• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA MAKAN MASYARAKAT JEPANG NIHON SHAKAI NO SHOKU BUNKA KERTAS KARYA. Dikerjakan PUTRI NABILA ASKA LUBIS NIM :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BUDAYA MAKAN MASYARAKAT JEPANG NIHON SHAKAI NO SHOKU BUNKA KERTAS KARYA. Dikerjakan PUTRI NABILA ASKA LUBIS NIM :"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BUDAYA MAKAN MASYARAKAT JEPANG

“NIHON SHAKAI NO SHOKU BUNKA ”

KERTAS KARYA

Dikerjakan O

L E

H

PUTRI NABILA ASKA LUBIS NIM : 182203038

PROGRAM STUDI D-III BAHASA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)

BUDAYA MAKAN MASYARAKAT JEPANG

“NIHON SHAKAI NO SHOKU BUNKA”

KERTAS KARYA

Kertas karya ini diajukan Kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian

Diploma III dalam bidang studi bahasa Jepang DIKERJAKAN

OLEH :

PUTRI NABILA ASKA LUBIS NIM : 182203038

PEMBIMBING

Dr. Diah Syafitri Handayani, M.Litt NIP : 197212281999032001

PROGRAM STUDI D-III BAHASA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehinga Penulis dapat menyelesaikan Kertas Karya ini yang berjudul

“Budaya Makan Masyarakat Jepang”.

Penulis menyadari bahwa kertas karya ini tidak munkin dapat diselesaikan tanpa bimbingan dan serta bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Diah Syafitri Handayani, M.Litt selaku Ketua Jurusan D-III Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku dosen pembimbing dan dosen pembimbing Akademik yang dengan sabar dan ikhlas dalam meluangkan waktu dan memberikan bimbingan kepada penulis sejak awal masuk perkuliahan sampai sekarang, sehingga dapat menyelesaikan kertas karya ini tepat waktu.

3. Seluruh Dosen dan staff pengajar Program Studi D-III Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, atas arahan, bimbingan, dan ilmu yang diberikan kepada penulis selama duduk dibangku perkuliahan.

4. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis, terkhusus Ibunda yang telah sabar mendidik penulis dengan penuh kasih sayang, memberikan doa, semangat dukungan moral, materil dan segala sesuatu yang dibutuhkan penulis. Abang penulis yang memberi semangat dan dukungan kepada penulis.

(6)

5. Kepada Sahabat penulis Harumi dan keluarganya yang telah membantu penulis mengerjakan Kertas Karya ini dan memberi semangat kepada penulis.

6. Untuk teman-teman penulis, terutama Dia Ainun, Angel, dan Sabrina yang selalu menyemangati penulis dan membantu penulis selama masa perkuliahan.

7. Buat Hinode angkatan 2018 terima kasih buat selama 3 tahun kita telah sama-sama berbagai kehangatan, canda, tawa, senyum, tangis, kenangan yang takkan pernah terlupakan bersama kalian.

Penulis menyadari semua keberhasilan ini tidak terlepas dari petunjuk Allah SWT. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu saya.

Saya menyadari kertas karya ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saya mohon maaf untuk segala kekurangan dalam Kertas Karya ini. Segala kritik dan saran akan saya terima dengan besar hati. Dan penulis berharap kertas karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2021 Penulis,

Putri Nabila Aska Lubis NIM : 182203038

(7)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul ... 1

1.2 Batasan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penulisan ... 3

1.4 Metode Penulisan ... 3

BAB II GAMBARAN UMUM MAKANAN JEPANG 2.1 Jenis Makanan Jepang... 4

2.1.1.Washoku ... 4

2.1.2.Yōshoku ... 11

2.2 Peralatan Makan Khas Jepang ... 14

2.2.1 Mangkuk (Chawan) ... 14

2.2.2 Sumpit (Hashi) ... 15

2.2.3 Alas Sumpit (Hashioki) ... 16

2.2.4 Piring (Osara)... 16

2.3 Etika Makan Masyarakat Jepang ... 17

BAB III BUDAYA MAKAN MASYARAKAT JEPANG 3.1 Kebiasaan Makan Masyarakat Jepang ... 20

3.2 Perubahan Kebiasaan Makan Masyarakat Jepang ... 22

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan... 27

4.2 Saran ... 27 DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK LAMPIRAN

(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Jepang merupakan salah satu negara yang masyarakatnya memiliki usia terpanjang di dunia. Rata-rata usia harapan hidup masyarakat Jepang adalah 81,09 tahun untuk laki-laki dan 87,26 tahun untuk perempuan. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya usia rata- rata masyarakat Jepang adalah berbagai budaya unik yang melekat dalam diri mereka. Setiap daerah di Jepang mempunyai dialek dan adat-istiadat sendiri. Ciri khas budaya yang mewakili setiap daerah atau kawasan diantaranya adalah bahasa daerah atau dialek, cara berpakaian, pola hidup termasuk pola makan hingga seni pertunjukkan tradisional, serta cita rasa makanan. Masyarakat Jepang adalah bangsa besar yang cerdas, maju dan berjiwa kompetitif yang masih melestarikan budaya atau tradisi yang sudah dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Jepang pada zaman dahulu. Masyarakat Jepang mempunyai pola dan tata cara sendiri yang sudah ada sejak dulu. Misalnya, cara penyajian makanan, peralatan makan, bumbu masakan, dan lain-lain. Semuanya mempunyai tata cara dan kebiasaan tersendiri di setiap daerah. Hal tersebut tidak lepas dari sejarah yang berperan dalam melestarikan pola dan tata cara makan hingga saat ini.

Bangsa Jepang menjadikan makanan sebagai alat untuk memperkenalkan kebudayaannya serta jati diri mereka. Dalam bahasa Jepang, budaya makan dikenal dengan istilah “shoku bunka”, yaitu shoku berarti makanan dan bunka berarti budaya. Terminologi ini memperlihatkan adanya hubungan antara makanan dengan budaya. Hal ini senada dengan penjelasan Ong Hok Ham, (2009:137) dalam Ariwibowo (2015) menjelaskan bahwa salah satu unsur budaya yang berada diluar tujuh unsur kebudayaan adalah tradisi makan dan sajian

(9)

makanan. Tradisi makan merupakan bagian dari budaya manusia. Makanan bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan hidup, namun lebih jauh makanan menunjukkan identitas nilai, moral, kemajuan, dan kualitas suatu masyarakat, bahkan lebih jauh menunjukkan status sosial.

Makanan dengan simbol dan media pendukungnya seperti sikap (manner), perlengkapan (sendok, garpu, meja, kursi, dan lainnya), sajian, komoditi, dan hal lain yang berkaitan, telah menciptakan identitas budaya dalam masyarakat (On Hok Ham, 2009:137).

Masakan Jepang berbeda-beda menurut zaman, tingkat sosial, iklim dan daerah tempat tinggal. Masakan Jepang terbagi dalam beberapa zaman, yaitu pada zaman Nara, zaman, Heian, zaman Edo hingga zaman Sekarang. Namun, masakan Jepang tidak selalu harus berupa makanan yang sudah dimakan oleh masyarakat Jepang secara turun-temurun.

Dilihat dari jenis makanannya, setiap hidangan Jepang memiliki sebutannya masing-masing.

Secara khusus ada tiga tipe, yaitu “honzen ryōri” adalah makanan yang disajikan pada nampan berkaki khusus di acara formal, “chakaiseki ryōri” adalah hidangan sebelum upacara minum teh, dan “kaiseki ryōri” adalah hidangan saat pesta atau yang biasa ada di restoran Jepang. Namun ada dua jenis makanan lainnya, yakni “osechi ryōri” adalah hidangan saat tahun baru dan “shōjin ryōri” adalah makanan vegetarian umat Buddha.

