat dalam rangka mendapatkan tanah. Permasalahan seperti yang terjadi di Aek Buaton sebenarnya banyak terjadi di Negara ini, dan masih tanpa penyelesaian. Pertanyaannya, apakah pemerintah yang tidak menemukan cara penyelesaian yang efektif. Atau sebaliknya, pemerintah yang tidak menciptakan ruang-ruang penyelesaian secara mekanisme adat serta mengawal proses tersebut dengan serius dan intensif.

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan sukur senantiasa penulis ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Karena hanya atas rahmat dan karunia-NYA lah kita masih dapat diberikan nikmat ilmu dan kesehatan hingga sampai hari ini masih dapat melakukan aktifitas-aktifitas dalam mengisi hidup dan kehidupan ini.

Atas kehendak-Nya pula penulis bisa menyelesikan skripsi yang berjudul: Konflik Agraria (Studi Etnografi Di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana antropologi sosial.

Dalam menyelesaikan skripsi dan beraktifitas di kampus selama kurang lebih enam tahun ini, tentunya penulis telah banyak dibantu oleh berbagai pihak, maka pada kesempatan kali ini penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih kepada:

Bapak Dr Fikarwin Zuska selaku Ketua Departemen Antropologi FISIP USU yang juga merupakan Dosen PA sekaligus pembimbing skripsi, yang telah banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberikan kritik, saran dan masukan yang konstruktif bagi penulis selama kuliah maupun dalam proses bimbingan skripsi. Terima kasih yang teramat besar atas bahasan mengenai Strukturisme, relasi kuasa, diskursus, dan berbagai hal yang menyangkut

Postmodrenisme nya. selama itu masih terdengar ditelinga maka penulis tentu akan mengingat bapak yang mengenalkan dan telah mengajarkan mengenai itu semua.

(5)

pula terima kasih kepada Kak Nur dan Kak Sofi (maaf kalo banyak salah kak) yang sangat banyak membantu dan memberikan kemudahan pada penulis menyelesaikan permasalahan terkait hal-hal yang sifatnya administratif.

Terima kasih juga kepada Dekan FISIP USU, Prof Dr Badaruddin M.Si dan para staf dekanat FISIP USU yang secara langsung maupun tidak langsung telah berkontribusi kepada aktivitas perkuliahan penulis selama di FISIP USU ini.

Terkhusus dan tiada terkira ucapan terima kasih penulis kepada kedua orang tua tercinta. Ayah penulis Alm Drs H. Alfian Andri Lubis. Sayang kita tak punya kesempatan panjang untuk sekedar bercerita tentang apa itu “dunia”. Ibunda penulis Hj Nur’Ain Simatupang. Seseorang yang tidak ingin penulis ungkapkan dengan kata-kata karena hanya akan mereduksi makna sebenarnya. Satu hal yang penulis yakin, surga yang begitu indah pun tidak lebih dari telapak kakinya. Terima kasih juga Untuk kakak dan abang penulis yang telah menjadi sumber motivasi, memberikan inspirasi, selalu mengayomi dan bahkan terkadang jadi basis ekonomi.

Terima kasih kepada HMI Komisariat FISIP USU yang memberikan begitu banyak ilmu. Ada kebanggaan sekaligus beban jika ingat kalau penulis mau tidak mau, suka tidak suka adalah bagian darimu. Begitupun sebaliknya, bahwa HMI FISIP USU adalah bagian dari diri penulis.

(6)

Terima kasih buat senior-senior di HMI yang pernah memberikan bimbingan, semangat dan motivasi kepada penulis. Bang Jack, Bang Zulfadli, Bang Salman, Bang Dadang, Bang Naldi, Bang Mustafa, Bang Ocep, Bang Zulfan, Kang Mono’, Bang Miqdat, Bang Arifin Sufi, Bang Eko, Bang Donker, Ogek Ryan, Bang Regar, Ferdi, Edo, Afdhal, Deddy, Kabidku si Ojan, serta semua senioren di HMI Komisariat FISIP USU yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih banyak.

Yang tak terlupakan, seluruh rekan-rekan yang tergabung dalam kepengurusan HMI Komisariat FISIP USU Periode 2011-2012. Senang pernah bersama-sama melalui segala suka dan duka bersama kalian, hanya ucapan terima kasih yang bisa penulis berikan.

Selanjutnya untuk para teman-teman yang lebih dari saudara, Donny Aditra, Iskandar Zulkarnaen, Ok Laksemana, Alfath Andre, Mia Aulina, Vivi Azriani, dan terutama untuk Ririn Ramadhani, terima kasih tiada terkira buat seluruh kontribusinya. Tanpa kalian penulis bukanlah apa-apa.

Terima kasih juga kepada adinda-adinda stambuk 2010, pasukan kutu loncat dibawah komando panglima laskar melayu, Tengku Muadahari. Tidak lupa Yugo, Ipan, Mail, Riki, Cafry, Muklis, Devi, Amal, Habib, dan semua yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih pernah menjadi api semangat buat penulis. Jangan lupakan 3 konsep diri: yang penting jujur, sadar diri dan tahu diuntung.

Kepada semua orang yang masih mau berproses di HMI Komisariat FISIP USU, penulis ucapkan terima kasih, terkhusus pada kepengurusan saat ini, periode 2014-2015. Semoga komisariat tetap menjadi dapur gerakan dan dapur intelektual

(7)

Koordinator Kontras Bang Herdensi Adnin yang telah membimbing serta mengajarkan banyak hal kepada penulis, Bang Taufik Umar Dhani, Bapak Onto Hutapea, Kak Liza, Bang Ali, Bang Fadli P2BLM, Putra GMNI, terima kasih telah berbagi waktu selama ini.

Terima kasih buat seluruh masyarakat Aek Buaton yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih juga atas sambutannya selama penulis berada di desa tersebut. Sungguh Aek Buaton sudah menjadi rumah kedua bagi penulis.

Dan teruntukmu hatiku, cahaya mataku. Terima kasih telah mengajarkan bahwa tidak semua hal bisa dikejar. Ada kalanya kita harus menunggu, walau itu menunggu ditinggalkan waktu.

Medan September 2014 Penulis,

(8)

RIWAYAT HIDUP

Terlahir di Medan pada tanggal 27 Juni 1990, kemudian di berikan nama Muhammad Amin Multazam Lubis oleh kedua orangtuanya. Anak bungsu dari 3 bersaudara pasangan Alm Drs H Alfian Andri Lubis dan Hj Nur’Ain Simatupang ini menyelesaikan pendidikan dasrnya di SD Pertiwi Medan pada tahun 2002, SMP Negeri 11 Medan pada tahun 2005, SMA Sutomo 2 Medan tahun 2008. Lalu kemudian melanjutkan jenjang pendidikan dengan berkuliah di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik USU, Departemen Antropologi Sosial di tahun yang sama. Selama berkuliah, aktif mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FISIP USU dan menjadi ketua umum pada periode 2011-2012. Pasca berkomisariat, penulis lalu bergabung sebagai Badan Pekerja Komisi Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumatera Utara Bidang Kajian dan Penelitian. Sebuah organisasi non pemerintah yang aktif melakukan kampanye dan advokasi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM. Selain menjalankan aktifitas rutin tersebut, penulis juga menyempatkan diri menyalurkan hobi traveling sembari belajar photografi dan menulis etnografi daerah-daerah yang dikunjungi.

Adapun training maupun penelitian yang pernah penulis ikuti adalah:

 Latihan Kader I (Basic Training) Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Medan tahun 2010  Latihan Kader II (Intermediate Training) Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jakarta

(9)

 Tim Enumerator dalam survey elektabilitas calon kepala daerah yang dilakukan oleh Yayasan Kolektif tahun 2012

 Asisten Peneliti dalam penelitian mengenai implementasi UU No 16 Tahun 2012 tentang sistem bantuan hukum yang dilakukan Kontras bekerjasama dengan Australian Indonesia Partnership Of Justice (AIPJ) tahun 2013

(10)

KATA PENGANTAR

Sebagai sebuah Negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar, Indonesia tentu akan dihadapkan pada permasalahan konflik sumber daya alam khususnya menyangkut pengelolaan tanah. Di Sumatera Utara sendiri, sebagai daerah perkebunan potensial sejak zaman colonial belanda, konflik agraria pastinya juga tumbuh subur. Ditambah lagi Sumatera Utara memiliki begitu banyak suku dan masyarakat adat yang memiliki klaim hak atas tanah adat miliki masing-masing sehingga sering kali gesekan bahkan konflik secara terbuka antara masyarakat adat dan pihak luar yang ingin mengelola tanah tidak dapat dihindari. Di Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas contohnya.

