• Tidak ada hasil yang ditemukan

FENOMENA BUDAYA BERSIH PADA MASYARAKAT JEPANG NIHON SHAKAI NI OKERU SEIKETSU NO BUNKA GENSHOU SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FENOMENA BUDAYA BERSIH PADA MASYARAKAT JEPANG NIHON SHAKAI NI OKERU SEIKETSU NO BUNKA GENSHOU SKRIPSI"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

FENOMENA BUDAYA BERSIH PADA MASYARAKAT JEPANG

NIHON SHAKAI NI OKERU SEIKETSU NO BUNKA GENSHOU SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian skripsi

dalam bidang ilmu Sastra Jepang

OLEH:

FANNI ARMIA

140708041

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

(2)

FENOMENA BUDAYA BERSIH PADA MASYARAKAT JEPANG

NIHON SHAKAI NI OKERU SEIKETSU NO BUNKA GENSHOU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang OLEH :

FANNI ARMIA 140708041

Pembimbing

Prof. Hamzon Situmorang, MS., Ph.D NIP. 19580704 1984 12 1 001

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

(3)

Disetujui Oleh : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, 4 Juli 2018

Departemen Sastra Jepang Ketua,

Prof. Hamzon Situmorang, MS., Ph.D

NIP. 19580704 1984 12 1 001

(4)

KATA PENGANTAR

Syukur tak terhingga kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “FENOMENA BUDAYA BERSIH PADA MASYARAKAT JEPANG”

ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna karena kemampuan penulis yang masih terbatas. Tetapi, berkat bantuan beberapa pihak, maka penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Maka dari itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi dukungan terutama kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S. selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S. Ph.D, selaku ketua program studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi yang telah membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Bapak Alimansyar, SS., M.A., Ph.d yang telah mempermudah skripsi saya dengan buku yang bapak terbitkan.

4. Seluruh dosen dan para staf yang telah banyak memberikan ilmu serta

bantuan yang bermanfaat selama penulis mengikuti kegiatan akademik di

Program Studi Sastra Jepang ini.

(5)

5. Keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih kepada Ayahanda Benni dan Ibunda Rasmi, yang telah memberikan kepercayaan dan dukungan, baik dalam bentuk pengorbanan, nasehat, maupun kasih sayang tiada batas dan doa tulusnya demi keberhasilan penulis. Kepada abang Arbi, terima kasih juga karena selalu memberi dukungan nya.

6. Keluarga Besar Tahu Bulat yang tak bisa saya sebutkan satu persatu namanya yang selalu mendoakan, mendukung dan memberi semangat kepada penulis agar mempercepat pengerjaan skripsi ini.

7. Para sahabat saya Rifa, Mutia, Sartika, Hanif, dan Marasakti yang selalu mendukung dan mendoakan saya dalam pengerjaan skripsi ini.

8. Para sahabat terdekat tempat berbagi cerita serta pengalaman selama di Sastra Jepang, terutama “KOKORO NO TOMO” yang terdiri atas Cece Lia, Sasa Ura, dan Ucik Ciwa.

9. Para sahabat saya ketika sempro Tantry dan Risna yang senantiasa saling membantu dan support dalam pengerjaan dan pengurusan skripsi ini.

10. Teman-teman sesama mahasiswa Program Studi Sastra Jepang stambuk 2014 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya.

Segala upaya telah dilakukan oleh penulis untuk menyempurnakan penulisan ini. Namun, tidak mustahil dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharap saran dan komentar yang dapat dijadikan penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Pada akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

(6)

Medan, Juli 2018

Penulis

Fanni Armia

(7)

DAFTAR ISI

KATA

PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan... 9

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori... 9

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 12

1.6 Metode Penelitian... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BUDAYA BERSIH... 15

2.1 Budaya Bersih... 15

2.2 Budaya Bersih dalam Shinto... 18

2.3 Budaya Bersih di Jepang... 25

BAB III FENOMENA BUDAYA BERSIH DI JEPANG... 30

3.1 Ruang Publik pada Masyarakat Jepang... 30

(8)

3.1.1 Peran Pemerintah terhadap Kebersihan... 30

3.1.2 Sosialisasi tentang Kebersihan pada Anak Sekolah... 34

3.2 Ruang Private pada Masyarakat Jepang... 42

3.2.1 Kesadaran Tanggung Jawab Masyarakat terhadap Budaya Bersih... 42

3.2.2 Pengajaran Budaya Bersih pada Anak di Lingkungan Keluarga... 45

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 48

4.1 Kesimpulan... 48

4.2 Saran... 49

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ABSTRAK

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kebudayaan menurut defenisi Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dengan cara belajar. Jadi, kebudayaan dapat didefenisikan adalah segala daya upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik kebutuhan rohani maupun kebutuhan jasmani. Setiap budaya memiliki nilai-nilai moral sedangkan norma agama berasal dari Tuhan.

Kebudayaan Jepang yang sejak dulu kita kenal memiliki banyak keanekaragaman. Salah satunya sangat kental dengan budaya bersih. Hampir dimana pun kita berada, baik di rumah, kantor, jalan raya, ataupun tempat yang lainnya, kita selalu menghasilkan sampah. Jika anda sedang berjalan kaki di sebuah kota di Jepang, anda pasti akan menyadari bahwa hampir tidak ada sampah sama sekali di pinggir jalan. Maka dari itu, pendidikan sejak dini anak- anak di Jepang telah diajarkan untuk selalu menjunjung tinggi nilai kebersihan itu sendiri. Di SD Jepang, anak-anak diwajibkan untuk membersihkan ruang kelas dan lorong sekolah setiap hari sebelum pulang. Mereka bekerja sebagai tim untuk menggeser semua meja dan kursi, dan menyapu lantai, lalu menggosok lantai dengan kain lap setiap hari. Di Jepang, bukan tugas tukang bersih-bersih untuk membersihkan ruangan kelas.

Kebersihan menjadi faktor yang penting untuk membentuk kepribadian

seseorang. Dan setiap orang mempunyai hak dan kewajiban atas lingkungan yang

bersih dan sehat. Kebersihan memang indah dan memanjakan mata, juga sebagian

(10)

dari iman. Seperti yang kita ketahui bahwa kehidupan di Jepang yang aman dan bersih membuat masyarakatnya damai dan tentram. Tetapi, meskipun di Jepang merupakan negara yang bersih, sangat jarang menemukan tong sampah di jalan.

Tidak jarang turis asing berkeliling di sekitar jalan hanya untuk mencari tong sampah. Karna minimnya tong sampah yang tersedia mengakibatkan banyak orang yang mengantongi sampah dan akan membuangnya ketika menemukan tong sampah. Ini menunjukkan bahwa kita sebagai masyarakat harus disiplin dan peduli terhadap kebersihan lingkungan itu sendiri.

Pandangan public dan privat 公私観念 (Koushikannen) dalam jurnal

(https://lamunanmalam.wordpress.com/2008/01/14/antara-ruang-privat-dan-

ruang-publik) dalam kehidupan social, kita dituntut untuk berkomunikasi dan

bersosialisasi dengan public. Karena kita tidak hanya hidup di lingkungan rumah

saja, tetapi di dunia luar. Dunia luar disebut juga "Public Space" atau ruang

public. Ruang public adalah ruang bersama dimana didalamnya terdapat acuan

nilai bersama yang disepakati oleh masyarakat. Proses penentuan apa yang

menjadi share value atau ruang bersama melalui sebuah proses yang dinamis

dimana shared value tidak stagnan, tetapi mengalami bargaining sepanjang waktu

dimana masyarakat tersebut hidup. Pada ruang public ini ketika batasan

berdasarkan berdasarkan shared value telah ditetapkan ketika itulah muncul

aturan-aturan yang secara jelas mengikat masyarakat tesebut. Yang tentu saja

aturan tersebut bekerja di areanya tanpa dapat masuk ke ruang privat. Meskipun

demikian tidak lantas ruang privat seseorang lebih kuat posisinya dizbanding

ruang publik.

(11)

Menurut Syulhadi dalam jurnal di laman ini (https:/syulhadi.wordpress.com/my-document umum/komunikasi- antarbudaya/ruang-publikpublic space) menjelaskan bahwa Tipologi Umum Ruang Publik ada tiga yaitu:

1. Erternal Public Space yaitu bagian lahan yang berada di antara kepemilikan privat, seperti alun-alun, jalan, taman, parkir, dll.

2. Internal Public Space yaitu ruang pada fasilitas fasilitas umum di mana warga bebas mengakses (perpustakaan umum, museum, terminal, stasiun, pelabuhan, bandara umum, dll).