Beragamnya jenis makanan serta kebiasaan atau budaya makan yang ada dalam masyarakat Jepang menyebabkan penulis tertarik untuk membahas lebih dalam melalui penulisan Kertas Karya ini dengan judul Budaya Makan Masyarakat Jepang.

1.2 Batasan Masalah

Penulis akan memfokuskan pembahasan kertas karya ini pada budaya makan masyarakat Jepang yang dikhususkan pada kebiasaan makan dan perubahan kebiasaan makan di Jepang yang didukung dengan uraian terkait jenis makanan Jepang berupa washoku, yōshoku, peralatan makan, dan etika makan di Jepang.

(10)

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun Tujuan Penulisan memilih Judul Kertas Karya ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui jenis-jenis makanan Jepang

2. Untuk mengetahui jenis-jenis peralatan makan yang digunakan masyarakat Jepang 3. Untuk mengetahui etika makan masyarakat Jepang

4. Untuk mengetahui kebiasaan makan masyarakat Jepang

5. Untuk mengetahui perubahan kebiasaan makan masyarakat Jepang

1.4 Metode Penulisan

Dalam penulisan kertas karya ini penulis menggunakan metode kepustakaan (Library Research), yakni dengan cara mengumpulkan sumber-sumber bacaan yang ada yakni berupa buku sebagai referensi yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas kemudian dirangkum dan dideskripsikan kedalam kertas karya ini. Selain itu, penulis juga memanfaatkan Informasi Teknologi Internet sebagai referensi tambahan agar data yang didapatkan menjadi lebih akurat dan lebih jelas.

(11)

BAB II

GAMBARAN UMUM 2.1 Jenis Makanan Jepang

2.1.1 Washoku

Makanan khas Jepang dikenal dengan istilah Washoku atau Nihon shoku. Makanan Jepang biasanya lebih mengutamakan cita rasa alami dengan bumbu dan bahan-bahan makanan yang tidak diolah secara berlebihan. Namun, pada zaman sekarang makanan dan masakan Jepang sudah mengalami perubahan. Banyak bahan-bahan dan bumbu makanan Jepang yang sudah terpengaruh dari negara luar.

Masyarakat Jepang mulai makan nasi sejak zaman Jomon, dan lauk pauknya dibuat dari bahan makanan yang direbus (nimono), dipanggang, dan dikukus. Cara pengolahan makanan dengan menggoreng mulai dikenal sejak zaman Asuka, dan berasal dari Semenanjung Korea dan China. Teh dan masakan khas Pendeta diperkenalkan ke Jepang bersamaan dengan masuknya agama Buddha, tetapi hanya berkembang di kalangan kuil.

Makanan khas pendeta dikenal sebagai makanan Buddhis (Shōjin ryōri) yang melarang keras hewan peliharaan dan binatang buas seperti monyet dijadikan bahan makanan. Di berbagai tempat di Jepang barat, ada upacara di mana ikan hasil fermentasi yang disebut Narezushi digunakan sebagai persembahan.

Pada zaman Nara, pengaruh budaya China mempengaruhi masakan di zaman Nara.

Makanan dimasak sebagai hidangan pada ritual dan perayaan yang berkaitan dengan musim.

Di sepanjang tahun selalu ada perayaan dan pesta makan-makan. Cara memasak dari China mulai digunakan untuk mengolah bahan makanan lokal. Penyesuaian cara memasak dari China dengan kondisi alam di Jepang akhirnya melahirkan masakan yang khas Jepang.

(12)

Pada zaman Heian, masakan Jepang terus berkembang di bawah pengaruh dari daratan China. Pada masa itu, masyarakat Jepang mulai mengenal makanan seperti Karaage, Karani, kue-kue asal Dinasti Tang (tōgashi), dan natto. Sementara itu di zaman yang sama, aliran masak-memasak dan etika makan juga berkembang di kalangan bangsawan.

Pada zaman Kamakura, makanan olahan dari tahu yang disebut Ganmodoki mulai dikenal bersamaan dengan meningkatnya popularitas tradisi minum teh dan meluasnya ajaran Zen. Di zaman Kamakura, makanan dalam porsi kecil yang disiapkan untuk para biksu yang menjalani latihan dikenal sebagai masakan Kaiseki. Seorang pendeta Buddha bernama Eisai kembali ke Jepang dengan membawa teh dari China, dan teh tersebut dinikmati dengan masakan Kaiseki ( 懐 石 ). Hidangan ini nantinya berkembang menjadi makanan untuk perjamuan makan yang juga disebut Kaiseki, tetapi ditulis dengan aksara kanji yang berbeda- beda.

Memasuki zaman Muromachi, kalangan samurai juga berpartisipasi dalam urusan masak-memasak di dalam istana kekaisaran dan tata krama saat makan semakin berkembang.

Aliran etika Ogasawara berasal dari etika kalangan samurai dari bangsawan di zaman Muromachi dan masih dikenal hingga sekarang. Makanan gaya Honzen (Honzen no seishiki) dan gaya Kaiseki merupakan dua aliran utama masakan Jepang di zaman Muromachi. Pada gaya Honzen, makanan dalam satu porsi cukup untuk satu orang dan dihidangkan secara terpisah di atas meja pendek yang disebut Ozen. Sementara itu sebagai tandingan gaya Honzen diciptakan makanan gaya Kaiseki yang berkembang dari tradisi menghidangkan makanan dalam porsi kecil seperti dalam upacara minum teh.

Kebudayaan orang kota berkembang pesat di zaman Edo dan makanan penduduk kota seperti tempura dan teh gandum yang mulai banyak di jual di kios-kios pasar kaget. Pada masa itu mulai banyak di jumpai rumah makan yang khusus menyediakan Nigirizushi dan

(13)

Soba. Ōrusuichaya adalah sebutan untuk rumah makan tradisional (ryōtei) yang digunakan kalangan samurai sewaktu menjamu tamu dengan pesta makan. Makanan dinikmati secara santai sambil minum sake, dan tidak mengikuti tata cara makan formal seperti masakan gaya Kaiseki atau masakan gaya Honzen. Masakan yang berkembang di Ōrusuichaya disebut kaiseki ryōri (会席料理) yang ditulis memakai kanji yang berbeda dengan masakan Kaiseki untuk upacara minum teh.

Sementara itu, teknik pembuatan kue-kue tradisional Jepang (Wagashi) menjadi berkembang berkat tersedianya gula yang sudah menjadi barang lumrah di zaman Edo. Alat makan dari keramik dan porselen mulai banyak digunakan orang dan diberi hiasan berupa gambar-gambar artistik yang dikerjakan secara serius. Daging ternak sudah mulai dikonsumsi oleh masyarakat Jepang dan daging sapi dimakan sebagai obat. Di pertengahan zaman Edo, makanan mulai dihias dengan Wachigai daikon (hiasan dari lobak) sejalan dengan mulai dikenalnya teknik seni ukir sayur. Di zaman yang sama mulai dikenal telur rebus yang aneh dengan kuning telur berada diluar dan putih telur berada di dalam (Kimigaeshi tamago).

Masakan Jepang yang dikenal sekarang merupakan hasil penyempurnaan masakan di zaman Edo. Di masa itu dikenal kewajiban Sankin kōtai bagi daimyo dari seluruh pelosok penjuru Jepang. Daimyo harus datang ke Edo untuk melakukan tugas pemerintahan secara bergiliran sebagai pendamping shogun. Kedatangan daimyo dari seluruh pelosok negeri membawa serta bahan makanan memasak makanan yang khas dari daerah masing-masing.