Konflik yang terjadi di aek buaton sesungguhnya berasal dari permasalahan tanah ulayat milik mereka yang saat ini dikelola oleh berbagai pihak. Untuk itu penelitian ini mencoba menelaah kompleksitas konflik yang terjadi serta melihat pelaku-pelaku yang terlibat dalam konflik tersebut. Selain itu, melihat bagaimana para pelaku konflik memainkan berbagai jenis hukum dalam rangka memperkuat legitimasi hak atas tanah.

Harapannya penelitian ini dapat menjadi salah satu refrensi melihat konflik agraria tidak hanya dalam aspek hukum positif (Negara), tapi juga melihat dalam pendekatan budaya. Selain dari hasil penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Antropologi.

Medan, September 2014 Penulis

(11)

DAFTAR ISI

BAB II MENGUNGKAP SEJARAH WILAYAH ADAT AEK BUATON 2.1 Asal Usul Nama Aek Buaton ……….…………... 32

2.2 Pendiri Desa Aek Buaton ………. 34

2.3 Wilayah Adat Aek Buton Dan Perkembangannya……...………. 35

2.4 Aek Buaton Di Masa Kolonial ………. 37

2.5 Aek Buaton Dimasa Sekarang..…….……….. 43

2.5.1. Sekilas Kabupaten Padang Lawas ………. 43

2.5.2 Akses Menuju Aek Buaton ………...……….. 46

2.5.3 Kondisi Politik Sosial Dan Ekonomi ………...………….….. 46

BAB III DINAMIKA ATAS TANAH ADAT AEK BUATON 3.1 Arti Penting Tanah Ulayat Bagi Masyarakat Aek Buaton ………..….. 48

3.2 Hilangnya” 1500 Ha Tanah Ulayat Aek Buaton …………..…………. 51

3.3 Perpindahan Luhat Desa Sayur Mahicat Dan Sayur Matua ……...…….. 55

3.4 Berbagai Pengkhianatan Yang Terjadi ……… 56

3.5 Hilangnya Berbagai Peninggalan Sejarah Aek Buaton …………..……. 59

BAB IV PERJUANGAN MEMPEREBUTKAN KEMBALI TANAH ADAT AEK BUATON 4.1 Timbulnya Gerakan Perlawanan ……….……… 61

4.2 Pendudukan Kembali (Reclaiming) ………. 63

4.3 Tindak Kekerasan Dan Kriminalisasi ………. 66

4.4 Berbagai Upaya Penyelesaian ………..……… 72

(12)

5.1.1 Secara kelompok ………...……….. 78

5.1.2 Secara Individu ……… 79

5.2 Jenis-Jenis Hukum Yang Dimainkan ………..…………. 82 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ………. 86 6.2 Saran ……….………… 89

(13)

ABSTRAK

Muhammad Amin Multazam Lubis, 2014. Judul Skripi: Konflik Agraria (Studi Etnografi Di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara). Skripsi terdiri dari 6 Bab dan 98 halaman.

Tulisan ini mengkaji mengenai konflik agraria yang terjadi di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Secara lebih spesifik mengungkap kompleksitas konflik yang terjadi di wilayah tersebut, siapa saja pelaku yang terlibat serta bagaimana hukum dimainkan oleh para pelaku

Penelitian ini dilakukan dengan metode etnografi, dengan teknik observasi partisipasi melalui wawancara mendalam kepada informan informan di Desa Aek Buaton untuk mendapatkan berbagai macam informasi yang berkaitan dengan penelitian.

Permasalahan yang dibahas adalah mencari akar masalah sehingga terjadi kompleksitas konflik dengan mengurai aspek sejarah tanah aek buaton serta langkah-langkah masyarakat aek buaton untuk merebut tanah milik mereka. Selain itu mencoba mengidentifikasi pelaku yang terlibat dan bagaimana para pelaku konflik menggunakan jenis-jenis hukum baik hukum Negara maupun adat sebagai alat memperkuat legitimasi kepemilikan atas tanah.

Kesimpulannya adalah bahwa konflik agraria di Aek Buaton berakar dari hilangnya tanah ulayat. Disebabkan terjadinya pengkhianatan yang dilakukan dua anak desanya. Pengkhianatan dikomandoi oleh seorang aktor yang pada akhirnya dengan bebas memperjualbelikan tanah tersebut. Imbasnya konflik semakin kompleks dan melibatkan banyak pelaku. Lalu muncul lah fenomena-fenomena dimana para pelaku konflik masing menjalankan peran masing-masing serta dengan jeli memamfaatkan celah antara hukum Negara dan adat dalam rangka mendapatkan tanah. Permasalahan seperti yang terjadi di Aek Buaton sebenarnya banyak terjadi di Negara ini, dan masih tanpa penyelesaian. Pertanyaannya, apakah pemerintah yang tidak menemukan cara penyelesaian yang efektif. Atau sebaliknya, pemerintah yang tidak menciptakan ruang-ruang penyelesaian secara mekanisme adat serta mengawal proses tersebut dengan serius dan intensif.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konflik agraria merupakan permasalahan klasik dan kerap kali terjadi di Indonesia. Gunawan Wiradi menyebut bahwa konflik agraria di Indonesia telah dimulai sejak zaman feodal yang merupakan implikasi dari kegelisahan petani akibat pengambilalihan tanah mereka secara paksa oleh pihak kerajaan (bangsawan)1. Begitu pula di Sumatera Utara, sebagai daerah perkebunan dan tambang yang potensial, Propinsi Sumatera Utara tidak bisa lepas dari berbagai konflik pengelolaan sumber daya alam, khususnya tanah. Bahkan dari catatan sejarah yang ada konflik agraria di Sumatera Utara sempat mewarnai konstalasi politik nasional yang ditandai dengan jatuhnya kabinet Wilopo pada dekade 1952-1953. Oleh karena itu, tidak heran di Provinsi ini hampir di setiap Kabupaten/Kota terdapat titik konflik agraria. Baik konflik antara masyarakat dengan pemodal swasta, maupun permasalahan sengketa tanah dengan pemerintah lewat PTPN.

Salah satu titik konflik agraria di Sumatera Utara terjadi di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas. Konflik agraria yang selama ini terpendam muncul kepermukaan akibat bentrokan yang terjadi pada bulan Maret tahun 2013. Masalah di Desa Aek Buaton diawali sengketa tanah adat masyarakat empat desa yakni: Aek Buaton, Batu Sundung, Hota Bargot, dan Sidong-dong dengan beberapa oknum yang

1

(15)

berasal dari Desa Sayur, Matua, Sayur Mahicat maupun Unterudang2. Dimana menurut masyarakat Desa Aek Buaton, oknum oknum tersebut melakukan penjualan terhadap tanah adat mereka.

Secara historis tanah sengketa adalah hak adat masyarakat Luhat Aek Buaton hal ini dibuktikan dengan Surat keterangan pemerintah Hindia Belanda (RESIDENTI E-T TAPANOELI) 11 April 1916, Surat Pemerintah Hindia Belanda 14 Juni 1929, Surat Pemerintah Hindia Belanda 19 Agustus tahun 1936. Surat Perjanjian bersama antara masyarakat pada tanggal 12 Maret 1990. Surat Keterangan Hatobangon Luat Aek Nabara Tanggal 1 Desember 1996, Surat Keterangan dari Hatobangon Desa Gading 26 November 1996, Surat Pernyataan dari Hatobangon Desa Portibi tangal 26 November 1996, Surat pengakuan dari Hatobangon Unterudang tangal 26 November 19963. Meskipun begitu, penjualan terhadap tanah adat masyarakat Aek Buaton terus dilakukan. Sampai saat ini, tanah adat masyarakat Aek Buaton tersebut sudah dijual baik kepada pihak swasta maupun pada PTPN II dengan luas kurang lebih 2000 ha. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Desa Aek Buaton ingin kembali merebut lahan tersebut. Pendudukan kembali atas tanah, akhirnya berujung pada bentrokan dengan pihak kepolisian yang mau tidak mau harus “menjaga” lahan yang sudah berganti kepemilikan tersebut.

Lahirnya berbagai kebijakan yang memberikan ruang pada modal terhadap akses tanah, menurut Suparman Marzuki (2008) telah mendorong perubahan pola

2

Luat Aek Buaton terdiri dari 4 desa, terletak di Kecamatan Aek Nabara Barumun, sedangkan Desa Unterudang berada dalam luat Aek Nabara yang juga terapat di Kecamatan Aek Nabara Barumun.