3. External and Internal "Quasi" Public Space yaitu ruang publik dengan kepemilikan "privat". Fasilitas-fasilitas komorsial, kampus, dll. Di sini, pengelola ruang bebas melakukan pengendalian akses dan perilaku.

Dalam jurnal (http:/leprints unsri acid 5356/3/BAB 2.pdf) ada beberapa fungsi ruang public yaitu:

1. Untuk memberi rasa nyaman bagi individu.

2. Untuk relaksasi yaitu harus menjadi tempat bagi individu untuk dapat beristirahat.

3. Untuk tempat dimana individu dapat menjumpai berbagai pengalaman baru.

Dalam ruang privat dapat dilihat dari penerapan yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan budaya bersih itu sendiri, dengan cara:

1. Membuat peraturan tentang cara pengolahan sampah.

2. Membuat peraturan tentang budaya bersih.

(12)

Diceritakan bahwa kegiatan bersih-bersih mulai ada sejak jaman Asuka (abad ke-7), yaitu setelah berlangsung Revormasi Taka. Pada masa itu, Buddha masuk ke Jepang melalui China, dan kegiatan bersih-bersih mulai dilaksanakan di kalangan bangsawan. Ketika memasuki periode Nara, budaya bersih-bersih erat kaitannya dengan kegiatan agama. Dalam salah satu buku lagu tertua di Jepang,

“Manyoushu”, tertulis perkataan “shouji” dalam sebuah lagu/doa yang dibacakan atau didendangkan pada saat kekasih pergi supaya dia kembali dengan selamat.

Kalimatnya adalah “osouji wo shinai” (tidak melakukan bersih-bersih) sampai

“douzo go buji de” (semoga kembali dengan selamat), yang dihaturkan kepada Houkigami atau Tuhan Sapu (orang Jepang menganggap bahwa di semua benda ada Tuhan yang tinggal di dalamnya).

Pada era Heian (akhir abad 8 sampai 12), budaya bersih mulai meluas ke masyarakat awam. Namun, karena rumah orang awam sebagian besar adalah berlantai tanah, maka bersih-bersih dipusatkan di dapur, dekat tungku masak.

Dalam sebuah lukisan dari periode Heian, digambarkan penggunaan alat-alat kebersihan dalam festival untuk mengusir atau menghalau hantupengganggu atau hantu orang yang sudah mati. Maksudnya, kebersihan di sini juga bermakna kebersihan dari gangguan kejahatan makhluk ghaib.

Sikap warga Jepang dalam menghargai kebersihan ini sebagaimana telah

diajarkan dalam ajaran Shinto, kepercayaan asli masyarakat Jepang. Ajaran Shinto

beranggapan bahwa kebersihan adalah cara untuk mendekatkan diri kepada

Tuhan, sehingga mereka yang menganut kepercayaan Shinto berlomba-lomba

menjaga kebersihan dan menjadikan hal itu sebagai budaya untuk mendekatkan

diri pada Tuhan.

(13)

Lalu memasuki masa Edo, yang sangat terkenal di dunia dengan keunikan kotanya. Kota-kota pada masa Edo terkenal dengan kekhasan budaya yang mereka kembangkan secara mandiri, misalnya sistem pengolahan sampah dan daur ulang. Kalau kita baca sejarah, pada masa itu Jepang yang wilayahnya sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara lain, harus menghemat dan menggunakan sebaik mungkin sumber daya alam dan material yang ada. Jadi, material dalam bentuk apapun harus di daur ulang, dan peralatan yang rusak harus diperbaiki dan dipakai kembali. Situasi seperti ini sangat lazim ditemui pada masa itu. Bahkan dikatakan bahwa pada masa itu kasta syokuoakindo (pedagang) memiliki usaha inti memperbaiki barang. Mereka juga punya usaha sampingan yaitu jual beli barang baru hingga jual beli tukar tambah. Sementara itu, selain para tukang reparasi yang handal, muncul pula usaha lain, yaitu pengepul barang bekas yang sangat beragam, termasuk kertas, pakaian bekas, lemak (minyak), abu, dan juga rambut. Dengan sistem seperti itu, serta prinsip memanfaatkan barang- barang bekas pada masa Edo, maka benar adanya jika orang-orang Edo dijuluki sebagai orang yang sangat peduli lingkungan dan ekologinya.

(http://murniramli.wordpress.com/2016/03/07/sejarah-budaya-kebersihan-di- jepang/)

Dalam Shinto, kesucian adalah hal yang sangat penting dan utama. Pengikut Shinto diharuskan untuk senantiasa menjaga kesucian karena pada dasarnya, Shinto memandang bahwa hidup manusia itu adalah suci. Namun, dalam perjalanan hidupnya, kadang ada kalanya manusia bisa tercemar oleh kekotoran.

Apabila manusia telah tercemar oleh kekotoran, maka ia diharuskan untuk

melakukan upacara penyucian diri. Upacara penyucian diri dalam Shinto disebut

(14)

harai. Upacara keagamaan juga termasuk bagian dari religi. Penelitian ini

membahas tentang upacara penyucian diri dalam Shinto (harai) dilihat dari konsep religi yang diajukan oleh Koentjaraningrat.

Banyak orang asing yang memberikan penilaian bahwa orang Jepang jujur, bersih, teratur, tekun dan kooperatif. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa karakteristik bangsa ini didasarkan pada kesadaran dan hubungan interpersonal yang dibentuk oleh Shinto.Terutama, kejujuran, kesucian, dan ketulusan dianggap sebagai nilai moral dasar dalam Shinto. Karena budaya malu itu orang akan bertindak sesuai dengan standar diri sendiri tentang baik atau tidaknya aksi tersebut. Jadi, baik di permukaan akan melakukan hal baik itu bukan karena memang baik tetapi hanya karena dia akan “malu” jika tidak melakukan hal tersebut. Anda tidak akan menemukan slogan seperti “Buang Sampah Pada Tempatnya” di Jepang, karena setiap orang Jepang telah sadar akan budaya bersih yang penting untuk dijaga bagi kelangsungan hidupnya sendiri. Itu sebabnya penulis ingin membahas tentang “Fenomena Budaya Bersih Pada Masyarakat Jepang"

1.2 Perumusan Masalah

Kebudayaan adalah keadaan bebas dari kotoran, termasuk diantaranya debu,

sampah, bau,virus, bakteri, serta bahan kimia berbahaya. Kebersihan lingkungan

adalah kebersihan di rumah (tempat tinggal), sekolah, tempat bekerja, dan tempat

umum (Wikipedia Indonesia). Dalam sikap beragama masyarakat Jepang, mereka

(15)

disebut sebagai masyarakat potheis, juga mengikuti berbagai agama dalam kehidupan sehari-hari. Ketika mereka di dalam rumah mereka menyembah dewa leluhur rumah tersebut berupa kamidana (rak dewa Shinto) atau butsudana (rak dewa budha).

Shinto adalah kepercayaan asli dari Jepang yang lahir sejak zaman prasejarah dan juga merupakan tradisi indigenous yang diterapkan turun temurun. Doktrin dasar dalam agama Shinto adalah kesucian.

Kesucian sangat ditekankan dalam segala aspek kehidupan. Shinto meyakinkan pengikutnya agar selalu menjaga kebersihan dan kesucian baik itu kesucian secara fisik ataupun batin. Apabila seseorang telah terkena kegare (kekotoran), maka ia diharuskan untuk menjalani ritual penyucian diri. Di dalam agama shinto, ritual untuk membersihkan atau menyucikan diri adalah harai.

Harai berfungsi untuk menyucikan diri dari kekotoran.

Ajeng Endah Andriana berpendapat bahwa selain faktor ajaran agama Shinto,

kebersihan di Jepang tidak melulu disebabkan oleh kesigapan para petugas

kebersihan dalam membersihkan tempat-tempat umum maupun lingkungan

sekitar, tetapi juga didukung oleh masyarakat Jepang yang di didik sejak kecil

untuk berbudaya bersih dan memikirkan kenyamanan orang lain. Orang tua di

Jepang mendidik anak mereka sejak kecil untuk selalu menjaga kebersihan

dimanapun mereka berada, seperti membuang sampah pada tempatnya,

mengelompokkan sampah sesuai jenisnya, mengelap “dudukan” wc dengan tisu

sesudah memakainya, dsb. Hal ini lambat laun menjadi kepribadian yang

mengakar kuat dan cermin masyarakat Jepang di mata dunia sebagai negara

(16)

dengan tingkat kebersihan paling baik.

(http://www.denpasar.id.embjapan.go.jp/indonesia/konnichiwa%2014/konnichiwa 14_041.html).