Bahan-bahan makanan yang dibawa dari seluruh penjuru Jepang menambah keanekaragaman masakan Jepang di Edo, apalagi ditambah dengan makanan laut dari Teluk Edo yang segar dan enak. Hasil laut dari Samudra Pasifik seperti ikan tongkol sudah dijadikan menu tetap dalam pembuatan sashimi.

(14)

Ikan kakap merupakan lambang kemakmuran. Ikan kakap yang dipanggang utuh tanpa dipotong-potong terlebih dahulu merupakan hidangan istimewa pada kesempatan khusus. Makanan yang dihidangkan pada pesta makan terdiri dari dua jenis yaitu makanan untuk dimakan di tempat pesta, dan makanan yang berfungsi sebagai hiasan. Ikan kakap panggang termasuk dalam makanan hiasan yang boleh saja dimakan di tempat pesta, dan ada juga ikan kakap yang merupakan hiasan yang dinantikan para tamu untuk dibawa pulang.

Tradisi membawa pulang makanan dari pesta sebagai oleh-oleh untuk keluarga yang menanti di rumah, yang berasal dari zaman Edo dan terus berlanjut hingga sekarang. Selain ikan kakap, tamu biasanya dipersilahkan membawa pulang Kinton (biji berangan dan ubi jalar yang dihaluskan) dan kamaboko.

Masakan Kansai adalah sebutan untuk masakan kota Osaka dan masakan kota Kyoto.

Berbeda dengan budaya di zaman Edo yang gemerlap, masakan Kyoto mencerminkan budaya Kyoto yang elegan. Masakan kuil agama Buddha banyak mempengaruhi masakan Kyoto yang banyak menggunakan sayur-sayuran, tahu, kembang tahu, dan sedikit makanan laut karena letak kota Kyoto yang jauh dari laut. Masakan Kyoto melahirkan cara memasak dengan bumbu seminimal mungkin agar rasa asli tahu atau kembang tahu yang memang sudah tipis tidak hilang. Kepandaian mengolah ikan yag telah diawetkan seperti Bodara (ikan Cod kering) dan Migakinishin (ikan Hering kering) hingga menjadi hidangan yang enak merupakan keistimewaan masakan kota Kyoto.

Sebagai kota tepi laut dengan hasil laut yang melimpah, masakan Osaka mengenal berbagai cara pengolahan hasil laut. Makanan laut diolah agar enak untuk langsung dimakan di tempat dan tidak untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Masakan Osaka tidak mementingkan rasa makanan kalau sudah dingin karena menganut prinsip “makanan yang habis dimakan”. Prinsip ini bertolak belakang dengan masakan Kanto yang memikirkan rasa makanan kalau sudah dingin. Seiring dengan perkembangan zaman, perbedaan antara

(15)

masakan Kansai dan masakan Kanto menjadi semakin kecil berkat saling belajar dari kekuatan dan kelemahan masing-masing.

Makanan Jepang dikenal dengan istilah Washoku atau Nihon shoku. Makanan Jepang biasanya lebih mengutamakan pada cita rasa alami dengan bumbu-bumbu dan bahan-bahan makanan yang tidak diolah secara berlebihan. Dilansir dari situs viva.co.id, washoku adalah salah satu jenis kuliner Jepang tertua berupa satu set makanan yang terdiri dari nasi, sup, lauk pauk seperti daging, ikan dan sayuran yang dimasak dengan berbagai cara baik itu direbus, dikukus, digoreng, ditumis atau dibakar. Washoku merupakan masakan yang dibuat untuk menghargai rasa asli dari bahan-bahannya, sehingga bumbu yang digunakan pun tidak terlalu banyak. Itu karena masyarakat Jepang begitu gemar hal-hal yang berbau alami dan merasa bahan-bahan makanan sebenarnya sudah memiliki cita rasa alami masing-masing. Pada pokoknya, washoku adalah persiapan nasi dan lauk pauk sederhana yang dibuat dengan berbagai bahan musiman. Berbagai macam hidangan inilah yang membuatnya selaras dengan alam dan estetika Jepang.

Dilansir dari situs Gurunavi, komponen beras dan protein dipadukan dengan bahan- bahan lokal yang bervariasi berdasarkan musim. Dari tunas muda yang lembut yang asalnya dari tanaman liar di musim semi, acar di musim panas, chestnut di musim gugur, dan sayuran umbi-umbian di musim dingin. Puncak musim masakan Jepang di awal tahun baru adalah hidangan Tahun Baru yang indah yang disebut osechi ryōri. Inti dari hidangan washoku adalah nasi, disertai ikan atau makanan laut lainnya dan rumput laut. Karena Jepang adalah negara kepulauan, makanan laut adalah pusat dari makanan tradisional Jepang.

(16)

Berikut ini adalah beberapa contoh makanan tradisional Jepang :

1) Makanan dari nasi a) Sekihan

Sekihan adalah nasi yang dikukus bersama kacang merah. Sekihan terbuat dari beras mochigome, atau semacam beras letan yang biasa digunakan untuk membuat mochi. Sekihan diolah dari campuran beras, kacang azuki dan sedikit garam yang ditanak bersama dalam satu pot. Nasi ini dibuat untuk merayakan sebuah momen yang bahagia seperti ulang tahun, tahun baru, dan sebagainya.

b) Takikomi gohan

Takikomi gohan adalah nasi yang dikukus bersama seafood atau sayur.

Cara memasak takikomi gohan pun mudah seperti menanak nasi dengan rice cooker, hanya saja ditambahkan bumbu seperti garam, gula, shoyu dan kaldu dashi.

c) Okayu

Okayu adalah nasi yang dimasak dengan air dalam Jumlah yang banyak hingga mengental menjadi bubur dengan hanya dibumbui dengan garam. Okayu biasanya disarankan untuk orang yang sedang sakit atau tidak enak badan.

d) Donburimono

Domburimono adalah makanan Jepang berupa nasi putih dengan berbagai macam lauk di atasnya seperti ikan, daging, tempura, unagi dan sayur-sayuran berkuah yang dihidangkan di dalam mangkuk besar yang juga disebut donburi. Kuah untuk donburi bergantung pada jenis makanan, tetapi pada umumnya berupa dashi dicampur kecap asin dan mirin.

(17)

e) Onigiri

Onigiri adalah makanan tradisional Jepang berupa nasi yang dipadatkan dengan telapak tangan sewaktu masih hangat sehingga berbentuk segitiga, bulat, atau seperti karung beras. Onigiri dibumbui dengan garam dan didalamnya diisi dengan Umeboshi, ikan Salmon, ikan Sake, dan sebagainya.

Setelah onigiri di bentuk lalu dibungkus dengan Nori (rumput laut).

2) Tempura

Tempura adalah makanan Jepang berupa makanan laut, sayur-sayuran, atau tanaman liar yang dicelup ke dalam adonan berupa tepung terigu dan kuning telur yang diencerkan dengan air bersuhu dingin lalu digoreng dengan minyak goreng yang banyak hingga berwarna kuning muda. Adapun sayur yang biasa dibuat tempura adalah terung, paprika, lotus (teratai).

3) Mi dan Jenisnya a) Udon

Udon adalah sejenis mi yang terbuat dari tepung terigu yang berbentuk tebal serta sedikit tebal dan ditambahkan dengan air. Udon biasanya disajikan dengan kuah shōyu panas. Udon memiiki berbagai macam jenis diantaranya, nabeyaki udon, tsukimi udon, yamakake udon, dan tempura udon. Nabeyaki udon adalah udon yang disajikan dengan sayuran dan daging, sedangkan tsukimi udon disajikan dengan menambahkan telur mentah diatasnya.

