• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tanah adalah salah satu alat utama bagi manusia untuk memenuhi

kebutuhan. Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan

manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas

tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah, seperti

bercocok tanam dalam hal faktor produksi dan bias juga digunakan sebagai modal

dalam kegiatan perekonomian. Dikarenakan Negara Indonesia Negara agraris,

oleh karena itulah tanah merupakan salah satu sumber daya penting bagi

masyarakat.

Dinamika dalam pembangunan subjek tanah menempati posisi yang

khusus sebagai faktor produksi dan merupakan modal yang tidak dapat

digantikan, tidak dapat dipindahkan dan tidak dapat direproduksi. Tanah juga

merupakan alas tempat tingga, bahkan bagi masyarakat Indonesia yang heterogen,

tanah memiliki arti perjuangan kebangsaan sebagaimana tercermin dalam

ungkapan “tanah air”. Arti yang beragam dan begitu penting mengenai tanah

mengarah pada satu esensi utama yakni tanah untuk kemakmuran rakyat.1

1

(2)

Dengan demikian, tanah merupakan sarana dan kebutuhan yang amat

penting bagi kehidupan manusia.Tanah tidak lagi dipandang sebagai masalah

agraria semata yang selama ini diidentikkan sebagai pertanian belaka, melainkan

telah berkembang baik manfaat maupun kegunaannya, sehingga terjadi dampak

negatif yang semakin kompleks, bahkan tanah sering menimbulkan guncangan

dalam masyarakat serryta sendatan dalam pelaksanaan pembangunan.2

Tanah dalam sistem sosial-ekonomi-politik apapun, dianggap sebagai

faktor produksi utama. Hal yang membedakan antara sistem yang satu dan sistem

lainnya hanyalah bagaimana fungsi, mekanisme pengaturan, dan cara pandang

terhadap tana itu sendiri. Dalam sistem feodal, fungsi tanah lebih merupakan

symbol statuus kekuasaan bangsawan atau kerajaan.Tanah secara keseluruhan

dimiliki kelas bangsawan, sementara petani hanyalah pihak penggarap.Dalam

sistem kapitalisme, tanah dan faktor produksi lainnya merupakan mesin pencetak

laba, merupakan sesuatu yang dapat mengakumulasikan modal, sementara petani

hanya pekerja.Dalam sistem sosialisme, tanah tidak dimiliki secara pribadi, tetapi

secara kolektif.Tanah merupakan alat produksi dan hasilnya digunakan secara Selain dari faktor produksi tanah juga menyangkut hal-hal lain dalam

aspek yang berbeda yang memiliki arti penting baik itu pada aspek sosial maupun

aspek politik.Oleh sebab itu dapat kita simpulkan bahwa tanah tidak semata-mata

merupakanmasalah hubungan antara manusia dengan tanah, tetapi lebih dari itu

dimana secara normatif merupakan hubungan manusia dengan manusia/makhluk

sosial.

2

(3)

bersama.3

Akibat dari pentingnya tanah dalam kebutuhan sehari-hari maka kerap

adanya kecenderungan terjadi konflik bahwa orang yang memiiliki akan berupaya

mempertahankan tanahnya dengan cara apapun bila hak-haknya dilanggar. Oleh

karena itu tidak heran bila konflik pertanahan mengundang berbagai bentuk

kekerasan, baik individu maupun massal.Adanya konflik sosial yang berkaitan

dengan masalah tanah/lahan sebenarnya sudah ada sejak zaman feudal, tetapi

intensitas permasalahannya tidak seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.

Adanya istilah patron client yang mengatur hubungan antara petani pemilik lahan

luas dengan petani gurem atau buruh tani yang berfungsi sebagai peredam gejolak

masalah konflik tanah yang muncul.

Begitu pula dalam pendekatan (neo) populisme, tanah dianggap sebagai

sebagai alat produksi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat petani.

Dalam pandangan ini tanah tidak dimiliki atau dikuasai bangsawan, Negara (

kolektif), atau kelas tuan tanah, tetapi tanah dikuasai secara tersebar olehh

sejumlah besar rumah tangga pertanian. Dalam sistem-sistem tersebut, tanah

mempunyai nilai strategis, walaupun memiliki fungsi berbeda-beda.

4

Kata “konflik” menurut Kamus Ilmiah Populer adalah pertentanggan,

pertiikaian, persengketaan, dan perselisihan.5 Menurut Kamus Umum Bahasa

Indonesia diartikan dengan pertentangan, percekcokan.6

3

Arief Budiman, Fungsi Tanah dalam Kapitalisme, Dalam Jurnal Aanalisis Sosial: Penerbit Yayasan Akatiga, Edisi 3/Juli 1996, hal. 14 (dalam bentuk PDF).

4

Heru Nugroho, Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001, hal. 246.

5

Partanto dan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arloka, 1994, hal. 354

6

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta-Bandung: Penerbit PT Ersco, 1979, hal. 518.