3

(16)

konflik agraria di Indonesia. Dari konflik yang sifatnya Land Hunger 4yang terjadi di lingkup pedesaan menjadi konflik struktural yang tidak hanya terjadi di desa tetapi juga di kota-kota dengan peran negara yang dominan. Melalui Hak Guna Usaha (HGU) pemerintah memfasilitasi pelaku ekonomi untuk secara terus menerus mengambil tanah rakyat dalam jumlah besar. Modus pemberian HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak.

Kebijakan pengadaan tanah untuk para pemodal besar dengan intervensi langsung dari pemerintah yang bersifat ekstra ekonomi ini berkonsekuensi pada semakin berkembangnya dua persoalan mendasar dalam pertanahan di Indonesia, yakni terkonsentrasinya aset termasuk tanah ditangan segelintir orang dan semakin meluasnya konflik agraria. Jika dilihat dari data Biro Pusat Satatistik tahun 1993 menurut Fauzi (Herdensi:2013), data tersebut menunjukan adanya pergeseran dominasi penguasaan tanah dari pemerintah kepada swasta. Per Desember 1993, penguasaan hutan oleh kurang dari 570 pengusaha pemegang HPH5 sudah mencapai 64.291.436 ha, dan 33.198.693 ha (51,64%) diantarannya dikuasai oleh 20 orang konglomerat. Sementara itu terdapat 3.841.777 Ha tanah dikuasai oleh pemegang HPHTI6, yang dikuasai 38 pengusaha, ditambah dengan 796.254 ha dipakai oleh

4

Haus tanah, dimana mayoritas masyarakat membutuhankan tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup

5

Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan, berdasarkan ketentuan–ketentuan yg berlaku

6

(17)

HPHTI trans oleh 10 konglomerat, bandingkan dengan total area yang dikuasai oleh BUMN perkebunan (Perhutani dan Inhutani) per April 1993 hanya mencapai 8.943.272 ha.

Kondisi sebaliknya dialami masyarakat petani. Endriatmo Sutarto mengungkapkan bahwa dalam masa 1973-1993 sebagai dampak dari besarnya dukungan pemerintah terhadap unit usaha bersekala besar, terjadi polarisasi struktur kepemilikan tanah pada level petani kecil, yaitu peningkatan luasan usaha tani pada lapisan < 2,00 ha, dan penurunan rata-rata luasan usaha tani petani gurem (<0,50ha) menurun tajam dari 0,26 ha menjadi 0,17 ha. Perhitungan yang lebih spesifik berdasar data Sensus Pertanian 1993 menunjukkan bahwa sebagian terbesar (69 %) luas tanah pertanian dikuasai minoritas (16 %) petani lapisan ≥1 ha; sebesar 18 % lahan dikuasai sejumlah cukup besar (27 %) petani lapisan 0,10-0,49 ha. Angka yang lebih radikal di ungkapkan oleh Noer Fauzie (2008) ia mencatat bahwa 20% orang kaya di Indonesia menguasai 69% lahan pertanian, sementara 80% orang miskin hanya menguasai 31%7.

Wajar saja jika eskalasi8 konflik agraria terus meningkat di Sumatera Utara. Menurut cacatan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kanwil Sumatera Utara konflik agraria di Sumatera Utara terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Pada tahun 2007 Badan Pertanahan Nasional Kanwil Sumatera Utara mencatat terdapat 485 konflik agraria di wilayah Sumatera Utara, meningkat menjadi

7

Hardensi Adnin, Position paper konflik agraria, Jurnal Sintesa

8

(18)

852 kasus pada tahun 2008, dan meningkat menjadi 870 kasus pada tahun 2009. Jumlah ini menurut badan pertanahan nasional Sumatera Utara merupakan akumulasi kasus lama yang belum atau tidak terselesaikan di ditambah dengan kasus-kasus baru yang dilaporkan masyarakat9.

Penyelesaian secara hukum melalui jalur peradilan kerap kali berakhir mengecewakan. Pengadilan bukan tempat yang tepat bagi rakyat untuk mencari keadilan dalam kasus-kasus sengketa. Proses penyelesaian melalu jalur peradilan membutuhkan waktu yang cukup lama, terhitung jika dimulai dengan pengadilan negeri (pengadilan tingkat pertama) sampai pada putusan Mahkamah Agung (kasasi dan PK) proses beracara bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun. Lama proses ini berkonsekuensi pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak, dan sebagai kelompok yang lemah masyarakat kemudian menjadi frustasi dan engan membawa persoalan mereka ke peradilan.

Sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang manusia, antropologi tentunya dapat digunakan sebagai sebuah perspektif dalam melihat sengketa yang terjadi dalam masyarakat Aek Buaton. Dalam hal ini kajian antropologi hukum dapat dijadikan sebuah patokan. Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial secara empiris dalam kehidupan masyarakat, bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat. Dengan

9

(19)

kata lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana menjaga keteraturan sosial atau alat pengendalian sosial (Pospisil, 1971).

1.2 Tinjauan Pustaka

Konflik, Agraria, dan Konflik Agraria

Dalam kamus besar bahasa Indonesia yang disusun oleh Purwadarminta ( 1976) konflik diterjemahkan sebagai percekcokkan, perselisihan, atau pertentangan. Pertentangan itu sendiri bisa saja muncul dalam bentuk ide, gagasan, maupun fisik antara dua belah pihak yang saling berseberangan. Defenisi ini jika kita padukan dengan pandangan Diana Francis (2006, Hardensi:2013) yang meletakkan unsur pergerakan dan persinggungan sebagai aspek tindakan didalam konflik, maka secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan.

(20)

(1993, diacu dalam Tadjudin 2000), yaitu konflik dikatakan sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif atau tatkala suatu pihak merasa kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya. Konflik adalah juga pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada (Mitchel et al. 2000:365). Maka konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakan, yang dapat bersifat positif maupun negatif.

Secara etimologis kata agraria berasal dari bahasa Latin ager yang artinya sebidang lahan (bahasa Inggris acre), lapangan atau pedusunan. Kata bahasa Latin

agrarius meliputi arti: yang ada hubungannya dengan tanah; pembagian atas tanah terutama tanah-tanah umum; bersifat rural (Wiradi, 1984). Sesuai dengan UU Pokok Agraria tahun 1960, konsep agraria menunjuk pada beragam objek atau sumber agraria sebagai berikut: tanah, perairan, hutan, bahan tambang, dan udara.

(21)

tanah belum tentu dan tidak harus disertai dengan pemilikan. Penguasaan tanah dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai” dan lain-lain (Sihaloho, 2004). Kata “pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara produktif (Wiradi, 1984).

Menurut Wiradi (2000), konflik agraria sebagai suatu gejala sosial merupakan proses interaksi antar dua orang/kelompok atau lebih yang masing-masing memperjuangkan kepentingan antar objek yang sama seperti tanah, air, tanaman, tambang, udara yang berada di atas tanah yang besangkutan. Pada tahap ”berlomba” untuk mendahului objek itu, sifatnya masih dalam ”persaingan”. Tetapi pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah ”situasi konflik”. Jadi, konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Konflik agraria merupakan sebuah konsekuensi yang harus dihadapi sebagai bagian atau cara dari pengaruh kebijakan yang diberlakukan pemerintah. Ada tiga kelompok yang biasanya tercakup dalam masalah agraria, yaitu pemerintah, pengusaha, (perusahaan swasta dan negara), dan masyarakat (Sitorus dan Wiradi, 1999).

(22)

adalah haknya. Sedangkan negara dan pengusaha juga berusaha melakukan perlawanan dan penekanan terhadap masyarakat untuk mempertahankan hak-haknya atas sumber-sumber agraria, dimana keduanya pada umumnya memiliki bukti-bukti yuridis.

Sejarah Dan Fase-Fase Konflik Agraria di Indonesia

Endang Suhendar (1996) mengungkapkan bahwa konflik agraria di Indonesia paling tidak telah terjadi dalam empat periode yakni : Periode 1870, periode ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang Agraria 1870 oleh pemerintah Hindia Belanda yang secara jelas berusaha menarik investasi asing dengan memberikan kemudahan mengakses tanah dengan fasilitas erfpacht10 selama 75 tahun kepada investor swasta. Hal ini memicu gelombang penolakan dari masyarakat baik dari kelompok elit (kelas bangsawan) maupun masyarat biasa. Konflik agraria pada masa ini, menurut James Scott (1993, dalam Herdensi:2013) pada akhirnya berkembang dari hanya sekedar respon masyarakat terhadap pengambilalihan lahan secara paksa oleh pihak perkebunan dan atau pemerintah Hindia Belanda, sampai pada area psikologi dan sosiologis yang dalam yakni perwujudan eksistensi masyarakat terhadap berbagai pemerasan dan penghisapan yang berlebihan baik yang dilakukan oleh aparat kolonia, pemilik modal maupun kerja sama antar keduanya. Perlawanan ini bertumpu pada subsistensi petani yang terganggu oleh berbagai aturan kolonial yang memberatkan mereka.