Yamakake udon adalah udon yang disajikan dengan taburan yamakake diatasnya, dan Tempura udon atau sering disingkat dengan tendon adalah udon yang disajikan dengan tempura diatasnya.

(18)

b) Soba

Soba merupakan sejenis mi yang terbuat dari tepung soba, yamakake, air dan putih telur, dipipihkan, lalu dipotong kecil memanjang. Bentuknya tipis dan panjang yang melambangkan panjang umur. Dan pada umumnya dihidangkan dengan shōyu seperti udon.

c) Ramen

Ramen adalah olahan makanan khas Jepang dari bahan dasar mi yang berkuah yang berasal dari China. Mi ramen terbuat dari tepung terigu, telur, garam, dan air soda. Ciri khas dari ramen adalah bentuk mi yang tipis dan berwarna kuning. Mi ramen kemudian dimasukkan kedalam sebuah mangkuk yang berisi kuah yang terbuat dari berbagai jenis kaldu. Mi yang sudah dimasukan ke dalam kuah tersebut kemudian diberi berbagai toping, pada umumnya di Jepang menggunakan: Chasiu (daging babi panggang merah), menma (rebung rebus), telur rebus, sayuran hijau, nori, dan narutomaki (Jenis olahan seafood yang digiling).

4) Nabe yaki

Nabe yaki atau nabe ryōri adalah hidangan steamboat Jepang yang dimasak dalam suatu wadah panci dan berisi sayur-sayuran, daging, ikan dll. Masakan ini merupakan hidangan favorit rumahan terutama ketika musim dingin tiba. Nabe yaki biasanya disajikan pada saat makan malam. Makanan yang termasuk nabe yaki adalah Sukiyaki, Shabushabu, yudōfu, dan motsu nabe.

5) Acar atau Tsukemono

Tsukemono atau acar, pada umumnya merupakan sayuran yang diolah dengan merendamnya ke dalam bumbu-bumbu dan bahan tambahan lainnya. Selain sayuran,

(19)

ada pula buah-buahan serta berbagai jenis daging dan ikan yang dijadikan sebagai acar. Tsukemono atau acar terbuat dari sayuran yang direndam dalam garam atau cuka.

Tsukemono selalu ada di setiap menu makanan Jepang. Di Jepang sayuran yang biasa dijadikan acar seperti lobak, bonteng, pechai, yang diberi garam, nuka, miso, dan sebagainya yang disimpan dalam waktu yang lama. Acar sayur seperti itu dinamakan takuan zuke. Buah yang biasa di asinkan oleh masyarakat Jepang adalah buah ume (buah plum). Buah ume yang hijau direndam dalam air garam dan dikeringkan.

Setelah kering, buah ume tersebut dicampur dengan daun shiso untuk menghasilkan warna merah. Asinan tersebut dikenal dengan umeboshi. Umeboshi rasanya sangat asam

2.1.2 Yōshoku

Makanan atau masakan yang sudah terpengaruh oleh gaya masakan barat dikenal dengan istilah Yōshoku. Dalam masakan Jepang, yōshoku (makanan barat) merujuk kepada gaya masakan ala Barat yang bermula pada Restorasi Meiji. Masakan tersebut biasanya dihidangankan dengan gaya Eropa namun memiliki rasa seperti masakan Jepang. Tetapi sering kali menampilkan nama Barat, yang biasanya ditulis dalam katakana. Pada permulaan Restorasi Meiji (1868 - 1912), seklusi nasional dieliminasi, dan Kaisar Meiji mendeklarasikan gagasan-gagasan Barat untuk membantu perjuangan masa depan Jepang.

Sebagai bagian dari reformasi, Kaisar mengangkat larangan daging merah dan mempromosikan masakan Barat, yang dipandang sebagai penyebab orang-orang Barat bertubuh besar. Yōshoku kemudian menyajikan daging sebagai bahannya, tak seperti masakan khas Jepang pada waktu itu. Pada masa lampau, istilah "yōshoku" adalah untuk masakan Barat, tanpa memandang negara asalnya (contoh Prancis, Inggris, Italia, dll), namun rakyat menyadari perbedaan antara masakan Eropa dan yōshoku karena pembukaan beberapa

(20)

Dalam proses ini, banyak hidangan Barat telah disesuaikan dengan selera dan budaya orang Jepang. Kedua tipe makanan ini biasanya cocok bilamana dipadukan dengan nasi dan makanan pokok Jepang. Sementara hidangan Barat mulai dikenal karena sering muncul di menu-menu restoran (termasuk restoran-restoran keluarga yang murah), dan hidangan Barat juga sering disajikan di rumah-rumah orang Jepang. Jadi dapat dikatakan bahwa makanan "Barat" telah sepenuhnya berasimilasi kedalam budaya Jepang.

Berikut ini adalah beberapa contoh makanan yōshoku : 1) Potongan Daging (Katsu)

Katsu-Retsu (daging potongan) adalah hidangan daging goreng yang dibuat dengan melapisi sepotong daging dengan kuning telur, kemudian melapisinya lagi dengan remah roti, lalu menggorengnya dalam minyak panas. Daging babi, sapi, dan ayam biasa dimasak dengan cara ini, dan ada juga irisan ikan laut, yang disebut “furai”

(ikan laut goreng). Katsu yang paling umum biasanya menggunakan daging babi dan disebut “tonkatsu”. Kedua “tonkatsu” dan beberapa jenis katsu lainnya adalah item menu yang sangat umum ditemui di restoran-restoran yōshoku, dan “tonkatsu” juga dapat ditemukan di restoran-restoran khusus juga.

2) Omu-rice (Omelet dengan nasi goreng)

Omu-rice adalah hidangan sederhana yang dibuat dengan mencampur kecap dengan nasi dan memasaknya di dalam telur dadar. Tidak ada yang tahu kapan pertama kalinya muncul, tetapi didasarkan pada masakan omelet yang merupakan bagian dari gelombang awal masakan Barat diperkenalkan ke Jepang pada periode Meiji. Saus yang paling umum untuk Omu-rice adalah kecap meskipun beras dimasak dengan saus tomat, beberapa orang lebih memilih saus “demiglace” (saus kental khas Perancis) atau saus putih dan bukan kecap saja, ada juga sebuah masakan yang disebut Omu-soba yang memasak mi goreng dalam telur dadar.

(21)

3) Korokke (Kroket)

“Korokke" adalah campuran kentang tumbuk, daging cincang, dan sayuran, ditutupi dengan tepung, membentuknya menjadi bentuk bulat dan digoreng dalam minyak panas. Pada periode Meiji itu dianggap sebuah makanan kelas tinggi, tapi sekarang populer sebagai makanan yang sudah umum, sebuah hidangan murah yang dapat ditemukan dimana-mana dan bisa dimakan dengan kecap asin atau saus apapun yang disukai. “Korokke" tidak hanya disajikan di restoran yōshoku, tetapi juga di toko daging kuno.

4) Gratin – Doria

Gratin berarti makanan yang dimasak dengan memanggang permukaan campuran daging, sayuran, dan saus putih. Doria adalah semacam gratin tetapi sebaliknya menggunakan “pilaf” atau nasi mentega. Konon doria pertama kali dibuat di sebuah hotel di era Showa. Doria dan gratin adalah menu populer di restoran yōshoku seluruh Jepang.

 Kari dan Nasi

Setelah nasi-kari gaya Inggris itu diperkenalkan di Jepang selama periode Meiji, orang Jepang mengembangkannya dengan cara mereka sendiri. Versi lokal lebih kental dan tidak sepedas kari asli India, dan itu biasanya dimakan dengan menuangkan campuran kari di atas nasi. Di Jepang ada banyak restoran kari khusus yang menyajikannya dengan caranya sendiri, menggunakan cara-cara baru atau bahan yang unik untuk memasaknya. Untuk sebagian besar, kari gaya Jepang yang standar tersedia di beberapa kafe atau restoran-restoran yōshoku.