Dari pengertian di atas

dapat kita simpulkan bahwa konflik mengandung arti pertentangan dua pihak

(4)

pertentangan, bermacam-macam kepentingan, kebencian, kecurigaan, rasa

minder, dominasi pihak lemah oleh pihak kuat. Konflik agraria sendiri terjadi

manakala pihak-pihak yang berkonflik memiliki posisi ddan motivasi yang

bertentangan atas penguasaan sumber daya agraria, tetapi mempunyai

kepentingan yang sama untuk memiliki sumber daya agraria yakni tanah dengan

segala produk yang dihasilkannya. Dengan demikian, konflik agraria tidak

terbatas pada konflik-konflik masalah tanah, tetapi juga konflik terhadap semua

sumber daya alam, berikut konflik terhadap sumber daya agraria yang sudah

diusahakan oleh rakyat maupun yang kelihatannya belum diusahakan oleh rakyat

tetapi sebenarnya sudah ada dalam penguasaan rakyat.7

Pola konflik agraria di Indonesia sudah bergeser dari konfliksecara

horizontal dimasa Orde Lama menjadi konflik bersifat vertikal dimasa Orde Baru,

yang artinya bahwa pada masa Orde Lama konflik agraria lebih di dominasi

antara rakyat dengan rakyat, akan tetapi pada masa Orde Baru konflik agraria

tidak hanya antara rakyat dengan rakyat tetapi terdapat kecenderungan lebih

didominasi konflik antara rakyat dengan pemodal yang sering di dukung oleh

intervensi pemerintah. Pengambilan tanah-tanah rakyat dilakukan dengan

berbagai cara, mulai dari penggusuran denga menggunakan kekerasan,

penaklukan, dan manipulasi ideologis dengan cara-cara yang melanggar hak asasi

manusia.8

Konflik agraria atau yang juga kerap disebut konflik pertanahan

merupakan kasus yang pelik di negeri ini, hampir setiap tahunnya di berbagai

7

Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Yayasan AKATIGA, 1997, hal. 32.

8

(5)

daerah terjadi permasalahan tentang agraria. Bergantinya rezim penguasa di

negeri ini juga pun tidak ada niatan untuk membahas tuntas akar permasalahan

yang terus menerus terjadi di negeri ini. Seperti pada zaman Orde Baru, konflik

pertanahan yang merupakan ciri pokok perubahan dan yang selalu menjadi istilah

“pembangunan” sebagai slogan yang cenderung menjadi jargon politik yang

disakralkan seolah-olah menjadi ideologi, akan tetapi dalam kenyataannya model

pembangunan itu justru merusak makna pembangunan itu sendiri, dalam arti jiwa

kemandirian hilang, semangat kebersamaan merosot, keadilan hamper lenyap,

kesenjangaan sosial meningkat, kondisi fisik lingkungan rusak berat, kekayaan

alam terkuras, dan sebagainya.9

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 pada awalnya

dimaksudkan sebagai undang-undang induk keagrariaan mencakup pembaruan

relasi sosial di atas tanah. Dalam praktikpemerintahan Orde Baru, meletakkan

UUPA No. 5 Tahun1960 hanya bersifat teknis dan sektoral, sebagaimana halnya

dengan beberapa undang-undang yang telah diundangkan dan sangat

memfasilitasi serta memberikan dukungan terhadap pertumbuhan modal bersifat

kapitalistik yang seharusnya tidak demikian, oleh karena UUPA sebagaiman

bersemangat populistik. Rezim Orde Baru yang lalu gagal mewujudkan keadilan

agraria termaksud, khususnya gagal menjamin kepastian penguasaan tanah atau

SDA lain bagi komunitas local yang telah memanfaatkan tanah dan sumber daya

alam yang menyertainya. Bahkan, sebaliknya praktek pembangunan semasa Orde

9

(6)

Baru justru menyingkirkan akses rakyat terhadap tanah dan SDA lain yang telah

lama dipunyainya.10

10

Suhendar, op.cit, hal. 50.

Dalam era reformasi, konflik agraria yang terjadi menimbulkan banyak

dampak yang dialami oleh rakyat, dimana adanya hak-hak rakyat yang terabaikan

oleh pemerintah dan dalam menciptakan suatu perubahan kebijakan yang ada

untuk pemuliha kondisi korban yang dirugikan akibat dari konflik agraria ini,

dimana rakyat telah diperlakukan secara tidak adil dan terusiknya rasa keadilan

mereka mengekspresikan hasrat mereka dalam berbagai tindakan protes dan

mendorong tindakan kolektif rakyat untuk merebut kembali apa yang telah

dirampas dari hak-hak mereka. Dengan diperlakukan secara tidak adil dan hak

rakyat yang terabaikan mmerupakan salah satu indikasi dari pelanggaran Hak

Azasi Manusia itu sendiri.

Di Indonesia sendiri begitu banyaknya konflik agraria yang terjadi seiring

berjalannya waktu, seperti salah satu contohnya adalah konflik agrarian di Mesuji,

Lampung.Konflik Mesuji adalah contoh dari bagaimana kewenangan

pemerintahan digunakan dan disalahgunakan untuk pengembangan

perusahan-perusahaan kapitalis raksasa.Konflik agraria di Mesuji adalah bagian kecil dari

ribuan konflik agraria nasional.Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria

(KPA), bahwa setelah mencuatnya kasus Mesuji berturut-turut konflik agrarian

bermunculan ke permukaan seperti konflik agraria di Pulau Padang, pembakaran

rumah-rumah masyarakat adat di Sumbawa dalam konflik dengan Dinas

(7)

Selama ini, belum ada penyelesaian menyeluruh mengenai konflik-konflik

agraria ini. Data yang dihimpun Perkumpulan untuk pembaharuan Hukum dan

Masyarakat (HuMa) menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir terdapat

108 konflik agrarian di 10 provinsi di Indonesia yang didominasi oleh konflik

tenurial dikawasan hutan (69 kasus) dan konflik perkebunan (23 kasus). Badan

Pertanahan Nasional (BPN) bahkan mencatat 8000 konflik agraria di

Indonesia.Sementara Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa

sawit mencapai 663 diseluruh Indonesia.Konflik agraria ini melibatkan

perusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan

pertambangan, Taman Nasional, dan Perhutani.HuMa juga mengamati bahwa

hampir disetiap konflik, terdapat keterlibatan aparat keamanan seperti kepolisian

dan militer.Selain itu juga keterlibatan preman atau pamswakarsa.11

Begitu juga yang terjadi di daerah Sumatera Utara banyak konflik yang

terjadi.Perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia berada di Sumatera Utara

dengan luas areal 1.018.580 Ha, dikelola swasta, BUMN maupun perkebunan

rakyat. Dengan produksi CPO rata-rata 3,5 Juta ton per tahun, perkebunan

tersebar di beberapa wilayah datran rendah seperti Sumatera bagian Timur dan

Sumatera bagian Tenggara. Hampir semua perusahaan berkonflik dengan petani,

rakyat dan masyarakat adat yang berada di sekitar perkebunan. Konflik karena

persoalan lahan sering terjadi di Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang

Bedagai, Asahan, Simalungun, Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu

Selatan, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Konflik itu biasanya terjadi

antara perusahaan perkebunan swasta.Konflik yang mencuat berupa perusakan,

(8)

pembakaran fasilitas perusahaan dan rumah, serta pembunuhan.Menurut data dari

Polda Sumut dalam kurun 2006-2012 terjadi 2.833 kasus lahan atau yang kerap

disebut konflik agraria.12

Di Sumatera Utara, dalam semester pertama tahun 2013, Kasus konflik

lahan antar petani, rakyat dan masyarakat adat dengan korporasi (pemerintah dan

swasta) semakin meningkat. Menurut majalah Burta13

12

Harian Kompas, 28 mei 2013

13

Majalah Burta: Semangat Perjuangan Buruh dan Tani, Bom waktu Konflik Lahan ( Edisi 1 Tahun-I/2012), Lentera Rakyat, 2012, hal. 4.

bahwa sampai saat ini ada

delapan kelompok petani yang berkonflik dengan perusahaan, kasus tersebut

terdiri dari kasus baru juga kasus lama yang kembali mencuat.Dari konflik yang

terjadi, rakyat selalu menjadi korban dari tindakan pihak perusahaan yang di back

up oleh aparat keamanan maupun pengaman swakrasa yang disewa perusahaan.

Kriminalisasi tersebut dilakukan dengan dua pola.Pertama, dilakukan

langsung oleh negara melalui aparat kepolisian yang cenderung berpihak kepada

korporasi.Kedua, dilakukan oleh korporasi melalui satuan pengamanan swakarsa

yang mereka bentuk.Kriminalisasi tersebut biasanya dilakukan dengan melanggar

hak-hak sipil, politik maupun hak-hak ekonomi dan sosial budaya petani. Konflik

yang terjadi antara petani dengan perusahaan perkebunan di Sumatera Utara

(9)

Tabel 1

Konflik Tani dengan Perusahaan Perkebunan di Sumatera Utara

No

.

Kasus dan Profil Singkat Kasus Keterangan

1 Konflik Lahan antara kelompok Tani Padang Halaban

Kec. Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara dengan PT.

SMART

Konflik Baru

2 Konflik lahan antara Kelompok Tani Penghijauan di

DESA Sukaramai Labuhan Batu Utara dengan PT. Sawita

Ledong Jaya

Konflik Lama

3 Konflik Lhan antara warga Desa Hutang Balang Kec.

Badiri, Kab. Tapanuli Tengah dengan PT. AFP (

sebelumnya bernama PT. Cahaya Pelita Andika)

Konflik Baru

4 Konflik Lahan antara warga Dusun I Desa Bangun Pulo

Rakyat, Kab. Asahan dengan Koperasi Bina Tani

Konflik Baru

5 Konflik lahan antara Kelompok Tani Sei Mencirim Kab.

Deli Serdang dengan PTPN II

Konflik Baru

6 Konflik lahan antara warga Mandailing Natal Desa Huta

Godang Muda dengan PT. Sorik Mas Mining

Konflik Lama

(10)

Saentis, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang dengan

PTPN II

8 Konflik lahan antara warga Desa patogo janji, Kab.

Padang Lawas dengan PT. Sumatera Riang Lestari dan

PT. Sumatera Silva Lestari (PT. SSL)

Konflik Lama

Dari delapan kasus diatas, ada tiga kasus yang sedang diadvvokasi salah

satu diantaranya termasuk Konflik Lahan Kelompok Tani Padang Halaban

sekittarnya (KTPH-s), Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara,

dimana Kelompok Tani bertikai dengan pihak perkebunan, yaitu PT. Smart

Cooporaion, Tbk sebagai salah satu fokus peneliti dalam pembuatan penelitian ini.

Luas lahan yang disengketakan oleh warga seluas ± 3000 Ha terletak di

sepanjang Perkebunan Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten

Labuhan Batu Utara. Lokasi masyarakat berada di sekitar perkebunan dan berada

di 6 desa diantaranya desa Karang Anyar, Kampung Lalang,

Sidomulyo/sidomukti, Panigoran, Padang Halaban, Kampung Selamat. Posisi

pemukiman warga mengelilingi lahan sengketa.

Berdasarkan Laporan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara14

14

Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Medan: Laporan Perkembangan Penyelidikan Kasus Tanah di Perkebunan Padang Halaban, Kec. Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara, 3 Juli 1999

bahwa Sejarah

perjuangan rakyat dimulai tahun 1953/1954 tanah perkebunan Padang Halaban

termasuk tanah konsesi yang dikelola oleh Perusahaan Belanda bernama NV.

Sumcana.Perusahaan perkebunan tersebut menanami sayuran dan buah-buahan,

(11)

menanami tanaman palawija, padi, jagung, rambutan, dan tanaman keras lainnya,

serta diatasnya berdiri rumah-rumah tempat tinggal dan sudah menjadi

perkampungan yang kompak.Di sekitar tahun 1956 Telah diadakan pendaftaran

tanah oleh Kantor Reorganisasi Pemekaran Tanah Sumatera Timur dan

berkesimpulan tanah tersebut termasuk tanah yang dilindungi oleh

Undang-undang darurat Nomor 8 Tahun 1954. Pada tahun 1968 oleh Kepala Inspeksi

Agraria Sumatera Utara Drs. Soeradi Hadisoewarno mengeluarkan surat

keputusan pembentukan Badan Penyelesaian Pesengketaan Tanah Sumatera

Timur (BPPST) member putusan bahwa untuk menertibkan tanah garapan rakyat

diatas areal Perkebunan Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo menetapkan

kepada masing-masing penggarap (per-KK) diberikan 2 Ha (20.000 m²) dan 1000

m² untuk pemukiman dan para penggarap menerima hasil keputusan tersebut.