10

(23)

Kedua, periode 1967 - 1973. Periode ini disebut oleh Endang Suhendar sebagai periode eksploitasi. Yang ditandai dengan “dibekukannya” Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. Gunawan Wiradi (2008) meyebut, ada dua faktor yang menjadi penyebab utama pembekuan tersebut. Pertama kondisi objektif yang berupa situasi yang rawan (dilihat dari segi politik dan keamanan) dalam masa setelah kejadian politik tahun 1965. Kedua, adanya pergeseran pendekatan kebijakan pembangunan pasca runtuhnya Orde Lama dan lahirnya pemerintahan Orde Baru dari kebijakan yang populis(pro rakyat) menjadi kebijakan yang berpihak pemilik modal atau sering disebut sebagai “developmentalisme”.

(24)

mereka kuasai. Kelompok-kelompok baik petani atau pun di luar petani yang menentang kebijakan tersebut dicap sebagai kelompok makar, suversif, neo komunisme, leninisme kemudian dikriminalisasi, dipenjara, bahkan ada sebagain dari mereka yang di tembak mati

(25)

termasuk di dalamnya PTPN. 243 kasus (13.9%) dari jumlah kasus merupakan sengketa akibat pengembangan sarana umum dan fasilitas perkotaan; 232 kasus (13.2%) akibat pengembangan perumahan dan kota baru; 141 kasus (8.0%) merupakan konflik tanah di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi; 115 kasus (6.6%) merupakan konflik akibat pengembangan pabrik-pabrik dan kawasan industri; 77 kasus (4.4%) konflik akibat pembangunan bendungan (large dams) dan sarana pengairan; dan 73 kasus (4.2%) adalah konflik yang terjadi akibat pembangunan sarana pariwisata, hotel-hotel dan resort, termasuk pembuatan lapangan-lapangan golf.

Keempat periode 1983-2000, yaitu periode dimana pemerintah melakukan deregulasi terhadap peraturan perundang-undangan yang dianggap menghambat perolehan tanah untuk kepentingan investasi. Dengan mengeluarkan Undang-undang No 18/2004 Tentang Perkebunan, Undang-undang No 25/2007 Tentang Penanaman Modal, Undang-undang No 22/2001 Tentang Migas. Serta Undang-undang No 41/1999 Tentang Ketentuan Pokok Kehutanan11.

Empat periode ini menurut Endang memiliki roh yang sama yakni demi dan atas nama keuntungan yang maksimal pada negara (berupa devisa dan pertumbuhan ekonomi) pemerintah memberikan ruang yang sangat terbuka bagi investasi untuk

11

(26)

mengakses dan mengeksploitasi tanah dan kekayaan yang terkandung didalam, kemudian disisi yang lain mereduksi petani dari asset produksi.

Sitorus (2004, Herdensi:2013) Mengidentifikasi paling tidak ada lima factor yang mempengaruhi eskalasi konflik agraria, (1) Pemilikan atau penguasaan tanah tidak seimbang dan merata, (2) Ketidakselarasan penggunaan tanah untuk sektor pertanian dan nonpertanian, (3) Tidak berpihaknya politik kebijakan agraria kepada masyarakat ekonomi lemah (wong cilik), (4) Tidak adanya pengakuan terhadap hukum adat (hak ulayat), dan (5) Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam proses pembebasan tanah.

Menurut Maria. S.W. Sumardjono, secara garis besar peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi 5 yaitu :

a. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang diterlantarkan dan lain-lain;

b. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan landreform; c. Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan; d. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah;

e. Masalah yang berkenaan dengan Hak Ulayat masyarakat hukum adat12.

Meski demikian perlu disadari bahwa sengketa pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru. Tanah tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata

12

(27)

melainkan juga sebagai alat ekonomi. sekarang ini kelihatannya tanah sudah menjadi alat komoditi perdagangan yang dapat diperjualbelikan

Eksistensi Tanah Ulayat

Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa,suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutua (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)13

Hak ulayat sebagai hubungan hukum yang konkret, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu14

Menurut Suparman Marzuki (2008) dari dekade 1980-hingga akhir Orde Baru, permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang

13

G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, AG.Kartasapoetra, A.Setiady, Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina aksara, 1985), hal. 88

14

(28)

seharusnya diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rekyat melindungi pemilik modal.

Menurut Bushar Muhammad (2002:104), hak ulayat berlaku keluar dan kedalam. Berlaku keluar, karena bukan warga masyarakat hukum pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah persekutuan yang bersangkutan. Hanya dengan seizin persekutuan. Serta membayar ganti rugi orang luar dapat memperoleh kesempatan untuk ikut serta menggunakan hak ulayat. Berlaku kedalam, karena hanya persekutuan dalam arti seluruh warganya yang dapat memetik hasil dari tanah serta segala tumbuhan dan binatang yang hidup dalam wilayah persekutuan. Hak persekutuan itu pada hakikatnya membatasi kebebasan usaha para warga sebagai perorangan, demi kepentingan persekutuan.

(29)

Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan15

Menurut Rustandi Ardiwilaga (1962), bahwa lahirnya pemilikan tanah bagi individu umumnya diawali pembukaan tanah yang diberitahukan kepada kepala persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanda itu akan digarap. Tanda itu, merupakan tanda pelarangan sehingga hasil pohon, tanah ataupun kolam yang ada hanya untuk yang berkepentingan saja, orang lain tidak boleh menggunakan dan mengambil hasilnya. Bentuk usaha seperti ini bersifat sementara, merupakan hak memungut hasil (genotsrecht), setelah panen ditinggalkan dan menggarap tanah di tempat yang lain yang belum pernah dibuka. Walaupun hak memungut hasil hanya satu sampai dua musim saja, hal ini tidak menghilangkan hubungan antara penggarap dengan tiap-tiap ladangyang pernah digarap, biasanya setelah tiga tahun penggarap kembali ke ladang yang ditinggalkan sehingga hubungan ini dapat diwariskan ke anak cucunya. Ladang berpindang bersifat ladang milik. Dengan demikian hak milik diperoleh dengan pembukaan tanah, setelah lebih dulu dibuat tanda-tanda batasnya.

Dimasa reformasi, kemajuan terpenting dari pengakuan hak ulayat dalam Konstitusi di Indonesia ditemukan sebagai hasil amandemen kedua UUD 1945. Pasal 18B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 menyebutkan :

15

(30)

1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang16

Dalam konteks ini, pengakuan hak ulayat dapat dikatakan sebagai pengakuan bersyarat. Pengakuan bersyarat ini mengindikasikan bahwa pemerintah masih belum bersungguh-sungguh membuat ketentuan membuat ketentuan yang jelas untuk menghormati dan mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat. Pengaturan tentang masyarakat adat dan hak ulayatnya sampai hari ini masih bersifat tidak jelas dan tidak tegas. Tidak jelas karena belum ada aturan yang konkret tentang apa saja hak-hak yang terkait dengan keberadaan masyarakat yang dapat dinikmatinya. Dikatakan tidak tegas karena belum ada mekanisme penegakan yang dapat ditempuh dalam pemenuhan hak masyarakat adat, yang dapat dituntut dimuka pengadilan

(Justiciable).

Ketidakjelasan dan ketidaktegasan itu terjadi dikarenakan dua hal, yaitu antara ketidakmampuan dan ketidak-mauan pemerintah membuat ketentuan yang umum tentang pengakuan (hak-hak) masyarakat adat. Tidak mampu karena persekutuan

16

(31)

masyarakat adat di Indonesia sangat beragam berdasarkan sebaran pulau, system sosial, antropologis dan agama. Tidak mau karena pengaturan yang kabur tentang masyarakat memberikan ruang diskresi dan hegemoni kepada pemerintah untuk dapat memanipulasi hak-hak asli masyarakat demi kepentingan eksploitasi sumberdaya alam yang berada di wilayah masyarakat adat. Ketidakmauan ini menguntungkan penguasa dan merugikan masyarakat adat.