2.2 Peralatan Makan Khas Jepang

Dalam kegiatan makan juga ada etika yang harus diikuti, termasuk etika dalam

(22)

Jepang. Meskipun rata-rata negara di Asia Timur menggunakan sumpit sebagai peralatan makannya, di Jepang penggunaan sumpit memiliki tata cara tersendiri. Selain sumpit, ada beberapa peralatan dasar ketika menyantap makanan khas Jepang. Berikut ini adalah beberapa peralatan yang digunakan oleh masyarakat Jepang :

2.2.1 Mangkuk (chawan)

Alat makan ini adalah mangkuk yang digunakan sebagai wadah nasi. Biasanya nasi yang disajikan dalam chawan adalah nasi putih biasa sebagai makanan pokok bersama hidangan lainnya dan diletakkan di sebelah kanan. Tata cara penggunaan mangkuk dan sikap tubuh seseorang saat menyantap hidangan yang disajikan dalam mangkuk atau chawan dapat dibedakan menurut jenis dan minumannya.

2.2.2 Sumpit (hashi)

Sumpit merupakan alat makan yang berasal dari Asia Timur, yang berbentuk batang sama panjang dan cara menggunakannya dipegang antara jari-jari salah satu tangan.

Sumpit dalam bahasa Jepang adalah hashi. Sumpit (hashi) adalah alat makan utama bagi masyarakat Jepang. Sumpit selalu ada dalam perjamuan makan ala Jepang. Berbeda dengan perjamuan ala barat yang dengan mudah menemukan sendok, garpu, dan pisau.

Dalam perjamuan ala Jepang akan sulit menemukan ketiganya. Perbedaan sumpit Jepang dengan sumpit dari negara di Asia Timur lainnya adalah sumpit dari Jepang memiliki, ukuran paling pendek, ujungnya cenderung lebih tajam dan mengecil.

Di rumah keluarga orang Jepang, setiap anggota keluarga memiliki peralatan makannya sendiri-sendiri. Sumpit yang digunakan bisa terbuat dari kayu, bambu, tau sumpit yang sekali pakai. Sumpit terdiri dari berbagai macam dan kegunaannya adalah :

 Nuribashi : Sumpit yang digunakan untuk makan sehari-hari.

 Iwaibashi : Sumpit yang digunakan ketika perayaan Tahun Baru.

(23)

 Waribashi : Sumpit yang biasa digunakan oleh tamu atau yang digunakan oleh restoran dan sumpit jenis ini mudah dibuang.

 Toribashi : Sumpit yang digunakan untuk mengambil makanan dipiring yang sudah disajikan.

 Saibashi : Sumpit panjang yang digunakan untuk memasak.

Berikut ini adalah cara memegang sumpit yang baik dan benar :

1. Pertama-tama, ambil satu buah sumpit dan letakkan di antara jari tengah dan pangkal ibu jari. Pegang sumpit seperti sedang memegang pensil atau pena. Pegang di bagian pangkal sehingga ujung sumpit berada memanjang ke bagian luar.

2. Selanjutnya, sumpit ke-2 diselipkan melalui celah antara sumpit pertama di antara jari telunjuk dan pangkal ibu jari. Sumpit satu ini yang digerakkan saat mengambil atau meletakkan makanan.

3. Bagian atas sumpit berada di antara jari telunjuk dan jari tengah, bagian bawahnya ditahan dengan pangkal ibu jari dan jari manis. Bagian bawah ditahan agar tidak bergeser, sedangkan bagian atasnya diselipkan saja agar mudah bergerak.

2.2.3 Alas sumpit (hashioki)

Hashioki adalah alas untuk meletakkan sumpit ketika akan dan selesai digunakan yang diletakkan di ujung sumpit bagian yang meruncing. Meletakkan sumpit pada hashioki menandakan bahwa masih ingin menikmati hidangan. Namun, jika sumpit di letakkan di atas piring atau meja, berarti sudah selesai makan. Pada umumnya hashioki terbuat dari kayu atau keramik.

2.2.4 Piring (osara)

Piring atau osara yang digunakan di Jepang sama seperti piring-piring yang digunakan di Indonesia. Masyarakat Jepang menggunakan piring untuk menghidangkan makanan-

(24)

makanan seperti nasi kari, chahan, dan makanan lain yang tidak berkuah. Piring di Jepang pada umumnya berbentuk bulat, tapi ada pula yang berbentuk lonjong, atau bahkan kotak.

Selain osara, ada juga piring kecil yang biasa disebut mamezara. Mamezara adalah piring mini yang berukuran sebesar telapak tangan dengan ukuran di bawah 10cm. Mamezara bisa digunakan untuk menaruh lauk-pauk, saus, kecap asin, atau bumbu-bumbu lainnya. Bentuk dan motif mamezara bermacam-macam, membuatnya menjadi unsur yang menambah keindahan penyajian makanan Jepang.

2.3 Etika Makan Masyarakat Jepang

Berbicara tentang etika makan, setiap negara dan disetiap daerah pasti berbeda-beda, tergantung dari kebiasaan atau kebudayaan yang telah diwariskan dari para leluhur di tempat masing-masing. Etika makan sendiri memiliki manfaat guna meningkatkan rasa percaya diri.

Jepang memang masih kental dengan budaya dan adatnya. Salah satunya adalah etika makan, yang mencerminkan keseluruhan budaya dan nilai negara. Dalam budaya Jepang, jamuan makan selalu diikuti dengan tata cara yang relatif lebih formal dan sopan jika dibandingkan dengan aturan dalam jamuan tradisional China. Walaupun kebudayaan keduanya sama-sama menggunakan sumpit, mangkuk, dan sendok sebagai alat makan yang paling utama, tetapi tetap ada banyak perbedaannya. Seperti cara mengangkat mangkuk, menerima makanan dengan sumpit, cara duduk, sikap tubuh, dan beberapa hal lainnya. Etika orang Jepang menekankan pada sikap sopan santun di antara para anggota suatu kelompok tertentu.

Memperlihatkan rasa terima kasih pada hal-hal yang kecil adalah suatu hal yang sangat umum di Jepang. Oleh sebab itu, sangat penting bila mengutamakan etika dalam bermasyarakat terutama dalam masyarakat Jepang. Berikut ini beberapa etika atau tata cara yang harus diperhatikan ketika makan, yaitu :

(25)

1. Pada saat makan, mengangkat mangkuk nasi atau mangkuk sup adalah etika yang benar. Apabila makan nasi tidak mengangkat mangkuk dari atas meja hanya dengan mendekatkan muka ke mangkuk nasi adalah perbuatan yang tidak baik. Perlu diperhatikan bahwa makan dengan meletakkan mangkuk, akan membuat sikap badan menjadi tidak baik. Di Jepang, makan dengan menempelkan siku adalah hal yang tidak sopan. Mangkuk boleh diangkat setinggi mulut, namun tidak boleh menyentuh mulut, kecuali ketika minum sup/kuah

2. Menusuk makanan dengan sumpit, memilih-milih makanan sambil memegang sumpit, menancapkan sumpit di atas nasi, dan memasukkan atau menjilati sumpit ke dalam mulut adalah hal yang dinilai tidak sopan.

3. Saat meletakkan peralatan makan dengan mengeluarkan suara adalah melanggar tata cara. Memukul peralatan makan dengan sumpit dan meletakkan peralatan makan sampai mengeluarkan bunyi tidak diperbolehkan.