Namun, imbas dari pertentangan politik di tingkat nasional sampai juga pada

masyarakat di desa-desa sekitar perkebunan Padang Halaban.Melalui koordinasi

oknum angkatan darat dan Komando Aksi 15

15

Komando Aksi adalah komando dari organisasi-organisasi kemasyarakatan, preman, tuan tanah yang anti terhadap perkembangan gerakan Komunis di Indonesia. Terbangunnya komando ini diprakarsai oleh Angkatan Darat.

melakukan penyisiran untuk

menangkap orang-orang yang dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia

(PKI).Penangkapan dilakukan hampir setiap malam dari berbagai penjuru tempat,

tidak jarang juga penangkapan disertai dengan tindakan penganiayaan,

pemerkosaan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang tertuduh.Penangkapan

disertai dengan penghilangan orang terjadi di desa Sidomulyo, Panigoran, Aek

Korsik, Sidomukti, dan beberapa daerah di kawasan perkebunan Padang

(12)

organisasi petani menjadi korban, bahkan sampai detik ini keberadaan jasad

korban tidak diketahui oleh sanak keluarga.Mereka di bantai secara kejam seperti

menombak anggota badan, mengikat di kedua ibu jari, memukul, menendang,

menyayat anggota organ tubuh, memenggal kepala korban, memperkosa korban

dan mencampakkan mayat ke sungai. Peristiwa yang hampir-hampir tidak bisa

terlupakan meskipun para pelaku sejarah sampai dimakan usia.

Seperti yang terjadi di Titi Panjang desa Panigoran menjadi tempat

pembantaian terhadap anggota Pemuda Rakyat, yaitu : Mahmud, Karsan, Saru dan

Suroso; di desa Sidomulyo ada proses penangkapan dan penghilangan kepada

Bapak Langkir, Bapak Mico, Bapak Suyoto, Bapak Saud; di desa Patok Besi ada

Bapak Suzari, dan beberapa korban lainnya yang tempat penguburannya tersebar

di areal perkebunan dan pemakaman umum. Berdasarkan kesaksian kerabat

korban di desa brussel terdapat 7 (tujuh) orang korban pembantaian dalam satu

lubang di dekat simpang, yang kemudian simpang tersebut dikenal warga dengan

Simpang Maut.Di Pamingke Blok Sepuluh terdapat dua lubang penguburan yang

berisikan 6 (enam) orang korban pembantaian dari warga yang diambil di desa

sekitar perkebunan Padang Halaban.Dimana dimungkinkan salah satu korban

yang dikubur adalah bapak Suyoto dari Sidomulyo.Situasi mencekam pada tahun

1965 – 1968 dimanfaatkan oleh pihak perkebunan Plantagen AG untuk

mengintimidasi dan menebarkan teror kepada rakyat.Mengkonsolidasikan seluruh

perangkat keamanan di sekitar perkebunan Padang Halaban, tidak terkecuali

militer dan bekas komando aksi serta para pekerja kebun yang didatangkan dari

(13)

Ketika tahun 1969/1970 terjadi penggusuran atas tanah rakyat yang dilakukan

oleh PT. PLANTAGEN AG (PT. SMART CORPORATTION) perkebunan

Padang Halaban. Imbas dari penggusuran Tanah tersebut mengakibatkan

berkurangnya luas wilayah terhadap desa-desa dan hilangnya beberapa

Perkampungan Rakyat yang terletak di sekitar Perkebunan Padang Halaban serta

terjadinya korban Tindak Kekerasan dan Ham yang menimpa warga dan petani

setempat. Surat-surat seperti KTPPT/KRPT yang dilindungi oleh UU Darurat No.

8/ 1954, surat keterangan tanah,kwitansi IPEDA/KOHIR/PajakPeralihan dan

data-data Yuridis penguasaan/ kepemilikan sebahagian besar diambil paksa atau

dirrampas dari tangan rakyat dengan cara intimidasi yang dilakukan piihak

perusahaaan yang dibecking oleh Alat dan Aparatur Negara yaitu Pemerintah dan

ABRI.

Perjuangan kaum tani tidak hanya berhenti disitu, berdasarkan keterangan warga

setempat,mereka terus memperjuangkan tanah mereka meskipun adanya terjadi

penangkapan dan tindakan brutal dari aparat kepolisian kepada para petani di

Perkebunan Padang Halaban sekitar awal Juni 2012. Dan pada tanggal 4 Juni

2012 Aparat kepolisian dibantu oleh pihak pamswakarsa/preman berdasarkan

perintah pemerintah kabupaten merangsek masuk ke lahan sengketa dan

melakukan tindakan penyerangan brutal kepada warga, dengan membawa

klewang, parang, panah beracun, soda api serta tongkat pemukul dan mereka tidak

mengindahkan keberadaan puluhan warga dilahan dan menangkap 60 warga

(14)

di atas lahan yang sudah ditanami dan dijaga oleh puluhan petani.16

16

http;/sawitwatch.or.id/2012/06/masyarakat-perkebunan-padang-halaban-sumatera-utara-bentruk-dengan-preman-pt-smart/, data diunduh pada 6 desember 2013, pukul 16.00 WIB

Akhir dari

bentrokan ini menyebabkan 19 orang dari pihak perkebunan dan 3 orang dari

warga mengalami luka-luka.Dan setelah kejadian ini berlangsung adanya

pengankapan petani yang diilakukan pihak kepolisian, dimana sebanyak 60 orang

petani ditangkap oleh pihak kepolisian dengan alasan pengarahan. Inilah yang

menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik di Perkebunan Padang Halaban,

yaitu adanya perampasan tanah yang diambil oleh pihak PT. SMART

CORPORATION, adanya kriminalisasi terhadap petani, ditambah lagi adanya

korban penangapan 60 orang petani di perkebunan tersebut yang dalam proses

hukum agar dibebaskan.