Kekompakan masyarakat Jepang menjaga kebersihan patut diacungi jempol, sebab budaya kebersihan dalam masyarakat Jepang sudah mendarah daging sehingga sulit dihilangkan. Jepang berhasil membuat peran petugas kebersihan dan masyarakat dalam menjaga kebersihan seimbang, sehingga tidak ada konflik yang ditemukan berkaitan dengan tanggung jawab kebersihan lingkungan itu sendiri karena masing-masing individu telah menyadari betapa pentingnya kebersihan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Karena masyarakat Jepang sangat menjunjung tinggi kebersihan, oleh karena itu pemerintah Jepang tidak perlu memberikan peringatan tentang kebersihan di jalanan seperti yang ada di Indonesia. Jadi, jangan heran jika saat pergi ke Jepang anda tidak menemukan slogan atau himbauan untuk membuang sampah, karena setiap orang Jepang sadar akan budaya bersih untuk kepentingan dan kenyamanan mereka dalam hidup.

Adanya budaya malu menyebabkan masyarakat Jepang memiliki pemikiran untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri, terutama dalam hal budaya bersih itu sendiri dalam bentuk pertanyaan permasalahan nya adalah:

1. Bagaimana penerapan budaya bersih di ruang publik masyarakat Jepang?

2. Bagaimana penerapan budaya bersih di ruang privat masyarakat Jepang?

(17)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Terkait adanya budaya bersih bagi Masyarakat Jepang merupakan hal menarik, karena negara Jepang salah satu negara yang menjunjung tinggi nilai kebersihan dan sejak kecil sudah ditanamkan di dalam diri anak-anak untuk selalu menjaga kebersihan baik di rumah, di sekolah, maupun di tempat umum. Dengan demikian, ruang lingkup pembahasannya terhadap pada penerapan pandangan publik dan penerapan pandangan privat di Jepang itu sendiri. Karena antara pandangan publik dan pandangan privat itu adalah salah satu hal yang berkaitan satu sama lain. Dalam menguraikan pembahasan tersebut, penulis akan menggunakan konsep Shinto sebagai acuan dasar untuk budaya bersih itu sendiri.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan data-data yang diperoleh dari studi pustaka, penulis menemukan salah satu hasil peneliti yang terkait dengan penelitian yang terkait dengan penelitian ini dan juga menjadi inspirasi serta pedoman untuk melakukan penelitian ini. Salah satu hasil penelitian tersebut dipaparkan sebagai berikut.

Dalam meneliti pembahasan ini penulis menggunakan buku

sebagai acuan. Buku-buku tersebut adalah SHINTO (Agama Asli Orang

Jepang, 2017) buku ini penulis gunakan untuk menjelaskan tentang sejarah

Shinto itu sendiri. Kemudian buku lain yang dijadikan acuan adalah buku

yang berjudul Minzoku Gaku (Ethnologi Jepang) dan diterbitkan oleh

(18)

Hamzon Situmorang dan Rospita Uli pada tahun 2013 serta beberapa buku lainnya. Selain mengumpulkan dan memanfaatkan buku-buku, penulis juga berusaha mencari data-data dari situs internet.

Juga dalam meneliti pembahasan ini, penulis menggunakan istilah fenomenologi yang berasal dari bahasa Yunani: Phainestai yang artinya

“menunjukkan” dan “menampakkan diri sendiri”. Sebagai aliran epistemologi. Fenomena diperkenalkan oleh Edmund Husserl (1859- 1938), meski sebenarnya istilah ini telah digunakan oleh beberapa filsuf sebelumnya. Dalam Bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri. Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran “a way of looking at things”.

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkapkan makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Menurut Creswell (1998), oendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai menemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoch (jangka waktu). Konsep epoch adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi sendiri.

Konsep epoch menjadi pusat di mana peneliti menyusun dan

(19)

mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan responden.

2. Kerangka Teori

Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori. Kerangka teori disusun sebagai landasan berfikir yang menujukkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang akan diteliti (Nawawi, 2001 :40). Menurut Koentjaraningrat (1990: 1) kerangka teori berfungsi sebagai pendorong proses berfikir deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak kedalam bentuk yang nyata.

Untuk membuktikan bahwa adanya budaya bersih dalam Masyarakat Jepang, maka penulis akan menggunakan pendekatan yang berhubungan dengan religi dan sejarah. Pendekatan religi menurut Koentjaraningrat yaitu sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa- dewa atau makhluk halus yang ada di kehidupan dimasa dewasa ini.

Maka konsep Shinto sebagai acuan dalam menulis proposal skripsi ini. Konsep Shinto bukan sekadar keyakinan beragama, tetapi gabungan dari sikap, pola pikir, dan metode melakukan sesuatu yang sudah ada sejak 2000 tahun lalu dan sudah menjadi bagian dari cara hidup orang Jepang.

Oleh karena itu, Shinto adalah kepercayaan pribadi terhadap Kami, dan

cara hidup bermasyarakat yang sesuai dengan kehendak Kami. Hal

tersebut muncul dalam perjalanan berabad-abad karena berbagai pengaruh

(20)

etnis dan budaya, baik dari dalam maupun dari luar, menyatu, dan negara mencapai satu kesatuan di bawah keluarga kekaisaran.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan budaya bersih di ruang publik Jepang.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan budaya bersih di ruang privat Jepang.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Untuk menambah ilmu dan pengetahuan mengenai budaya bersih pada konsep Shinto dalam masyarakat Jepang dan bagaimana penerapan budaya bersih di ruang publik dan ruang privat Jepang.

2. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi apabila ada penulis lain yang ingin menulis masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi penulis sendiri

maupun bagi masyarakat luas.

(21)

1.6 Metode Penelitian

Metode adalah alat untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan.

Dalam melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada para pembaca. Untuk itu, dalam melakukan penelitian ini, penulis yang bersifat deskriptif yaitu Menurut Koentjaraningrat penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan, sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.

Disamping itu, penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan studi aktifitas yang sangat penting dalam penelitian yang dilakukan beberapa aspek perlu dicari dan diteliti meliputi : masalah, teori, konsep, dan penarikan kesimpulan.

Dengan kata lain studi kepustakaan adalah penelitian ini. Data yang peroleh dari referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan.

Teknik penelitian yang digunakan adalah meneliti data berupa

buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Jadi

teknik pengumpulan data yang digunakan adalah library research. Selain

itu penulis juga memanfaatkan koleksi pribadi, dan berbagai informasi dari

situs-situs internet hasil penelitian baik yang ilmiah seperti skripsi, thesis,

(22)

ataupun referensi yang berkaitan dengan tema penulisan ini untuk melengkapi data-data dalam penelitian ini.

Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan konsep religi dari Koentjaraningrat. Koentjaraningrat telah menggolongkan teori-teori tentang azas religi ke dalam tiga golongan, yaitu (1) Teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi pada keyakinan dalam religi; (2) Teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi pada sikap manusia terhadap alam gaib atau hal yang gaib; (3) Teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi pada upacara religi.

Selain itu, penulis juga akan mewawancari beberapa orang Jepang

yang ada di Jepang dan juga yang telah menetap lama di Medan, serta

masyarakat yang sudah pernah tinggal bertahun-tahun di Jepang.

(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG BUDAYA BERSIH PADA MASYARAKAT JEPANG

2.1 BUDAYA BERSIH

Jika berbicara mengenai kebersihan, negara kita Indonesia sepertinya masih jauh tertinggal oleh Negara lain. Hal itu dapat kita lihat dari contoh terkecil semisal masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat, terutama pada tempat umum. Tidak jarang kita masih sering menjumpai orang yang membuang sampah sembarangan baik di jalanan, kali, selokan dan lainnya.

Bahkan tidak jarang dapat kita jumpai sampah yang berserakan dilapangan dan jalanan setelah acara-acara tertentu seperti pasca berlangsungnya konser musik, kegiatan keagamaan, budaya dan semisalnya. Walaupun sudah tersedianya tempat sampah, akan tetapi mungkin karena faktor kebiasaan dan belum terbangunnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan, memicu kebiasaan buruk itu masih sering terjadi disekitar kita.

Tidak perlu menghakimi orang lain, tentu anda dan saya juga mungkin pernah melakukannya. Semua itu membuktikan bahwa belum terciptanya kesadaran masyarakat Indonesia dalam menjaga kebersihan.

Menurut Rival Pradana, terekam dengan jelas suasana kota-kota Jepang

yang teratur,bersih, dan masyarakatnya sangat santun, jujur, disiplin, dan pekerja

keras. Ada salah satu budaya Jepang yang sederhana namun manfaatnya sangat

(24)

luar biasa dalam kehidupan ini, yakni budaya bersih. Bangsa Jepang, kapanpun dan dimanapun selalu menerapkan budaya bersih ini, di jalan, di toko, kantor, rumah, di sekolah, dll.