Dalam sejarah perkembangan hukum tanah adat diberbagai daerah memang tampak adanya kecenderungan alamiah mengenai makin menjadi lemahnya hak ulayat karena pengaruh intern berupa bertambah menguatnya hak-hak individual para warga masyarakat hukum adatnya. Seringkali kenyataan itu diperkuat oleh adanya pengaruh ekstern terutama kebijakan dan tindakan pihak penguasa, berupa perubahan dalam tata susunan dan penetapan lingkup tugas kewenangan perangkat pemerintah di daerah bersangkutan17

Resistensi Petani

Resistensi (inggris: resistance) berasal dari kata “resist” dan “ance” adalah menunjukan sebuah sikap untuk berperilaku, bertahan, berusaha melawan menentang atau upaya oposisi. Pada umumya sikap ini tidak merujuk pada paham yang jelas18. Resistensi petani merupakan usaha petani untuk mempertahankan tuntutan pokoknya berupa mempertahankan tanah yang merupakan sumber kehidupan serta

17

Muhammad fauzan Hidayat, SH, Bentuk-bentuk penyelesaian konflik reclaiming dan pemdudukan tanah dilihat dari hukum tanah nasional, Tesis S-2, Undip, 2004 Hal 46

18

(32)

penghidupanya. Aditjondro (2002), menggambarkan bahwa pembicaraan perlawanan dalam konflik tidak lepas dari penindasan dan represi.

Menurut Eric R.Wolf (1983) petani merupakan produsen pertanian yang bermata pencaharian dengan bercocok tanam dan bertempat tinggal di pedesaan. Hal ini berarti bahwa kehidupan petani amat tergantung kepada tanah pertaniannya sebagai tempat bercocok tanam. Oleh karena itu petani tidak dapat dipisahkan dengan lahan pertaniannya atau dengan kata lain tanah atau lahan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil dalam kehidupan petani.

Beberapa ahli seperti Singarimbun dan Penny (1983) mengatakan bahwa hampir setiap aspek kehidupan petani akan dipengaruhi oleh akses mereka terhadap tanah tersebut. Dalam kaitannya dengan aspek politik dikatakan bahwa dinamika penguasaan tanah di daerah pedesaan dapat menjadi barometer baik harmonis ataupun ketegangan sosial politik ditingkat lokal.

Begitu juga menurut Abunawan dalam Karsono (1984, Undri:2004) menurutnya tanah masih merupakan faktor penting dalam perekonomian pedesaan. Luas penguasaan lahan mempengaruhi besarnya pendapatan rumah tangga petani tersebut. Dengan semakin pentingnya tanah tersebut untuk dijadikan lahan pertanian memunculkan berbagai macam persoalan seperti konflik tersebut.

(33)

digarap, sehingga akan menimbulkan permasalahan-permasalahan dibidang sosial dan sebagainya. Seperti di Jawa dikenal dengan istilah kemiskinan bersama oleh Geertz, yang disebabkan pertambahan penduduk yang tinggi sedangkan luas lahan tetap19.

Di Sumatera Utara, seperti ditulis Pelzer, perkembangan perkebunan di Sumatera Timur juga menimbulkan kerawanan politik di daerah itu. Kerawanan politik itu bersumber pada persoalan agraria, yakni perkosaan hak milik tanah rakyat oleh pemilik perkebunan besar. Para pemilik perkebunan besar di Sumatera Timur dapat bertindak semena-mena terhadap petani karena memperoleh dukungan pemerintah maupun pihak Sultan Deli. Situasi ini menyebabkan petani tidak dapat banyak berbuat mempertahankan tanah mereka. Mereka, para petani itu, harus menghadapi aliansi tiga kekuatan, yakni Sultan, pemerintah kolonial, dan pemilik perkebunan. Walau demikian, menurut Pelzer, petani setempat pun berusaha mempertahankan tanah mereka20.

Menurut Pelzer banyaknya tanah yang dikuasai perkebunan menyebabkan daerah Sumatera Timur mengalami problem pangan. Hal lain yang menarik yakni hubungan birokrasi pemerintah Belanda dengan perkebunan. Walaupun ada dukungan pemerintah Belanda terhadap perluasan perkebunan di Sumatera Timur, Pelzer juga memberikan bukti bahwa pada tingkat operasionalnya aparat pemerintah

19

Kemiskinan bersama tersebut diungkapkan oleh Geertz dalam melihat kehidupan masyarakatdi Jawa. Lihat Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia.Terjemahan oleh S.Soepomo. Jakarta :Bhratara, 1976. Halaman .23

20

(34)

kolonial banyak juga yang peka terhadap problem sosial ekonomi petani setempat, yang muncul sebagai akibat politik agraria pemerintah kolonial. Aparat pemerintah itu berusaha melaksanakan tugas mereka tanpa membiarkan petani setempat terlalu dirugikan pemilik perkebunan21.

Scott (2000), menjelaskan bentuk lain perlawanan yang disebut senjata perlawanan sehari hari. Petani atau senjata perlawanan orang-orang yang kalah (weapons of the weak) yang mengidentifikasi petani sebagai orang kelas bawah. Bentuk bentuk perlawanan jenis ini antara lain adalah mengambil makanan, menipu, berpura-pura patuh, mencuri kecil kecilan, pura-pura tidak tahu, mengumpat dibelakang, membakar dan melakukan sabotase. Metode ini dibuat bukan karena tidak berani secara terang-terangan, akan tetapi hal ini lebih dilandaskan pada prinsip moral subsistensi dan kesadaran petani tentang efektifitas perlawanan.

Wiradi (2000) menerangkan bahwa kesenjangan perbedaan konsepsi dan persepsi antara mereka yang menggunakan konsep-konsep hukum positif (formal/legal) dengan mereka yang berada pada masyarakat adat, mengenai bermacam hak atas tanah. Masalah ini merupakan masalah yang rumit, karena melibatkan beragam struktur masyarakat dalam upaya membuat konsensus. Tanah tanah yang secara legal tidak ada sertifikasi diduduki oleh rakyat secara turun temurun atas dasar legalitas hukum adat yang berlaku digilas oleh hukum positif yang datang dari negara.

21

(35)

Antropologi Hukum

Dalam Hilman hadikusuma (2004) dari optik ilmu hukum, antropologi hukum pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Kendati demikian, dari sudut pandang antropologi, sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskan kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat secara luas dikenal sebagai antropologi hukum

Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial secara empiris dalam kehidupan masyarakat; bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat. Dengan kata lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagaisarana menjaga keteraturan sosial atau alat pengendalian sosial22.

Antropologi hukum itu adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang manusia (antropos) yang bersangkutan dengan hukum. Manusia yang dimaksud adalah manusia yang hidup bermasyarakat, bergaul antara yang satu dan yang lain, baik masyarakat yang masih sederhana budayanya (primitif) maupun yang sudah modern (maju) budayanya. Budaya yang dimaksud adalah budaya hukum, yaitu segala bentuk

22

(36)

perilaku budaya manusia yang mempengaruhi atau yang berkaitan dengan masalah hukum23.

Antropologi melihat hukum itu hanya sebagai suatu aspek dari kebudayaan yaitu suatu aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur perilaku manusia dan masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dan agar penyimpangan yang terjadi dari norma-norma sosial yang telah ditentukan dapat diperbaiki. Dengan demikian adat masyarakat yang menjadi suatu sistem kontrol sosial itu akan mempunyai kekuatan hukum, apabila ia digunakan oleh kekuasaan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Hoebel: “Hukum itu ada pada masyarakat yang sederhana dengan hukumnya yang sederhana atau primitive law, hukum itu ada pada masyarakat purba dengan hukumnya yang purba atau archaic law, dan hukum itu ada pada masyarakat yang telah maju dan hukumnya yang modern24.

Maka sebagaimana telah diuraikan di atas dapatlah diketahui bahwa antropologi hukum adalah ilmu tentang manusia dalam kaitannya dengan kaedah-kaedah sosial yang bersifat hukum, sedangkan kaedah-kaedah-kaedah-kaedah sosial yang tidak bersifat hukum bukanlah sasaran pokok dalam penelitian antropologi hukum25.