Penulis juga akan menyangkut pautkan konflik agraria yang terjadi di

Desa Padang halaban dalam perspektif HAM dengan kehidupan para petani sesuai

dengan legitimasi Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan sesuai

dengan landasan kewenangan untuk bertindak dalam mengatur segala sesuatu

yang terkait dengan tanah sebagaimana dirumuskan dalam pasal 33ayat 3 UUD

1945 ”Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

Negara dan digunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”. Amanat

konstitusi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UUPA No. 5 tahun 1960.

Salah satu contoh pasal yang berpihak pada kepentingan kaum tani miskin dalam

undang-undang ialah pasal 13 yang berisi empat ayat dan berbunyi sebagai

(15)

1. Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria

diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan

kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3)

serta menjamin bagi setiap warga-warga negara Indonesia derajat

hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri

maupun keluarganya.

2. Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari

organisasi-organisasi dan perseoranganyang bersifat monopoli swasta.

3. Usah-usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli

hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.

4. Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,

termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria.

Dan adanya pelanggaran HAM yang terjadi yang dirasakan masyarakat

dalam hal ini Kelompok Tani di Desa Padang Halaban dan tindakan represif

seperti adanya tindak kriminalisasi terhadap petani berupa penembakan yang

dilakukan oleh pihak kepolisian, pengrusakan lahan dan korban penangkapann

sekitar 10 orang petani juga membuktikan bahwa melanggar sejumlah hak sipil

korban diantaranya adalah hak untuk mendapatkan perlindungan hokum, hak

kesamaan di depan hukum, hak bebas dari rasa takut dan hak kebebasan dari

intimidasi, dan terjadi pembodohan terhadap rakyat tani dimana adanya Hak Guna

Usaha PT SMART yang palsu dan direkayasa yang bekerja sama dengan

Pemerintahan Daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang akan

(16)

Oleh karena itu, berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka peneliti tertarik

untuk mengadakan penelitian dengan judul: Konflik Agraria dalam Perspektif

HAM (Studi Kasus: Konflik antara Masyarakat Desa Padang Halaban,Kec.

Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun perumusan masalah dalam

penelitian ini, yaitu “Mengapa konflik agraria kerap mengakibatkan pelanggaran

HAM khususnya yang terjadi di Desa Padang Halaban, Kec. Aek Kuo, Kab.

Labuhan Batu Utara?”

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah merupakan usaha-usaha bagaimana untuk

menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang hendak diteliti. Dimana

batasan masalah berfungsi untuk mengidentifikasi faktor mana yang tidak masuk

ke dalam ruang penelitian, maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Apa sebab-sebab terjadinya konflik di Desa Padang Halaban, Kec. Aek

Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART?

2. Bentuk pelanggaran apa yang dialami oleh masyarakat tani di Desa

Padang Halaban Kec. Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara dengan PT.

(17)

1.4 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui penyebab konflik agraria yang terjadi lebih lanjut antara

masyarakat tani di Desa Padang Halaban dengan PT. SMART.

2. Memahami dan menganalisa bagaimana Penyelesaian konflik agraria

1.5 Signifikansi Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang sungguh

diharapkan mampu memberikan sebuah sumbangsih pemikiran mengenai

konsep-konsep dan Teori Konflik dan konsep HAM terutama dalam

bentuk konflik agraria.

2. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dan sumbangsih

bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam ilmu politik,

khususnya dalam konflik agraria, HAM di Indonesia dan menjadi

referensi/kepustakaan Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Teori Konflik

Teori konflik sebenarnya suatu sikap kritis terhadap Marxisme yang

membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi dan

tentang elit dominan, pengaturan kelas dan manajemen pekerja. Keadaan

permasalahan masyarakat tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis dan

saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan

(18)

(imperatively coordinated association) dan mewakili peran-peran organisasi yang

dapat dibedakan.17

Menurut teoritisi konflik bahwasanya masyarakat disatukan oleh” ketidakbebasan

yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat

mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Otoritas

.Dahrendorf memusatkan perhatiaanya pada struktur social yang lebih luas.Inti

tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi dalam suatu masyarakat

mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Menurut Dahrendorf, tugas pertama

analisi konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas didalam

masyarakat.karena memusatkan perhatian kepada struktur bersekala luas seperti

peran otoritas. Dahrendorf ditentang oleh para peneliti yang memusarkan

perhatiannya tingkat individual. Dahrendorf, menyatakan bahwa masyarakat

tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut asosiasi yang dikoordinasikan secara

inperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh

hierarki posisi otoritas.Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi, karena itu

hanya ada dua, kelompok konflik yang dapat terbentuk didalam setiap asosiasi.