Hidup bersih akan berdampak pada jiwa kita, contohnya jika dirumah kita bersih maka hati kita akan senang dan terasa betah dirumah, demikian juga jika suasana di kelas, lingkungan sekolah bersih maka suasana belajar akan terasa lebih nyaman dan enak sehingga hasil belajar akan lebih maksimal. Orang bijak mengatakan bahwa, dirimu adalah apa yang kamu lakukan setiap hari, sesuatu yang dilakukan berulang akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan yang diulang akan menjadi budaya. Budaya bersih tentunya harus mendapat respon dan dukungan positif dari masyarakat dimanapun berada.

(https://rifalpradana.wordpress.com/2008/02/21/budaya-bersih/)

Menurut laman (http://flox-strawberry.blogspot.co.id/2016/04/makalah- ilmu-budaya-dasar-budaya-bersih.html) budaya bersih adalah dimana kita mempunyai kebebasan untuk bisa menjaga lingkungan kita menjadi bersih nan asri. Jadi berbagai macam penyakit juga mempengaruhi terhadap lingkungan yang kotor. Dalam budaya bersih ada beberapa manfaat yang dapat dipetik, salah satunya yaitu:

1. Agar terhindar dari penyakit.

2. Lingkungan menjadi sejuk dan asri.

3. Tidak terjadi masalah banjir atau semacamnya.

4. Terciptanya rasa nyaman dan tentram dalam lingkungan tersebut.

(25)

Dalam hal menjaga budaya bersih, ada beberapa cara untuk menjaganya, salah satunya yaitu:

1. Saling bergotong royong antara masyarakat.

2. Mengurangi polusi karena polusi juga termasuk pencemaran udara terhadap lingkungan sekitar.

3. Tidak membuang sampah sembarangan.

4. Mengurangi limbah karena limbah termasuk pencemaran air.

Menurut jurnal (http://rikokoban.blogspot.co.id/2013/05/kebersihan- lingkungan.html) kebersihan sebuah lingkungan dapat mencerminkan kepribadian orang-orang yang tinggal atau menetap pada lingkungan tersebut, contohnya seperti halaman rumah atau pekarangan yang selalu bersih, maka akan menunjukkan kepribadian para penghuni rumah yang rajin dan mempunyai nilai keindahan yang tinggi terhadap diri maupun lingkungannya.

Jika seseorang selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungannya, maka orang tersebut akan selalu sehat dan terhindar dari segala penyakit, contohnya seperti jika ada seseorang yang telah lama mengidap penyakit asma, namun jika orang tersebut selalu menjaga kebersihan dirinya serta lingkungan sekitarnya, maka perlahan-lahan penyakitnya akan membaik dan ia juga dapat terhindar dari berbagai penyakit yang lain, karena kebersihan merupakan pangkal kesehatan.

Selain dari diri sendiri, kebersihan juga dapat dicerminkan dari sebuah

lingkungan yang bersih, baik dari lingkungan keluargan maupun dalam

lingkungan kelompok.

(26)

Ada juga semboyan yang berbunyi “ Mensana Incor Foresana “ , yang artinya “ Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat “, sehingga berarti jika kita selalu menjaga kebersihan tubuh, maka kita akan mendapatkan tubuh yang sehat serta jiwa dan tenaga yang kuat untuk beraktivitas.

Menurut laman (https://www.kompasiana.com/faifadli/5-alasan-kenapa- harus-menciptakan-budaya-bersih-dan-senyum_57f354cace92734a096e6106) negara yang aman dan nyaman tentu tidak datang dengan sendirinya, untuk itu diperlukan peran pemerintah dan masyarakat untuk bersinergi dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan.

Semua itu bisa dimulai dari diri sendiri dengan tidak membuang sampah sembarangan, mengelola limbah sampah, mengembangkan usaha kerajinan berbasis limbah dan membuat gerakan yang berkaitan dengan budaya bersih dan senyum.

Jika negara bersih, tertata dengan baik dan ditambah dengan budaya masyarakat yang bersahabat, pasti akan terasa aman dan nyaman sehingga masyarakat akan merasa senang tinggal di dalamnya.

2.2 BUDAYA BERSIH DALAM SHINTO

Sistem religi mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan dan gagasan

tentang Tuhan, Dewa, roh halus, neraka, surga dan sebagainya (Koentjaraningrat

dalam Harsojo, 1967 : 173-174). Menghargai kebersihan telah dipelajari

masyarakat Jepang seperti yang diajarkan dalam kepercayaan asli orang Jepang,

yaitu Shinto. Sayidiman (1982 : 11, 197) mengatakan Shinto adalah suatu

(27)

kepercayaan yang merasakan bahwa alam dunia ini didiami oleh banyak “kami”

yaitu dewa-dewa, kekuatan gaib dan kekuatan lain yang berhubungan dengan alam atau orang-orang yang memiliki kekuatan khas. Manusia adalah satu dengan alam semesta, selain kemurnian. Karena adanya kesatuan manusia dengan alam semesta, maka kepercayaan ini juga langsung masuk ke dalam pemerintah.

Menurut Ono Sokyo, Shinto bukan sekedar keyakinan beragama, tetapi gabungan dari sikap, pola pikir, dan metode melakukan sesuatu yang sudah ada sejak 2000 tahun lalu dan sudah menjadi bagian dari cara hidup orang Jepang.

Oleh karena itu, Shinto adalah kepercayaan pribadi terhadap kami, dan cara hidup bermasyarakat yang sesuai dengan kehendak kami. Hal tersebut muncul dalam perjalanan berabad-abad karena berbagai pengaruh etnis dan budaya, baik dari dalam maupun dari luar, menyatu, dan negara mencapai satu kesatuan di bawah keluarga kekaisaran.

Tsuda Sokichi dalam buku berjudul “Nihon no Shinto” menyebutkan bahwa istilah Shinto pertama sekali ditemukan dalam literatur Cina, di dalamnya istilah Shinto bermakna “reimyo no machi (jalan yang memesonakan) atau shizen no riho (hukum alam)”. Artinya huruf dengan simbol Kami memiliki makna

“memesonakan” dan itu mengungkapkan jalan. Ini kemudian dihubungkan dengan pemikiran penganut ajaran Tao, sehingga ajaran Tao, sihir dan sebagainya disebut Shinto.

Pemujaan dalam kepercayaan Shinto terdiri dari 3 macam, yaitu

penghormatan, sesajen dan doa. Sebelum melakukan hal itu, setiap orang harus

(28)

membersihkan diri, yang terdiri dari harai (pengusiran roh jahat), misogi (pembersihan diri), dan imi (pantangan).

Jinja merupakan tempat untuk melaksanakan ritual dan festival. Ritual dan festival Shinto adalah cara komunikasi antara Kami dengan umatnya. Melalui ritual dan festival Kami meningkatkan kekuatan spiritualnya, dan umatnya menerima anugerah darinya.

Dalam upacara Shinto doa disebut dengan norita, merupakan pengangkatan yang tidak dapat dipisahkan dari upacara, dibaca oleh pemimpin upacara atau kepala pendeta (guji). Norita ditulis dan dibaca berdasarkan aturan bahasa klasik, dengan alasan bahwa kami diyakini lebih mudah memahami bahasa klasik daripada bahasa modern.

Pada prinsipnya, doa diawali dengan kata-kata dalam pujian kepada kami,

menceritakan asal usul atau sejarah ritual atau festival tertentu, menyajikan

persembahan (makanan untuk kami), mengungkapkan rasa syukur kepada kami,

laporan atau permohonan kepada kami, dan diakhiri dengan kata-kata hormat.

(29)

2.2.1 Konsep Kesucian (Harae) dalam Kepercayaan Shinto di Jepang

Penyucian diri, dalam Bahasa Jepang disebut dengan harae, adalah kegiatan menyucikan jasmani dan rohani di hadapan Kami atau dewa. Dalam ajaran Shinto penyucian diri dianggap sesuatu yang sangat penting, karena dengan menghilangkan semua kekotoran (kerage) dan dosa (tsumi), maka kesucian jasmani dan rohani dapat dipulihkan kembali. Kegiatan penyucian diri yang paling terpresentatif adalah Shubatsu yang dilakukan oleh pendeta sebelum memulai ritual.