Menurut Ihromi (2001) antropologi hukum merupakan studi ilmiah tentang hukum dengan pendekatan ilmu sosial, namun pada hakikatnya berbeda dengan pendekatan ilmu hukum dogmatis. Untuk memahami bidang kajian tersebut

23

Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandar Lampung, 2004 h.4

24

Ibid, h. 8

25

(37)

diperlukan pengetahuan tentang hukum dan salah satu pengetahuan tentang hukum tersebut adalah yang dikembangkan serta dipoerluas oleh ilmu hukum tersebut. Hukum yang dipelihara serta dicetuskan para ahli hukum dan dipelihara para hakim merupakan satu bagian dari data empiris yang seharusnya di kaji para ahli antropologi hukum.

Menurut Leopold J. Pospisil hukum dikenal melalui identitas yang mempergunakan atribut-atribut atau ciri-ciri yang dapat dipergunakan untuk membedakan hukum dari gejala-gejala sosial lainnya (misalnya ekonomi, politik dan lain-lain). Di dalam penelitiannya terhadap berbagai masyarakat, ia membuat suatu analisa perbandingan, sehingga menghasilkan 4 atribut hukum, yakni:

1. Wewenang (authority), merupakan kekuasaan yang diakui, sehingga keputusan- keputusan yang dihasilkan oleh pihak yang berwenang diikuti oleh pihak- pihak lainnya.

2. Tujuan agar hukum diperlakuakn secara universal (intention of universal application), apabila ada masalahmasalan di kemudian hari, maka hal itu akan diputuskan berdasarkan prinsip-prinsip yang sama, walaupun kemungkinan terjadinya variasi tentu ada.

(38)

Hak dan kewajiban tersebut hanyalah menyangkut pribadi-pribadi yang masih hidup.

4. Dan sanksi (sanction), hanya merupakan ciri bukan suatu kriterium utama atau pokok, sebab sanksi tersebut tidak selamanya berbentuk fisik tetapat bisa juga berbentuk kejiwaan atau psikologis26.

Dewasa ini ada kecendrungan luas untuk membatasi ruang lingkup antropologi hukum pada masalah sengketa yang terjadi di dalam suatu masyarakat, baik itu mengenai pola-pola sengketa, bagaimana reaksinya dalam masyarakat dan bagaimana cara mengatasi sengketa-sengketa tersebut, yang pada mulanya hanya bersifat menguraikan laporan tentang norma-norma hukum dalam masyarakat sederhana yang dikumpulkan dari para penulis pegawai pemerintahan kolonial dan para misionaris. Seperti pernyataan Laura Nader dalam bukunya “The Anthropological Study of Law”, antara lain dikemukakan masalah pokok yang merupakan ruang lingkup antropologi hukum sebagai berikut:

1. Apakah dalam setiap masyarakat terdapat hukum, dan bagaimana karakteristik hukum yang universal.

2. Bagaimana hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi sosial.

3. Mungkinkah mengadakan tipologi hukum tertentu, sedangkan variasi karakteristik hukum terbatas.

26

(39)

4. Apakah tipologi hukum itu berguna untuk menelaah hubungan antara hukum dan aspek kebudayaan dan organisasi sosial. Mengapa pula hukum itu berubah.

5. Bagaimana cara mendeskripsi sistem sistem hukum, apakah akibat jika sistem hukum dan subsistem hukum antara masyarakat dan kebudayaan yang saling berhubungan, dan bagaimana kemungkinan untuk membandingkan sistem hukum yang satu dan yang lain27

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang sudah dijelaskan diatas, maka rumusan masalah dari peristiwa yang coba diteliti adalah kompleksitas konflik agraria di Desa Aek Buaton serta bagaimana hukum dimainkan oleh para pelaku konflik 1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian mengenai konflik agraria di Desa Aek Buaton ini adalah:

1. Mengetahui akar permasalahan yang menyebabkan konflik agraria di Desa Aek Buaton menjadi begitu kompleks

2. Mengidentifikasi para pelaku yang terlibat dalam konflik agraria di Desa Aek Buaton, serta bagaimana mereka memainkan hukum dalam konflik tersebut.

27

(40)

Penelitian ini secara umum bermanfaat untuk menambah wawasan dan harapannya mampu menjadi salah refrensi dalam menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara khususnya, karena konflik agraria merupakan salah satu permasalahan terbesar yang terjadi di Sumatera Utara. Secara akademis, semoga penelitian ini nantinya berguna menjadi salah satu refrensi kajian dalam menyelesaikan konflik agraria yang terjadi.

1.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian kali ini, metode yang digunakan adalah etnografi. Etnografi digunakan untuk meneliti perilaku-perilaku manusia berkaitan dengan perkembangan teknologi komunikasi dalam setting sosial dan budaya tertentu. Metode penelitian etnografi dianggap mampu menggali informasi secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas. Dengan teknik “Observasi partisipasif28”, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Seperti yang diungkapkan Marzali (2005) etnografi merupakan ciri khas dari antropologi, ini artinya etnografi merupakan metode penelitian lapangan asli dari antropologi.

Teknik pengumpulan data menggunakan observasi partisipatif melalui wawancara mendalam kepada informan-informan yang terdapat di Desa Aek Buaton. Wawancara mendalam atau indepth interview diterapkan dalam penelitian kualitatif

28

(41)

untuk mendapatkan persepsi, opini, prediksi dari seorang individu, dan fakta dalam konteks permasalahan tertentu. Wawancara mendalam juga diterapkan untuk mendapatkan gambaran mengenai reaksi individu terhadap sesuatu hal dan juga untuk mencari cara-cara pemecahan masalah tertentu.

Spradley (1997) mengatakan bahwa ada lima syarat dalam menentukan informan yaitu: (1) enkulturasi penuh, artinya mengetahui budaya miliknya dengan baik, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, biasanya akan semakin menerima tindak budaya sebagaimana adanya, dia tidak akan basa-basi, (4) memiliki waktu yang cukup, (5) non-analitis. Tentu saja, lima syarat ini merupakan ideal, sehingga kalaupun peneliti hanya mampu memenuhi dua sampai tiga syarat adalah sebuah hal yang sah-sah saja. Apalagi, ketika memasuki lapangan, peneliti juga masih menduga-duga siapa yang pantas menjadi informan yang tepat sesuai penelitiannya.

(42)

apabila informan kunci mau memperkenalkan peneliti kepada responden agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Dalam penelitian terkait Konflik agraria di Desa Aek Buaton ini, yang menjadi Informan adalah:

1. Husni Mubarak Nasution. Merupakan Kepala Desa Aek Buaton

2. Mangaraja Lobi Nasution. Merupakan salah satu Hotabangon Aek Buaton 3. Irwansyah Harahap, Masyarakat Aek Buaton

4. Baginda Raja Nasution, Masyarakat Aek Buaton 5. Marwan, Masyarakat Aek Buaton

6. Asrian Harahap, Masyarakat Aek Buaton

Data yang dikumpulkan adalah berupa kata kata dan gambar. Data data ini berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto atau video, dokumen pribadi, catatan atau memo dan dokumen dokumen pendukung lainya. Semua hal yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Menurut James P. Spradley (1997) semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Semua kata yang digunakan oleh informan dalam menjawab pertanyaan pertanyaan anda dalam wawancara pertama adalah simbol-simbol. Simbol yang kita bahas dalam buku ini adalah istilah istilah penduduk asli (lokal) yang digunakan informan anda. Selain itu, membangun Rapport29 sangat diperlukan dalam melakukan penelitian, agar tercipta hubungan yang baik dengan

29

(43)

informan sehingga data data yang dihasilkan benar benar mampu mendekati fakta dilapangan.

1.6 Pengalaman Selama Melakukan Penelitian

Dalam melakukan kajian terhadap Desa Aek Buaton, khususnya dalam rangka persoalan agraria yang sedang dialami masyarakat tersebut, peneliti beberapa kali melakukan observasi, tinggal dan menetap di wilayah tersebut. Pertama kali mengenal Desa Aek Buaton melalui berita media masa yang menginformasikan terjadinya bentrok antara warga masyarakat desa tersebut dengan pihak Kepolisian Sektor Barumun yang ditenggarai karena masyarakat berdemo menuntut pembebasan beberapa orang masyarakat Desa Aek Buaton yang ditahan karena melakukan pendudukan atas tanah yang secara adat merupakan tanah ulayat Aek Buaton.

Penulis yang juga merupakan Staff kajian dan penelitian Kontras Sumatera Utara akhirnya melakukan investigasi dalam kasus ini, mencoba mencari akar masalah dan membantu proses advokasi terhadap Masyarakat Desa Aek Buaton yang tertangkap. Ini dimulai sekitar bulan Maret 2013 dan terhitung mulai dari situ penulis beberapa kali tinggal dan menetap di wilayah Aek Buaton. Selain itu, masyarakat Desa Aek Buaton juga tak jarang berkunjung ke Medan (Kantor kontras) untuk sekedar berdiskusi, ataupun bersama sama melakukan perjuangan membebaskan masyarakat Aek Buaton yang tertangkap.