Kelompok yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang

memiliki kepentingan tertentu Ada sebuah konsep kunci lain dalam teori konflik

Dahrendorf , yakni kepentingan. Kelompok yang berada diatas dan yang berada

sibawah.Didifinisikan berdasarkan kepentingan bersama.Untuk tujuan analisis

sosiologis tentang kelompok konflik konflik kelompok, perlu menganut orientasi

structural dari tindakan pemegang posisi tertentu. Dengan analogi terhadap

orientasi kesadaran (Subjektif) tampaknya dapat dibenarkan untuk

17

(19)

mendiskripsikan ini sebagai kepentingan, asumsi kepentingan objektif yang

diasosiasikan dengan posisi social tidak mengandung rimifikasi atau implikasi

psikologis ini adalah termasuk dlam level analisi Sosiologis .Dalam setiap asosiasi

, orang yang berbeda pada posisi dominant berupaya mempertahankan Status

Qou, sedangkan orang yang berbeda berada dalam posisi subordianat berupaya

bagaimana bisa menciptakan perubahan.adapun konflik kepentingan akan selalu

ada sepanjang waktu.

Konflik kepentingan ini tidak perlu selalu disadari oleh pihak subordinat dan

superordinat.karena individu tidak perlu selalu menginternalisasikan harapan itu

atau tidak perlu menyadari dalam rangka bertindak untuk sesuai dengan harapan

itu.Karena harapan yang disadari ini menurut Dahrendorf, disebut kepentingan

tersembunyi.Kepentingan nyata adalah kepentingan tersembunyi yang telah

disadari.Dahrendorf melihat analisi hubungan antara kepentingan tersembunyi dan

kepentingan nyata.ini sebagai tugas utama teori konflik.Karena walau

bagaimanapun actor tidak perlu menyadari kepentingan mereka untuk bertindak

sesuaidengan kepentingan itu.

Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan

beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang

lainnya.Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan

dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi

(20)

beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan

yang lain.

Dasar Teori Konflik adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta

perumusan kembali teori Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah

pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada

sistem tersebut.Pendapat yang demikian mengalami perubahan karena pada abad

ke-20 telah terjadi pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana

produksi. Kecuali itu, pada akhir abad ke-19 telah menunjukkan adanya suatu

pertanda bahwa para pekerja tidak lagi sebagai kelompok yang dianggap sama

dan bersifat tunggal karena pada masa itu telah lahir para pekerja dengan status

yang jelas dan berbeda-beda, dalam arti ada kelompok kerja tingkat atas dan ada

pula kelompok kerja tingkat bawah.

Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini.Teori konflik merupakan

antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat

mengedepankan keteraturan dalam masyarakat.Teori konflik melihat pertikaian

dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat

tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat

manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau

ketegangan-ketegangan.Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan

kekuasaan dalam masyarakat.Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas

yang berbeda-beda.Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi

dan subordinasi.Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat

(21)

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu supaya

terciptanya perubahan sosial.Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa

perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium,

didalamnya teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya

konflik-konflik kepentingan.Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu

mencapai sebuah kesepakatan bersama.Di dalam konflik, selalu ada

negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.Menurut teori

konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”.Maksudnya, keteraturan yang

terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi).Oleh karena itu,

teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.

Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial

mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut

pihak atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas. Dengan demikian

maka tampaklah bahwa ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa

dengan pihak yang dikuasai.Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda

dan bahkan mungkin bertentangan. Selanjutnya, kepentingan kelas objektif dibagi

atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap

sistem sosial yang harus dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang

sama, yang disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai

(22)

Teori Konflik yang dikemukakan juga membahas tentang intensitas bagi

individu atau kelompok yang terlibat konflik.Dalam hal ini, intensitas diartikan

sebagai suatu pengeluaran energi dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak atau

kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik.Ada dua faktor yang dapat

mempengaruhi intensitas konflik, yaitu (1) tingkat keserupaan konflik, dan (2)

tingkat mobilitas.Selain itu juga membicarakan tentang kekerasan dan

faktor-faktor yang mempengaruhinya.Konsep tentang kekerasan, yaitu menunjuk pada

alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling bertentangan untuk mengejar

kepentingannya.Tingkat kekerasan mempunyai berbagai macam perwujudan,

dalam arti mulai dari cara-cara yang halus sampai pada bentuk-bentuk kekerasan

yang bersifat kejasmanian.18

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam

pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat

menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik

dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan Perlu diketahui salah satu faktor yang sangat penting yang dapat

mempengaruhi tingkat kekerasan dalam konflik kelas, yaitu tingkat yang

menyatakan bahwa konflik itu secara tegas diterima dan diatur.Pada hakikatnya

konflik tidak dapat dilenyapkan karena perbedaan di antara mereka merupakan

sesuatu yang harus ada dalam struktur hubungan otoritas. Konflik yang

ditutup-tutupi, cepat atau lambat pasti akan muncul, dan apabila upaya penutupan itu

secara terus-menerus maka dapat menyebabkan ledakan konflik yang hebat.

18 Ralf Dahrendorf,.”The modern social conflict: an essay on the politics of liberty”. University of

(23)

melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya. Seluruh

fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang

sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Di dunia internasional kita

dapat melihat bagaimana, apakah dalam bentuk tindakan militer atau di meja

perundingan mampu menetapkan batas-batas geografis nasional.Dalam ruang

lingkup yang lebih kecil, oleh karena konflik kelompok-kelompok baru dapat

lahir dan mengembangkan identitas strukturalnya dalam pengukuhan sebagai

kelompok.

