• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BUDAYA BERSIH

2.2 Budaya Bersih dalam Shinto

Sistem religi mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, Dewa, roh halus, neraka, surga dan sebagainya (Koentjaraningrat dalam Harsojo, 1967 : 173-174). Menghargai kebersihan telah dipelajari masyarakat Jepang seperti yang diajarkan dalam kepercayaan asli orang Jepang, yaitu Shinto. Sayidiman (1982 : 11, 197) mengatakan Shinto adalah suatu

kepercayaan yang merasakan bahwa alam dunia ini didiami oleh banyak “kami”

yaitu dewa-dewa, kekuatan gaib dan kekuatan lain yang berhubungan dengan alam atau orang-orang yang memiliki kekuatan khas. Manusia adalah satu dengan alam semesta, selain kemurnian. Karena adanya kesatuan manusia dengan alam semesta, maka kepercayaan ini juga langsung masuk ke dalam pemerintah.

Menurut Ono Sokyo, Shinto bukan sekedar keyakinan beragama, tetapi gabungan dari sikap, pola pikir, dan metode melakukan sesuatu yang sudah ada sejak 2000 tahun lalu dan sudah menjadi bagian dari cara hidup orang Jepang.

Oleh karena itu, Shinto adalah kepercayaan pribadi terhadap kami, dan cara hidup bermasyarakat yang sesuai dengan kehendak kami. Hal tersebut muncul dalam perjalanan berabad-abad karena berbagai pengaruh etnis dan budaya, baik dari dalam maupun dari luar, menyatu, dan negara mencapai satu kesatuan di bawah keluarga kekaisaran.

Tsuda Sokichi dalam buku berjudul “Nihon no Shinto” menyebutkan bahwa istilah Shinto pertama sekali ditemukan dalam literatur Cina, di dalamnya istilah Shinto bermakna “reimyo no machi (jalan yang memesonakan) atau shizen no riho (hukum alam)”. Artinya huruf dengan simbol Kami memiliki makna

“memesonakan” dan itu mengungkapkan jalan. Ini kemudian dihubungkan dengan pemikiran penganut ajaran Tao, sehingga ajaran Tao, sihir dan sebagainya disebut Shinto.

Pemujaan dalam kepercayaan Shinto terdiri dari 3 macam, yaitu penghormatan, sesajen dan doa. Sebelum melakukan hal itu, setiap orang harus

membersihkan diri, yang terdiri dari harai (pengusiran roh jahat), misogi (pembersihan diri), dan imi (pantangan).

Jinja merupakan tempat untuk melaksanakan ritual dan festival. Ritual dan festival Shinto adalah cara komunikasi antara Kami dengan umatnya. Melalui ritual dan festival Kami meningkatkan kekuatan spiritualnya, dan umatnya menerima anugerah darinya.

Dalam upacara Shinto doa disebut dengan norita, merupakan pengangkatan yang tidak dapat dipisahkan dari upacara, dibaca oleh pemimpin upacara atau kepala pendeta (guji). Norita ditulis dan dibaca berdasarkan aturan bahasa klasik, dengan alasan bahwa kami diyakini lebih mudah memahami bahasa klasik daripada bahasa modern.

Pada prinsipnya, doa diawali dengan kata-kata dalam pujian kepada kami, menceritakan asal usul atau sejarah ritual atau festival tertentu, menyajikan persembahan (makanan untuk kami), mengungkapkan rasa syukur kepada kami, laporan atau permohonan kepada kami, dan diakhiri dengan kata-kata hormat.

2.2.1 Konsep Kesucian (Harae) dalam Kepercayaan Shinto di Jepang

Penyucian diri, dalam Bahasa Jepang disebut dengan harae, adalah kegiatan menyucikan jasmani dan rohani di hadapan Kami atau dewa. Dalam ajaran Shinto penyucian diri dianggap sesuatu yang sangat penting, karena dengan menghilangkan semua kekotoran (kerage) dan dosa (tsumi), maka kesucian jasmani dan rohani dapat dipulihkan kembali. Kegiatan penyucian diri yang paling terpresentatif adalah Shubatsu yang dilakukan oleh pendeta sebelum memulai ritual.

Harae menurut Aoki dalam (http://prastiti-fib06.web.unair.ac.id/) merupakan suatu bentuk kebudayaan dalam hal religi bagi masyarakat Jepang. Pengertian akan kesucian (harae) dan kekotoran (kerage) serta cara melaksanakan upacara penyucian di Jepang memiliki pengaruh yang luar biasa dan telah menyebar sebagai suatu kebudayaan yang utuh. Upacara tradisional di kuil Shinto (jinja) seperti upacara mencuci tangan dan mulut sebagai simbol akan kesucian sebelum masuk ke kuil dan melakukan komunikasi dengan kami.