(44)

skripsi. Tentunya dengan muatan dan nilai-nilai yang lebih antropologis dalam memandang masalah di Desa Aek Buaton ini. sebab, secara tersirat penulis menganggap perspektif antropologi harusnya di gunakan sebagi salah satu pendekatan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.

Dalam rangka mengisi beberapa data yang belum lengkap, akhirnya Penulis tepat pada bulan Maret tahun 2014 kembali menetap di Desa Aek Buaton untuk menyempurnakan proses penulisan skripsi ini. Adalah sebuah kenangan tersendiri ketika kembali menginjakkan kaki di desa ini. Jika pada kesempatan sebelumnya tugas penulis adalah untuk melakukan investigasi guna kepentingan advokasi, kali ini saya berganti peran sebagai seorang antropolog yang coba menggali setiap makna ditengah realitas konflik agraria di desa ini. Untungnya, penulis begitu banyak diberikan kemudahan oleh penduduk sekitar yang merasa telah banyak terbantu dengan adanya Kontras pada tahun lalu ketika mereka sedang dilanda konflik hebat.

Penulis diantarkan bergantian menuju lokasi-lokasi yang dianggap penting untuk mengungkap permasalahan yang akan diteliti serta diberikan waktu untuk berdiskusi dengan Hotabangon Desa Aek buaton. Bahkan, masyarakat desa yang memberikan informasi-informasi baru dan saling berdebat untuk menentukan siapa orang yang paling cocok untuk penulis wawancarai.

(45)

Bahkan penulis ikut serta melakukan pendudukan kembali bersama masyarakat, dimana masyarakat saat itu sedang melakukan aksi protes dengan cara mendirikan tenda dan tinggal di seputaran kawasan tanah yang sedang mereka perjuangkan.

(46)

BAB II

MENGUNGKAP SEJARAH WILAYAH ADAT AEK BUATON

2.1 Asal Usul Nama Aek Buaton

Aek buaton adalah sebuah nama pemangku adat yang terletak disekitar wilayah Barumun. Mengapa dinamakan Aek Buaton, tentunya memiliki sejarah dan cerita tersendiri. Berdasarkan informasi lapangan yang peneliti himpun, asal usul nama Aek Buaton menurut cerita sejarah yang dituturkan kepada masyarakat khususnya yang bermarga Nasution adalah bermula saat seorang warga desa ini (bermarga Nasution) yang ingin mencari minyak lampu ke Desa Aek Nabara. Dalam perjalanan dengan membawa jerigen ia kemudian memakan buah Balakka30 sambil menyusuri jalan menuju Desa Aek Nabara.

Sepulangnya dari Aek Nabara si penduduk yang mencari minyak lampu tersebut kehausan di tengah perjalanan. Oleh karena itu ia mencari sungai terdekat untuk melepaskan rasa haus. Tak jauh mencari, akhirnya ia pun menemukan sebuah sungai dan langsung saja minum airnya. Namun, si pencari minyak lampu tersebut heran karena rasa air yang diminumnya menjadi manis. Oleh karena kejadian tersebut ia berpikir untuk membuang minyak yang ada di jerigennya dan mengisinya kembali dengan air sungai tersebut. Setelah itu dia pun kembali melanjutkan perjalannnya

30

(47)

untuk pulang menuju kampung. Sesampainya di kampung, penduduk tersebut lalu menceritakan kepada masyarakat banyak atas kejadian yang baru saja ia alami.

Mendengar cerita tersebut masyarakat pun beramai-ramai pergi ke sungai yang di maksud si pencari minyak, kemudian masyarakat beramai-ramai mengambil air sungai tersebut dan langsung mencoba meminumnya. Namun yang terjadi setelah masyarakat meminum air tersebut ternyata tidak didapatkan rasa manis. Air tersebut sama seperti air biasa, tidak lagi ada rasa manis seperti cerita yang dituturkan oleh si pencari minyak lampu.

Rupanya, setelah ditelusuri ternyata si pencari minyak lampu tadi meminum air tersebut sehabis makan buah balakka. Oleh karena itulah maka rasa air tersebut berubah menjadi manis. Dan setelah kejadian tersebut maka masyarakat menyebut menjadi aek (sungai) buaton (buatan). Dan terjadilah Aek Buaton yang sampai saat ini pun sungai tempat si pencari minyak lampu minum dinamakan Sungai Aek Buaton.

Hal senada juga dikatakan oleh Husni Mubarak, kepala Desa Aek Buaton. Beliau mengatakan:

(48)

Oleh peristiwa tersebut, maka orang-orang kampung lain menyebut desa ini sebagai Aek Buaton. Akibat dari si pencari minyak lampu tersebut yang mengatakan air sungai yang diminumnya berubah menjadi rasa manis.

2.2 Pendiri Desa Aek Buaton

Sebagai sebuah wilayah adat, Aek Buaton tentunya memiliki pendiri (sianjur mula-mula) yang merupakan orang pertama yang menetap di wilayah tersebut dan menjadi cikal bakal dibentuknya sebuah huta (Kampung). Dalam sejarahnya, seperti yang dituturkan kepada masyarakat desa secara turun temurun, orang pertama yang membuka perkampungan Aek Buaton adalah Jasonilang. Menurut informasi, Jasonilang berasal dari Mandailing bermarga Nasution yang bermaksud melakukan perjalanan ke daerah Barumun untuk membuka huta. Ini terjadi sekitar tahun 1400-an, karena agama yang dianut oleh Jasonilang masih merupakan Sipele Begu. Jasonilang pertama kali membuka huta di wilayah muara Sungai Barumun, dan kemudian terus berpindah-pindah.

(49)

keturunan yang bernama “Dja Lobi Nasution” beliau bermukim (Marhuta) di Huta “Rangga Soli” Napa Padang Hunik sebelah barat desa Sayur Matua. Sampai sekarang ini makamnya masih utuh di areal kebun sawit dan tetap dijaga penduduk Desa Aek Buaton. Melihat situasi bekas perkampungan tersebut pada zaman dahulu sudah dihuni banyak warga- melihat peninggalan tanaman-tanamannya berupa kopi, lancet, burangir atau sirih dan pohon-pohon enau masih banyak sampai sekarang. Dari keterangan Mangaraja Lobi Nasution, salah satu Hotabangon dan juga merupakan keturunan langsung dari Dja Lobi Nasution, beliau mengatakan:

“Para leluhur itu semua adalah “Raja” yang mempunyai wilayah dan kekuasaan adat serta tanah, terlebih-lebih yang bernama Sutan Laut Api Nasution dan Sutan Diaru Nasution itu memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa”.

Selain itu, beliau menegaskan bahwa:

“Menurut bukti-bukti peninggalan bersejarah ataupun turi ni natobang Aek Buaton sudah berdiri sebelum tumbuh besar Agama Islam di Tapanuli Selatan ini karena masih ada peninggalan makam nenek moyang yang menurut kepercayaan tokoh-tokoh adat setempat yang masih belum punya agama termasuk makam/kuburan nenek moyang masyarakat Desa Aek Buaton, yakni Jasonilang yang masih dipelihara dan dirawat sampai saat ini, yaitu berada di daerah Rangga Soli”.

2.3 Wilayah Adat Aek Buton dan Perkembangannya

Seiring berjalannya waktu, sebuah masyarakat tentunya berkembang dan membutuhkan daerah-daerah baru untuk menjadi pemukiman. Selain sebagai areal tempat tinggal, juga diperlukan areal bercocok tanam sebagai penopang kehidupan masyarakat desa tersebut.

(50)

“Berdasarkan cerita dari tetua Hotabangon31 Desa Aek Buaton, Lobu Aek Buaton ataupun Pemukiman pemukiman yang pernah ditempati oleh masyarakat Aek Buaton yaitu Rangga Soli32, Banjar Bolak33, Batu Mundom34 dan pernah tinggal di

Sebuah lembaga yang terdiri dari beberapa orang yang dituakan di sebuah desa

32

Rangga Soli merupakan suatu wilayah yang bersejarah, sebab berdirinya Kampung Aek Buaton keturunan Jasonilang ataupun yang bermarga Nasution bermula dari wilayah ini, lebih jelas Rangga Soli ini sekarang berada di pemukiman Padang Hunik yang merupakan wilayah Aek Buaton sampai saat ini, disini masih ada tersimpan sejarah nenek moyang Aek Buaton yaitu berupa Makam/Kuburan dan tanaman Bambu.