4. Ketika akan memakan makanan yang telah disediakan sebaiknya mengucapkan Itadakimasu sebelum makan dan mengucapkan Gochisouma deshita setelah selesai makan adalah kebiasaan untuk menghargai makanan. Biasanya sebelum mengucapkan Itadakimasu, meluangkan sedikit waktu untuk memuji makanan yang dihidangkan, sebagai etika sopan santun. Karena orang Jepang percaya dibalik keindahan suatu hidangan, di situlah tersembunyi kelezatan. Dalam setiap makanan, terdapat roh, dan mengucapkan “Itadakimasu” dengan artian menerima roh dari makanan tersebut.

Sedangkan “Gochisousama deshita” diucapkan setelah makan sebagai rasa terima kasih. Kebiasaan tersebut merupakan hal yang mendasar di Jepang.

5. Tidak diperbolehkan menggerakkan piring ke hadapan dengan sumpit 6. Jangan meletakkan sisa makanan di piring kosong.

(26)

7. Sebelum makan, bersihkan tangan dengan handuk panas atau dingin. Handuk ini disebut oshibori. Oshibori digunakan hanya untuk membersihkan tangan, ketika menggunakan oshibori untuk membersihkan bagian tubuh lain selain tangan, seperti menyeka wajah adalah perbuatan yang tidak sopan.

8. Setelah selesai memakai sumpit, letakkan ujung sumpit di sebelah kiri.

9. Tidak diperbolehkan memberikan hidangan dari sumpit ke sumpit kepada orang lain secara langsung, hal itu dinilai tidak sopan karena hanya dilakukan di pemakaman saat memindahkan tulang-belulang orang yang meninggal.

10. Makanlah makanan yang diberikan, dan jangan menolak makanan yang diberikan dari atasan, orang paling tua atau dari tuan rumah, ini kebiasaan dimana tamu menghargai tuan rumah dengan memakan apa yang diberikan.

11. Jangan menyisakan makanan.

12. Ketika duduk di restoran yang menggunakan tatami harus duduk di atas zabuton.

Zabuton adalah alas duduk diatas tatami. Sebelum duduk diatas zabuton, sebaiknya mendahulukan orang yang diundang atau orang yang lebih dihormati.

13. Dalam jamuan makan, ketika di undang oleh siapapun sebaiknya tidak memesan makanan atau minuman karena akan menyinggung pihak yang mengundang. Hal itu dianggap tidak menghargai pemberian dari pihak pengundang karena semua hal sudah diatur oleh pihak pengundang.

14. Sebelum minum dari gelas sendiri, sebaiknya melakukan kanpai guna menghormati rekan yang lain.

15. Tidak boleh meletakkan sumpit di atas mangkuk nasi ketika masih berisi makanan walaupun sedikit.

16. Jika rekan lain menuangkan sake dengan dua tangan, maka harus menyambutnya dengan memegang gelas menggunakan dua tangan juga.

(27)

17. Tidak boleh menghisap sup dari sumpit

18. Ketika meminum sup tidak dianjurkan untuk menggunakan sendok, namun sebaiknya meminumnya langsung dari mulut mangkuk dan sebelum menyeruput sup, gunakan sumpit untuk mengaduk sup.

19. Jangan mencelupkan wasabi ke dalam kecap.

20. Jangan mengambil sumpit sebelum memegang mangkuk.

(28)

BAB III

BUDAYA MAKAN MASYARAKAT JEPANG 3.1 Kebiasaan Makan Masyarakat Jepang

Masyarakat Jepang mempunyai budaya makan yang masih sangat dijaga kelestariannya hingga saat ini. Setiap daerah, memiliki ciri khas masing-masing terkait bumbu-bumbu, bahan-bahan masakan, peralatan hingga tata cara dan kebiasaan makan.

Masyarakat Jepang sangat memperhatikan cara makan yang termasuk dalam budaya atau tradisi mereka. Tata cara makan masyarakat Jepang sangat unik dan berbeda dengan negara lainnya. Salah satu contohnya adalah pada saat makan duduk di atas bantal yang tipis, yang kegunaannya dapat meningkatkan aliran darah ke perut dan membantu mencerna makanan dengan mudah. Setiap hal yang dilakukan dan perlengkapan yang digunakan untuk makan memiliki nilai filosofis bagi masyarakat Jepang. Bagi masyarakat Jepang makan bukan hanya sekadar kenyang, tetapi juga bagaimana mensyukuri setiap makanan yang masuk. Jepang juga memiliki kebiasaan makan dengan menggunakan sumpit dan mangkuk. Terkadang ada makanan yang sulit untuk diambil dengan sendok, namun orang Jepang tetap akan mengambilnya dengan menggunakan sumpit. Orang-orang Jepang biasa makan secara lambat, mereka diajari untuk menikmati setiap makanan.

Di Jepang, pada musim-musim tertentu juga memiliki budaya atau tradisi yang sering dilakukan saat makan. Misalnya, pada musim semi biasanya orang-orang Jepang akan pergi bersama keluarga dan teman untuk menikmati makanan atau minum sake sambil melihat bunga sakura yang sedang mekar pada saat musim semi. Pada saat musim dingin atau saat menyambut tahun baru biasanya dilakukan dengan acara makan-makan bersama teman - teman atau rekan kerja yang dikenal dengan istilah “Bounenkai” yang berarti “melupakan masa lalu”. Biasanya makanan yang dimakan adalah Kabocha. Kabocha adalah sejenis labu

(29)

dan mie soba. Makanan tersebut sudah menjadi tradisi untuk dimakan di musim dingin atau pada saat menyambut tahun baru.

Berbicara soal cara makan, maka tak bisa lepas dari istilah “Table Manner”. Table manner adalah serangkaian aturan dan prinsip tentang bagaimana seseorang harus berperilaku di meja makan, mulai cara makan hingga menggunakan perlengkapannya. Berikut adalah beberapa aturan dalam tata cara makan masyarakat Jepang .

1. Mengucapkan “Itadakimasu”

Sebelum menyantap sebuah hidangan, orang Jepang selalu mengucapkan

“Itadakimasu” sebagai bentuk syukur atas makanan yang ada di hadapannya. Sejak kecil orang-orang Jepang dibiasakan untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, termasuk sebelum makan. Ada pula yang menganggap ucapan ini sebagai ungkapan

“selamat makan”. Adapun tujuannya, agar orang Jepang tidak langsung melahap makanan saat di meja makan.

2. Tidak boleh menggosok Sumpit

Sumpit adalah alat makan utama yang digunakan di Jepang saat makan. Dalam menggunakan sumpit ada sejumlah etikanya, termasuk tidak boleh menggosok kedua sumpit yang akan digunakan. Jika diberi sumpit dari bambu, jangan digosok setelah dipisahkan sebab itu artinya menganggap sumpit tersebut murahan.

3. Letakkan sumpit pada tempatnya

Aturan lain yang harus diperhatikan dari penggunaan sumpit adalah penempatannya. Di atas meja biasanya ada benda yang digunakan untuk menaruh sumpit, bisa berupa tatakan, balok kecil, atau pembungkus sumpit yang dilipat.

Letakkan sumpit di tempat tersebut apabila sedang tidak digunakan. Tidak sopan menggigit sumpit jika tidak ada makanan atau menggerak-gerakkan sumpit saat

(30)

4. Perhatikan posisi mangkuk dan sumpit

Orang Jepang sangat sensitif dengan posisi sumpit saat sedang makan. Jangan menancapkan sumpit di atas mangkuk meskipun hanya sebentar. Posisi ini dinamakan

"tate-bashi" dan hanya dilakukan saat prosesi pemakaman. Ada juga posisi melintang atau "watashi-bashi". Sumpit yang ditaruh melintang di atas piring atau mangkuk menandakan seseorang sudah selesai makan.