Harae menurut Aoki dalam (http://prastiti-fib06.web.unair.ac.id/) merupakan suatu bentuk kebudayaan dalam hal religi bagi masyarakat Jepang. Pengertian akan kesucian (harae) dan kekotoran (kerage) serta cara melaksanakan upacara penyucian di Jepang memiliki pengaruh yang luar biasa dan telah menyebar sebagai suatu kebudayaan yang utuh. Upacara tradisional di kuil Shinto (jinja) seperti upacara mencuci tangan dan mulut sebagai simbol akan kesucian sebelum masuk ke kuil dan melakukan komunikasi dengan kami.

Harae adalah salah satu upacara terpenting dalam Shinto dan berbagai bentuk telah berkembang, namun pada umunnya ada 3 metode dasar dari harae, yaitu:

1. Haraigushi (tongkat penyucian)

Ini merupakan bentuk biasa yang paling umum diselenggarakan oleh

seorang pendeta Shinto, yaitu dengan cara mengibaskan tongkat penyucian

di atas kepala dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang

(30)

kanting kecil dari pohon sakral sakaki maupun onusa digunakan sebagai

pengganti haraigushi.

(31)

2. Misogi (menggunakan air)

Ini lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti penyucian dengan air. Penyucian ini dijalankan melalui aktivitas yang mendalam seperti latihan pernapasan, berdiri dibawah air terjun atau membenamkan tubuh di laut atau sungai. Semua dewa tidak menyukai segala sesuatu yang kotor tetapi suka akan kebersihan, karena kotor berarti buruk, dan bersih berarti baik. Beberapa kuil Shinto di gunung memiliki fasilitas khusus seperti air terjun untuk misogi ketika kuil-kuil shinto yang lainnya menggunakan laut terbuka untuk upacara penyucian dalam air garam. Para pendeta dan pemuja-pemuja di pagi sekali sama-sama berdiri dengan hampir telanjang dibawah air terjun yang dingin mengalir ke bawah dari gunung, secara ritual menyucikan mereka dan menguatkan untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka dalam kehidupan.

3. Imi (advoidance/ pencegahan)

Ini kontras dengan kedua tipe penyucian yang telah disebutkan di atas, yang mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik.

Ini dijalankan khusus oleh pendeta-pendeta Shinto, yang diperintahkan

untuk mengindari kontak dengan penyakit, kematian, atau perkabungan

sebelum menyelenggarakan upacara keagamaan. Secara tradisional, wanita

yang memiliki kemungkinan kecemaran akibat menstruasi atau melahirkan

anak, tidak diijinkan memasuki tempat-tempat suci. Seseorang yang baru

kehilangan/berkabung tidak akan menghadiri sebuah perayaan pernikahan.

(32)

Dari ketiga tipe penyucian, ini sangat dekat hubungannya dengan takhayul rakyat.

Di lain kesempatan, harae juga dilaksanakan pada waktu pernikahan, bisa untuk penyucian dan kesuksesan seorang kandidat di awal kampanye pemilihan, untuk keselamatan perjalanan, atau sukses di sebuah kontes. Harae tak hanya diselenggarakan bagi orang dan tempat, tapi juga kendaraan. Membersihkan semua kekotoran yang ada di kendaraan berguna menjamin keselamatan yang lebih daripada kemungkinan yang bisa terjadi jika orang mengendarai di lingkungan yang kotor.

2.2.2 Konsep Ketidaksucian (Kerage) dalam Kepercayaan Shinto di Jepang

Menurut jurnal (http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2007-3- 00264-JP%20Bab%202.pdf), ketidaksucian atau pencemaran dalam Shinto diartikan sebagai kerage. Dalam Japan: An Illustated Encyclopedia (1993:767) dijelaskan bahwa kerage disebabkan oleh berbagai hal, misalnya kematian, darah, penyakit, bencana, atau kesialan. Kematian yang dimaksud dalam kerage tidak hanya terbatas pada manusia, tetapi juga mengarah pada kematian hewan.

Melukai, membunuh, atau memasak hewan untuk dimakan juga termasuk dalam kerage.

Dalam legenda Shinto, diceritakan bahwa Izanagi yang bersedih karena

kematian istrinya, Izanami, pergi ke neraka untuk menemui istrinya tersebut,

tetapi pada saat bertemu,Izanagi kaget dan melarikan diri setelah melihat wajah

dan tubuh istrinya yang sudah membusuk. Izanagi kembali ke dunia atas dengan

(33)

perasaan takut dan gemetar. Kemudian, akibat mengunjungi tempat yang menurutnya sangat kotor dan mengerikan, ia pun membersihkan dirinya di sungai.

Dari legenda diatas, dapat diketahui bahwa kematian merupakan salah satu bentuk ketidaksucian dalam Shinto dan mandi di sungai merupakan salah satu bentuk penyucian diri yang dilakukan sejak lebih kurang 1700 tahun yang lalu.

Konsep awal kerage di Jepang intinya ialah harus menghindarkan jenis-jenis kerage tersebut agar dapat memelihara kesucian diri. Pada ajaran Shinto, pendetanya yang menampilkan ritual tidak diijinkan mempunyai kerage. Mereka menjaga kesuciannya dengan menghindari kerage dalam periode tertentu. Periode khusus ini disebut imi. Imi adalah pantangan atau penghindaran terhadap sesuatu yang tidak normal, tidak sempurna, polusi, atau ketidakbersihan hasil dari tindakan manusia.

2.3 BUDAYA BERSIH DI JEPANG

Seperti telah diuraikan sebelumnya Situmorang (2006: 2) berpendapat budaya berbeda dengan kebudayaan. Jikalau ditanya apa contoh kebudayaan Jepang, maka mungkin akan dijawab dengan chanoyu, pakaian kimono, sumo atau ikebana. Tetapi kalau ditanya apakah contoh budaya Jepang, maka akan dijawab

budaya bersih, budaya rasa malu, budaya kelompok, atau budaya nenkoujoretsu (senioritas) dan sebagainya.

Kebersihan negara Jepang dapat dikategorikan kedalam perwujudan

kebudayaan berupa aktivitas (tindakan). Dalam Wikipedia Indonesia dikatakan

bahwa kebersihan merupakan keadaan bebas dari kotoran, termasuk diantaranya

(34)

debu, sampah dan bau. Kebersihan adalah salah satu dari keadaan hygene yang baik. Manusia perlu menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri agar sehat, tidak berbau, tidak menyebarkan kotoran, atau menularkan kuman penyakit bagi diri sendiri maupun orang lain. Kebersihan badan meliputi kebersihan diri sendiri seperti mandi, gosok gigi, mencuci tangan, dan memakai pakaian yang bersih.

Sebelumnya penulis juga sudah menggambarkan bagaimana bersih itu menjadi budaya bagi masyarakat Jepang, mulai dari kalangan anak-anak hingga orang dewasa. Orang tua mendidik anak-anak mereka sejak kecil untuk selalu menjaga kebersihan dimanapun mereka berada.

Salah satu sifat Jepang yang menonjol adalah peran kelompok dalam kehidupan masyarakat. Besarnya peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat sebenarnya tidak hanya terdapat pada bangsa Jepang, karena pada umumnya terdapat juga pada ummat manusia yang belum terkena pengaruh individualisme.

Akan tetapi di Jepang wujudnya lebih kuat dan nyata. Dalam bermasyarakat,

bangsa Jepang lebih memberatkan pada berkelompok daripada individu. Peranan

individu diakui dan dihargai, tetapi senantiasa dalam lingkungan serta

kepentingan kelompok. Secara jelas dikemukakan Dr. Nakane Chie pada bukunya

Japanese Society dalam (Sayidiman 1982: 42-44) yang membedakan antara

kerangka dengan atribut dalam posisi individu di dalam masyarakat. Yang

dimaksud “kerangka” disini adalah lingkungan dimana individu itu berada atau

dalam kelompoknya, sedangkan “atribut” adalah tempat individu itu berada. Di

jepang, kerangka lebih penting daripada atribut.

(35)

Bagi orang Jepang yang tinggal di luar negeri mereka, sebagian besar dari mereka terkejut dan heran jika melihat negara lain terasa kotor dan tidak seperti negaranya. Orang Jepang memang sangat menyukai kebersihan, hal ini juga disadari oleh orang asing. Kali ini, akan diulas mengenai 7 kebiasaan orang Jepang yang menyukai kebersihan tersebut.

1. Makan roti yang dibungkus dengan selembar kertas pembungkus

Kalau membeli roti baguette di negara lain, ada juga toko yang hanya membungkus kemasan rotinya dengan kertas berukuran B5. Sedangkan Jepang membungkus rotinya dengan Fukuro. Dibandingkan dengan negara lain yang jauh lebih sederhana dalam membungkusnya, banyak yang terkejut melhat orang Jepang membungkusnya dengan cara yang berlebihan.