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang

intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit

untuk dipertahankan. Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih

sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk

menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan.Sedang pada hubungan-

hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat

relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan-

hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat

pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan

tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga

(24)

1.6.2. Peraturan Pertanahan/Agraria di Indonesia

Konsep dasar tentang kasus-kasus pertanahan platform dari

filosofis konstitusional tercermin dalam perumusan sila ke lima Pancasila

yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Selanjutnya

kebijakan dan regulasi di bidang pertanahan ditegakkan pada landasan

konstitusi negara yaitu pada pasal 33 (3) Undang-Undang Dasar 1945

menyatakan bahwa bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara untuk diperuntukkan bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Peraturan Pelaksanaan dari ketentuan tersebut diatur

lebih lanjut dam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan

Dasar Pokok Pokok Agraria ( Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104)

atau disebut juga Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), serta

dijabarkan dalam berbagai peraturan organik dalam bentuk Peraturan

Pemerintah (PP), Keputusan Presiden ( Kepres), Peraturan Mentri/Pejabat

dan lain-lain.19

Hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada subjek hukum

diatur dalam pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang terdiri

dari: 1) Hak Milik, 2) Hak Guna Usaha, 3) Hak Guna Bangunan, 4) Hak

Pakai, 5) Hak Sewa, 6) Hak Membuka Tanah, 7) Hak Memungut Hasil

Hutan, 8) Hak-hak lain serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak-hak

lain misalnya Hak Pengelolaan, sedangkan Hak yang sifatnya sementara

19

(25)

adalah Hak Gadai, Hak Guna Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang dan

Hak Sewa Tanah Pertanian.

Tuntutan Masyarakat atas areal perkebunan PT. Smart Cooporation

adalah ganti rugi atas tanah rakyat yang telah diambil alih dan dilakukan

penggusuran atas tanah-tanah rakyat tersebut oleh Perkebunan Padang

Halaban ditahun 1969/1970 seluas 3000 Ha. Selain itu adanya tuntutan

masyarakat atas dasr Hak Ulayat Masyarakat Adat dan masyarakat lainnya

menjadi salah satu faktor penyebab kasus pertanahan di Sumatera Utara,

termasuk di Perkebunan Padang Halaban sampai sekarang belum dapat

diselesaikan secara tunas karena permasalahan yang dihadapi sangat rumit

sejalan dengan sejarah keberadaan peraturan perundang-undangan dan

kebijakan yang berlaku di Sumatera Utara khususnya mengenai sengketa

tanah perkebunan. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan tersebut

antara lain sebgai berikut:

1. Undang-undang darurat Nomor 8 Tahun 1954 Tentang

Pemakaian Tanah oleh Rakyat

2. Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

3. Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan

Pemakaian Tanah yang berhak atau kuasanya

4. Pedoman Menteri Agraria Nomor I Tahun 1960 Tentang

Penyelesaian Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan Di

(26)

5. Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria Nomor II Tahun 1963

Tentang Penyelesaian Tanah Jaluran

6. Surat Keputusan Badan Pekerja Panitia Landreform Kabupaten

Labuhan Batu Nomor 2/K/II/12/1968 Tentang penyelesaian

persoalan tanah-tanah garapan yang berada diatas areal

Perkebunan Padang Halaban

7. Surat Keputusan Kepala Agraria Daerah Kabupaten Labuhan

Batu Nomor 94/II/12/LR-69 Tentang Pembayaran Bantuan

Ganti Rugi atas tanah Garapan yang terletak di atas areal

Perkebunan Padang Halaban

8. Peraturan Menteri Pertaniaan dan Agraria/Kepala BPN Nomor

5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak

Ulayat Masyarakat Hukum adat

9. SK BPN Nomor 42/HGU/BPN/2002

10.Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

11.PP Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan,dan Hak Pakai atas tanah

1.6.3. Hak Azasi Manusia (HAM)

Istilah HAM pada hakekatnya memiliki pengertian yang hampir

sama, meskipun masing-masing negara menggunakan bahasa yang

berbeda-beda. Misalnya, HAM dalam bahasa inggris dikenal sebagai

(27)

sebagai des droits de I’Homme.Hak asasi manusia dalam hal ini

merupakan seperangkat hak yang melekat pada keberadaan manusia

sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya

yang wajib dihormati, dinjunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,

hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan

harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar

yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kodratnya. Hak asasi manusia

meliputi hak hidup, hak kemerdekaan atau kebebasan, hak milik, dan

hak-hak dasar lain yang melekat pada diri manusia dan tidak dapat diganggu

gugat oleh orang lain.20

Dalam salah satu dokumen yang diterbitkan oleh PBB, dapat

ditemukan defenisi HAM yang lebih singkat, sebagaimana dikutip

Bahrudin Lopa dalam menegaskan, yaitu: “Human Rights could be

generally defined as those rights which are inherent in our nature and

without which we cannot live as human beings”. Dalam konteks ini ,

HAM dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang melekat (inherent), yang

secara alamiah manusia tidak dapat hidup tanpa adanya hak-hak tersebut.

Selanjutnya John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak

yang diberikan langsung oleh Tuhan Maha Pencipta sebagai hak

kodrat.Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat

mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup

20

(28)

dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrat yang tidak bias terlepas

dari dan dalam kehidupan manusia.21

• Undang-Undang Dasar 1945, yang diuraikan dalam pembukaan

UUD 1945 pada alinea pertama, yaitu dinyatakan tentang

kemerdekaan yang dimiliki oleh segala bangsa di dunia maka oleh

sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak

sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan.

Berbagai instrument Hak asasi Manusia yang dimiliki Negara

Republik Indonesia, yakni:

• Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi

Manusia, yang diuraikan dalam lampiran ketetapan ini berupa

naskah HAM pada angka I huruf D butir I menyebutkan bahwa

Hak Asasi Manusia adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang

Maha Esa, yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati,

universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat

manusia.

• Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

dalam pasal 1 Ayat (1) bahwa Hak Asasi Manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia

sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh

Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan

serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Lalu Menurut

pasal 1 Ayat (6) dijelaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia

adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk

aparat negara baik disengaja maupun tidak atau kelalaian yang

secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan

atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang

yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapat atau

21

(29)

dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang

adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.22

Menurut ajaran Hak Asasi Manusia, penyelenggaraan Negara

sesungguhnya memiliki kewajiban untuk :

(i) menghargai hak asasi manusia rakyatnya;

(ii) melindungi hak asasi manusia rakyatnya; dan

(iii) memenuhi hak asasi manusia rakyatnya.