5. Habiskan makanan yang diambil

Jika memperhatikan cara makan orang Jepang, maka tidak akan ada sisa makanan di piring atau mangkuk mereka. Sebab orang Jepang dididik untuk selalu menghabiskan makanan. Itulah sebabnya orang Jepang makan menggunakan mangkuk dan piring kecil supaya mengambil makanan sedikit demi sedikit tapi habis.

6. Mengucapkan "Gochisousama Deshita"

Setelah selesai makan, maka harus mengucapkan “gochisousama deshita”. Ini adalah ungkapan terima kasih kepada tuan rumah yang telah menjamu atau kepada pelayan restoran yang telah memberikan pelayanan sebaik mungkin. Ucapan tersebut tidak dipandang sebagai basa-basi, melainkan sebuah apresiasi.

3.2 Perubahan Makan Masyarakat Jepang

Masakan Jepang ternyata memiliki sejarah yang panjang. Masyarakat Jepang mulai makan nasi sejak zaman Jomon. Pada zaman Jomon lauknya berupa bahan makanan yang direbus (nimono), dipanggang, atau dikukus. Cara mengolah makanan dengan cara menggoreng mulai dikenal sejak zaman Asuka, dan berasal dari semenanjung Korea dan China.

Pada zaman Nara kebudayaan China memengaruhi masakan Jepang sehingga teknik memasak dari China mulai dipakai untuk mengolah bahan makanan lokal. Penyesuaian cara

(31)

memasak dari China dengan keadaan alam di Jepang akhirnya melahirkan masakan khas Jepang.

Makanan olahan dari tahu mulai dikenal bersamaan dengan makin populernya tradisi minum teh dan ajaran Zen pada zaman Kamakura. Sedangkan pada zaman Muromachi, kedatangan kapal-kapal dari luar negeri turut membawa berbagai jenis masakan yang disebut namban ryōri (masakan Eropa/Portugis) dan nambangashi (kue Eropa/Portugis). Kue kastela yang menggunakan resep dari Portugis adalah salah satu contoh dari nambangashi. Adapun istilah nanban sendiri adalah sebutan untuk negara Portugis yang pertama kali datang ke Jepang dan menjadi perantara perdagangan Jepang dan China.

Sejak tahun 1960 karena mendapat pengaruh dari pola makan dari masyarakat Amerika, makanan-makanan utama masyarakat Jepang yang pada mulanya memakan nasi berubah sehingga selain nasi masyarakat Jepang juga banyak yang mengonsumsi roti ataupun daging. Untuk menu sarapan pagi masyarakat Jepang pada umumnya berbeda-beda ada yang makan roti, tetapi untuk washoku biasanya menunya terdiri dari nasi, sup miso, ikan, tsukemono (acar),atau sayur yang direbus ditaburi wijen (goma), dan natto.

Pengaruh Amerika tidak hanya dari pola makannya saja, tetapi suasana makan pun dipengaruhi oleh cara pikir Amerika. Pada masa sebelum perang, orang tua terutama ayah sangat keras terhadap anak-anaknya sehingga kadang-kadang terdengar suara kemarahan orang tua di tengah kesunyian ketika makan. Tetapi setelah perang dunia, pola pikir orang Amerika bahwa makan itu sesuatu yang menyenangkan dan mulai disukai banyak orang.

Selain itu, meja makan pun berubah dari chabudai (meja makan yang pendek) ke meja makan dan dari duduk di bawah sampai duduk di kursi meja makan. Sumpit pun disesuaikan dengan situasi dan kondisi, kadang-kadang diganti dengan sendok dan garpu.

(32)

Makanan yang disajikan di rumah dapat dianggap sebagai pola makan masyarakat Jepang. Namun, seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pengaruh dari negara luar, restoran atau tempat-tempat yang menyajikan makanan dapat dilihat pula sebagai cerminan pola makan masyarakat Jepang kini. Pada umumnya, makanan yang disajikan dirumah-rumah orang Jepang adalah makanan dengan konsep dasar nasi, lauk (biasanya ikan dan sayuran), dan sup. Namun, keluarga di Jepang saat ini juga mulai menyajikan makanan bergaya ala barat yang lebih disukai oleh anak-anak dan remaja, seperti salad, spaghetti, omuraisu (nasi goreng dengan omelet), atau makanan dengan rasa tajam seperti kare raisu ( nasi kare).

Sementara itu, restoran yang berkembang di Jepang saat ini dapat dilihat dari tipenya.

Beberapa restoran mempunyai menu khas sendiri yaitu sebagai restoran dengan 1 masakan saja, misalnya restoran sushi, tempura, sukiyaki, yakiniku, dan tonkatsu. Ada pula restoran yang mengangkat masakan dari daerahnya masing-masing seperti restoran Okinawa, Akita, dan Hokkaido. Kemudian ada restoran yang populer saat siang hari seperti ramen, soba, dan udon. Restoran yang populer dimalam hari seperti izakaya, yakitori. Dan tentu saja restoran yang menyajikan makanan dari luar negeri, seperti restoran Italia, Perancis, Korea, Thailand, dan Indonesia. Saat ini restoran cepat saji bergaya barat pun semakin banyak dan mereka melabeli diri sebagai family restaurant.

Meskipun masyarakat Jepang saat ini telah sangat bebas menentukan Jenis makanan yang diinginkan, makanan tradisional Jepang tetap hadir dalam perayaan-perayaan besar seperti festival dan tahun baru. Kesadaran masyarakat Jepang terhadap gizi makanan yang dikonsumsi pun sangat tinggi, sehingga makanan tradisional yang baik untuk kesehatan tetap dijadikan acuan sebagai makanan yang disarankan oleh pemerintahan Jepang untuk masyarakatnya. Keseriusan menjaga tradisi seiring era globalisasi menjadi kekuatan negara Jepang membentuk citra bangsanya

(33)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Jepang merupakan negara yang mempunyai berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat yang masih sangat dijaga dan dilestarikan nilainya. Di Jepang banyak sekali terdapat makanan-makanan tradisional yang masih dijaga hingga saat ini. Bukan hanya itu saja, pola makan dan etika makan masyarakat Jepang juga masih dijaga hingga sekarang. Meskipun, sudah banyak terpengaruh dari negara luar.

Makanan Jepang atau Nihon Ryouri yang biasa dikenal dengan istilah nihon shoku atau washoku. Ciri khas makanan Jepang adalah pada bahan, bumbu, dan cara menghidangkannya. Bahan makanan yang biasa digunakan masyarakat Jepang adalah sayur- sayuran, buah-buahan, dan makanan laut. Bumbu-bumbu yang digunakan adalah seperti, dashi (air kaldu), yang dibuat dari ikan dan shitake, ditambah miso dan shōyu. Sedangkan yōshoku (makanan barat) merujuk kepada gaya masakan ala Barat yang bermula pada Restorasi Meiji. Masakan tersebut biasanya dihidangkan dengan gaya Eropa namun memiliki rasa seperti masakan Jepang, tetapi sering kali menampilkan nama Barat, yang biasanya ditulis dalam katakana.

Etika makan masyarakat Jepang pun masih sangat dilestarikan hingga saat ini, mulai dari cara duduk di tatami, menggunakan sumpit, makan nasi, makan sup, dan saat minum teh.

Semuanya mempunyai etika dan tata cara tersendiri dan masih sangat dilestarikan hingga sekarang. Meskipun sudah sedikit terpengaruh dari negara luar.

Tidak hanya etika dan tata cara saja, di Jepang juga ada hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan ketika makan. Misalnya, tidak boleh menancapkan sumpit di atas nasi,

(34)

menjilati sumpit ke dalam mulut, tidak boleh menghisap sup dengan sumpit, pada saat makan harus mengangkat mangkuk, sebelum makan harus mengucapkan Itadakimasu, dan setelah makan harus mengucapkan Gochisousama deshita.

4.2 Saran

Pola makan masyarakat Jepang setiap zamannya pasti mengalami perubahan. Namun, ketaatan masyarakat Jepang yang mampu mempertahankan kebudayaan mereka di tengah majunya teknologi dan budaya luar yang masuk dan etika makan yang masih sangat di jaga atau dipertahankan hingga saat ini hendaklah di contoh bagi para pembaca.

Oleh karena itu, para pembaca khususnya mahasiswa program studi D-III Bahasa Jepang, sebaiknya dapat mencontoh pola makan dan etika makan orang Jepang yang masih dilestarikan hingga saat ini dan dapat dijadikan motivasi agar para pembaca juga mempunyai semangat yang sama dalam menjaga dan melestarikan etika dan budaya makan di negaranya masing - masing.

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Haryanti, Pitri, M.Pd. 2013. All About Japan. Yogyakarta : Andi Offset, 2013

Ariwibowo, G. Andika. (2015) Pendidikan Selera : Perkembangan Budaya Makan Dalam Rumah Tangga Urban Jakarta Pada Periode 1950-an :

https://media.neliti.com/media/publications/291822-pendidikan-selera-perkembangan- budaya-ma-5f1e8750.pdf (Diakses pada tanggal 18 Juni 2021)

Rosliana, Lina. (2017) SHOKU BUNKA : Warna Budaya dan Tradisi Dalam Makanan Jepang https://docplayer.info/65568884-Shoku-bunka-warna-budaya-dan-tradisi-dalam-makanan- jepang.html ( Diakses pada tanggal 13 Juni 2021)

Syafrizal, Muhammad. 2013. Etika Dan Pola Makan Orang Jepang. Fakultas Ilmu Budaya.

Universitas Sumatera Utara. Medan.

https://subpokbhsjepang.wordpress.com/2008/06/06/sejarah-masakan-jepang/ (Diakses pada tanggal 27 april 2021)

https://we-xpats.com/id/guide/as/jp/detail/3606/#:~:text=Orang%20Jepang%20Sehat-

,Shoku%20Bunka%2C%20Budaya%20Makan%20di%20Jepang,kebudayaannya%20serta%2 0jati%20diri%20mereka. ( Diakses pada tanggal 28 april 2021)

https://matcha-jp.com/id/876 (Diakses pada tanggal 16 Mei 2021)

https://sajiansedap.grid.id/read/10753635/ini-alat-makan-jepang-lho ( Diakses pada tanggal 17 mei 2021)

https://livejapan.com/id/article-

a0000241/#:~:text=Pada%20masakan%20Jepang%2C%20mengangkat%20mangkuk,makan

%20adalah%20etika%20yang%20benar.&text=Di%20Jepang%2C%20makan%20dengan%2 0menempelkan,pun%20itu%2C%20hindarilah%20sebisa%20mungkin! (Diakses pada tanggal 1 juni 2021)

http://sukajepang.com/etika-dan-tata-cara-makan-orang-jepang/ (Diakses pada tanggal 1 juni 2021)

https://id.wikipedia.org/wiki/Osechi (Diakses pada tanggal 14 Juni 2021)

(36)

LAMPIRAN

Gambar 1,2 dan 3 : Cara Memegang Sumpit

Gambar 4 dan 5 : Hashioki

Gambar 6 dan 7: Sekihan dan Takikomi Gohan

(37)

Gambar 8 dan 9 : Okayu dan Donburimono

Gambar 10 dan 11 : Onigiri dan Tempura

Gambar 12 dan 13 : Udon dan Soba

(38)

Gambar 14 dan 15 : Ramen dan Nabe yaki

Gambar 16 : Acar atau Tsukemono

(39)

ABSTRAK

Jepang merupakan Negara yang mempunyai berbagai macam kebudayaan yang unik.

Misalnya, cara berpakaian, seni pertunjukan, pola hidup, dan etika makan termasuk sejarah atau asal usulnya yang masih sangat dilestarikan hingga saat ini. Setiap daerah memiliki makanan khusus yang berbeda dengan daerah lain. Makanan Jepang dikenal dengan istilah Nihon Shoku atau Washoku. Sedangkan, makanan barat dikenal dengan yōshoku. Washoku adalah makanan yang semua bahan dan bumbunya asli dari Jepang, jadi secara harfiah makanan yang tidak terpengaruh dari makanan luar. Sedangkan yōshoku adalah makanan yang sudah terpengaruh dengan gaya masakan luar, seperti bumbu, cita rasa, dan proses penghidangan. Pada umumnya masyarakat Jepang menggunakan bahan-bahan makanan seperti sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, dan makanan laut. Bumbu-bumbu yang biasa dipakai orang Jepang adalah seperti dashi, shitake, ditambah miso dan shōyu.

Masyarakat Jepang mulai makan nasi sejak zaman Jomon. Pada zaman Nara pengaruh kuat kebudayaan China memengaruhi masakan atau makanan Jepang sehingga teknik memasak dari China mulai dipakai untuk mengolah bahan makanan lokal. Masakan Jepang terus berkembang dengan pengaruh dari daratan China pada zaman Heian. Aliran memasak dan etika makan berkembang di kalangan bangsawan. Di zaman Kamakura selain makanan, mulai populernya tradisi minum teh dan ajaran Zen. Pada zaman ini, masakan dan makanan mulai dibentuk dalam porsi kecil dan menjadi makanan resepsi yang disebut juga dengan Kaiseki. Memasuki zaman Muromachi, kalangan samurai mulai ikut dalam urusan masak- memasak di dalam istana. Tata krama sewaktu makan juga semakin berkembang. Di zaman Edo, kebudayaan orang kota semakin berkembang pesat. Pada zaman Edo makanan dinikmati secara santai sambil meminum sake, dan tidak mengikuti tata cara makan formal seperti masakan Kaiseki atau masakan Honzen.

(40)

Masyarakat Jepang biasa makan dengan menggunakan sumpit dan mangkuk.

Walaupun makanan susah untuk diambil dengan sumpit, orang Jepang tetap menggunakan sumpit sebagai peralatan makan mereka. Sumpit yang digunakan oleh orang Jepang biasanya yang terbuat dari kayu, bambu, atau sumpit sekali pakai. Mangkuk yang digunakan biasanya terbuat dari porselen, kayu, dan keramik. Di rumah orang Jepang, setiap anggota keluarga pasti mempunyai peralatan makan sendiri-sendiri.

Namun, ternyata tidak hanya budaya makan saja yang terpengaruh oleh gaya luar.

Tetapi, etika makan pun sedikit demi sedikit sudah mulai terpengaruh dari negara luar.

Meskipun begitu orang-orang Jepang masih tetap menjaga dan melestarikan etika makan sampai saat ini. Contohnya, cara duduk di tatami, makan nasi, makan sup, menggunakan sumpit dan lain-lain.

Bukan hanya itu saja, di Jepang juga ada pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan pada saat makan. Ini juga masih dilestarikan hingga saat ini oleh masyarakat Jepang. Seperti tidak boleh menancapkan sumpit ke atas nasi karena posisi tersebut

merupakan sesaji orang Jepang untuk leluhur atau dewa mereka, tidak boleh menjilati sumpit, tidak boleh menghisap sup dari sumpit, dan lain-lain.

(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)

Gambar

Gambar 4 dan 5 : Hashioki
Gambar 12 dan 13 : Udon dan Soba
Gambar 16 : Acar atau Tsukemono

Referensi

Dokumen terkait