2. Menjemur futon

Pada umumnya orang-orang di negara lain jarang menjemur kasur mereka.

Beda halnya dengan orang Jepang yang menjemur futon setelah digunakan untuk tidur. Sedangkan di beberapa negara lain banyak tempat yang melarang orang- orang menjemur kasur mereka di balkon apartemen.

3. Mencuci tangan setelah dari toilet

Toilet di beberapa negara umumnya difasilitasi dengan wastafel yang

terpisah dengan wc/kloset duduk/jongkok. Ada juga toilet di negara lain yang

tidak memiliki wastafel di dalamnya, tapi orang Jepang sangat membutuhkan

wastafel. Kalau orang Jepang berkunjung ke rumah orang lain, setelah dari wc

(36)

pasti selalu bertanya di mana wastafelnya? Bagi orang-orang di negara lain mungkin setelah dari toilet mereka tidak perlu mencuci tangan. Sedangkan orang Jepang baik pria ataupun wanita, setelah dari toilet mereka selalu mencuci tangannya.

4. Tidak mencorat-coret di dalam kereta

Di kereta di negara-negara lain ada banyak sekali coretan. Baik itu di

dinding, di jendela, dan di manapun banyak dipenuhi dengan coretan. Kesadaran

orang-orang supaya bersih itu rendah.

(37)

5. Menggunakan shampoo

Orang-orang di negara lain mengatakan bahwa menggunakan shampoo setiap hari itu tidak baik untuk rambut. Sama halnya dengan orang Jepang, mereka akan bertanya-tanya ketika disarankan harus menggunakan shampoo setiap hari.

6. Menyemprotkan desinfektan antibakteri pada berbagai barang

Di Jepang, penggunaan spray antibakteri pada barang-barang sangat diutamakan. Selain itu orang Jepang juga sangat memperhatikan soal pengemasan makanan, jadi bakteri sulit untuk berkembang.

7. Menjaga kebersihan di semua toko

Baik di supermarket maupun di toko baju, di Jepang nampaknya jarang sekali ada barang dagangan yang berjatuhan di lantai. Tentu saja ini tergantung tokonya, namun di supermarket di Jepang, jarang ditemukan ada selada yang berjatuhan atau jus yang tumpah di lantai. Hal ini cukup mencengangkan.

Konsep kebersihan setiap negara pun berbeda-beda. Jepang menganggap

bersih itu bebas dari kuman, sedangkan beberapa negara lain menganggap

ruangan yang apik itu adalah kebersihan.

(38)

BAB III

PENERAPAN BUDAYA BERSIH DI RUANG PUBLIK DAN RUANG PRIVATE PADA MASYARAKAT JEPANG

3.1 Ruang Publik pada Masyarakat Jepang

3.1.1 Peran Pemerintah terhadap Kebersihan

Menurut buku “Jepang Dewasa Ini” Badan Lingkungan didirikan tahun 1971 sebagai badan administratif sentral untuk melindungi lingkungan alam dan memberantas pencemaran. Pemerintah daerah juga telah mendirikan badan administratif untuk menangani pencegaham dan pemberantasan polusi di daerah masing-masing.

Pada tahun 1971 Pemerintah telah menentukan buku mutu lingkungan hidup yang meliputi bidang luas mengenai pencemaran udara, air, dan bising.

Juga dilaksanakan dengan ketat standar pengendalian emisi, limbah cair, dan bising yang mengatur pengeluaran gas beracun, limbah cair dari pabrik-pabrik perindustrian. Berbeda dengan baku mutu, undang-undang yang mengatur standar ini meliputi ketentuan pelaksanaan untuk memaksa kepatuhan, termasuk hukum untuk pelanggaran.

Perseorangan maupun perusahaan yang menyebabkan timbulnya bahaya

pencemaran sekarang harus bertanggung jawab berdasarkan hukum atas perbuatan

mereka, dan mereka harus melaksanakan semua tindakan yang ditentukan oleh

undang-undang untuk mencegah dan menghilangkan bahaya tersebut dan

(39)

memberikan kompensasi seperlunya atas kerusakan yang terjadi. Berdasarkan prinsip “si pencemar membayar” semua industri sekarang dipaksa mengembangkan pembaharuan teknologi yang efektif dan secara ekonomis layak untuk mengendalikan pencemaran.

Ketetapan hukum dan administrasi mengenai penanggulangan masalah kesehatan yang diakibatkan oleh pencemaran diperkuat pada tahun 1973 ketika Undang Undang Kompensasi Kerusakan Kesehatan Oleh Pencemaran ditetapkan.

Dalam artikel yang terdapat pada IMC (international Munticulture Centre 2014) (http://www.imccsub.com/tentang-jepang/jepang-modern/229- bagaimanakah-sistem-pembuangan-sampah-di-jepang.html) dikatakan pada tahun 1991 Jepang memberlakukan Undang-Undang Daur Ulang dengan tujuan mengurangi volume sampah dan meningkatkan tindakan daur ulang. Berdasarkan undang-undang ini, perusahaan produsen barang harus berusaha merancang produknya sedemikian rupa sehingga kelak mudah didaur ulang antara lain dengan memberi tanda pada kaleng (can) apakah terbuat dari baja atau aluminium.

Setelah itu undang-undang mengenai daur ulang wadah atau pembungkus yang mulai berlaku pada tahun 1997 mengatur cara pembuangan wadah atau pembungkus kemasan. Konsumen diwajibkan untuk memisahkan sampah botol PET (Polyethylene Terephthalate), botol kaca dan kaleng (baja dan aluminium).

Perusahaan-perusahaan diwajibkan mengumpulkan kembali dan memakai

kembali (daur-ulang) wadah dari produknya, yaitu botol PET, botol kaca, dan

(40)

sebagainya. Kemudian pada bulan April 2000 keluar lagi undang-undang lainnya yang mengatur pembungkus dari kertas dan jenis-jenis plastik selain botol PET.

Plastik dan vinyl yang dipakai sebagai bahan pengemas yang sekali-pakai- bang karena murah, telah menjadi penyebab utama timbulnya gas dioxin dan bertambahnya sampah. Oleh karena itu diupayakan agar pemakaiannya dibatasi dandidaur ulang semaksimal mungkin. (International Munticulture Centre: 2014)

Menurut laman (http://j-cul.com/8-alasan-kenapa-negara-jepang-sangat- bersih/) ada 8 alasan mengapa negara Jepang sangat bersih yaitu:

1. Tidak ada sampah di public area, simpan dan bawa ke tempat sampah terdekat. Maksudnya adalah sebuah tanggung jawab terhadap sampah yang kita buat sendiri. Di Jepang, anak-anak di didik dari kecil untuk bertanggung jawab akan sampahnya. Membuang sampah di tempat sampah adalah bagus. Tetapi membawa sampah saat tidak ada tempat sampah akan jauh lebih bagus. Mereka akan merasa malu jika membiarkan sampah mengacaukan lingkungan sekitar.

2. Kantong plastik kecil. Maksudnya adalah plastik kantong kecil selalu

disedikan disetiap kursi pada bus untuk rute-rute jauh di Jepang.Siapa yang

mau menyimpan botol minuman yogurt atau minuman lainnya di dalam

tas? Tentu saja tidak seorang pun mau melakukannya. Dan inilah gunanya

kantong plastik tersedia di dalam kereta, agar masyarakat tidak

meninggalkan bekas minuman di pojokan kursi kereta, jadi gunakanlah

plastik yang tersedia dan menyimpannya sampai menemukan tempat

sampah.

(41)

3. Lingkungan sekitar menjadi tanggung jawab pemilik rumah/gedung.

Maksudnya adalah setiap gedung/rumah menjadi tanggung jawab masing- masing penghuni. Setiap pagi kalian akan menemukan orang-orang di Jepang membersihkan lingkungan mereka, bahkan orang-orang berdasi di perkantoran sekalipun.

4. Membedakan jenis sampah. Maksudnya adalah jika berhadapan dengan sampah rumah tangga, tentu saja akan terdapat banyak sampah di dalam 1 harinya (apalagi seminggu). Di Jepang, setiap rumah tangga diharuskan untuk membedakan jenis sampah mereka, mana sampah yang bisa di daur ulang dan yang tidak bisa. Jangan pernah menyatukan sampah botol minuman dengan tumpukan buku/majalah. Bahkan sampah kertas pun harus dibedakan, mana majalah, koran, buku, dllnya..