Harae adalah salah satu upacara terpenting dalam Shinto dan berbagai bentuk telah berkembang, namun pada umunnya ada 3 metode dasar dari harae, yaitu:

1. Haraigushi (tongkat penyucian)

Ini merupakan bentuk biasa yang paling umum diselenggarakan oleh seorang pendeta Shinto, yaitu dengan cara mengibaskan tongkat penyucian di atas kepala dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang

kanting kecil dari pohon sakral sakaki maupun onusa digunakan sebagai pengganti haraigushi.

2. Misogi (menggunakan air)

Ini lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti penyucian dengan air. Penyucian ini dijalankan melalui aktivitas yang mendalam seperti latihan pernapasan, berdiri dibawah air terjun atau membenamkan tubuh di laut atau sungai. Semua dewa tidak menyukai segala sesuatu yang kotor tetapi suka akan kebersihan, karena kotor berarti buruk, dan bersih berarti baik. Beberapa kuil Shinto di gunung memiliki fasilitas khusus seperti air terjun untuk misogi ketika kuil-kuil shinto yang lainnya menggunakan laut terbuka untuk upacara penyucian dalam air garam. Para pendeta dan pemuja-pemuja di pagi sekali sama-sama berdiri dengan hampir telanjang dibawah air terjun yang dingin mengalir ke bawah dari gunung, secara ritual menyucikan mereka dan menguatkan untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka dalam kehidupan.

3. Imi (advoidance/ pencegahan)

Ini kontras dengan kedua tipe penyucian yang telah disebutkan di atas, yang mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik.

Ini dijalankan khusus oleh pendeta-pendeta Shinto, yang diperintahkan untuk mengindari kontak dengan penyakit, kematian, atau perkabungan sebelum menyelenggarakan upacara keagamaan. Secara tradisional, wanita yang memiliki kemungkinan kecemaran akibat menstruasi atau melahirkan anak, tidak diijinkan memasuki tempat-tempat suci. Seseorang yang baru kehilangan/berkabung tidak akan menghadiri sebuah perayaan pernikahan.

Dari ketiga tipe penyucian, ini sangat dekat hubungannya dengan takhayul rakyat.

Di lain kesempatan, harae juga dilaksanakan pada waktu pernikahan, bisa untuk penyucian dan kesuksesan seorang kandidat di awal kampanye pemilihan, untuk keselamatan perjalanan, atau sukses di sebuah kontes. Harae tak hanya diselenggarakan bagi orang dan tempat, tapi juga kendaraan. Membersihkan semua kekotoran yang ada di kendaraan berguna menjamin keselamatan yang lebih daripada kemungkinan yang bisa terjadi jika orang mengendarai di lingkungan yang kotor.

2.2.2 Konsep Ketidaksucian (Kerage) dalam Kepercayaan Shinto di Jepang

Menurut jurnal (http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2007-3-00264-JP%20Bab%202.pdf), ketidaksucian atau pencemaran dalam Shinto diartikan sebagai kerage. Dalam Japan: An Illustated Encyclopedia (1993:767) dijelaskan bahwa kerage disebabkan oleh berbagai hal, misalnya kematian, darah, penyakit, bencana, atau kesialan. Kematian yang dimaksud dalam kerage tidak hanya terbatas pada manusia, tetapi juga mengarah pada kematian hewan.

Melukai, membunuh, atau memasak hewan untuk dimakan juga termasuk dalam kerage.

Dalam legenda Shinto, diceritakan bahwa Izanagi yang bersedih karena kematian istrinya, Izanami, pergi ke neraka untuk menemui istrinya tersebut, tetapi pada saat bertemu,Izanagi kaget dan melarikan diri setelah melihat wajah dan tubuh istrinya yang sudah membusuk. Izanagi kembali ke dunia atas dengan

perasaan takut dan gemetar. Kemudian, akibat mengunjungi tempat yang menurutnya sangat kotor dan mengerikan, ia pun membersihkan dirinya di sungai.

Dari legenda diatas, dapat diketahui bahwa kematian merupakan salah satu bentuk ketidaksucian dalam Shinto dan mandi di sungai merupakan salah satu bentuk penyucian diri yang dilakukan sejak lebih kurang 1700 tahun yang lalu.

Konsep awal kerage di Jepang intinya ialah harus menghindarkan jenis-jenis kerage tersebut agar dapat memelihara kesucian diri. Pada ajaran Shinto, pendetanya yang menampilkan ritual tidak diijinkan mempunyai kerage. Mereka menjaga kesuciannya dengan menghindari kerage dalam periode tertentu. Periode khusus ini disebut imi. Imi adalah pantangan atau penghindaran terhadap sesuatu yang tidak normal, tidak sempurna, polusi, atau ketidakbersihan hasil dari tindakan manusia.

Dokumen terkait