Kewajiban pertama, untuk menghargai, mensyaratkan

penyelenggara negara sendiri tidak melangggar hak-hak asasi

rakyatnya.Hal ini mencakup tindakan negara untuk memberlakukan

hukum-hukum baru yang berlaku yang diperkirakan dapat mengakibatkan

terjaminnya hak-hak korban pelanggaran HAM di masa lampau pada masa

kini, dan dengan demikian dapat menyelesaikan pelanggaran hak di masa

lampau itu.Kewajiban kedua, untuk melindungi, mempersyaratkan

penyelenggara negara mencegah dan menindak pelanggaran-pelanggaran

yang dilakukan pihak bukan negara dengan menegakkan aturan-aturan

hukum yang diberlakukan pada pelanggar itu.Kewajiban ketiga, untuk

memenuhi, mempersyaratkan penyelenggara negara mengkaji ulang

prioritas kerjanya, membuat perubahan-perubahan aturan, administrasi,

22

(30)

anggaran, peradilan dan hal yang diperlukan lainnya untuk mewujudkan

hak-hak tertentu rakyatnya.23

Menurut Hadari Nawawi

1.7 Metodologi Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

24

Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat

penggambaran secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta

dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Penelitian ini bermaksud

untuk mengungkapkan bagaimana basis konflik agrarian yang terjadi di

Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu

Utara dari bab ke bab dan akan menggambarkan konflik agrarian di desa

ini keterkaitannya dengan perspektif HAM. Disamping itu juga penelitian , metode penelitian deskriptif dapat

diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan

menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang,

lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan

fakta-fakta yang tampak atau sebagai mana adanya. Penelitian deskriptif

melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara

sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.

23

Stephen A. Hansen, Thesaurus of Economic, Social and Cultural Rights: Terminology and Potential Violation, Washington: American Association for Advancement of Science, 2000. Halaman 6-7( dalam bentuk PDF).

24

(31)

ini menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai sebuah

kerangka acuan dari pengamatan langsung yang diperoleh di lapangan

untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab

persoalan yang diteliti.Oleh karenanya jenis penelitian ini adalah

penelitian kualitatif.

1.7.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Desa Padang

Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Provinsi

Sumatera Utara.

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data informasi yang dibutuhkan maka

penulis, melakukan teknik pengumpulan data primer dan data sekunder.25

1. Data Primer

Teknik pengumpulan data tersebutyakni sebagai berikut:

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini nyakni metode

wawancara (interview). Teknik pengupulan data melalui

wawancara ialah dengan bertanya langsung kepada informan

ataupun narasumber yang dianggap sesuai dengan objek

penelitian serta melakukan Tanya jawab secara langsung

kepada informan yang terkait dengan penelitian ini.Dalam hal

25

(32)

ini peneliti mengambil informan yang berkaitan dengan

konflik yang terjadi di Desa Padang Halaban seperti ketua

kelompok tani di desa tersebut dan masyarakat tani yang

tinggal di daerah tersebut, pihak PT. SMART, dan dari pihak

aktivis HAM dan aktivis pertanahan.

2. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini adalah

mencari data informasi melalui buku-buku, internet, jurnal, dan

lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.Selain itu penulis

juga mencari informasi dan referensi tambahan melalui

perundang-undangan, artikel-artikel dalam majalah, Koran dan

sebagainya.

1.7.4. Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan tidak berarti apa-apa tanpa

dianalisa. Tujuan dari analisa data adalah untuk memperoleh

keluaran (output) dari hasil yang ingin dicapai dari proses

penelitian. Dalam analisa data ini, data yang sudah terkumpul akan

diolah dan kemudian dianalisis untuk dapat diambil kesimpulan

(33)

konflik agraria yang terjadi di Desa Padang halaban dalam

perspektif HAM, dimana para petani yang lahannya diambil oleh

PT. SMART dan petani dalam memperjuangkan tanahnya

mengalami tindakan represifitas dan tidak mendapat perlindungan

(34)

1.8 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan Latar belakan masalah,

perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian,

kerangka teori, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II : PROFIL LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan gambaran umum dari lokasi penelitian

di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten

Labuhan Batu Utara, menguraikan profil kelompok tani di

desa tersebut dan juga profil PT. SMART.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini menguraikan hasil penelitian berupa apa yang

menjadi penyebab konflik agraria yang terjadi di Desa

Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan

Batu Utara dan menganalisisnya dengan kajian teori Marx

tentang perjuangan kelas dan mengungkapkan bentuk

pelanggaran HAM yang dialami oleh masyarakat petani di

Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten

Labuhan Batu Utara.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini akan berisi kesimpulan dan saran-saran yang

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Tata cara pemasukan dokumen penawaran agar dilakukan sesuai dengan tahapan sebagaimana tercantum dalam dokumen pengadaan Bab III Bagian D tentang Pemasukan Dokumen

[r]

Siswa SMA/SMK/MA atau sederajat (termasuk SRI di luar negeri) kelas terakhir pada tahun 2018 yang memenuhi persyaratan. Memiliki prestasi unggul yaitu calon

The findings of this research revealed that there is result of the students’ competence to understand indirect speech act in pragmatics on the sixth semester of

l Calon peserta penerima Bidikmisi yang telah dinyatakan lulus SNMPTN 2018 namun berkeinginan mendaftar SBMPTN 2018, harus memperoleh KAP dan PIN baru melalui laman

Sumber data penelitian yang akan didapat adalah istilah yang digunakan oleh Masyarakat Melayu Sambas yang menggunakan Bahasa Melayu Dialek Sambas dalam