33

Banjar Bolak adalah awal kedua pemukiman Desa Aek Buaton yaitu berada disebelah timur Lobu Rangga Soli, dan disini pun masih banyak tersimpan sejarah peninggalan nenek moyang Aek Buaton, yaitu Kuburan, Bargot, Bulu, Utte Godang, Utte Mukkur, Burangir, Langsat, Sangge-sangge, Burangir. Hari demi hari yang di lewati oleh masyarakat sebagian berpindahlah penduduk warga Aek Buaton ini untuk mencari tanah yang lebih subur, sebagian pindah menjelajahi hutan mengarah ke Riau.

34

Batu Mundom adalah kenangan bersejarah buat generasi Nasution Jasonilang, yang berada di dekat Sungai Barumun, dan sidimpuan masih ada peninggalan berharga buat kami oleh Raja Sutan Laut Api dan Sutan Diaru yang merupakan keturunan dari Jasonilang, yaitu tempat mandi oleh sang Raja Sutan Laut Api “Dano Lautapi” sampai sekarang tempat itu lebih dikenal orang Dano Lautapi, dan Sutan Laut Api ini adalah orang yang sakti mempunyai jimat ataupun keris yang bisa terbang, dan begitu juga kesaktian Sutan Diaru mempunyai pemeliharaan Kudo Batu, Buaya Jipput dan Labi Nabottar dan juga masih terdapat Kuburan nenek moyang kami didaerah ini.

35

Di sebelah barat tanah Ulayat Aek Buaton yaitu tepat di seberang barumun atas persawahan Aek Buaton sekarang, tidak lama di jaman sekarang ini dan wilayah itu sebahagian besar dijadikan oleh masyarakat menjadi lahan persawahan dan perkebunan baik tanaman muda maupun tanaman tua, dan sampai saat sekarang masih di peruntukkan oleh masyarakat Aek Buaton.

36

Luhat adalah kerajaan yang memiliki wilayah dan adat tersendiri, Di dalam satu luhat, umumnya terdapat banyak huta

37

Kuria adalah sebuah istilah yang diberikan pemerintah Kolonial belanda yang sebenarnya sama seperti pengertian Luhat

38

(51)

Tapanuli Selatan oleh pemerintahan Belanda mengakui kampung Aek Buaton dengan mempunyai tanah wilayah dan mempunyai adat sendiri yang sesuai dengan adat Tapanuli Selatan. Tumbuh mekarnya Desa Aek Buaton dengan semakin bertambah jumlah masyarakatnya sehingga dibuatlah anak Desa Aek Buaton yaitu Sidong-dong, Batusundung, Huta Bargot, Sayur Matua, Sayur Mahiccat. Dengan tapal batas-batas antar desa yang telah ditentukan oleh pengetua adat Aek Buaton.

2.4 Aek Buaton Di Masa Kolonial

Masuknya kolonial Belanda ke wilayah Tapanuli sedikit banyaknya mempengaruhi sistem adat dan pembagian wilayah yang selama ini sudah dijalankan secara turun temurun oleh masyarakat. Di masa awal pemerintah kolonial Hindia Belanda memberi nama Afdeeling Padang Sidempuan untuk daerah Tapanuli Selatan (1938). Sementara yang lainnya dinamakan Afdeeling Batak Landen terhadap kawasan seputar danau Toba dan Tarutung sebagai ibukotanya dan AfdeelingSibolga untuk daerah Tapanuli Tangah. Kemudian ketiga Afdeelingini digabung menjadi satu keresidenan yang dikenal sebagai Keresidenan Tapanuli di dalam lingkungan pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Sumatra yang berkedudukan di Padang Sidempuan. Antara tahun 1885 sampai dengan 1906, Padang Sidempuan menjadi ibukota Keresiden Tapanuli39. Seiring dengan perkembangan zaman, semakin luasnya wilayah dan masuknya penjajahan kolonial, sedikit banyaknya mempengaruhi status serta kondisi wilayah kerajaan adat Aek Buaton. Menurut tuturan dari Hotabangon Aek Buaton, ada beberapa catatan penting yakni pengesahan

39

(52)

raja aek buaton oleh pemerintah belanda. pada tahun 1916 Residen Tapanuli oleh pemerintah Belanda telah melegalisir pemerintah “Raja Sidolla Gelar Mangaraja Enda Nasution” sebagai kepala kampung Aek Buaton. Selain itu, pada tahun 1929 pemerintahan Belanda mengakui dan melegalisir pemerintahan “Si Bahari Nasution Gelar Raja Kalang Nasution” di kampung Aek Buaton. Ditahun 1936 Residen Padang Sidempuan oleh Belanda mengesahkan pemerintahan “Marah Enda Nasution” di kampung Aek Buaton.

Politik kolonial Belanda pun semakin banyak melakukan kebijakan-kebijakan membentuk boneka-boneka kekuasaanya, pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berkuasa mulai membuat struktur pemerintahan baru versi Belanda di wilayah Tanah Batak yang kemudian berganti nama menjadi Tapanuli kedalam tujuh tingkat pemerintahan:

 Tingkat pertama—Resident adalah pejabat tertinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memimpin Keresidenan Tapanuli.

 Tingkat kedua—Asisten Resident. Keresidenan Tapanuli dibagi menjadi dua

Afdeeling, yaitu: Afdeeling Tapanuli Utara berkedudukan di Tarutung dan

Afdeeling Tapanuli Selatan berkedudukan di Padang Sidempuan. Setiap

afdeeling dipimpin seorang Asistent Resident. Afdeeling adalah wilayah setingkat kabupaten di Jawa yang dipimpin seorang Bupati.

(53)

adalah wilayah setingkat kecamatan. Di seluruh Afdeeling Tapanuli Selatan terdapat delapan onder afdeeling, yaitu: Batang Toru, Angkola, Sipirok, Padang Bolak, Barumun, Mandailing, Ulu-Pakantan dan Natal.

 Tingkat keempat—Demang. Pada tahun 1916 pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan wilayah district (setingkat kewedanaan) di bawah onder afdeeling yang dipimpin oleh seorang Demang.

 Tingkat kelima—Asisten Demang. Di bawah district pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan onder district yang dipimpin seorang Asistent Demang.

 Tingkat keenam—Kepala Kuria. Di bawah onder district pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah ‘hakuriaan’ yang dipimpin seorang Kepala Kuria. Hakuriaan menggantikan sebutan luhat untuk membawahi sejumlah huta yang berdekatan.

 Tingkat ketujuh—Kepala Kampung. Tingkat terendah dibawah hakuriaan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah ‘kampong’ untuk menggantikan sebutan huta. Kampung dipimpin seorang kepala kampong (kampong hoofd). Ini berarti sebutan Raja Pamusuk (RP) dan Raja Panusunan Bulung (RPB) yang memimpin sebuah huta atau Bona Bulu dihilangkan dengan menggantikannya dengan Kepala Kampung40

40

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil wawancara dengan Pucuk Adat/Ketua LAN Nagari Mungo (A. Rajo Malikan Nan Panjang), konflik tanah ulayat antara masyarakat hukum adat Nagari Mungo dengan Balai

Dasar ini juga penelitian dilakukan di wilayah Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas, dengan tujuan mencari apakah ada suatu perbedaan pembangunan kesehatan sebelum

Dasar ini juga penelitian dilakukan di wilayah Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas, dengan tujuan mencari apakah ada suatu perbedaan pembangunan kesehatan sebelum

Judul :Analisis Implementasi Nawa Cita Jokowi Terhadap Pembangunan Agraria (Studi Deskriptif: Konflik Tanah Di Desa Padang

Bagaimana tanggapan Bapak terkait upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini yang diwakilkan oleh Badan Pertanahan Nasional Labuhan Batu terhadap penyelesaian konflik

Distribusi Kesehatan Mental Lanjut Usia Berdasarkan Jawaban Responden di Desa Aek Raru Wilayah Kerja Puskesmas Langkimat Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang

Namun dari sinilah konflik akan muncul ketika Kepala Desa Setrojenar waktu itu dipimpin oleh Pak Nur Hidayat mengklaim bahwa tanah TNI tersebut dalah tanah desa sehingga

Faktor – faktor penyebab konflik pelaksanaan tora Dari berbagai faktor penyebab terjadinya konflik pelaksanaan tanah objek reforma agraria Tora dalam kawasan hutan di Desa Sambabo