5. Lembaga kebersihan membantu kesadaran masyarakat akan sampah.

Maksudnya adalah ada sukarelawan kebersihan seperti Greenbird Okayama, mereka dengan sukarela membersihkan kota. Seragam dan yang terpenting adalah sarung tangan. Greenbird, adalah sebuah organisasi yang menyebar di seluruh prefektur di seluruh Jepang, bertugas untuk mengajak warga menjaga kebersihan di public area seperti di stasion kereta api.

Petugas ini juga membersihkan sampah di area-area yang tersembunyi dari pandangan mata, seperti misalnya puntung rokok di semak-semak, kertas- kertas kecil yang berserakan, dll dimana orang-orang dengan sengaja menyembunyikan agar tidak terlihat.

6. Kebersihan dan kerapian area transprotasi umum adalah keharusan.

Maksudnya adalah setiap masyarakat nya dituntut untuk menjaga

(42)

kebersihan dan kerapian dimanapun berada. Jika ada orang yang membuang sampah sembarangan akan mendapat sanksi tegas dari petugas.

7. Kebersihan jalan raya. Maksudnya adalah bahkan truk pengangkut sampah sungguh sangat bersih di Jepang. Petugas kebersihan akan bergantian mencuci truk mereka setelah bertugas agar tidak mengotori jalanan. Tidak hanya truk, tetapi setiap alat transportasi di Jepang terlihat sangat bersih.

8. Komunitas kebersihan. Maksudnya adalah saat kalian hidup bermasyarakat di Jepang, kalian harus masuk ke komunitas kebersihan di lingkungan masyarakat. Mungkin jika di Indonesia seperti bergotong royong di lingkungan RW. Berkumpul sekali dalam seminggu untuk membersihkan lingkungan sekitar.

3.1.2 Sosialisasi tentang Kebersihan pada Anak Sekolah

Kenapa moral orang-orang Jepang ini sangat luar biasa ketika berkaitan dengan kebersihan lingkungan? Ada yang bilang, tentu saja karena sudah di giatkan dan genjot saat usia mereka masih kecil. Membiasakan sesuatu yang akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang sudah lazim untuk dilakukan, Justru jika melihat ada yang membuang sampah sembarangan mereka akan melihat itulah

"alien" yang sesungguhnya.

Part timer yang kerjaannya segudang, sebagai kasir, pelayan, pencuci piring,

tukang nyapu dan bersih lantai, dll. Anak kecil tidak akan melakukan itu semua

dengan sendirinya, pastinya ada campur tangan dari lingkungan sekolah dan

rumah. Mereka juga melihat orang dewasa di sekelilingnya. Karena itu manner

(43)

dan habit dalam menjaga kebersihan, bukanlah hal yang sangat menyusahkan dan berat untuk dilakukan di sini.

Dalam dunia kerja, khususnya untuk pekerjaan di sektor industri dan pelayanan publik, Jepang mempunyai lima slogan luar biasa. Dan sebagian slogan ini ternyata diajarkan pula kepada anak-anak di sekolah, 5 slogan itu antara lain:

1. SEIRI (Sort)

Slogan ini mempunyai arti, membuang barang-barang yang tidak dibutuhkan, misalnya saja sampah atau bekas potongan yang tidak dipakai lagi, sampah dokumen yang harus disobek atau hancurkan agar keamanan terjaga atau alat-alat yang sudah usang, agar tidak menumpuk di gudang sehingga lingkungan bisa bebas sampah dan terlihat bersih.

2. SEITON (Set in order)

Seiton bermakna mengembalikan barang ketempatnya semula, merapikan dan menaruh ke tempat yang semestinya setelah kita pakai.

Arti seiton biasa kita pakai dalam kata sehari hari adalah katazuke atau tidying up. Dalam dunia kerja, apalagi yang berhubungan dengan

produksi seperti di pabrik, semua barang atau alat-alat yang habis kita pakai harus dikembalikan ke tempat nya sendiri, tujuaanya agar tidak membingungkan orang lain yang ingin memakainya dan juga file dokumen yang habis kita lihat juga wajib ditaruh di tempat semula.

Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari makna SEIRI dan SEITON,

sering kali kita terapkan tanpa disadari. Membuang sampah mereka dan

(44)

menyingkirkan barang-barang yang tak terpakai untuk dibuang (seiri) dan menyuruh anak-anak untuk katazuke (seiton), membereskan kamarnya, merapikan buku yang berserakan di tempat tidur dan meja belajar, membereskan selimut, dan membereskan sepatu.

3. SEISOU (Cleaning)

Seisou bermakna membersihkan, Ternyata bukan hanya di sekolahan saja para penghuninya di geber untuk menyapu, mengepel, ngosrek wc, bersihkan debu dan lain-lain, tapi dalam dunia kerja khususnya para pekerja part timer dan pegawai yang bekerja di sektor industri dan pelayanan publik, urusan bersih-bersih pun tidak bisa dianggap hal sepele.

Misalnya saja waktu kerja sebagai part timer Uniqlo. Waktu itu bekerja sebagai pelayan toko, yang tugasnya selain melayani pembeli, menjadi kasir, melipat baju, mengecek stock dan size baju ternyata ada juga yang kerjaan bersih-bersihnya. Dan kerjaan bebersih ini pun ada step-stepnya, ada yang membersihkan AC, mengelap kaca, mengibas-ibaskan debu, mengepel lantai, vacum lantai, membuka rolling door, nyapu halaman, guntingin pohon, buang sampah bahkan mengosrek WC. Yang mengerjakan ini adalah seluruh stafnya. Tidak ada istilah senior dan junior karena semuanya akan kena tugas bersih-bersih dan sudah ada giliran setiap harinya. Maka dari itu tak ada yang mandang kalau menyikat wc atau buang sampah merupakan kerjaan hina dan rendah. Semua adalah kerjaan yang wajib dilakukan, tidak bisa kita seenaknya.

4. SEIKETSU (Maintain Cleanliness)

(45)

Seiketsu bermakna bersih. Slogan ke empat ini diwajibkan kita menjaga kebersihan, yang didalamnya ada 3 slogan di atas, seiri, seiton dan seisou tadi. Menjaga 3 slogan yang diatas tadi berjalan dengan baik dan semestinya.

5. SHITSUKE (Discipline)

Slogan terakhir ini bermakna menjalankan aturan dengan benar terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

Misalnya saja, ketepatan waktu dalam bekerja, mematuhi manner dan habit yang berlaku, misalnya mencuci tangan sebelum kerja, memakai

baju dan perlengkapan keselamatan yang sesuai aturan perusahaan (helm, baju khusus, sarung tangan, sepatu khusus, dan lain sebagainya).

Melihat 5 slogan di atas dan mendalami maknanya seperti yang terjadi

dalam kehidupan sehari-hari. Bukan saja di dunia kerja, ternyata di rumah anak-

anak akan kena marah orangtua nya untuk buang sampah, bereskan mainan/buku,

membersihkan toilet dan ngosrek kamar mandi serta mau berdisiplin bangun

pagi dan pulang sekolah tepat waktu. Berdisiplin sejak kecil untuk makan sendiri

tidak disuapi, berdisiplin untuk menghabiskan makanan yang tersaji tanpa sisa,

berdisiplin memakan apa saja tanpa memilah milih makanan, berdisiplin untuk

segera tidur dan masih banyak lagi. Semuanya ini sadar tak sadar ternyata bisa

membentuk karakter kita. Dan katanya aturan ini juga masuk dalam buku

pelajaran mereka disekolah. Sehingga semua masyarakat Jepang bisa kompak

dalam menjaga kebersihan dan keteraturan lingkungannya. Karena budaya bersih

dalam semua elemen kehidupan mereka, semua lapisan masyarakat, baik dunia

(46)

sekolah, lingkungan rumah, dan dalam dunia kerja semuanya menekankan hal-hal

dan poin-poin yang sama.

(https://www.kompasiana.com/weedykoshino/59ecb97c4869327f280e37f2/5- slogan-luar-biasa-jepang-bisa-bersih-dan-teratur).

Dalam laman (https://notethink.com/2017/10/04/o-soji-piket- membersihkan-sekolah-di-jepang-serialpendidikandankehidupan-dijepang/) juga dijelaskan bagaimana piket membersihkan sekolah di Jepang. Aktifitas ini di Jepang dinamakan osoji, dilakukan oleh semua sekolah negeri maupun swasta dari tingkat sekolah dasar sampai menengah atas.

Kegiatan ini dilakukan oleh peserta didik setiap hari setelah istirahat makan siang. Ditandai dengan bel, anak-anak bergegas membersihkan seluruh sekolah sesuai tugasnya masing-masing. Pada awal semester sekolah telah membagi anak-anak dalam kelompok-kelompok kebersihan. Satu kelompok kebersihan terdiri dari anak kelas rendah (I,II,III) sampai tinggi (IV, V, VI). Satu kelompok bertugas membersihan bagian tertentu, hampir setiap sudut sekolah ada anak-anak yang menjadi petugas kebersihan. Lantai aula atau lapangan indoor dibersihkan oleh kelompok anak, kaca kelas, ruang kelas, ruang perpustakaan, koridor, toilet, tangga, dan lainnya kecuali ruang guru dan kepala sekolah, semua sudut sekolah dibersihkan peserta didik.

Setelah selesai membersihkan sekolah, anak-anak kelas VI sebagai

supervisor akan menanyakan pada setiap kelompok yang telah selesai

membersihkan dengan pertanyaan: “Tadi sudah membersihkan apa saja? Apakah

ada kesulitan dalam membersihkannya?”

(47)

Setelah selesai kegiatan osoji anak-anak membereskan kembali peralatan kebersihan. Termasuk peralatan kebersihan yang mereka bawa. Setiap anak di sekolah Jepang mempunyai lap yang mereka bawa dari rumah.

Kegiatan osoji dilakukan oleh anak-anak di seluruh Jepang setiap hari.

Kegiatan ini merupakan program di sekolah-sekolah Jepang baik negeri maupun swasta dari mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Pembiasaan inilah yang menjadikan Jepang sebagai negara bersih. Budaya membersihkan sekolah, bukan sekedar menumbuhkan rasa kepemilikan dan cinta terhadap sekolah, tetapi berdampak pada merasakan capeknya melakukan tugas kebersihan. Akibatnya jika akan mengotori dan buang sampah sembarangan, maka akan pikir panjang.

Kegiatan osoji pun menumbuhkan rasa empati.

Anak-anak Jepang tidak mengeluh dan senang hati melakukan osoji.

Selama observasi kegiatan osoji di berbagai sekolah dasar di Jepang, baik sekolah di pegunungan seperti Jinzu Midori Propinsi Toyama maupun di sekolah perkotaan seperti Tokyo, tidak ada satu pun anak yang leha-leha tidak mengerjakan tugasnya. Semuanya bekerja membersihkan sekolah sesuai tugas mereka. Hal ini mereka lakukan karena sadar bersih berarti sehat.

Di Jepang anak-anak diberikan pengertian bahwa kuman dan hewan

pembawa penyakit seperti nyamuk, lalat, kecoa, dan tikus sangat suka hidup di

tempat yang kotor. Lalat akan hinggap ditempat yang berbau dan busuk. Kuman

adalah mikroorganisme kecil akan menempel pada debu-debu. Jika tidak ingin

terkena penyakit, maka bersih dari debu, bau, dan kotor. Bersih dari debu dan

kotoran, tentu tidak mengundang hewan-hewan pembawa penyakit untuk datang.

(48)

Jika sakit, maka banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar rumah sakit, dokter, dan obat. Selain itu sakit membuat badan merasa tidak nyaman, tidak semangat beraktifitas, dan tidak produktif. Sakit membuat diri menjadi sedih dan menyusahkan orang lain di rumah. Tidak ada orang bahagia karena sakit.

Sakit pun dapat berakibat pada kematian. Pengetahuan inilah yang ditanamkan sehingga peserta didik paham mengapa ada slogan “Kebersihan pangkal kesehatan, kesehatan pangkal kesejahteraan dan kebahagian”.

Dari mulai masuk sekolah, mereka telah menjaga kebersihan sekolah.

Tidak membiarkan debu mengotori sekolah, caranya anak-anak di sekolah Jepang mempunyai sepatu khusus selama di sekolah. Sepatu ini di simpan di sekolah, dan dipakai selama di kelas. Sepatunya terbuat dari karet, dan semua sepatu anak lelaki dan perempuan sama. Sepatu yang mereka pakai dari rumah, yang telah menginjak jalan berdebu akan di simpan di loker selama belajar di sekolah, mereka menggunakan kembali sepatu tersebut ketika pulang. Begitu pula para guru, mereka menggunakan dua sepatu. Sepatu khusus untuk di kelas yang tak berdebu dan tak dipakai di luar. Mengapa itu dilakukan? Selain menjaga kebersihan sekolah mereka dari debu yang berterbangan, debu yang dibawa dari luar atau jalanan mengandung kuman yang dapat membuat mereka sakit. Melepas sepatu luar dan mengganti dengan sepatu khusus selama di kelas dan sekolah adalah cara menjaga kebersihan dan kesehatan.

Menurut Wiena Putri, budaya bersih di Jepang juga diajarkan di

lingkungan tempat ia kuliah di 保育.介護.ビジネス 名古屋専門学校. Di

sekolah, sampah yang dibawa dari luar kampus dan sampah bungkus makanan

(49)

yang dibeli di jidouhambaiki kampus harus dipisahkan tempat sampahnya.

Fungsinya agar perusahaan yang memberi stok untuk jidouhambaiki tidak merasa

dirugikan karena sampahnya bercampur. (Wawancara via chatting).

(50)

3.2 Ruang Private pada Masyarakat Jepang

3.2.1 Kesadaran Tanggung Jawab Masyarakat terhadap Budaya Bersih

Disamping penerapan yang baik terhadap budaya bersih di Jepang, ada juga kegiatan untuk mengelompokkan dan membuang sampah, itu dilakukan untuk menekan angka penumpukan sampah. Agar sampah rumah tangga tidak bertumpuk dan terbakar sia-sia, masyarakat perlu mencoba sistem pengelolaan sampah yang biasa dikenal dengan istilah 3R; Reduce, Reuse, Recycle. Sistem ini juga mudah dilakukan dalam kegiatan sehari-hari.

Menurut laman (https://bacaterus.com/sistem-pembuangan-sampah-di- jepang/) di Jepang setidaknya mereka memiliki tiga jenis pembagian sampah secara umum yaitu:

1. Moeru Gomi「燃えるゴミ」

Moeru Gomi artinya adalah sampah yang bisa dibakar. Misalnya kertas- kertas, pakaian-pakaian, sampah plastik ringan, sampah kayu,dll. Sampah dapur seperti sisa makanan dan kulit buah juga termasuk jenis sampah ini, setiap sebelum dibuang airnya diperas terlebih dahulu baru dimasukkan ke dalam plastik sampah.

2. Moenai Gomi 「燃えないゴミ」

Moenai Gomi artinya sampah yang tidak dapat dibakar. Misalnya sampah

kaleng, barang-barang yang terbuat dari plastik seperti ember, benda-benda

logam hingga barang elektronik.

Gambar

Gambar 1. Di Jepang, setiap rumah tangga diharuskan untuk membedakan jenis  sampah mereka, mana sampah yang bisa di daur ulang dan yang tidak bisa di daur  ulang
Gambar 4. Anak-anak SD Jinju Midori membersihkan setiap sudut sekolah  termasuk lapangan indoor dan toilet
Gambar 6. Pemilahan sampah pada jenisnya. (http://www.imccsub.com/tentang- (http://www.imccsub.com/tentang- jepang/jepang-modern/229-bagaimanakah-sistem-pembuangan-sampah-di-jepang.html)
Gambar 8. Tipe sampah yang harus dipilah ada 4. Yaitu moeru gomi, moenai  gomi, sampah ukuran besar, dan botol atau kaleng

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian, kantor-kantor lokal dari pengadilan keluarga berlokasi di tempat-tempat yang diperlukan (77 lokasi di Jepang).Pengadilan keluarga didirikan pada 1 Januari 1949,

Konsep keindahan yang terdapat pada agama Budha terdapat dalam model sugimori, hal ini bisa dilihat dari adanya ruang kosong pada sekeliling masakan dan juga model

Peran pemerintah dalam menciptakan disiplin pada masyarakat Jepang adalah membangun infrastruktur dan membuat peraturan, peran sekolah adalah mengajarkan anak-anak disiplin sejak

Dari gambar 2.5., yang merupakan hasil penilitian tahunan yang didapat dari Menteri Ekonomi dan Industri Jepang, dapat dilihat bahwa jumlah penjualan.. kosmetik pria terus

Dalam masyarakat Jepang banzai sering diucapkan dalam memenangkan turnamen olahraga dengan bersorak sebanyak tiga kali, untuk menigkatkan rasa persatuan.Banzai tidak

Kepandaian mengolah ikan yag telah diawetkan seperti Bodara (ikan Cod kering) dan Migakinishin (ikan Hering kering) hingga menjadi hidangan yang enak merupakan

Kenapa orangtua Jepang malu ketika anak mereka membuang sampah di dalam rumah apabila saat tamu berkenjung ke dalam rumah, karna orang Jepang akan beranggapan

Menurut Nasution (2001:14), metode kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang